Denandan dan Sebatang Cokelat

By Nasylaawa

292 64 68

Rumah bagi Denandan tidak lengkap tanpa seorang ibu, karena itu ia lebih suka main di rumah Adena. Sementara... More

Prolog
1. The Nandan
2. Adeden
3. Pecandu Adena
4. Kembar
5. Pacaran?
6. Banu
7. Dunia Lelaki dan Perempuan
8. Boleh
10. Asing
11. Cokelat Maaf
12. Putih Biru
13. Peluk Terakhir
14. Sebatang Cokelat
15. Srikandi dan Berandal
16. Sudut Pandang Denandan
17. Batagor Pertigaan
18. Lavender
19. Nona Pacar
20. Wawancara Adena
21. La Tabki Ya Saghiri
Epilog

9. Pengadu

11 2 5
By Nasylaawa

"Protokoler, Adena Ruby Zorana."

Suara Adena lantang menyuarakan namanya sendiri. Upacara Senin pagi selalu jadi hal membosankan bagi peserta dan mendebarkan bagi petugas. Sejak naik ke kelas 5 menjadi petugas upacara adalah dambaan setiap siswa, terutama saat nama mereka disebut di awal upacara sebagai bentuk penghargaan.

"Pemimpin upacara, Denandan Lakshan Adyatama."

Anak lelaki yang baru saja di sebut namanya itu menahan senyum. Meski karena dipaksa wali kelas mereka, nyatanya ia tetap bangga dapat menjadi sorotan pagi ini. Keringat dingin membasahi pelipis, detik demi detik saat Adena membacakan nama lengkap seluruh petugas upacara membuat rasa nervousnya kian membesar.

"Pemimpin upacara memasuki lapangan upacara."

Mendengar itu, Denandan langsung maju satu langkah kemudian menghadap serong ke kanan. Langkah maju dengan luwes ia lakukan hingga berhenti di tengah lapangan upacara. Kepala anak itu mendongak, mulutnya mulai terbuka, bersiap mengambil alih.

"Pimpinan dan pasukan saya ambil alih seluruhnya. Siaaap, grak!"

Adena tersenyum sembari mendekatkan bibir ke pelantang dan melanjutkan membaca runtunan upacara berikutnya. Suara Denandan yang nyaring berubah menjadi berat setelah dilatih ayahnya untuk menggunakan suara perut seharian. Tentu Adena adalah dalangnya. Untung saja ia tidak mendapat label 'pengadu' dari Denandan yang biasanya protes kalau ayahnya ikut campur.

Denandan jelas melihat senyum keeil dari bibir Adena. Susah payah ia menahan tubuhnya agar tidak bergoyang. Reaksi datar dan senyum asam yang menghiasi wajahnya tidak terasa sukar sebab sudah menjadi kebiasaan. Hanya saja, entah kenapa, lengkungan senyum Adena membuatnya ingin melakukan hal yang sama.

Apakah seperti ini sinyal persaudaraan?

•••

Abah Sabirin. Begitu orang-orang memanggilnya. Tetua kampung yang paling disegani sekaligus guru mengaji tanpa upah sejak bertahun-tahun. Tidak hanya mengajari baca tulis, beliau juga mengajari tentang kehidupan melalui ceramah setiap malam Jumat.

Adena selalu duduk di depan mendengarkan, Cerita Abah selalu berkesan dan mudah ia tangkap. Lain halnya dengan Denandan dan Banu yang malah asyik bermain karet di bagian belakang dekat pintu Masjid.

"Kamu tadi tugas ya? Teladan banget," ujar Banu, dengan seperempat niat memuji sisanya mengejek.

"Dipilih itu, soalnya tinggi," jawab Denandan sambil mendengkus. Anak yang kulit terangnya mulai menggelap itu memang cukup tinggi untuk ukuran andk sebaya.

"Tapi niat amat kamu. Padahal bisa gerak-gerak aja tadi di tengah lapangan," hasut Banu selaku duta 'anak kesayangan' guru.

"Mana bisa, Babi. Nanti kalau dilaporin ke Ayah, aku yang habis," gerutu Denandan.

Banu menyunggingkan sebelah alisnya seraya tersenyum miring. "Dilaporin Adena?"

Denandan menatap lurus terlebih dahulu, memastikan Adena tidak melihat baru setelah itu mengangguk. Banu sukses tertawa, dan langsung mendapat pukulan paha dari Mas Rayyan—santri senior Abah—yang sedari tadi sudah memberi peringatan lewat tatap mata.

Berbalik ke depan, Adena masih mendengarkan Abah yang tengah menjelaskan terkait hukum menyebut dengan nama binatang. Topik ini sangat sesuai dengan ia yang kerap keras kepala ingin ikut Pa'e ke tongkrongan, dan berakhir kaget selepas mendengar apa saja jenis hewan yang mereka sebut sambil mengeluarkan asap rokok.

"Nduk, Le, kalian ini kan manusia, ciptaan Allah yang paling sempurna. Nah, hewan itu tidak sempurna, mereka tidak memiliki akal. Jadi, tidak boleh nggih, menyebut temannya dengan nama binatang. Nanti ndak pas di akhirat jadi kenyataan. Siapa yang mau nanti di akhirat kepalanya jadi seperti yang sering disebut?"

"Banu!" Seruan Gufran dari pojok Masjid langsung mengundang gelak tawa dan tatapan mengejek yang langsung mengarah pada si pemilik nama. Seluruh tatapan mata tertuju pada pintu keluar masjid, tempat langganan anak itu duduk.

"Eh, Denan juga!" elak Banu yang langsung disambut tawa anak-anak lain. Sudah jadi rahasia umum kalau Denandan adalah sahabat Banu, wajar bila anak polos pindahan dari kota itu kini tertular nakal.

Hanya Adena yang tidak tertawa. Netranya lekat memandang Denandan yang bukannya malu malah tertawa lebar. Dalam hatinya, ada kecewa bercampur amarah entah untuk apa.

Deden harusnya malu, kayak dulu.

•••

"Eehh, jangan pulang dulu!" seru Banu, tangan kanannya menarik Denandan untuk berhenti, sembari kakinya memasang sandal.

"Kenapa?"

Banu mendekat lalu berbisik di telinga Denandan. "Ayo nonton Jathilan di desa sebelah. Bilang aja kerja kelompok."

Denandan mengernyit. Nonton Jathilan di era moderen secara diam-diam ketika akses pagelaran seni sangat mudah di dapat rasanya aneh. Menimbang-nimbang ayahnya yang hari ini pulang larut karena menjadi pengantar karya wisata, sebenarnya tidak akan ketahuan kalau dia ke luar larut. Akan tetapi, sepasang mata yang terus mengawasinya adalah hal yang tidak dapat dihindari.

"Gak bisa, itu...." jawab Denandan, matanya diam-diam melirik pada Adena.

Banu berdecak. "Hari gini dikontrol perempuan. Halah tuh bapak dia juga pasti nonton. Nanti pulangnya bareng kan bisa."

Hasutan Banu sempurna menyerap di hati Denandan. Anak lelaki itu tersenyum dan mengangguk. Tanpa basa-basi ia langsung melangkah bersama Banu meninggalkan pelataran masjid.

"Deden, mau ke mana?" teriak Adena seraya mengejar langkah keduanya.

Denandan berbalik badan. "Ada urusan, bentar. Cepet, kok. Iya, kan, Nu?" tanyanya yang langsung dijawab Banu dengan anggukan dan acungan jempol.

Lekas Adena memegang ujung baju koko Denandan. Menahan anak lelaki itu untuk kabur. "Ke mana? Yang jelas!" tanyanya penuh intimidasi.

"Ada."

"Ke mana?"

"Ada, Ade."

"Ya ke mana?"

"Ke tempat bapakmu! Udah ah, lama ngobrol sama kamu, mah! Perempuan tukang ganggu! Awas jangan jadi pengadu!" potong Banu sembari menarik tangan Denandan.

Si empu tangan hanya pasrah saja ditarik, ia bahkan tidak menoleh ke belakang. Andai kata ia menoleh, pasti anak itu menyadari dirinya masuk ke sebuah jurang yang akan ikut menyakiti Adena. 'Perempuan tukang ganggu'nya Banu yang persis ucapan Pak Aan memberi dampak kuat bagi Adena yang kini kakinya menancap di tanah dengan badan gemetar.

"Na? Dena? Adena? Kok nangis? Kenapa?"

Suara Rayyan terdengar khawatir. Sementara yang ditanya hanya menangis tanpa suara. Rasa malu dipergoki seniornya dan sakit hati oleh ucapan Banu bercampur aduk dalam pikiran gadis itu.

"Mas Rayyan...."

"Iya?"

"Mas pernah nakal nggak? Bisa hilang nggak nakalnya? Hilangnya kapan? Kalau ... nggak .... hilang?"

Tangis Adena yang pecah detik berikutnya, seketika sukses membuat Rayyan menggaruk tengkuk. Raut wajahnya berusaha tenang meski batinnya menjerit.

Abah, ini harus diapakan?

•••

Author's Note :

Halo, Nasylaawa di sini! Sedang senang karena libur. Maulid Nabi, semoga keberkahan menanti :))

Siapa yang di kampungnya masih ada ngaji seperti ini?

Bagian ceramah perkara ngomong kasar ditujukan khusus untuk saya yang dulu, serta lingkungan saya sekarang. Maaf tidak berani negur langsung jadi saya sindir, ahahaha :v

See you next day!

Continue Reading

You'll Also Like

189K 5.6K 60
NOW PUBLISHED WORLDWIDE AS A PAPERBACK/EBOOK! This is a Wattpad featured story in Teen Fiction. When sixteen-year-old Lissa Mehra arrives at the qu...
2.3M 13.2K 33
21+ Demi membayar biaya perawatan kekasihnya yang sedang Koma akibat kecelakaan, Bianca terjebak menjadi Maid di Rumah mewah milik keluarga Richard A...
10.2M 417K 66
On Going (Segera terbit) Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di ke...
667 136 17
πŸ…²πŸ…ΎπŸ…ΌπŸ…ΏπŸ…»πŸ…΄πŸ†ƒπŸ…΄πŸ…³ Kota Padang sebagai Ibukota dari provinsi Sumatera Barat merupakan kota yang sangat berbudaya. Terutama di daerah Pariaman yang de...