Bless My Lucky Star ⭐ JongSan...

By ichinisan1-3

1.6K 256 82

I bless my lucky star that we were both in the same position when we met For I can't help getting you as my b... More

Promise me you will live your life well
B I D A D A R I
Naik level
Follow up
Diterima

Kehidupan baru

42 12 0
By ichinisan1-3

Hari itu, langit di desa masih biru jernih ketika Yeosang menyadari keputusannya telah bulat.

Di dalam rumah kayu sederhana yang sudah berdiri tegak sejak puluhan tahun, ia duduk di beranda, mendengarkan suara gemerisik daun dihembus angin sore. Tangannya menyentuh perutnya yang belum membesar, namun hatinya penuh dengan keberanian yang tak pernah ia duga sebelumnya. Ia harus memberi tahu orang tuanya.

"Eomma, appa," ucapnya pelan di telepon, "aku akan tinggal di desa bersama keluarga Jongho sampai bayiku lahir."

Hening. Hanya desir angin yang ia dengar. Lalu, suara ibunya pecah, "Kau yakin, Yeosang? Desa? Bagaimana kalau kau kesepian di sana?"

Yeosang tersenyum, meskipun telepon di genggamannya tidak bisa menerjemahkan senyum itu. "Di sini aku aman. Tak ada kejaran sasaeng, tak ada keramaian kota yang penuh tekanan. Di sini, aku bisa berjalan di jalanan tanpa rasa takut. Udara desa ini bersih, dan keluarganya Jongho sangat baik, sangat mendukung."

Ibunya terdiam lagi, kali ini lebih lama. Akhirnya, suara berat ayahnya yang terdengar, "Kalau itu yang kau pilih, kami akan mendukungmu. Jaga dirimu, jaga cucu kami."

Selesai sudah satu tahap. Yeosang menarik napas lega. Namun masih ada panggilan lain yang harus ia lakukan. Agensinya.

"Tuan Kim," Yeosang memulai saat panggilan tersambung pada Hongjoong, "aku akan hiatus untuk tinggal di desa bersama keluarga Jongho selama masa kehamilanku."

"Apa kau yakin, Yeosang?" suara di seberang terdengar berat, namun ada nada pengertian. "Tapi kesejahteraanmu adalah yang utama. Jika itu membuatmu nyaman, lakukanlah."

Ketegangan yang sejak tadi bergelayut di dadanya mulai luruh. CEO-nya itu mendukung. Tak ada pertanyaan rumit, tak ada desakan.

Namun saat ia menelepon manajernya, nada suaranya berubah penuh kekhawatiran. "Yeosang, kau yakin tinggal di desa? Bagaimana dengan pakaianmu? Kehidupanmu yang dulu?"

Yeosang tertawa kecil, membayangkan wajah manajernya yang cemas. "Jangan khawatir, Seonghwa hyung. Aku bisa membeli baju di pasar desa. Lagipula, siapa yang peduli soal pakaian mahal di sini? Rumah orang tua Jongho nyaman, dan orang-orang di sini sangat ramah."

"Tapi, bagaimana jika baju-baju di pasar desa tak sesuai seleramu?" Manajernya tak menyerah, masih mencoba mencari celah.

"Hyung," jawab Yeosang dengan lembut, "aku tidak butuh baju mahal untuk bahagia."

Akhirnya, manajernya terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara takjub, "Aku kagum dengan sikapmu yang rendah hati, Yeosang. Kau pasti akan baik-baik saja di sana."

.

Hari-hari berlalu dengan tenang.

Setiap pagi, Yeosang keluar rumah, berjalan di antara sawah dan kebun, menghirup udara segar yang seolah menyembuhkan segala kekhawatiran di hatinya. Orang-orang desa mulai mengenalnya; senyum ramah dari mereka seakan menjadi pengantar selamat pagi yang selalu ia tunggu.

Jongho, yang menghabiskan waktu bersamanya selama beberapa hari pertama, kemudian harus kembali ke kota. Di ambang pintu rumah, dia memeluk Yeosang, suara hatinya penuh dengan kekhawatiran. "Aku akan pulang setiap bulan. Jangan khawatir, aku tak ingin ketinggalan satu pun momen perkembangan bayi kita."

Yeosang hanya mengangguk, matanya sendu namun penuh pengertian. "Kami akan menunggumu di sini, Jongho. Jaga dirimu baik-baik di kota."

Setelah kembali ke kota, Jongho memulai rutinitas barunya, bekerja paruh waktu di sebuah kafe sambil menyelesaikan ujian sekolahnya. Setiap lembar gaji yang ia terima, ia sisihkan sebagian untuk nanti dikirimkan ke Yeosang di desa. Namun suatu malam, saat menelepon, ia menyampaikan niatnya yang terdengar agak berat.

"Hyung, aku akan mengirimkan sebagian gajiku. Ini bukan soal uang. Aku ingin menunjukkan bahwa aku serius bertanggung jawab untuk kita."

Di seberang telepon, Yeosang tersenyum samar, meskipun air matanya menggenang di ujung mata. "Jongho, kau tak perlu khawatir soal uang. Aku masih punya tabungan cukup dari karir idolku. Yang penting, kau fokus pada studimu dan kerja yang sesuai dengan passion-mu. Suatu hari nanti, aku yakin kau akan menjadi tumpuan kami."

Namun Jongho tetap bersikeras. "Aku ingin orang tuamu tahu bahwa aku tak lari dari tanggung jawab. Tolong izinkan aku mengirimkan sebagian gaji ini."

Akhirnya, dengan hati yang terenyuh, Yeosang mengalah. "Baiklah, Jongho. Jika itu tak memberatkanmu, aku akan menerimanya. Tapi ingat, jika kau membutuhkan sesuatu, jangan ragu untuk meminta."

Di malam itu, meskipun mereka berjauhan, kehangatan rasa saling mendukung memenuhi hati keduanya. Jongho terus bekerja keras di kota, berusaha membuktikan bahwa ia adalah sosok yang dapat diandalkan.

Sementara itu, Yeosang menjalani hari-harinya dengan damai di desa, menanti kelahiran bayinya dengan penuh harap, sambil memelihara ikatan kasih sayang mereka yang kian menguat seiring waktu.

.

Waktu seolah melaju tanpa kendali, menyisakan jejak-jejak kehangatan yang terus bersemi dalam hati Yeosang.

Setiap kali Jongho pulang ke desa, mereka berdua selalu berbagi cerita, saling merasakan kebahagiaan yang perlahan membuncah, bagai tunas yang tumbuh subur di tengah tanah yang lembut. Kehamilan Yeosang berjalan dengan baik, dan tiap gerakan kecil di dalam perutnya menguatkan keyakinan Jongho bahwa semua pengorbanan yang ia lakukan di kota, baik dalam pendidikan maupun pekerjaan, tak pernah sia-sia. Mereka membangun rumah dari cinta dan pengertian, bersiap menghadapi masa depan yang berkilauan, seolah setiap tantangan hanyalah sebentuk ujian kecil dalam perjalanan panjang kebahagiaan.

Pagi itu, Yeosang bangun lebih awal dari biasanya. Udara desa menyapanya lembut dengan aroma embun dan dedaunan yang baru saja disentuh matahari. Di luar, suara ayam berkokok bercampur dengan kicauan burung yang merdu, menambah kesyahduan suasana pagi. Dengan hati yang ringan, ia keluar dari kamar, melihat ke arah halaman tempat ayah Jongho sudah sibuk memotong kayu untuk bahan bakar.

“Selamat pagi, abeoji,” sapanya pelan namun penuh kehangatan.

Ayah Jongho menoleh, tersenyum lembut. “Selamat pagi, Yeosang. Apa kau tidur nyenyak tadi malam?”

Yeosang mengangguk, melangkah mendekat. “Tidurku sangat nyenyak, terima kasih. Apa aku boleh membantu?”

Ayah Jongho menggeleng perlahan, tetap dengan senyumnya yang teduh. “Ini pekerjaan berat, Yeosang. Jangan khawatirkan ini, biar aku yang mengurus.”

Namun Yeosang tak menyerah begitu saja. “Setelah aku melahirkan, mungkin aku bisa belajar. Siapa tahu suatu hari aku perlu tahu caranya?”

Ayah Jongho tertawa kecil, matanya berbinar oleh candaan ringan dari calon menantunya. “Baiklah, nanti setelah bayi lahir, aku akan ajarkan. Tapi untuk saat ini, nikmati masa-masa tenangmu.”

Yeosang hanya bisa tersenyum, menerima nasihat itu dengan rasa syukur. Ia melangkah menuju dapur terbuka yang berada di samping rumah, di mana ibu Jongho tengah sibuk menyiapkan sarapan pagi. Aroma nasi dan sayuran segar yang baru dipetik tercium dari kejauhan, mengisi udara pagi dengan kehangatan.

“Selamat pagi, eommoni,” Yeosang menyapa dengan suara lembut. “Apa aku bisa membantu menyiapkan sarapan?”

Ibu Jongho menoleh dan tersenyum hangat. “Selamat pagi, Yeosang. Kau tidak perlu repot-repot. Aku khawatir kau akan kelelahan.”

Namun seperti sebelumnya, Yeosang tak menyerah dengan mudah. “Aku tak ingin hanya duduk diam saja. Lagipula, membantu di dapur membuatku merasa lebih terhubung dengan keluarga.”

Melihat ketulusan di wajah Yeosang, ibu Jongho pun mengangguk. “Baiklah, tapi hanya yang ringan-ringan saja, ya?”

Mereka bekerja bersama, saling berbagi cerita dan canda tawa. Waktu berlalu tanpa terasa, dan di sela-sela kegiatan sederhana itu, ibu Jongho menatap Yeosang dengan penuh kasih. “Yeosang, kamu benar-benar luar biasa. Tak hanya cantik, tapi juga berbakat. Kami sangat beruntung memiliki menantu seperti kamu.”

Wajah Yeosang memerah mendengar pujian itu. “Terima kasih. Aku pun merasa sangat beruntung menjadi bagian dari keluarga ini.”

Ibu Jongho tersenyum hangat, tangannya mengusap pelan punggung Yeosang. “Jongho beruntung mendapatkanmu. Kau akan menjadi ibu yang hebat untuk bayi kalian.”

Saat kata-kata itu meluncur, Yeosang merasa damai. Hatinya tenang, seolah semua rasa cemas yang mungkin pernah ia miliki perlahan sirna. Kehidupan di desa, dengan segala kesederhanaan dan ketulusannya, mulai menyatu dengan dirinya. Hari demi hari dihabiskan dengan penuh kebahagiaan, dan ia semakin yakin bahwa inilah keputusan terbaik yang pernah ia buat—tinggal di desa, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota.

Selesai sarapan, Yeosang menatap ibu Jongho dengan penuh semangat. “Bolehkah aku belajar berkebun? Aku ingin mencoba sesuatu yang baru selama di sini.”

Ibu Jongho tertawa kecil, tapi senang melihat antusiasme Yeosang. “Tentu saja, Yeosang. Tapi ingat, kalau kau merasa lelah, istirahatlah.”

Mereka berjalan menuju kebun kecil di belakang rumah, di mana berbagai tanaman tumbuh dengan subur. Ibu Jongho dengan sabar mengajari Yeosang cara merawat tanaman, menanam benih, dan mengenali jenis-jenis sayuran yang baik. Meski berkebun adalah hal baru bagi Yeosang, ia melakukannya dengan penuh semangat, merasakan ketenangan yang datang dari bersentuhan langsung dengan tanah dan alam.

Sore hari, setelah merasa cukup lelah, Yeosang memutuskan untuk beristirahat sejenak. Tapi sebelum itu, ia bertanya pada ibu Jongho. “Apakah ada pasar terdekat di sini? Perutku semakin besar, dan aku butuh baju baru yang lebih nyaman.”

Ibu Jongho tersenyum. “Tentu saja ada. Nanti, aku akan mengantarmu ke pasar.”

Mereka berdua berangkat menuju pasar desa. Pasar itu kecil, tapi ramai dengan kehidupan. Para pedagang menyambut dengan senyuman hangat, walau mereka tidak mengenali Yeosang sebagai seorang selebriti. Meski Yeosang merasa sedikit malu saat ibu Jongho dengan bangga memperkenalkannya, namun kehangatan yang mereka tunjukkan membuatnya merasa lebih diterima.

Di sana, Yeosang memilih beberapa baju sederhana yang nyaman. Ibu Jongho dengan senang hati membelikan semua yang Yeosang pilih, meski Yeosang merasa sedikit tak enak.

“Terima kasih banyak. Aku sungguh tak tahu harus berkata apa,” ucap Yeosang haru.

Ibu Jongho menepuk lembut tangan Yeosang. “Jangan khawatir, Yeosang. Kami semua di sini hanya ingin yang terbaik untukmu.”

Saat mereka kembali ke rumah, Yeosang tahu bahwa ia telah menemukan keluarga baru yang penuh cinta dan kehangatan. Dan di dalam hatinya, ia berjanji suatu hari nanti akan memberikan yang terbaik untuk keluarga ini, salah satunya adalah membelikan mereka pakaian mahal dari kota.

Sebagai ungkapan terima kasih atas segala yang telah mereka berikan.

Continue Reading

You'll Also Like

249K 38.5K 52
keseharian bapak hoongjoong dengan tiga anaknya. locals ;; bxb ;; agegap ;; ageswitch - MINGISHY, 2021.
657K 36.5K 125
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
1.6M 131K 51
Bertransmigrasi menjadi ayah satu anak membuat Alga terkejut dengan takdirnya.