🎵Selena Gomez - People You Know.
Theo sedang sibuk menekuni bukunya di ruang belajar, sementara dari dapur terdengar suara-suara gaduh yang membuatnya sesekali mengernyitkan dahi. Agatha, yang bertekad memasak untuk Theo, justru sedang berjuang mati-matian menguasai peralatan dapur yang sepertinya tidak bersahabat dengannya. Salah satu frypan milik Theo, yang biasanya cukup kokoh, kini sudah tak berbentuk dan berakhir di tong sampah.
Percobaan kedua Agatha tidak berjalan lebih baik. Aroma gosong mulai tercium, dan Agatha bergegas mematikan kompor, mendapati makanannya terbakar. Ia menghela napas panjang, mengusap kening yang berkeringat.
"Kita pesan aja, ya, Kak?" Agatha mendekati Theo yang masih berkutat dengan bukunya, dengan raut wajah frustrasi. "Udah beberapa jam, tapi hasilnya malah bencana semua."
Theo mengangkat kepalanya, tersenyum menenangkan. "Nggak apa-apa, Sayang. Lo udah berusaha."
Agatha tahu, Theo pasti sudah lapar. Sejak tadi menunggunya memasak, tapi tidak ada satu pun yang layak untuk disajikan. Dengan rasa bersalah, Agatha merasa dirinya sudah menyia-nyiakan waktu mereka.
Theo tertawa kecil, melihat raut wajah Agatha yang kusut. "Hahaha, gue turun aja, di bawah ada resto Italia. Mau makan apa?"
Agatha menghela napas lega mendengar tawaran Theo. "Samain kayak Kakak aja, deh. Aku udah nyerah sama dapur ini."
Theo mengangguk, menutup bukunya sambil berdiri. Dia hanya mengambil handphone dan sebuah kartu dari meja. "Oke, gue pesan sekarang. Lo mau minum apa? Mereka punya jus jeruk yang enak."
Agatha tersenyum kecil, meskipun masih sedikit merasa bersalah. "Jus jeruk kayaknya enak. Aku juga suka."
Theo berjalan ke arah pintu, lalu berhenti sejenak, menatap Agatha dengan mata penuh pengertian. "Nggak usah merasa bersalah, Sayang. Gue tahu lo niat banget buat masakin, dan itu lebih dari cukup buat gue."
Agatha mengangguk, meski masih merasa canggung.
Theo pun keluar untuk memesan makanan, sementara Agatha membersihkan sedikit kekacauan yang ia buat di dapur. Meskipun tidak ada yang berhasil ia masak hari ini, setidaknya ia merasa senang karena usahanya tetap dihargai oleh Theo.
Baru akan masuk resto, handphone milik Theo berdering menampilkan panggilan dari Jean.
"Kenapa?"
"Theo... bantuin gue."
Theo meremas handphonenya, menyadari sesuatu yang tidak beres, "Ada apa?"
"Gue dikepung anak geng Kean."
"Share location lo, sekarang. Lo sama siapa?"
"Hugo, kita cuma berdua."
"Gue ke sana."
Theo mengetikkan sesuatu pada Agatha, sebelum pergi menemui Jean dan Hugo.
✿✿✿
Ternyata sirkuit balap. Lokasi yang diberikan Jean adalah sirkuit balap motor.
"Wow! Seorang Theodore menginjakkan kakinya di sirkuit kumuh ini?" Kean menyahut ketika melihat Theo datang dengan mobil mewahnya.
Jean beranjak menghampiri Theo. Wajahnya penuh lebam. "Gue kalah balap." ucap Jean tanpa basa-basi.
Kean mengangguk-angukkan kepalanya sambil tersenyum kecil. "Ya, dan lo mengingkari kesepakatan, Jean."
Sebelum balapan, Jean dan Kean membuat kesepakatan. Yang kalah akan mengabulkan semua permintaan yang menang.
"Gue cuma minta pacarnya jadi punya gue." ucap Kean.
"Anjing lo! Nggak ada dalam kesepatan gue ngasih cewek gue!"
Kean berdecih, "Kita sepakat untuk menuruti semua permintaan yang menang, Jean."
"Gue nggak mau!"
Bugh!
Bugh!
Pukulan kembali di layangkan pada Jean.
"Kean stop!" Hugo melerai.
Kean mengibaskan tangannya setelah memukul Jean. Tatapannya teralih pada Theo, "Tapi kayaknya gue bisa bebasin Jean, kalau di ganti dengan cewek lo—Agatha."
Raut Theo masih sama tenangnya seperti awal datang. "Agatha, ya?" Theo terkekeh kecil setelahnya.
"Silahkan, ambil." Theo menjeda perkataannya, "Kalau dia mau."
Kean tampak sedikit terkejut, padahal ia sudah siap jika Theo menyerangnya, ekspresi setenang itu? Apa Theo benar-benar tidak serius dengan Agatha?
"Jadi, di mana Agatha sekarang?" tanya Kean.
Hugo mendekat pada Theo, "Lo nggak segila itu, kan, nyerahin Agatha?"
"Semua tergantung Agatha." Janji tetap janji, Jean bisa mati jika terus di pukul. Melimpahkan kesalahan Jean pada Theo mungkin tidak adil. Tapi, Theo tidak masalah.
Gue percaya Agatha.
"Jangan nekat! Kean bisa manfaatin ini buat hancurin lo, dan lo tahu sendiri Kean kayaknya beneran naksir sama Agatha."
Ucapan Hugo kali ini membuat Theo sedikit was-was. Theo menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang meskipun situasinya semakin rumit. Kean adalah tipe orang yang tidak segan-segan memanfaatkan kelemahan orang lain demi keuntungannya sendiri. Theo tahu, ini bukan sekadar balapan biasa—dan sekarang Agatha terlibat.
Kean memperhatikan Theo dengan senyum tipis, matanya berkilat dengan kepuasan. "Jadi gimana, Theo? Lo mau main aman atau gue bawa Agatha sekarang?" Nada suaranya penuh dengan tantangan.
"Jangan sekarang, lo bisa cari Agatha besok." Theo yakin gadisnya sekarang sedang menyantap pasta dari resto tempat ia memesan sebelumnya.
"Oke." Saat Kean dan gengnya berbalik hendak pergi, Kean tidak bisa menahan diri untuk memberikan peringatan terakhir. "Theo, gue nggak bakal berhenti sampai gue dapetin apa yang gue mau. Lo pikir lo bisa selamat kali ini, tapi gue akan terus ngejar. Dan ketika lo lengah, gue bakal ambil Agatha dari lo."
Jean selamat.
Itulah hasil yang didapat dari menukar Agatha.
✿✿✿
Seharian Agatha tidak mendapati Theo di sekolah. Pesan-pesan yang ia kirimkan juga tak kunjung dibalas. Bahkan Jean dan Hugo juga menghilang entah ke mana. Hanya Owen yang Agatha temui, dan meskipun Owen mengatakan tidak tahu apa-apa tentang ketiganya, Agatha yakin Owen menutupi sesuatu.
"Agatha...?"
Agatha yang sedang berada dalam taksi tiba-tiba dikejutkan oleh suara seorang laki-laki yang menampakkan diri dari luar jendela.
"Mau gue anterin nggak?" Kean membuka kaca helmnya, menampilkan senyumnya yang khas. "Ini gue, Kean."
Agatha tersenyum kecil, berusaha menahan rasa kesalnya. "Nggak mau."
Namun, Kean tidak menerima penolakan itu begitu saja. Dengan gerakan cepat, dia membuka pintu mobil Agatha.
"Turun, selagi gue masih sabar."
Agatha mendengus, "Ck! Iya iya!" Dengan wajah tertekuk, dia turun dari taksi. Ekspresi marahnya malah terlihat lucu di mata Kean, membuat lelaki itu tersenyum lebih lebar.
"Naik." Kean menepuk jok belakang motornya, menunggu Agatha untuk menurutinya.
"Gue udah bilang! Gue nggak suka naik motor," tegas Agatha dengan nada keras kepala.
Kean tidak berkata apa-apa lagi. Dia turun dari motor, lalu tanpa peringatan, mengangkat Agatha dengan paksa dan mendudukannya di jok belakang.
"KURANG AJAR!!" Agatha meronta, namun sia-sia. Kean terlalu kuat.
"Udah gue bilang nurut!" bentak Kean.
Agatha masih mencoba melawan, tapi Kean tetap tenang, menyodorkan helm padanya. "Pakai," perintahnya singkat, seolah tidak memberi waktu bagi Agatha untuk menolak.
Agatha menatap helm itu dengan kesal, namun akhirnya memasangnya juga. Kean mulai melajukan motornya dengan pelan.
"Pegangan," ucap Kean saat motor mulai berjalan.
Agatha berdecak. Ini bukan Theo. Dia tidak akan melingkarkan tangannya di pinggang lelaki gila ini. Akhirnya, dia memilih untuk memegang helm Kean dengan dua tangannya.
Kean tiba-tiba tersentak kala helmnya bergoyang sedikit akibat cengkeraman Agatha. "Heyy!!!" serunya kesal.
Agatha menatapnya dari belakang dengan tatapan tidak bersalah. "Apa? Kata lo pegangan?"
Kean menggelengkan kepala, setengah kesal setengah terhibur. "Gadis ini..." gumamnya pelan, tapi bibirnya justru membentuk senyuman.
Melalui cermin kecil di motornya, Kean mencuri pandang pada Agatha yang tampak marah tapi juga sedikit ketakutan. Senyumnya semakin lebar. "Pantas saja Theodore sampai tergila-gila," pikirnya. "Kenapa bukan gue yang ketemu dia duluan?"
Kean menahan tawa mendengar jawaban Agatha. "Gue bilang pegangan yang bener!" serunya dengan nada setengah kesal, setengah terhibur.
"Kalau nggak suka, ya lo aja yang berhenti!" balas Agatha dengan nada menantang, tangan masih memegang helm Kean dengan keras kepala.
Kean memutar matanya, "Agatha, lo ini benar-benar..." gumamnya sambil menghela napas panjang.
Kean menikmati perasaan itu. Dia tahu, Theo pasti akan membunuhnya jika tahu dia membawa Agatha di motornya. Tapi ada rasa kepuasan tersendiri melihat gadis itu merespon setiap tindakannya.
Saat mereka sampai di sebuah taman yang sepi, Kean berhenti mendadak, membuat Agatha hampir terlempar ke depan. Dia turun dari motor dengan cepat, wajahnya merah padam karena marah.
"Lo gila?! Lo sengaja, ya?!"
Kean turun dengan santai, membuka helmnya, dan menatap Agatha dengan tatapan penuh arti. "Bukan gue yang gila, tapi hati gue yang mulai nggak bisa lepas dari lo."
Agatha memutar bola matanya, mencoba mengabaikan kata-kata Kean. "Lo mau apa bawa gue ke sini?"
Kean mengangkat bahunya, "Gue cuma pengen ngobrol. Gue suka lo, Agatha."
Agatha tersentak. Dia tidak menyangka Kean akan seberani ini mengungkapkan perasaannya. "Gue nggak ada urusan sama lo, Kean. Gue udah punya pacar."
Kean tersenyum tipis, mendekatkan wajahnya pada Agatha, "Kalau gitu, buktiin. Buktikan bahwa lo benar-benar sayang sama dia."
Agatha mundur selangkah, hatinya berdebar. Ada sesuatu dalam cara Kean menatapnya yang membuatnya merasa tidak nyaman. "Maksud lo apa?"
Kean tersenyum sinis, "Coba aja kasih tahu gue, lo bakal tetap setia sama cowok lo itu, bahkan setelah tahu apa yang dia sembunyikan dari lo."
Agatha menatapnya tajam. "Apa maksud lo?"
"Gue nggak bakal kasih tahu. Lo cari tahu sendiri," jawab Kean, menikmati kebingungan di wajah Agatha. "Gue cuma mau lihat, seberapa kuat lo bertahan di sisi Theo."
Kean mengenal Kak Theo?
Agatha mendekat, menantang Kean dengan tatapan tajam. "Gue nggak takut sama lo, Kean. Kak Theo selalu jujur sama gue."
Kean tertawa pelan, "Kita lihat aja nanti, Agatha. Siapa yang bener-bener lo pilih."
Agatha mencengkeram helm di tangannya, menatap Kean dengan penuh ketegasan. "Gue nggak akan pernah ninggalin Kak Theo. Lo nggak akan bisa—"
Kean hanya tersenyum, "We'll see, Agatha. We'll see."
-TO BE CONTINUED-
Author's Note:
Kean dan Theo sama-sama anak kelas 12 tapi Agatha nggak manggil Kean Kakak, karena Agatha nggak respect sama Kean.
Yours Truly, Floè.