Happy Reading, Dear💕
____________
Perjalanan yang berlika-liku, seolah membangkitkan rasa tak nyaman pada perut, walau sudah menyuap tablet anti mabuk, rasanya akan tetap sama apabila memang tidak terbiasa. Suara musik yang beralun keras, seolah bertujuan untuk menghibur, sayangnya usaha musik yang terputar sama sekali tak membantu.
Panji masih terus memandangi luar jendela, kepalanya sudah ia senderkan pada kaca jendela sejak tadi, ia berharap Anggara akan mengizinkan dirinya untuk membuka jendela, setidaknya agar mengurangi rasa mualnya. Namun, Anggara sudah menolak sebanyak tujuh kali.
Berbeda dengan Abbas, pemuda itu duduk di samping Anggara. Dengan notebook seukuran sedang, pemuda itu terfokus, mempelajari matamatika, mapel kesukaannya.
"Tiga di kali tujuh, dua puluh satu." monolognya dengan jemari yang sedikit bergerak, kepalanya mengangguk-angguk kecil. "Berarti..."
"Kita baru aja liburan kali, Bas." Tanpa mengalihkan pandangannya, Anggara berujar, pria itu fokus pada jalan, fokus mendengarkan musik, ya fokus pada Abbas yang terus berhitung.
Abbas berhenti sejenak dari aktifitasnya, kepalanya berbalik, memandangi Panji yang terduduk lemas. "Dari pada ngerasain perut, mending belajar. Melas, banget lo, Nji." sindirnya sekaligus menjawab celetukan Anggara yang sedang mengendarai mobil Chrysan.
"Padahal nih mobil baru aja diservis, dicuci, bisa-bisanya kalian mabuk." sahut Chrysan. Kakinya ditarik, kemudian dilipat di atas kursi duduknya. "Tapi bukannya lo oke aja, pake nih mobil ya, Nji?"
Panji menoleh cepat, "Gila! Mendingan mobil si Angga lah!" jawab Panji cepat, jari telunjuknya lagi-lagi menggosok hidungnya.
"Ya lagian kemarin ditawarin pake mobil gue, malah pada milih mobil Chrysan sama Dika." Sekilas, Anggara menatap kaca yang memantulkan wajah Chrysan dan juga Panji.
Panji memandangi bahu Anggara, "Ah tau deh, jangan ajak gue ngomong!"
"Masih lama ngga sih, ah?" Panji merasa perutnya benar-benar sudah tidak tertahan. "Untung tadi di sono ngga makan sambel, bisa-bisa kalau beneran muntah, tenggorokan gue bakal sakit, kayak waktu ke air terjun bulan lalu.
Chrysan sontak menegakkan punggungnya, "Awas aja kalau muntah lagi, Nji!" matanya menatap tajam Panji yang tak berdaya.
Abbas yang sudah terfokus pada notebooknya sedari tadi, hanya menggeleng saat ucapan Chrysan terdengar.
Mobil yang dikendarai Anggara mulai memelan, hingga akhirnya terhenti di latar yang lebar. "Dah, buka tuh jendela, ngga usah turun, gue bentar doang." pesannya.
Chrysan dan Abbas hanya memperhatikan tubuh Anggara yang memasuki Apotek, Panji masih terdiam, setelah menurunkan kaca jendela, rasanya perut dan paru-parunya lebih plong.
Chrysan fokus memejamkan matanya, Abbas fokus pada notebooknya, Panji fokus pada pernafasannya.
Tak lama Anggara kembali, setelah benar-benar duduk di kursi pengemudi, pemuda itu mengulurkan tangannya, memberikan sebungkus plastik pada Panji seorang. Setelah pemberiannya diterima oleh Panji, ia kembali mengulurkan botol minum pada Abbas dan Chrysan.
"Thanks." ucapan Chrysan hanya Anggara angguki, pemuda itu lantas meneguk minumannya.
"Kayaknya Dika ngga nyadar kita berhenti disini dah, kita bablas aja lah ya? Yang penting nyampe di angkirngan Hesa."
Panji mengangguk cepat, tangannya sibuk menggeledah plastik pemberian Anggara. "Iya deh, Ngga. Buruan deh, biar cepet nyampai."
Anggara hanya mengacungkan jempolnya, kemudian kembali fokus pada kemudinya.
Panji memandangi satu persatu pemberian Anggara, banyak sekali. Minyak kayu putih, fresh care, salonpas, permen, beberapa obat tablet, dan air mineral.
_____
Jika mobil Chrysan yang dikendarai oleh Anggara- pesertanya fokus pada aktifitasnya masing-masing, maka berbeda jauh dengan mobil Dika yang dikendari oleh pemiliknya. Isinya manusia tidak beres semua, musik dari ponsel menyala, radio menyala, topik pembicaraan tak ada habisnya. Penuh.
"Sumpah iya, gue aja ngga nyangka!"
"Terus tuh ya! Si cewek ini tuh ngotot banget, ya jelas Anggara rishi lah!"
"Apalagi tipe tuh bocah cewek feminim, kalem, alim, ngga pecicilan, pokoknya mah yang ngga bar-bar!"
Walau Dika yang mengemudi, pemuda itu juga sangat antusias pada ceritanya. "Ya gue akui, dia emang oke lah ya, tapi gue oke juga tuh."
"Kok yang deketin kok cuma Senia."
Mahesa yang terduduk di paling belakang, menyahuti lantang dan tak kalah antusias. "Gila tuh cewe, berarti sama aja lah sama si Gendis?!"
"Beda sih menurut gue, si Senia gatel banget."
"Kalau si Gendis dia tuh sat set, ngga malu buat conffes, tapi kalau Anggara bilang buat pergi, ya tuh anak nurut aja." bandingnya. "Senia beneran kelewat, dia juga anaknya nekat, tck, ngga suka banget."
"Hantam aja ngga sih cewek begitu? Kayak, dih, dia tuh ngapain?" suara Pandu terdengar ikut sebal setelah mendengar cerita Dika. "Sumpah, Dik. Kalau gue ada sama lo, udah gue maki-maki deh tuh cewek!"
Dika menatap Pandu sekilas, "Oh ya, Pan! Kadang pas gue post foto bareng, atau yang ada lo-nya deh, dia bakal komen. Ngga cuma lo sih, Hesa juga pernah."
Pandu seolah bergidik geli. "Amit-amit deh punya bini kayak dia."
Mahesa mengulurkan telapak jarinya, memukul lengan Pandu sedikit keras. "Busssett! Lo masih kecil, gila banget mikir sampe punya bini!"
Tawa Dika terdengar samar, "Dia begitu biar ada yang ngurusin, kan dia kurang kasih sayang." ucapnya kurang ajar.
Pandu memincingkan bibirnya, "Edan! Lah lo juga kali, Dik! Dituntut, dikengkang, dipaksa... alah-alah, ngga bebas!"
Dika menatap Pandu, "Yang penting ortu gue lengkap aja lah ya," sombongnya.
"Dik, Papah lo terlalu sibuk, ya lengkap sih emang, tapi jarang toh kumpul keluarga? Alah-alah," Mahesa kali ini membela Pandu. Dua lawan satu.
"Yang penting duit gue banyak, Sa, biar sibuk duit ngalir." Tawa Dika semakin mengeras, membuat Pandu dan Mahesa merasa kalah.
Pandu mengalihkan pandangannya ke luar jendela, Mahesa justru tersenyum aneh dengan tangan yang menggaruk kepalanya.
Mahesa mengangguk, "Percaya-percaya..."
"Biasany-" ucapan Mahesa berhenti. Ia menerima telfon dari adiknya, membuat Pandu dan Dika meliriknya sekilas.
"Halo, kenapa, Nda?" ucapnya setelah sambungan telfonnya terhubung dengan nomor adiknya.
"Kebiasaan! Ibu chat pake HP Ayah ngga kamu bales! Giliran ditelfon pake no adekmu aja, langsung diangkat!" Suara Ibu menggelegar, dapat Mahesa pastikan, Ibunya marah besar.
Sebenarnya ia sudah membaca chat dari no Ayahnya sedari tadi, walau hanya dari pop notifikasi. Ia enggan sekali membalas, karena ia tau jika ia balas, Ibunya pasti akan membahas panjang lebar.
"Ya, maaf, Bu... Aku udah dijalan pulang kok, bentar lagi nyampe angkringan, ntar aku langsung ngambil makanan ke rumah."
"Udah jam segini, kan bisa buka dari tadi! Dibilang uang kita lagi menipis, kok ya malah keluyuran terus!"
Mahesa mengangkat bahunya, sebagai jawaban dari tatapan Pandu.
"Iya, maaf ya, Ibu... Ini aku beneran mau sampe kok."
Dika yang juga mendengar percakapan temannya, seketika menambah kecepatan berkendaranya.
"Bocah kok main terus! Bukan e cari uang kok ya!"
"Iya, iya..."
"Ngga usah iya, iya! Anak Ibu yang lain dirumah, belajar, yo bantu Ibu, kamu kok malah seneng-seneng main!"
"Iya, aku matiin ya, Bu."
"Aku ud-"
Belum sempat berucap lagi, panggilannya sudah diakhiri oleh Ibu. Mahesa menatap layar ponselnya sekilas, kemudian menaruhnya kasar pada kursi kosong sampingnya.
Pandu dan Dika saling kontak mata, "Baru aja diomongin, udah dibahas lagi aja sama Ibu lo, Sa." ucap Pandu, nadanya sudah berubah, tak sama seperti sebelumnya. Jika sebelumnya terdengar meledek, kini justru terdengar mengkasihani.
"Halah, ngga roh aku." Mahesa terbawa suasana, jujur saja ia sebal, sebab teman-temannya harus tau percakapan dirinya dan ibunya.
"Kita tuh sama aja, gue terlalu terkekang, tapi ya banyak duit, Pandu ngga ada orang tua, tapi duit ditanggung orang lain, Hesa ada ortu ngga ada duit." kata Dika menengahi.
Mahesa mengangguk, "Ya, semua orang punya bagian suka dukanya masing-masing." ujarnya menghibur diri dengan kenyataan.
_____________
See ya, Dear 💕