Rianti memperhatikan penampilan Araya yang baru turun dari lantai dua, menatapnya dari atas sampai bawah dengan heran. "Cantik banget, mau kemana kamu?"
Araya meletakkan tote bag-nya yang cukup berat di sofa, lalu menghampiri Rianti yang baru keluar dari dapur untuk mencium punggung tangannya. "Biasalah, mau girl time di Apart-nya Tara."
"Jangan lupa kabarin Abang."
"Oke!"
Setelah mendapatkan persetujuan Araya langsung keluar, menghampiri Tara yang sudah berdiri di depan HRV putih, masih dengan setelan piyama kotak-kotak berwarna merah.
Tara juga memperhatikan penampilan Araya yang sore ini mengenakan setelan piyama dengan motif hello kitty berwarna merah muda.
Tara tersenyum miring, "Orang gila mana yang sore-sore gini pake setelan piyama tapi mukanya full make up?"
Araya balas tertawa, dia menyelipkan rambutnya yang sengaja dia urai ke belakang telinga dengan gaya paling slay dan sombong.
"Sorry kalo gue terlalu cantik di mata lo."
"Rahasianya apasih kakak, bisa cantik natural gitu?"
Araya duduk di kursi penumpang sebelah Tara, lalu menurunkan kaca di atas kepalanya. "Udah pernah gue share kan? Air wudhu sama banyakin minum air putih sih."
Tara mengangguk, "Oh, babi sih." seraya menjalankan mobilnya, meninggalkan halaman rumah Araya.
Mendengar itu, Araya tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa. "Lagian ngapain sih, ikutan pake piyama? Gue kayak gini kan biar meyakinkan Ibun kalo niat gue cuma girls time sama lo."
"Ya gue mau totalitas aja." Tara diam sebentar, "Abang lo tau?"
Mendengar nama Abangnya di sebut, Araya buru-buru mengirim pesan pada Bian dan segera mengaktifkan live location-nya.
"Tau."
Bian? Oh tentu saja laki-laki itu tahu tanpa harus di beri tahu. Bian bukan Abang yang mengekang, lebih ke mengingatkan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh Araya lewati. Bian juga selalu mengingatkan Araya tentang sebab akibat, kalau berani berbuat berarti dia juga harus berani bertanggung jawab.
Contohnya seperti, 'kalo lo berani ngewe sebelum nikah terus hamil, siap gak siap lo harus tanggung akibatnya. Selain bikin malu diri sendiri dan keluarga, lo juga harus siap di caci maki keluarga dan lingkungan.' Dan itu cukup membuat Araya bergindik ngeri.
Bian juga tidak pernah melarang kalau Araya mau nongki-nongki cantik di mana saja, asal masih bisa dia pantau. Mungkin juga Bian khawatir kalau Araya tidak segera menebarkan pesonanya, dia akan menjadi perawan tua. Selain wejangan-wejangan di atas, Bian juga memperingati Araya bahwa, jangan pernah mencari jodoh di tempat terkutuk semacam Hell Club.
'Kalo lo nyari yang baik-baik, cari di tempat yang baik-baik juga.' Begitu kata Bian.
Dan minum-minum santai masih boleh dia lakukan asal jelas dengan siapa, dimana dan akan tetap Bian pantau dari kejauhan--jangan lupakan live location yang selalu Araya aktifkan kalau pergi ke tempat-tempat berbahaya. Ebra juga di kasih wejangan untuk tidak boleh sampai mabuk selama membawa Araya bersamanya, tugas Ebra adalah memastikan Araya pulang dengan selamat tanpa lecet sedikitpun. Dan sejauh ini Ebra selalu menepati janjinya.
Tara segera mendengus, "Pasti entar Abang lo tiba-tiba muncul disana. Nyari table yang gak jauh dari kita sambil matanya ngawasin--kayak mau nelen siapa aja yang mau nyamperin kita."
Araya tertawa, ingatannya tiba-tiba berputar. "Dia kayak gitu karena takut kita di bungkus. Kan serem ya anjir, bangun-bangun udah telanjang sama orang asing." Araya bergindik ngeri.
Namun Tara memutar bola matanya malas, "Lo aja kali. Kayaknya gue di gondol Om-Om juga dia bodoh amat."
Araya bergumam, "Lo gak tau aja."
Mereka sampai di Apartemennya Tara tepat pukul 7 malam, Tara segera mandi dan Araya yang memang sudah siap dengan make up-nya hanya perlu mengganti piyamanya dengan dres hitam yang panjangnya hanya sampai setengah pahanya, dres berlengan panjang yang kalau dari depan terlihat sopan tapi kalau di lihat dari belakang, semua orang bisa melihat sebagian punggung Araya yang putih tanpa cacat.
Tara yang baru keluar dari kamar mandi berdecak kagum, "Kayaknya lo beneran niat ya malem ini?"
Araya hanya tertawa, lalu melirik dres merah gelap milik Tara yang dia letakan di tempat tidur. Model dres yang hampir mirip dengan punya Araya, hanya saja punya Tara ini bagian terbukanya ada di bagian dada yang membentuk huruf v.
"Lo juga kayaknya minta di bungkus."
Lalu keduanya terkikik geli.
Bel Apartemen Tara berbunyi tepat pukul 9 malam. Tara segera berlari membuka pintu dan tidak lama munculah Ebra dengan setelan hitamnya. Kemeja lengan panjang berwarna hitam dan bawahan dengan warna senada.
Ebra menatap Tara dan Araya selama beberapa detik sebelum berdecak, "Wow, kayaknya dua orang gila ini beneran mau jadi ani-ani ya?" Sedetik kemudian Ebra mengaduh kesakitan karena kepalanya di pukul oleh Tara.
"Gak usah banyak bacot lo, pastiin aja entar lo gak mabok. Jangan sampe gue sama Araya beneran di bungkus ya, njing."
Ebra ikut mengekori dua perempuan gila di depannya yang berjalan memasuki lift untuk turun ke basemen.
Ebra menyeringai geli karena apa yang terlintas di kepalanya, "Lo berdua harusnya beli kancut yang ada gemboknya sih, terus kuncinya tinggal di Apart. Biar kalo di bungkus susah bukanya."
Jarak dari Apartemen Tara ke Hell Club hanya empat puluh menit. Begitu sampai, Araya bisa melihat parkiran tempat terkutuk ini di penuhi dengan mobil-mobil mahal yang harganya em-eman.
See? Bukan tanpa alasan Araya mengajak Tara mencari Om-Om tajir melintir disini.
Baru saja masuk, gemerlapnya dunia malam langsung menyambut mereka. Ada berbagai pemandangan disini, orang-orang yang hanya datang untuk minum-minum santai, ada yang suka karena musiknya dan ada juga yang punya tujuan terselubung lainnya. Contohnya seperti sepasang musang birahi yang hampir saling menelanjangi di dance floor. Bisa Araya tebak kalau dua orang berbeda jenis kelamin itu akan saling membungkus diri ke hotel atau penginapan terdekat.
Setelah sampai di table yang Ebra pilih, Ebra segera memesan minuman dengan kadar alkohol yang tidak terlalu tinggi, mengingat Araya yang minum bir saja mabuk. Tapi terlalu malu kalau harus memesan orange jus.
"Gue ke toilet bentar ya?"
Tara mengangguk, "Harusnya tadi lo pake popok sih."
"Diem lo!"
Setelah selesai dengan urusannya di toilet, Araya keluar dan hampir saja menabrak seseorang yang menjadi penyesalan terbesar di dalam hidupnya.
"Ra..."
Araya tercekat, seperti ada yang memelintir perutnya. Bukan sensasi menggelitik manja seperti seseorang yang tengah jatuh cinta, tapi lebih ke mual dan jijik saat memperhatikan sosok itu dengan lebih jelas.
Setelah di lihat-lihat lagi, laki-laki di depannya ini mirip sekali dengan pedagang prindavan yang sering muncul di fyp tiktoknya. Tingginya tidak seberapa, kulitnya agak gelap dari terakhir kali mereka bertemu--setelah memergoki laki-laki yang lebih mirip monyet ini cek in dan Araya menamparnya dengan sekuat tenaga sampai wajahnya terlempar kesamping dengan bekas jari-jari Araya yang tercetak jelas di wajah laki-laki itu.
Cinta memang buta ya?
Muncul satu pertanyaan menggelikan di dalam otak Araya...
Kenapa dulu gue bisa suka sama si monyet ini ya?
"Ada apa?" Tanya Araya dengan memasang ekspresi sedatar mungkin.
"Boleh ngobrol sebentar?"
Araya mendengus malas, "Mau apa lagi?"
Andre--si monyet itu menatap Araya dengan tampang memelas, "Gue mau minta maaf. Waktu itu gue--"
"Udah gue maafin." Tukas Araya cepat. Bukan apa-apa, Araya hanya malas terlibat pembicaraan lebih lama lagi dengan si monyet ini. "Udah kan?"
Andre maju mengikis jarak, hendak menyentuh tangan Araya tapi buru-buru Araya menghindar dengan ekspresi jijik yang sangat kentara. "Lo tau nggak? Dengan lo berdiri di depan gue aja, udah bikin gue jijik. Jadi kalo lo gak mau sampe gue muntah di muka lo, mendingan jangan sentuh gue."
Andre sempat terdiam sebelum mundur selangkah, wajahnya seperti habis di tabrak tronton. "Ra, gue nyesel udah nyakitin lo. Gue khilaf udah ngelakuin itu, tapi itu juga karena lo selalu nolak gue. Coba aja kalo lo nggak--"
"Apa?!" Araya menatapnya tidak percaya, emosi yang sejak tadi coba dia tahan meledak sudah. "Gue gak secinta itu ya buat nyerahin diri gue ke lo." Araya menatap Andre dengan tatapan yang paling meremehkan, sengaja memang. "Harusnya lo tau diri, kalo muka dan dompet lo udah pas-pasan, gak usah sok-soan selingkuh. Modal titit doang berasa di atas awan lo?"
Araya bisa melihat wajah Andre yang mengeras, kedua tangannya juga terkepal menahan emosi. Araya sudah memasang kuda-kuda kalau sampai Andre nekat mendekat dan menonjoknya barangkali, Araya akan dengan senang hati menunjukan tendangan dwi chagi-nya untuk menjatuhkan lawan.
"Ra, gue cuma mau--"
"Mundur gue bilang!" Araya hampir berteriak ketika Andre maju dan menarik tangannya. Tapi laki-laki itu seolah tuli dan dengan gerakan yang begitu cepat, Araya memelintir tangan laki-laki itu hingga terlepas lalu Araya segera mundur dan melakukan serangan selanjutnya.
Andre jatuh tersungkur setelah kaki berbalut heels setinggi 7 senti mengenai bagian telinganya. Meninggalkan goresan merah yang cukup panjang di pipi Andre yang mulai mengeluarkan darah. Andre masih meringkuk kesakitan di lantai sambil memegang telinganya tapi Araya tidak peduli.
Araya mengibaskan rambutnya ala-ala iklan shampo, sedikit merasakan kebas di kaki kanannya tapi dia tetap melangkah dengan anggun melewati tubuh tidak berdaya itu.
"Kenapa muka lo? Ketemu orang mabok ya?"
Araya mendengus kasar lalu menyenderkan punggungnya di sofa, "Gue ketemu sama monyet."
"Hah? Monyet?" Heran bercampur bingung, Tara mengedarkan pandangannya ke segala arah. "Ngadi-ngadi ya lo, mana ada monyet masuk Club?" Tapi eskpresinya langsung berubah saat mengerti maksud Araya, Tara tertawa ngakak. "Dia disini?"
"Siapa?" Tanya Ebra yang baru bergabung setelah tadi sempat menghilang entah kemana.
"Tadi gue ketemu Andre." Bahkan untuk menyebut namanya saja Araya jijik, perutnya langsung melilit.
Ebra ikut mengedarkan pandangannya, berharap bisa menemukan keberadaan mantannya Araya yang katanya mirip monyet itu. "Terus sekarang orangnya mana?"
Araya mengedikkan bahunya acuh, "Pingsan kali, abis gue tendang."
Sontak Tara dan Ebra langsung berseru heboh sambil bertepuk tangan, entah apa yang membuat mereka berdua selebay itu.
"Gue masih ngeri-ngeri sedep kalo inget lo ini pemegang sabuk hitam, Ra." Ebra menatap Araya ngeri, "Kalo gue becandanya keterlaluan, tolong tegur gue baik-baik ya Ra."
"Apasih anjing, gue gak sebar-bar itu ya!" Araya meneguk minumannya lalu mengernyit karena tenggorokannya terasa panas, "Yang gue lakuin itu cuma bentuk perlindungan diri. Semacam basic skill bertahan hidup, apalagi gue cewek."
Ketiganya mulai minum sambil membicarakan hal-hal tidak penting mulai dari gosip terbaru dan terpanas di kantor, politik, agama, sampai ke pertanyaan siapa di antara mereka yang hafal Asmaul husna.
Di antara ketiganya, sudah bisa di tebak siapa yang akan mengacau seperti biasa. Araya tiba-tiba bangkit dari duduknya, lalu mulai menggoyangkan tubuhnya mengikuti musik di ikuti oleh Tara yang beda-beda tipis gilanya. Keduanya masih sadar, cuma agak melayang aja karena pengaruh alkohol. Sementara Ebra, menikmati minumannya sambil mengawasi kedua temannya.
Sampai tiba-tiba muncul satu laki-laki yang mulai mepet-mepet ke arah Araya, dengan sengaja membuat gerakan-gerakan yang membuat kulit mereka bersentuhan. Awalnya Araya tidak terlalu peduli, tapi lama-lama dia mulai risih dan langsung membalikan badannya begitu dia rasakan ada sentuhan di punggungnya yang terbuka. Araya menatap laki-laki itu tajam, sedangkan yang di tatap hanya tersenyum miring.
Heh cabul! Lo mo bungkus gue ya?
Laki-laki itu mendekatkan bibirnya ke telinga Araya, "Mau cari angin?" Ucapnya sedikit berteriak karena suaranya berlomba-lomba dengan kerasnya musik yang di putar.
Araya menaikan satu alisnya, menatap laki-laki di depannya dari atas sampai bawah. "Harusnya lo ngajak gue liat kupu-kupu atau makan ramyeon." Araya balas berteriak.
"Hah?"
Araya tertawa, "Gue gampang masuk angin, cari aja yang lain." Tolak Araya tanpa basa-basi.
Tapi sepertinya alasan itu tidak mempan karena sekarang laki-laki itu dengan lancangnya merengkuh pinggang Araya, menempelkan tubuh keduanya tapi dalam hitungan detik tangan yang tadinya menyentuh Araya sudah di pelintir ke belakang tubuh sang pemilik tangan. Araya menganga, bengong melihat laki-laki kurang ajar yang kini sedang membungkuk kesakitan karena seseorang tengah mengunci pergerakannya, lalu tatapannya beralih ke sepasang mata yang tengah menatapnya tajam.
Araya menelan ludahnya gugup. Lagi-lagi, perutnya tegang.
Tbc.
Sorry yaa, akhir-akhir ini aku sibuk banget sampe lupa udah lewat seminggu😭 sebagai permintaan maaf, bab ini lebih panjang dikit dari biasanya🫶