Happy Reading
Tandai jika ada typo!
"Apa maksud kamu, Lia?"
Azriel kembali bertanya setelah berdiam cukup lama. Keduanya masih berada di dalam mobil dengan posisi berpelukan. Sedari tadi, Rachel terus menangis di dalam pelukan Azriel.
Rachel melepaskan pelukan keduanya. Gadis itu menatap Azriel di depannya dengan wajah yang dipenuhi air mata.
"Se-semua yang kamu lihat di dalam mimpi itu nya-nyata, El. A-aku ngalamin itu semua." Gadis itu berucap dengan terbata-bata karena sesenggukan. Suaranya pun terdengar serak dan bergetar. Buliran air bening kembali keluar dari kedua mata indah itu.
Azriel menatap Rachel dengan rumit. "Mimpi itu nyata? Jangan bikin aku makin overthinking, Sayang."
Laki-laki itu menghela napas gusar kemudian kembali berkata dengan nada putus asa, "Kayaknya emang ada yang aneh sama aku, apa sebaiknya aku pergi ke psikolog aja? Mimpi itu benar-benar bikin aku ketakutan. Aku udah berusaha buat lupain mimpi itu dan bersikap biasa saja, tapi enggak bisa. Mimpi itu selalu datang setiap malam."
Sepertinya setelah ini, Azriel akan pergi ke psikolog saja. Ia benar-benar frustasi dengan mimpi-mimpi yang selalu menghantuinya. Ia juga tidak yakin akan tetap waras jika mimpi itu terus menerus datang di setiap malamnya.
Rachel menggeleng dengan air mata yang terus keluar. Mendengar ucapan Azriel membuat hatinya semakin sakit. Rasa bersalah dan menyesal berkumpul di hatinya, memberontak, dan membuat dadanya begitu sesak.
Bahkan di kehidupan kali ini, ia kembali membuat Azriel menderita melalui mimpi-mimpi yang menghantui laki-laki itu. Kenapa? Kenapa dirinya selalu menorehkan luka pada laki-laki itu? Mengapa Tuhan memperlihatkan masa lalunya dan Azriel melalui sebuah mimpi?
Padahal ia sudah berusaha untuk memperbaiki segalanya, menerima laki-laki yang begitu mencintainya dengan tulus, menghindari seseorang yang menjadi penyebab kehancurannya, dan menghindari semua kesalahan yang pernah ia lakukan di masa lalu.
Rachel sudah berusaha melakukan semuanya dengan baik. Ia juga merelakan keinginannya untuk merasakan kasih sayang Aron dan juga Ratna. Ia tidak lagi berharap kepada keluarganya, ia hanya ingin menjalani kehidupan keduanya dengan baik.
Ia hanya ingin menebus kesalahannya kepada Azriel, laki-laki yang begitu tulus mencintainya hingga rela mati demi dirinya. Ia ingin membuat laki-laki itu bahagia, tapi mengapa rasanya sulit sekali?
Tangan kanan gadis itu meraih tangan Azriel kemudian menggenggamnya dengan erat. Matanya yang berair menatap laki-laki itu dengan sorot sendu penuh rasa bersalah.
Azriel menatap kedua mata gadis itu dengan bingung. Hatinya terasa sakit melihat tatapan gadis itu yang seakan menyimpan banyak luka.
"Ka-kamu mau dengerin cerita aku?"
Rachel menghela napas. Tangan kirinya menghapus air matanya dengan kasar. Setelah dirasa lebih baik, ia kembali menatap Azriel.
"Mungkin setelah ini, kamu akan anggap aku gila, ta-tapi aku gak peduli," ujar gadis itu dengan sedikit terbata.
"Maksud kamu?" Azriel bertanya dengan bingung.
Sedari tadi ia bingung dengan gadis itu. Gadisnya itu langsung menangis histeris setelah ia menceritakan mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya. Tak hanya itu, Rachel bahkan mengucapkan hal yang tidak ia mengerti.
Seperti mimpi itu nyata dan gadis itu mengalaminya. Ia bingung dan tidak mengerti, sebenarnya apa yang dimaksud kekasihnya itu?
Rachel menghirup udara dengan panjang kemudian menghembuskannya secara perlahan. Gadis itu menyiapkan diri untuk menceritakan semuanya. Mungkin hari ini, ia akan membuka salah satu rahasia yang selama ini telah ia tutup rapat-rapat.
Walaupun jauh di dalam lubuk hatinya, ia tidak akan pernah siap jika Azriel akan membenci dan menjauhinya. Ia tidak akan sanggup jika hal itu terjadi. Ia tidak ingin menceritakan semuanya, tapi sampai kapan ia akan menyimpan semuanya sendirian?
Rachel juga manusia biasa yang membutuhkan teman untuk bercerita. Semua yang dialaminya tidak masuk akal, dan sulit dipercaya. Semua masa lalu kelam yang ia alami di kehidupan pertamanya dulu, juga kadang datang dan membuatnya takut. Namun, ia tidak bisa berbuat banyak, memendam semuanya sendirian dan selalu berakhir dirinya yang menangis tengah malam.
Ia butuh teman, ia butuh seseorang yang bisa mendengar semua keluh kesahnya. Setidaknya ia butuh seseorang yang mau percaya pada apa yang ia alami. Hidup kembali setelah mati di saat malam pernikahannya dengan laki-laki yang tidak ia inginkan? Sungguh, sampai sekarang kenangan-kenangan menyakitkan itu masih melekat di dalam ingatannya.
Lelah? Tentu saja, ia sangat lelah dengan semua ini. Ia ingin berbagi cerita dan mengungkapkan semua yang ia rasakan dan yang ia takutkan selama ini kepada orang lain. Tetapi, kepada siapa ia akan bercerita?
Yang Rachel lakukan hanya diam, memendam semuanya sendiri. Ia bahkan tidak berani mengadu kepada Tuhan, ia terlalu malu untuk mengeluh setelah semua yang ia lakukan. Ia telah menyakiti seseorang, dan membuat orang itu mati karenanya.
"Semua yang ada di mimpi kamu itu nyata, El. Aku sudah mengalami semua yang kamu lihat di dalam mimpi itu. Aku yang ngejauhin kamu, ngehina kamu, dan mutusin kamu. Bahkan, aku yang ngejar-ngejar Melvin saat di kampus, itu benar adanya." Rachel berkata dengan nada lirih, gadis itu tersenyum kecut saat ingatannya kembali melayang pada kehidupan pertamanya.
Kening Azriel berkerut dalam. "Aku ... gak ngerti."
Kemudian ia tertawa dan berucap, "Mimpi itu nyata? Yang benar saja? Kamu kalau mau ngehibur aku, enggak gini."
Tawa laki-laki itu memudar dengan perlahan saat melihat air mata Rachel yang kembali turun.
Rachel tersenyum. Namun, air matanya kembali keluar. "Kamu pasti enggak percaya, 'kan? Sama aku juga. Aku enggak percaya kalau aku kembali ke masa lalu dan bisa ketemu lagi."
"Maksud kamu?"
Rachel merubah posisinya ke tempat semula, kemudian menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Gadis itu menatap lurus ke depan, mengabaikan Azriel yang terus menatapnya dengan bingung.
"Aku jahat, El. Aku jahat, aku udah nyakitin kamu yang bener-bener tulus sama aku. Aku perempuan gak tahu diri yang masih bersikap seolah gak ada apa-apa setelah apa yang aku lakuin ke kamu di masa lalu. Bahkan dengan bodohnya aku gak pernah tahu kalau kamu yang udah donorin mata buat aku. Dan setelahnya aku malah ngelanjutin hidup tanpa rasa bersalah sedikit pun." Rachel kembali menangis.
Rasa bersalah menghantam hatinya dengan kuat, membuat dadanya terasa begitu sesak.
"A-aku ...." Rachel menghela napas dengan dalam, rasa sesak di dadanya membuat dirinya susah bernapas.
"Aku menyesal, aku nyesel udah lebih percaya sama Nadira dan enggak dengerin penjelasan kamu sama sekali."
Gadis itu menoleh, menatap Azriel yang masih setia menatap dan mendengarkannya. Rasa bersalah semakin membesar di dalam hatinya. Kenapa? Kenapa dulu ia bisa menyakiti laki-laki itu? Kenapa ia sejahat itu?
Sejenak, ia menghela napas. Berusaha menenangkan hati dan pikirannya yang sangat kacau. Perlahan, ia mulai membuka suara dan menceritakan semuanya kepada Azriel. Ia menceritakan semua yang dialaminya di kehidupan pertamanya tanpa terkecuali.
Sedangkan Azriel hanya diam, mendengarkan setiap kata yang Rachel ucapkan. Laki-laki itu menatap Rachel dengan rumit.
"Setelah dengar semua ini, kamu pasti enggak percaya, 'kan? Dan kamu pasti akan anggap aku gila. Tapi, semua yang aku ceritain itu benar adanya. Aku benar-benar ngalamin semua itu," ujar Rachel setelah selesai menceritakan semuanya.
"Jadi, alasan kamu berubah setelah pingsan di kelas waktu itu ...." Azriel menatap Rachel, ia dapat melihat gadis itu yang mengangguk dengan samar.
"Itu adalah hari pertama aku mengulang hidup."
Azriel menghela napas. Apa semua itu mungkin? Rachel kembali mengulang hidup? Dan semua yang ia lihat di falam mimpi itu nyata? Rasanya sangat sulit dipercaya.
Namun, jika diingat-ingat Rachel yang tiba-tiba berubah setelah pingsan di kelas, semuanya sedikit masuk akal. Ternyata alasan gadis itu berubah karena gadis itu kembali mengulang kehidupan. Dan ternyata alasan Rachel berubah kepada Nadira juga karena Rachel sudah mengetahui semuanya.
Rachel menghela napas. "Aku tahu, kamu pasti enggak percaya, dan mungkin setelah ini kamu akan membenciku dan menjauhiku, tapi aku beneran nyesel. A-aku nyesel udah nyakitin kamu di masa lalu. Aku nyesel lebih percaya sama adik aku sendiri."
Gadis itu menghapus air matanya dengan kasar. "Aku tahu, aku udah keterlaluan, tapi aku benar-benar minta maaf. Aku nyesel udah nyakitin dan nyia-nyiain kamu. Aku minta maaf, walaupun aku tahu, aku gak pantes dapat maaf dari kamu," lirihnya.
Gadis itu menatap Azriel yang hanya diam sedari tadi. Apa yang ia harapkan? Azriel sudah pasti tidak akan percaya. Kalaupun percaya, ia yakin laki-laki itu akan membenci dan menjauhinya.
Ia membalikkan badannya, membuka pintu mobil, hendak keluar dan segera masuk ke dalam kamar apartemennya. Namun, Azriel langsung mencekal dan menarik tangannya, membuatnya kembali duduk.
Air mata Rachel kembali turun. Ia ingin cepat-cepat masuk ke dalam kamarnya dan menumpahkan tangisannya di sana. Gadis itu langsung menoleh saat Azriel membalikkan tubuhnya sehingga menghadap ke arah laki-laki itu.
Melihat tatapan datar laki-laki itu membuat hatinya semakin perih. Tenggorokannya tercekat, bahkan untuk berbicara saja rasanya sulit. Ini terlalu menyakitkan, dadanya begitu sesak, air matanya semakin deras keluar, membuat hatinya semakin teriris.
"Mau ke mana? Kamu belum selesai jelasin semuanya ke aku," tanya Azriel.
Mata Rachel membola, gadis itu bisa merasakan kedua tangan tangan Azriel yang kini menghapus air matanya dengan begitu lembut. Bukannya berhenti, air matanya justru semakin turun.
"Ke-kenapa, El?" Napas Rachel tercekat.
"A-aku udah jahat sama kamu, ha-harusnya kamu marah sama aku. Harusnya kamu benci sama aku. Aku udah nyakitin kamu, aku jahat hiks.... A-aku jahat ... aku jahat."
Azriel langsung membawa Rachel ke dalam pelukannya. Tangis Rachel semakin menjadi, gadis itu membalas pelukan Azriel dengan erat. Untuk yang kesekian kalinya ia kembali menumpahkan tangisannya di dalam pelukan laki-laki itu. Untuk yang kesekian kalinya, rasa bersalah penuh sesal itu menghantam hatinya.
Mengapa? Mengapa Azriel masih begitu baik kepadanya di saat ia berkali-kali telah menyakiti laki-laki itu?
Azriel menepuk punggung Rachel, laki-laki itu melayangkan kecupan berkali-kali pada kepala Rachel. Kedua matanya menatap lurus ke depan, keningnya berkerut dalam.
"Aku enggak peduli, Lia. Aku enggak peduli sama masa lalu yang kamu ceritain. Kalaupun semua itu benar adanya, aku tetep gak peduli. Yang aku mau cuma kamu, kamu yang terus ada di sisi aku."
•~•
Aron menatap seseorang di depannya dengan bingung. Ia jelas tahu siapa pria yang kini sedang bertamu ke kantornya. Fernando Loreeint, salah satu teman kampusnya yang kini berhasil menjadi pengusaha sukses.
Tadi, saat setelah selesai melaksanakan rapat, asistennya mengatakan kalau dirinya sedang kedatang tamu CEO dari Ferr company. Entah apa yang membuat Nando sampai datang ke kantornya.
"Apa ada hal yang membuat anda berkenan datang ke kantor saya?" tanya Aron setelah mempersilahkan Nando duduk.
Nando menatap ruangan kemudian menatap Aron dengan datar.
"Langsung saja tanpa berbasa-basi, saya hanya ingin menyampaikan, batalkan rencana anda untuk menjodohkan Rachel dengan cucu keluarga Pratama," titah Nando dengan tegas. Tatapan pria itu terlihat begitu dingin menusuk dan menekan.
Aron menatap Nando dengan bingung. "Maaf, maksud anda apa? Saya rasa itu tidak ada hubungannya dengan anda."
Masih dengan tatapan datar, Nando menjawab, "Tentu saja ada, karena Rachel adalah kekasih putra saya. Saya jelas tidak akan diam saja jika Rachel sampai meninggalkan anak saya karena perjodohan yang anda rencanakan dengan keluarga Pratama."
Aron nampak terkejut, pria itu menatap Nando dengan tak percaya. "Anda orang tua Azriel?" tanyanya.
Nando mengangguk singkat. "Ya," jawabnya.
Pria itu menatap Aron dengan raut serius. "Bukankah akan lebih menguntungkan jika anda menjodohkan putri anda dengan putra saya?" tanyanya.
Aron terdiam. Benar, ia pasti akan mendapatkan banyak keuntungan jika Rachel ia jodohkan dengan Azriel, Putra Nando. Namun, ia terlanjur membuat perjanjian dengan keluarga Pratama.
"Tapi ...."
"Saya tahu apa yang anda pikirkan. Menurut saya, bukankah akan lebih baik jika putri kedua anda yang dijodohkan dengan putra keluarga Pratama? Dengan begitu anda akan mendapatkan dua keuntungan." Nando berucap dengan nada menghasut.
Aron kembali terdiam.
"Lagi pula, putri kedua anda itu menyukai Melvin, Anak Pranomo," lanjut Nando.
Aron menatap Nando dengan terkejut. "A-apa?" tanyanya tak percaya.
Detik setelahnya ponsel Aron berbunyi, pria itu langsung membuka dan mengeceknya. Kedua mata pria itu nampak membola.
"I-ini?"
Nando mengangguk. Pria itu menatap Aron dengan datar sembari menopang dagu.
"Jadi, bagaimana dengan tawaran saya?"
Tbc
Hallo 🤗
Setelah aku pertimbangkan, aku mutusin buat tetep lanjutin cerita ini☺️
Terima kasih banyak buat kalian yang udah dukung aku sejauh ini🥺🤍
Dan terima kasih banyak buat kalian yang udah nyempetin diri buat komen dan memberi aku semangat ☺️🤍 dan maaf aku enggak bisa balas semua komen kalian satu-satu 🙏
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen ya 🤍☺️ agar aku semakin semangat nulisnya.
Satu vote dan satu komen dari kalian sangat amat berharga buat aku🤍
150 vote, aku up
3 September 2024