Meskipun Jennie sudah merasa bahwa tubuhnya baik-baik saja, Lisa tidak berpikir seperti itu. Di mata Lisa, Jennie tetaplah gadis yang sedang dalam masa pemulihan.
Dan sebagai kekasih yang baik, dia menjaga Jennie. Tidak melakukan hal-hal yang mungkin akan menyakiti Jennie nantinya.
Bahkan saat makan malam perpisahan, Lisa memutuskan untuk makan malam di apartemen, mendekor meja. Mengubah suasana apartemen menjadi romantis di bandingkan pergi ke restoran.
Padahal Jennie merasa, dia akan baik-baik saja pergi ke restoran untuk makan malam. Tapi, ini Lisa.
Lisa yang selalu protektif berlebihan jika menyangkut dirinya. Jadi, Jennie tidak bisa memprotes ketika malam mereka makan malam.
Dan sekarang, setelah makan malam selesai lalu mereka kembali ke tempat tidur setelah selesai menyikat gigi, tidak ada satu pun di antara mereka yang tertidur.
Mereka berbaring, hampir telanjang kecuali pakaian dalam yang mereka kenakan. Mereka selalu tertidur seperti ini beberapa hari.
Dan, Jennie menyukainya. Dia rindu merasakan sentuhan kulit Lisa yang lembut secara langsung. Pelukan dari kulit ke kulit terasa sangat berbeda.
“Lisa?” Panggil Jennie, suaranya lembut.
“Hmmm?” Respon Lisa, menggambar pola acak di punggung Jennie.
“Kau akan pergi besok pagi.” Ucap Jennie. Kesedihan terdengar jelas, tanpa perlu Lisa melihat wajahnya.
“Ya.” Lisa menjawab singkat. Lalu dia menoleh pada Jennie, menatapnya. “Kita akan baik-baik saja, sayang.”
“Benarkah?” Tanya Jennie, cukup resah.
Membayangkan Lisa akan meninggalkan dirinya terlalu sulit untuk Jennie yang selalu ingin menempel dengan Lisa. Apalagi di waktu-waktu tertentu, dia berharap bisa selalu bersama Lisa.
Seperti sekarang.
Jennie bahkan sudah membayangkan betapa kesepiannya dia jika Lisa pergi. Tempat tidur yang besar pasti akan terasa dingin tanpa pelukan dari Lisa.
Apa yang akan dia lakukan jika dia merindukan Lisa? Dia tidak akan bisa menemuinya, kan?
Menghela nafas, Jennie merasakan bibir Lisa menempel di bibirnya, menciumnya dengan sangat lembut. Lisa melumatnya, menjilat bibir bawahnya dengan lembut yang membuat Jennie mendesah pelan.
Lisa menarik diri dan mata mereka berdua terbuka dengan perlahan.
“Aku mencintaimu, Jennie. Aku pergi untuk menyiapkan masa depan untukmu. Aku tidak menyiakan bakatmu. Dan, masa depanmu...” Kata Lisa pelan, mengusap pipinya dengan lembut. “Sangat penting. Aku ingin melakukannya dengan baik.”
“Tapi kau adalah masa depanku juga, Lis. Aku tidak peduli dimana pun, aku hanya ingin bersamamu.” Ucap Jennie, sambil melingkarkan tangan di lehernya.
“Aku tahu, sayang. Kau juga masa depanku. Itulah mengapa aku memastikan untuk memberikan yang terbaik untukmu.”
Masa depan bersama Lisa. Membayangkan hal itu, membuat Jennie tersenyum lembut. Bukan karena dia menjadi seorang pianis atau seorang penyanyi, tapi bersama Lisa.
Membangun kehidupan untuk masa depan.
Apakah itu terlalu cepat? Mungkin. Mengingat Jennie bahkan belum lulus kuliah. Tapi, dia sudah dapat membayangkan kehidupan di masa depan dan itu membuatnya tersenyum.
“Apa yang membuatmu tiba-tiba tersipu?” Tanya Lisa setelah beberapa saat, matanya masih memperhatikan Jennie dengan cermat.
“Hmmm?”
“Kau. Wajahmu tiba-tiba memerah. Apa yang sedang kau bayangkan?” Tanya Lisa.
“Oh, tidak ada. Hanya... masa depan.” Jawab Jennie. Jantungnya berdegup kencang ketika dia mengatakan itu.
“Oh? Katakan. Beritahu aku apa yang ada di pikiran cantikmu itu.” Lisa berucap, menarik Jennie lebih dekat ke arahnya.
“Tidak ada. Aku tidak mau memberitahunya.” Ujar Jennie, merasa malu. Lagipula, dia tidak tahu apa yang akan Lisa pikirkan tentang masa depan seperti itu.
“Apa? Mengapa tidak? Beritahu aku!” Desak Lisa, cemberut.
Jennie terkekeh lalu mencium bibir Lisa dan merangkak ke pangkuannya untuk duduk di sana. Lisa menggenggam pinggulnya, meremas dengan lembut.
“Aku mencintaimu.” Ucap Jennie, berbisik lembut di bibirnya.
“Kalau begitu beritahu aku. Kau tersipu dan aku tahu kau jarang tersipu. Jadi, katakan.” Desak Lisa merengek.
Lucu sekali melihat Lisa merengek tapi Jennie menolak untuk memberitahu. Tiba-tiba malu dengan pemikirannya sendiri dan dia mencium bibir Lisa lagi dengan sangat lembut.
Lisa memprotes dalam ciuman itu. Namun, Jennie masih terus menciumnya dan Lisa menyerah dalam waktu singkat.
Mereka berciuman, menghisap dan melumat bibir satu sama lain dalam ciuman yang lembut. Tangan saling mengusap tubuh satu sama lain, sama lembutnya seperti ciuman mereka.
Dan, mereka berpisah sesaat setelah merasa kehabisan nafas.
“Apakah... kau pernah membayangkan untuk membangun masa depan denganku?” Tanya Lisa.
Mata Jennie sedikit melebar. Apa? Bagaimana mungkin Lisa bisa membaca pikirannya?
“Maksudku!” Lisa buru-buru meluruskan, salah paham membaca reaksi Jennie. “Maksudku, tidak dalam waktu dekat ini. Aku tidak mendesakmu. Mungkin tiga tahun ke depan? Lima tahun? Atau... bagaimana menurutmu?”
Lisa langsung menghela nafas dan menatap ke arah lain. Keceriaan di matanya hilang saat itu juga.
Wajah Jennie sendiri langsung berubah menjadi senyum lembut. Kembali, dia mencondongkan tubuh dan mencium rahang Lisa, tahu bahwa Lisa mungkin akan sedikit terkejut jika dia mencium bibirnya.
Dengan lembut, Jennie meraih tangan Lisa, menempelkan telapak tangannya di tangan Lisa, menyatukan jari-jari mereka.
“Apakah kau juga memikirkan hal itu? Masa depan? Bukan aku yang sukses sebagai penyanyi atau kau semakin sukses sebagai pengacara. Tapi... tentang kita?”
Lisa menoleh dan Jennie menghentikan ciumannya saat itu juga. Ekspresi kekecewaan yang sebelumnya terlihat jelas pun seketika berubah saat itu juga.
“Kau memikirkan itu juga?” Tanya Lisa, seolah tak percaya, matanya melebar.
“Kau pikir mengapa aku tiba-tiba tersipu?” Jennie tersenyum.
“Oh.” Gumam Lisa.
Mata Lisa tertuju pada tangan mereka yang saling menggenggam. Dia mengusap jari-jari Jennie, terutama pada jari manisnya seolah tengah mengukir sesuatu.
Jantung Jennie berdegup lebih kencang melihat gerakan itu. Ya Tuhan, dia tidak ingin terlalu berharap. Setidaknya, tidak dalam waktu dekat ini.
“Sejujurnya,” Lisa memulai. “Aku mulai memikirkan ini, terutama sejak ibuku meninggal.”
“Memikirkan apa?” Tanya Jennie penuh perhatian.
“Masa depan, menikah, memiliki... seseorang dalam hidupku.” Ucap Lisa.
Ada kesedihan di mata Lisa saat membicarakan ibunya. Jennie ingat bagaimana Mia sering sekali mendesak Lisa agar dia memiliki pasangan, bisa hidup bersama seseorang dan menikah.
Lisa pasti sedih menyadari bahwa Mia tidak bisa menyaksikan hal itu secara langsung.
“Saat itu, aku masih parah pada situasi, memikirkan mungkin aku akan mencari kenalan secara acak di New York yang bisa aku nikahi.” Ucap Lisa, tertawa hambar karena pemikirannya sendiri.
“Sekarang? Tidak, kan?” Tanya Jennie, merasakan kegugupan mencekiknya.
“Tentu saja tidak, bodoh. Aku sudah punya seseorang sekarang. Menurutku, aku selalu memikirkanmu setiap pemikiran tentang masa depan muncul
Hanya saja, saat itu aku masih marah.”
Jennie menghela nafas lega, segala beban terangkat begitu saja. Dia khawatir Lisa masih memiliki pemikiran akan menikahi seseorang secara acak.
Lisa menoleh, menyadari kegelisahan Jennie sebelumnya dan wanita itu tertawa kecil.
“Apakah kau pikir aku akan bisa menikahi wanita lain padahal aku di sini, hampir telanjang, bersamamu?” Tanya Lisa, sedikit menyeringai nakal.
“Tidak?”
“Tentu saja tidak.”
Lisa memutar mata sebelum menjatuhkan Jennie ke tempat tidur, memutar hingga kini dialah yang berada di atas Jennie.
“Jadi, tidak akan menikahi orang lain? Hanya akan menikahiku?” Tanya Jennie, tersenyum senang.
“Kau mau menikah denganku?”
“Apakah itu sebuah lamaran?”
“Apakah pembahasan ini hanya akan di jawab oleh pertanyaan lagi?” Cibir Lisa, mendengus sebelum menyembunyikan wajahnya di leher Jennie untuk menciumnya di sana.
“Kalau begitu, tanya aku dengan baik dan aku menjawabnya dengan baik juga.” Ucap Jennie, tidak bisa menyembunyikan senyumannya.
Lisa menjauh sedikit untuk menatap Jennie lebih jelas. Matanya berkilat nakal, senyum lembutnya mengatakan hal sebaliknya.
“Apakah kau saat ini sedang meminta lamaran romantis seperti yang orang-orang lakukan diluar sana? Kau mau aku berlutut, memasangkan cincin di depan umum? Seperti itu?” Tanya Lisa dengan senyum yang kini jelas menggoda.
“Kau bisa melakukan itu?” Tanya Jennie dengan mata berbinar cerah.
“Tidak, itu memalukan.” Jawab Lisa cepat.
Jennie mendengus, mendorong lembut bahu Lisa yang kini mencium lehernya lagi. Saat gigitan lembut di kulitnya terasa, Jennie mengerang lembut.
“Tidak adil, Lis. Kau tidak boleh membicarakan tentang masa depan sambil menciumku seperti ini.” Gumam Jennie.
“Kenapa? Karena kau terangsang dan ingin aku melakukan hal lain?” Tanya Lisa.
“Ya Tuhan...” Jennie mendorong Lisa menjauh. “Karena ya, aku terangsang dan aku tahu kau menolak untuk melakukan seks. Jadi, hentikan saja.”
Lisa tertawa terbahak-bahak sebelum kembali berbaring di samping Jennie yang berusaha menahan diri agar tidak terlalu larut dalam nafsu yang sedang menggebu-gebu belakangan ini.
Lisa berbaring miring, menghadap Jennie. Tawanya hilang, tergantikan dengan senyum lembutnya saat ini.
Mengulurkan tangan, Lisa meraih pipi Jennie dan mengusapnya dengan sangat lembut.
“Aku mencintaimu, Jennie.” Ucap Lisa. Keheningan yang nyaman membuat mereka berdua tersenyum.
“Meskipun terkadang kau menyebalkan, aku juga mencintaimu, Lisa.”
“Hei,” Protes Lisa main-main, mencubit lembut perut Jennie yang membuat sang empu memekik. “Apakah kau baik-baik saja? Bagaimana perutmu belakangan ini? Merasakan sakit? Kram?”
Hati Jennie seketika menghangat saat melihat perhatian Lisa saat ini. Perhatian yang akan dia rindukan selama Lisa pergi nanti.
“Tidak. Aku baik-baik saja. Mungkin aku akan kembali ke kampus besok dan membahas tentang kepindahanku dengan dosenku?”
“Aku setuju. Kita bisa saja mempercepat prosesnya.” Ucap Lisa mengangguk. “Aku lega kau baik-baik saja. Sepertinya, tubuhmu juga sudah mulai kembali seperti semula.”
“Hm. Aku tahu.” Jennie tersenyum sambil menyentuh perutnya sendiri.
Tubuhnya mulai berisi, tidak berlebihan tapi tetap saja berisi. Jennie ingat minggu lalu, dia bahkan tidak merasakan tulangnya sendiri, dia terlalu lemah.
Lalu Lisa hadir, menjadi sumber kekuatannya. Hanya butuh satu minggu, dia merasa pulih dan siap untuk kembali beraktivitas.
“Jika aku pergi nanti, aku tidak ingin kau sakit atau melihatmu kurus lagi. Kau harus menjaga berat badanmu agar tetap stabil, oke?” Pinta Lisa, lembut namun ada keseriusan dalam permintaan itu.
“Oke.”
Mereka berdua kembali menempelkan bibirnya di bibir satu sama lain, saling melumat dan menghisap.
“Apakah kau lelah?” Bisik Lisa bertanya, lalu mencium bibir Jennie lagi, kali ini lebih bergairah.
“Tidak. Sekarang, cium aku.” Jennie melingkarkan tangannya di leher Lisa, menariknya untuk mendekat dan kembali berada di atasnya lagi dan mereka berciuman lagi.
Kali ini, dengan sedikit gairah yang meletup. Jennie bisa merasakan Lisa agak menahan diri. Tapi kali ini, Jennie tidak membiarkan hal itu terjadi.
Dia menarik tangan Lisa yang berada di sisi tubuhnya, menuju ke payudaranya yang masih tertutup bra.
Lisa berhenti menciumnya, matanya melebar dan Jennie bisa merasakan gairahnya sendiri.
Perlahan, kedua kakinya Jennie biarkan terbuka lebar, memeluk pinggul Lisa. Mata Lisa semakin melebar tapi Jennie menariknya dengan kekuatan kakinya hingga tubuh bagian bawah mereka menempel.
“Brengsek,” Umpat Lisa, menghela nafas. “Jennie, tidak. Jangan goda aku seperti ini.”
“Sejujurnya, kau membuatku sangat frustasi, Lisa. Mengapa kau suka sekali menciumku lalu berhenti di waktu yang bersamaan?” Desah Jennie. “Aku merindukanmu. Aku juga membutuhkanmu untuk menyentuhku, Lisa.”
“Ya Tuhan, aku juga, Jennie. Tapi, kau baru saja keluar dari Rumah Sakit dan...” Lisa meringis, wajahnya tampak tersiksa.
“Sudah satu minggu dan aku merasa sudah baik-baik saja, sayang.” Kata Jennie, meraih tangan Lisa dan menuntunnya ke vaginanya.
Mata Jennie setengah terpejam saat jari Lisa menyentuhnya di balik celana dalam tipis yang dia kenakan.
“Rasakan betapa putus asanya aku menginginkanmu, Lisa.” Ucap Jennie lagi, menggerakkan tangan Lisa agar jari Lisa bergerak di vaginanya.
“Tapi Jennie, aku takut menyakitimu.” Gumam Lisa, menghela nafas.
“Kita bisa melakukannya dengan sangat lembut.” Ujar Jennie.
Meskipun sebenarnya, Jennie tidak yakin mengingat mereka sering kali melakukan seks dengan sangat keras.
Tapi, itu patut di coba, kan?
“Apakah kau yakin kau menginginkannya?” Tanya Lisa.
“Ya,” Erang Jennie tanpa keraguan.
“Baiklah. Ayo kita lakukan.” Ujar Lisa.
“Sungguh?” Tanya Jennie tak percaya. Semudah itu? Setelah Lisa selalu menolaknya. Sekarang semudah itu?
“Apa kau lebih suka jika aku berubah pikiran?” Tanya Lisa, meledeknya.
“Tidak! Ayo kita lakukan!”
Jennie menjawab dengan panik sebelum dia mendorong celana dalamnya sendiri dengan cepat. Itu membuat Lisa juga melakukan hal yang sama.
Berbarengan, mereka pun melepaskan bra masing-masing. Tanpa merasa malu, kedua kaki Jennie terbuka lebar, menunjukkan basahnya dia saat ini.
Mata Jennie sendiri tertuju pada penis Lisa yang sudah berdiri tegak. Sungguh gila Lisa sering kali menolak untuk melakukan seks padahal dia tahu Lisa sering ereksi setelah berciuman dengannya.
“Kemarilah, sayang.” Bujuk Jennie mendesaknya.
Lisa mendekat, tubuh mereka menempel dan penis Lisa sedikit menyentuh vaginanya. Jennie sudah bisa merasakan tubuhnya semakin mendambakan Lisa.
Dengan cepat, Jennie membenturkan bibirnya di bibir Lisa, menciumnya dengan sangat keras.
Tangannya meraih penis Lisa, menggenggamnya dengan erat. Dia mengurut penis Lisa, lalu membimbing penis itu ke vaginanya.
Bahkan, mereka tidak merasa perlu untuk banyak melakukan sentuhan karena vagina Jennie sudah begitu basah, dan siap untuk di masuki oleh Lisa, tentu saja.
Lisa melepaskan ciuman di bibirnya, menenggelamkan wajahnya di leher Jennie ketika perlahan, dia mendorong penisnya dengan sangat perlahan ke vagina Jennie.
“Ya Tuhan, sayang...” Erang Jennie. Sudah lama sekali rasanya dia tidak merasakan vaginanya di regangkan seperti ini.
“Apakah kau baik-baik saja?” Tanya Lisa, penisnya tenggelam sedalam mungkin di vagina Jennie.
Lisa tidak langsung bergerak, mungkin tahu jika Jennie perlu waktu lagi untuk membiasakan diri. Karena sial, Jennie sepertinya nyaris lupa seberapa besar penis Lisa saat ini.
“Sangat baik. Rasanya... sangat penuh. Vaginaku terisi penuh.” Ucap Jennie, menghela nafas puas. “Bergeraklah, sayang.”
Lalu, Lisa bergerak sesuai dengan apa yang Jennie minta. Dan mereka berdua tahu, malam mungkin menjadi sangat panjang.
Mereka membuat kenangan sepanjang malam sebelum Lisa harus pergi keesokan harinya, menuju New York.
***
Follow : jenlisagaristinta
Jangan lupa untuk vote dan komentar!