"Hmm ... Rupanya kalian sudah mengalami petualangan panjang, ya. Ayah sama sekali tidak menduganya."
Mikael berkata sambil menundukkan kepalanya. Alsia dan Arsa tak tahu raut wajah seperti apa yang dibuat sang ayah.
"Untuk ceritamu, Arsa. Ayah benar-benar minta maaf karena tidak menunjukan perasaan ayah yang sebenarnya padamu. Karena pemikiranmu yang cepat dewasa ayah pikir hal semacam itu akan membuatmu risih."
Mikael mengangkat wajahnya dan menunjukan senyuman hangat nan tulus. Sebuah senyuman yang belum pernah Arsa lihat di kehidupan sebelumnya.
"Mana mungkin aku merasa risih terhadap kasih sayang," balas Arsa.
"Ya, itu benar. Hati anak ini sama besarnya dengan otaknya," ucap Alsia sambil menepuk kepala sang adik.
"Omong-omong, Alsia, kau bilang kau adalah orang yang memasuki dunia novel bukan? Bagaimana akhir dari novel yang kamu baca itu?"
Alsia menyibakkan poninya yang menghalangi pandangan lalu mengambil sebuah jepit rambut dan menjepit poninya ke belakang.
"Itu novel dengan ending yang menggantung. Jadi masih ada banyak mesteri yang belum terpecahkan," jawab Alsia.
Perempuan berambut hitam yang dahinya kini terpampang jelas itu mengambil kue sus di meja dan memakannya.
"Kalau begitu apa pekerjaanmu di kehidupan sebelumnya?"
Mendengar pertanyaan itu membuat Alsia tersedak. Arsa dengan sigap langsung memberikan segelas air padanya. Setelah menormalkan deruh nafasnya Alsia menatap wajah ayah dan adiknya. Mereka penasaran.
"C-Coba kalian tebak?"
Arsa berpikir sebentar. "Hmm ... Seorang pelajar, mungkin. Sejak pertama kali kita mendapat kelas kakak langsung bosan dan meski sering bolos kakak tetap tahu pelajaran dasar meski tak pernah membaca buku apapun.."
Alsia tersenyum kikuk. "Kurang tepat."
Mikael kembali mengingat saat dirinya tak sengaja melukai Alsia yang sedang bersembunyi di ruangan rahasia kediaman Acandra di ibu kota. Saat itu dia bahkan tak sadar jika yang bersembunyi adalah sang putri.
"Mata-mata," ucap Mikael dengan yakin.
"Hampir mendekati," balas Alsia.
"Ayolah, kak, beritahu saja langsung," bujuk Arsa.
Alsia menghela nafas pendek.
"Teroris kelas kakap dengan harga kepala sekitar 1,37 Miliyar, jika dihitung dengan mata uang Inroin di kerajaan ini."
"HAH!"
Tangan Alsia reflek menutupi kedua telinganya. Baik Arsa maupun Mikael tak habis pikir. Rupanya mereka salama ini tinggal serumah dengan teroris yang dihitung dari harga buronannya jelas telah melakukan beragam kejahatan.
Mikael bersandar pada kursinya sambi memijat keningnya. Sedangkan Arsa menundukkan kepalanya.
"Tenang saja, aku sudah menjadi orang yang lebih baik di kehidupan yang sekarang, kok." Alsia berusahan menenangkan kedua pria itu.
"Kejahatan macam apa yang telah kau lakukan, Kakak?" Tanya Arsa dengan nada parau.
"Yah, paling parah kalau tidak salah membumi hanguskan sebuah kota yang merupakan pusat teknologi suatu negara dengan bom. Aku sekaligus melakukan bom bunuh diri saat itu."
"Apa motifmu?"
Alsia terdiam sebentar sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia harus memikirkan alasan yang bagus untuk ini.
"Negara itu sudah banyak dosa."
#
#
#
Alsia melangkahkan kakinya di jalan setapak menuju sebuah bangunan di atas bukit. Bayangan dari pepohonan rindang membuat kulitnya tak bersentuhan langsung dengan cahaya matahari.
Setelah beberapa menit berjalan kaki perempuan berbaju coklat gelap itu pun sampai di sebuah bangunan bertuliskan panti asuhan.
"Kak Alsia!"
Alsia menoleh ke asal suara. Itu Rafhael yang tengah bermain ditemani Arputih dan pengurus panti asuhan. Rafhael berlari mendekati Alsia dan memeluknya.
"Hei, Rapa, maaf aku jarang berkunjung. Bagaimana kabarmu dan Arputih?" Tangan Alsia terangkat, mengelus kepala Rafhael.
bocah laki-laki berusia 6 tahun itu menerima elusan Alsia sambil tersenyum manis. "Kami baik. Bibi mengurus kami dengan baik. Masakan beliau juga enak."
"Begitu ya, apa Arputih bisa memakannya?"
"Bisa, tapi aku harus membantu bibi memasaknya baru Arputih bisa makan. Kata dia aku bisa memsucikan makanan seperti kak Alsia."
Sepertinya semua orang yang memiliki darah malaikat terlahir dengan kekuatan suci. Pikir Alsia.
Dia jarang menggunakannya karena kekuatan suci hanya bisa diaktifkan dengan niat tulus dari hati. Kebanyakan tindakan baik yang Alsia lakukan hingga saat ini selalu bertujuan untuk mempermudah rencananya di masa depan.
Alsia mengedarkan pandangannya ke arah Arputih. Perempuan itu entah bagaimana caranya berubah menjadi anak-anak. Padahal saat Alsia membelinya wujud Arputih seperti perempuan berusia 17 tahun.
"Selamat datang, Nona Alsia. Mau saya siapkan teh?" pengurus panti bertanya.
Alsia menggeleng. "Tidak perlu, aku hanya mampir sebentar untuk berbicara dengan anak-anak."
Pengurus panti pun pamit undur diri. Alsia duduk di sebelah Arputih.
"Baiklah langsung ke intinya saja. Rapa, beberapa hari lagi aku akan mengantarmu pergi ke tempat Paman orifiel. Orang yang memberimu origami bunga. Ah, tapi sebelum itu aku harus mencarikanmu permata langit."
"Permata langit, apa itu?" tanya Rafhael dengan mata polos.
"Hm ... Itu benda ajaib yang bisa membantu kegiatan sehari-hari."
"Apa Arputih boleh ikut?"
Alsia menggeleng pelan. "Sayangnya tidak. Dia setengah manusia, takutnya ada penjual budak yang mengincarnya lagi."
Rafhael pun memasang wajah murum.
"Alsia mau pakai itu buat hilang kutukan Andhira?" Meski pertanyaan Arputih kurang jelas Alsia mampu memahaminya.
"Iya. Aku tidak ingin orang-orang menatapnya dengan tatapan merendahkan," jawab Alsia.
Arputih mengangkat tangan tinggi. "Aku bisa bantu! Tapi tidak hilang."
Senyuman kecil terbentuk di bibir Alsia. Dia baru tahu jika spesies roh mampu menekan sebuah kutukan, meski tak sekuat kekuatan hewan suci.
Alsia menepuk pundak Arputih pelan. "Kalau begitu kau ikut."
Rafhael pun bersorak gembira.
#
#
#
"Kenapa kau mengajak mereka berdua?" Mikael bertanya setelah melihat Alsia menyiapkan kereta kuda lain untuk Rafhael dan Arputih.
"Oh, itu. Nanti ayah juga tahu, kok. Mohon bersabarlah."
Meski masih dilanda rasa penasaran Mikael tak bertanya lebih lanjut. Begitupun dengan Arsa yang setia jadi pendengar.
"Kakak memiliki lebih banyak rahasia dibandingkan dengan ayah," pikir Arsa.
Butuh waktu sekitar tiga setengah hari untuk sampai di kediaman Duke Altalun. Meski ada beberapa gangguan dari para pembunuh bayaran di beberapa titik, untungnya keluarga Acandra berhasil sampai dengan aman. Tepat beberapa menit sebelum pesta dansa dimulai.
"Selamat datang di kediaman Duke Altalun, Tuan Count. Saya kepala pelayan di sini, anda bisa memanggil saya Kolpi."
"Nama yang imut," pikir Alsia spontan.
"Seorang kepala pelayan langsung menyambut," gumam Mikael.
Pria itu memasang senyuman menyebalkan di wajahnya. "Sepertinya Duke menganggap kami tamu penting, ya."
Kepala pelayan masih memasang senyuman di wajahnya. "Duke berpesan jika anda bisa melewati pesta dan pergi menuju kamar yang telah disiapkan. Lalu, rapatnya akan dilaksanakan besok pagi."
Mikael mendengus pelan. "Antar kami masuk."
"Ah, aku ingin melihat pestanya, apa boleh?" Alsia bersuara.
Kepala pelayan mengangguk lalu menyuruh seorang pelayan untuk menuntun Alsia ke tempat pesta. Namun, sebelum berpisah Farah berpesan pada sang putri.
"Alsia, jaga pola makanmu, ya."
"Ah, iya ibu."
Selalu ada alasan kuat kenapa Alsia bersedia untuk muncul di sebuah pesta. Dia hanya ingin menghargai hasil kerja keras para koki. Di aula pesta, Alsia melihat Orifiel yang sedang berbicara dengan beberapa bangsawan lain.
Alsia pun mengabaikan hal itu dan pergi ke salah satu meja makan. Mengambil beberapa makanan serta segera air dan pergi ke salah satu balkon.
Tanpa Alsia duga, rupanya balkon itu sudah dihuni oleh seseorang.
"Ah!"
Rambut perak yang berkilauan di bawah cahaya bintang serta mata abu-abu. Dia Ozkier Kusuma.
"Ijin makan di sini, ya," ucap Alsia tanpa tau malu.
Tatapan tajam Ozkier tertuju pada piring berisi buah-buahan di tangan Alsia. Pria itu pun menghela nafas pelan dan memalingkan pandangannya ke halaman.
"Terserah kau saja."
Alsia anggap itu sebagai jawaban iya.
Perempuan bermata biru cerah itu lalu berjalan menuju pagar balkon. Menaruh piring dan gelasnya lalu melompat duduk di pagar balkon.
Ozkier diam-diam menatap piring Alsia. Setelah mengumpulkan niat dia pun bersuara.
"Kau mengambil semangkuk salad."
"Hm?" Alsia ikut menatap piringnya, "oh, ibu menyuruhku untuk menjaga pola makan."
Alsia menusuk beberapa sayuran dengan garpu. "Kau mau?"
Ozkier sedikit mengerutkan keningnya melihat tindakan Alsia. Akan tetapi detik berikutnya dia tertawa dengan wajah miris.
"Benar-benar, deh. Hei, Alsia, apa kau menggunakan sihir padaku?" Tatapan penuh intimindasi dan aura membunuh Ozkier tertuju pada Alsia.
Putri Count Acandra itu tidak terperngaruh sedikitpun. Dia memasukan potongan tomat ke dalam mulutnya.
"Aku tidak menggunakan sihir. Itu berbahaya."
"Berarti kau memang melakukan sesuatu padaku."
Alsia tak membalas. Dia tetap memasang wajah santai sambil tersenyum tipis. Tali kesabaran Ozkier pun putus. Pria berambut perak itu langsung meneluarkan pisau tipis dari balik jasnya dan mendorong Alsia sehingga perempuan itu kehilangan keseimbangannya.
Cengkraman Ozkier pada kerah pakaian Alsia-lah yang membuat Perempuan itu tak langsung jatuh dari balkon lantai 3.
"Dasar wanita menyebalkan. Kau pikir aku tidak berani membunuhmu, hah?"
#
#
#
Coba kalian tebak berapa harga kepala Alsia kalo dirupiahkan?
To be continued