Tanpa terasa hari semakin gelap dan udara juga terasa semakin dingin. Hari ini ditutup dengan kemenangan Faye melawan Lingling dalam perlombaan berenang. Sang Kapten merasa sangat senang saat dia tiba di garis pantai lebih dulu daripada Sang Kesatria itu.
"Kau lamban sekali," ledek Faye kepada Lingling yang berjalan dengan lesu ke arahnya.
"Kau yang terlalu cepat, Faye. Ini kali pertama ku kalah saat berenang," ucap Lingling sambil menyapu air laut yang membasahi wajahnya dengan tangan.
"Sepertinya kau masih perlu banyak berlatih, Nona Kesatria,"
Lingling hanya mendengus saat mendengar ucapan dari Faye. Harus dia akui bahwa Faye adalah perenang yang hebat.
"Jadi, apa yang kau inginkan sebagai imbalan atas kemenangan mu?" tanya Lingling.
"Hmm... ntahlah, belum ada yang terpikirkan saat ini. Aku akan memintanya nanti,"
Lingling mengangguk paham. Dia dengan senang hati menunggu permintaan dari Sang Kapten itu.
"Kalau begitu apakah kami sudah boleh kembali ke barak? Aku rasa para kesatria ku sudah sangat kelelahan sekarang," ucap Lingling sambil melirik ke arah anak buahnya.
"Tentu. Beristirahatlah kalian, sampai jumpa besok," ucap Faye sambil mengangguk.
"Selamat malam Faye, selamat malam Yang Mulia," ucap Lingling memberi salam sebelum dia mengajak anak buahnya untuk kembali.
Faye dan Yoko memandangi kepergian para kesatria itu hingga akhirnya tubuh tegap mereka hilang dari pandangan. Yoko memeluk lengan kekeasih nya yang basah, dia merasa senang karena Faye dan Lingling akhirnya berdamai. Setidaknya untuk sekarang.
"Jangan, nanti kau basah," ucap Faye sambil menarik lengannya.
"Biarkan saja. Nanti aku bisa ganti baju," protes Yoko, menarik kembali lengan Faye ke dalam dekapannya.
"Kau akan kedingingan,"
"Tidak, kok. Lagipula kita sudah mau pulang kan?"
"Siapa bilang?"
"Hmm? Bukankah latihan hari ini sudah selesai?"
Faye tersenyum lalu merapikan rambut Yoko dan mengelus kepala gadis itu dengan lembut.
"Iya, tapi masih ada satu hal lagi yang harus ku lakukan," ucapnya dengan hangat.
"Apa itu?"
"Ayo,"
Tanpa menunggu jawaban dari tunangannya itu, Faye langsung meraih tangan Yoko dan menuntun gadis itu menyusuri garis pantai. Dia menggenggam erat tangan gadis itu sambil menautkan jemari mereka.
Dari samping Yoko memandang wajah tunangannya itu dengan bingung. Kenapa Faye tampak gugup? Dan ada apa dengan senyum di wajahnya itu?
"Kita mau kemana?" tanya Yoko penasaran.
"Tunggu saja, sebentar lagi kita akan tiba,"
"Kemana kau akan membawa ku, sayang? Apakah kau tau bahwa kau terlihat seperti penculik saat ini?"
"Aku akan membawa mu ke tempat rahasia ku. Sabarlah sebentar," ucap Faye.
Sang Kapten membawa Yoko ke area pantai yang jarang di kunjungi orang lain, bahkan saat ini hanya ada mereka berdua di sana. Sang Tuan Puteri merasa kesulitan saat harus berjalan di atas kumpulan batu karang, tapi untungnya ada Faye yang dengan setia memegangi tangannya agar tidak terjatuh.
Sebenarnya kemana Faye akan membawanya? Mereka sudah berjalan selama lima belas menit namun belum ada tanda-tanda bahwa tempat tujuan mereka sudah dekat. Kaki Yoko mulai terasa pegal karena harus berulang kali mendaki tumpukan batu karang yang keras dan tajam.
"Sebenarnya kemana kita-"
Belum sempat Yoko memprotes, Faye menghentikan langkahnya tiba-tiba dan membuat hidung gadis itu harus bertabrakan dengan pungung Faye yang bidang.
"Faye!" pekik gadis itu sambil memegangi hidungnya yang terasa sakit.
"Kita sudah sampai,"
Mendengar itu, Yoko langsung mengintip dari belakang punggung Faye. Seketika juga gadis itu menjadi takjub setelah melihat pemandangan di hadapan mereka saat ini.
"Tutup mulut mu, gadis kecil. Nanti ada lalat yang masuk," ucap Faye sambil tertawa kecil saat melihat tunangannya menganga dengan lebar.
Faye lalu berjongkok, mengulurkan tangannya untuk membantu Yoko melepas sepatu nya.
"Nanti basah, jadi ayo lepaskan di sini dulu," ucapnya sambil membuka ikatan sepatu Yoko.
Sang Tuan Puteri hanya bisa menurut dan membiarkan Faye melepas sepatunya. Setelah itu Sang Kapten juga ikut melepas sepatu miliknya dan meletakkan benda itu di atas sebuah batu karang yang ada di sana.
"Ayo," ajak Faye sambil mengulurkan tangannya kepada Yoko.
Yoko dengan cepat menyambut tangan itu dan membiarkan Faye menarik dirinya menuju ke arah pantai. Faye memilih rute yang tidak perlu melewati batu karang karena dia tau bahwa Yoko pasti akan kesulitan saat berjalan di atasnya.
Faye akhirnya menentukan satu tempat yang pas untuk berdiam sambil menikmati pemandangan di sekitar mereka. Keduanya merasa tergelitik setiap kali air laut setinggi mata kaki datang dan menerjang kaki telanjang mereka.
"Ini indah sekali!!" kagum Yoko sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Iyakan? Ini adalah tempat kesukaan ku di seluruh pulau. Aku tidak sengaja menemukannya saat kapal ku karam di sekitar sini,"
"Iya! Aku tidak tau kalau ada tempat seindah ini di wilayah kerajaan ku,"
Faye tersenyum. Dia senang karena bisa menunjukkan tempat ini kepada Yoko dan membuat mata gadis itu berbinar seperti sekarang.
Setelah beberapa saat mereka menikmati pemandangan itu, Faye dengan gugup menelan ludahnya untuk menyingkirkan sesuatu yang terasa mencekat di sana. Dia kemudian memanggil Yoko dengan suara lirih.
"Yoko..."
"Iya?" jawab Yoko tanpa mengalihkan pandangannya kepada Faye.
"Yoko..." panggil Faye sekali lagi, dan kali ini gadis itu menoleh untuk melihat dirinya.
"Kenapa sayang?" tanya Yoko dengan lembut.
Sang Kapten menjilat bibirnya yang terasa kering. Jantungnya berdetak dengan semakin cepat setelah pandangannya dan Yoko bertemu.
"Ada yang ingin ku katakan kepada mu," ucap Faye sambil memandang lekat kedua netra jernih milih Yoko.
Yoko mengangkat alisnya, tiba-tiba dia merasa gugup setelah mendengar ucapan dari Faye. Ada apa ini? Apa yang ingin disampaikan tunangannya itu?
Perasaan Yoko seketika menjadi campur aduk. Dia tidak bisa menebak apa yang hendak dikatakan oleh Sang Kapten kepadanya. Terlebih lagi kenapa Faye terlihat sangat gugup sekarang?
Faye di lain sisi, menghirup napas dalam-dalam dan memenuhi paru-paru nya yang rasanya seperti kekurangan asupan oksigen saat ini.
"Ada apa?" tanya Yoko yang melihat ekspresi tidak biasa dari Sang Kapten.
"Yoko Apasra Lertprasert," ucap Faye dengan lembut.
Seketika darah Yoko mendesir hebat saat Faye menyebut nama lengkapnya.
"Kau sudah mengajari ku untuk merasakan berbagai macam hal yang belum pernah kurasakan sebelumnya,"
"Sebelumnya, aku bahkan tidak tau bahwa ada sebegitu banyak perasaan yang bisa dirasakan oleh seorang manusia," ucapnya terkekeh, meledek diri sendiri.
"Tapi di antara semua perasaan itu, ada satu yang membuat ku sangat kerepotan,"
Dahi Yoko berkerut mendengar hal itu. Pikiran buruk dengan cepat merasuk ke dalam kepalanya.
"Setelah mengenal mu, aku jadi sering merasa takut,"
"Aku takut jika perkataan dan perbuatan ku membuat mu merasa tidak nyaman,"
"Aku takut, apabila aku tidak sengaja lalai akan sesuatu dan melukai perasaan mu,"
"Kau tau? Aku jadi takut akan banyak hal,"
"Tapi yang paling membuat ku takut adalah..."
Faye menghentikan ucapannya sejenak untuk merapikan rambut Yoko yang berantakan diterpa angin musim gugur. Dia kemudian menarik napas sebentar sebelum kembali melanjutkan ucapannya.
"Aku takut akan kedatangan hari dimana aku tidak bisa merasakan kehangatan mu lagi,"
"Aku takut..."
"Aku takut jika tiba saat nya, mata ku tidak dapat menemukan keberadan mu dimana pun, meskipun aku sudah mencari ke setiap sudut dunia,"
Hanya dengan memikirkan hal itu, mata Faye menjadi berkaca-kaca dan dada nya terasa sesak. Dia segera memalingkan wajahnya ke arah laut, berusaha mencari ketenangan di tengah hamparan air yang biru dan ombak-ombaknya yang datang bersahut-sahutan.
"Seperti yang kau tau, ada banyak sekali hal yang terjadi belakangan ini,"
"Aku sudah melihat bagimana hancurnya Marissa atas kematian Ice,"
"Aku juga menyaksikan bagaimana Lingling tidak bisa meraih orang yang dia cintai meskipun ada tepat dihadapannya,"
"Aku akhirnya sadar bahwa cinta adalah hal yang rumit dan sulit untuk dijalani,"
Air mata Yoko mulai berjatuhan tanpa henti. Gadis itu berpikir bahwa ini adalah akhir dari hubungannya dengan Faye. Dia yakin bahwa setelah ini Faye akan mengakhiri pertunangan mereka, karena dia sudah mendapat jawaban atas perasaannya selama ini.
"Tidak, tidak. Jangan menangis dulu," ucap Faye kelabakan. Dia segera menghapus air mata Yoko dengan jemarinya.
"Aku tidak apa-apa. Aku bisa mengerti bahwa kau ingin mengakhiri hubungan kita, aku-"
"Hey, dengarkan aku dulu. Aku belum selesai bicara,"
Faye meraih tangan Yoko, dan mengenggam keduanya dengan erat. Sang Kapten mengelus punggung tangan gadis itu dengan ibu jarinya, berusaha menenangkan perasaan Yoko yang sedang kacau.
"Sampai dimana aku tadi?" tanya Faye terkekeh. Dia sampai lupa apa yang hendak dia katakan karena Yoko memotong ucapannya.
"Hmm..."
"Sekarang aku paham bahwa cinta adalah hal yang sulit,"
"Dan aku tau betul bahwa aku tidak akan mampu menjalani nya sendirian,"
"Karena itu, aku ingin mengajak mu untuk berjalan bersama ku,"
Yoko tidak bisa mempercayai apa yang baru saja dia dengar. Otakknya seakan berhenti bekerja dan kesulitan untuk memahami makna dari ucapan wanita yang ada di hadapannya itu.
"Aku tidak bisa menjamin bahwa cuaca di hari-hari yang akan datang akan selalu cerah dan hangat,"
"Bisa saja akan ada hari dimana badai datang beserta hujan dan petir yang menakutkan,"
"Tapi jika kau bersedia, aku mau menjadi orang yang mendekap mu erat saat kau takut pada suara dan kilatan petir itu,"
"Yoko..."
"Aku ingin melewati setiap musim yang tersisa dalam hidup ku bersama mu,"
"Aku mau kita bersama-sama menyaksikan mekarnya bunga-bunga magnolia yang indah, sambil mendengar kicauan burung yang bersukacita menyambut datangnya musim semi,"
"Aku mau melewati sengatan matahari di musim panas sambil berjemur dan makan es krim rasa vanila bersamamu," ucap Faye sambil tersenyum.
"Mendekap mu sambil menyanyikan lagu-lagu natal di musim dingin, saat kita duduk bersama di depan perapian dengan selimut tebal menyelimuti tubuh kita. Tentu saja sambil sesekali menyesap coklat panas yang manis,"
"Juga melangkah bersama di atas tumpukan daun-daun mapel yang berguguran, sambil menikmati segarnya hembusan angin musim gugur,"
Faye berhenti sejenak, berusaha menahan perasaannya yang sedang meluap-luap. Dia ingin menyampaikan isi hatinya dengan sangat jelas agar Yoko dapat memahami betapa besar kuasa yang dia miliki atas diri Sang Kapten sekarang.
"Aku rasa Tuhan akan marah jika mendengar ini, tapi aku ingin menjadi satu-satu nya orang yang kau cari saat kau menghadapi kesulitan,"
Faye tertawa kecil, menampilkan rentetan gigi putihnya yang rapi. Wajah Faye yang sedang tertawa itu berhasil mengalahkan indahnya pemandangan di sekitar mereka saat ini.
"Yoko..."
"Aku seringkali menemukan diriku tenggelam dalam pandangan mu yang hangat. Dan aku membiarkan nya begitu saja tanpa berusaha untuk menyelamatkan diri,"
"Entah sejak kapan tapi telinga ku selalu mencari-cari suara mu dimana pun aku berada,"
"Begitu juga dengan tangan ku yang terasa hampa jika tidak menggenggam jemari mu ini," ucap Faye sambil menatap ke arah tangan mereka yang sedang bertautan.
"Aku rasa kau sudah bosan mendengar ku sedaritadi meracau tidak jelas, kan?"
"Tapi ini semua belum cukup untuk menggambarkan perasaan ku pada mu. Mungkin akan membutuhkan waktu berhari-hari, berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan untuk menggambarkannya dengan detail,"
"Jadi, aku tidak mau berbasa-basi lagi, tenggorokan ku sudah kering heheh..."
Faye melepaskan genggaman tangan mereka lalu menjatuhkan dirinya di satu kaki. Sang Kapten berlutut di hadapan Yoko sambil menengadah dan menatap kedua matanya dengan lekat.
Wanita itu kemudian merogoh kantong celana nya untuk mencari keberadaan benda yang sudah dia persiapkan sejak kemarin. Namun betapa kagetnya dia saat menemukan bahwa kantongnya berada dalam kondisi kosong.
"Oh sial! Dimana benda itu?!" panik Faye dalam hati.
Keringat dingin mulai bermunculan di dahi Faye saat dia tidak bisa menemukan apa yang dia cari. Faye merogoh ke kantong celananya yang lain hingga kantong itu hampir robek namun belum juga menemukannya.
"Tunggu sebentar," ucap Faye, suara nya bergetar.
"Jangan bilang kalau hanyut terbawa air saat aku lomba berenang tadi?!!!"
"Oh Tuhan! Aku mohon jangan permalukan aku di saat yang penting ini!!"
Faye menghela napas dalam-dalam. Dia mengutuk perbuatannya yang sembrono dan merasa sangat malu saat ini. Padahal dia sudah merencanakan ini semua dengan matang sejak kemarin namun terimakasih kepada kecerobohannya, dia kehilangan cincin yang sudah dia beli untuk melamar Yoko.
Dia sudah berlutut, jadi tidak mungkin lagi kembali berdiri, kan? Mau ditaruh dimana muka nya nanti?
Di tengah kepanikannya, mata Faye menangkap sebuah batu kecil yang berbentuk bundar di atas hamparan pasir di dekatnya. Sang Kapten menelan ludah lalu mengulurkan tangannya untuk meraih benda itu.
"Aku akan menganggap ini sebagai hadiah dari Mu, Tuhan," gumam Faye dalam hati.
Faye kemudian menengadah dan mempertemukan pandangannya dengan Yoko sekali lagi. Dia tersenyum kemudian mengangkat batu yang baru saja dia temukan tadi ke hadapan Yoko.
"Di hadapan lautan yang luas dan dengan batu karang sebagai saksinya,"
"Yoko Apasra Lertprasert, bersediakah kau menikah dengan ku?"
Jantung Faye berdegup dengan kencang. Dia sangat cemas menunggu jawaban dari Yoko. Dan jangan tanya bagaimana perasaannya menjadi sangat panik saat melihat kebingungan terpancar dari wajah Sang Tuan Puteri itu.
"Seumur hidupku, aku belum pernah melihat orang melamar kekasih nya dengan batu yang dia pungut di pantai," ucap gadis itu sambil tersenyum menggoda.
Faye menggigit bibirnya menahan rasa malu. Tapi bukan itu yang terpenting sekarang, dia ingin mendengar jawaban dari Yoko secepatnya.
"Faye Peraya Malison," panggil Yoko.
"Kau benar-benar lambat,"
"Aku sudah menunggu hal ini sejak lama,"
"Cepat pasangkan batu murahan itu di tanganku,"
Yoko mengulurkan tangan kanannya kepada Faye sambil tertawa. Sang Kapten hanya bisa mendengus lalu meraih tangan itu dan memasangkan batu dalam genggamannya di jari manis Yoko. Dia kemudian mengecup lembut punggung tangan Yoko sebelum kembali bangkit berdiri.
Yoko memandangi batu yang melingkar di jarinya dengan mata berkaca-kaca. Oh, betapa bahagianya dia saat ini hingga rasanya jantungnya akan meledak karena dipenuhi sukacita.
Gadis itu lalu merentangkan tangannya, memberi isyarat kepada Faye untuk memeluknya. Sang Kapten dengan cepat menarik tubuh mungil gadis di hadapannya itu masuk ke dalam dekapannya. Dia memeluk Yoko dengan erat, membenamkan kepalanya di ceruk leher Sang Tuan Puteri dan menghirup aroma tubuhnya yang manis.
"Terimakasih karena sudah menerima ku,"
"Terimakasih karena sudah mencintai ku," ucap Faye.
Yoko melepaskan pelukan mereka dan mengangkup wajah Faye dengan kedua tangannya. Dia menghapus air mata Faye yang tidak sengaja terjatuh dengan punggung tangannya. Gadis itu lalu menjijit dan mengecup bibir Faye lembut.
"Akulah yang harus berterimakasih karena kau sudah membuatku menjadi wanita paling bahagia di dunia saat ini," ucap Yoko dengan air mata yang berjatuhan.
"Kapten Faye, aku tidak akan melepaskan mu untuk selama-lamanya jadi bersiaplah," ucap Yoko yang membuat Faye terkekeh geli.
Mereka berdua kembali berpelukan. Yoko menyandarkan kepalanya di dada Sang Kapten, menikmati irama dentuman jantung kekasihnya yang masih belum beraturan.
"Apa kau tau kenapa aku memilih tempat ini menjadi tempat untuk melamar mu?" tanya Faye yang menerima gelengan dari Yoko.
"Air laut yang sedang menyentuh kaki kita akan membawa kabar bahwa Yang Mulia Tuan Puteri Yoko sudah menjadi milik ku ke seluruh penjuru dunia. Batu karang yang kokoh dan kuat itu menjadi saksi bisu atas cinta yang kita miliki, jadi selama mereka masih berdiri tegak maka cinta kita akan hidup selamanya dan tinggal di tempat ini," jelas Faye panjang lebar.
"Ohhh... aku tidak mengira bahwa Kapten Faye yang bahkan tidak punya cincin untuk melamarku ternyata memikirkan hal romantis seperti itu," ucap Yoko sambil tersenyum.
"Berhentilah meledekku,"
"Apa? Aku hanya mengatakan fakta,"
"Yooo..."
Faye yang merasa dirinya sedang di permainkan pun mengangkat tubuh Yoko ke udara dan berputar di tempat. Gadis itu tertawa terbahak-bahak sambil memeluk leher tunangannya dengan erat.
"Faye hahahahaha... ampun, aku tidak akan menggoda mu lagi,"
"Kau berjanji?"
"Iyaaa..."
Faye pun berhenti dan menurunkan tubuh Yoko dengan hati-hati. Dia kemudian menyatukan dahi mereka dan menautkan jemarinya dengan Yoko.
"Aku mencintai mu, Faye," gumam Yoko lembut.
"Aku juga mencintai mu, Yang Mulia,"
____________________________________
Faye yang gitu, aku yang malu :")
Jangan lupa vote dan komen ya beb :))
woppp yuuuu.....