For Better or For Worse | ft...

By iamnocturne

9.9K 1.4K 457

Kesalahan besar membuat kapabilitas Max dipertanyakan. Hanya tinggal satu kesempatan tersisa untuk sang alpha... More

Prolog
The Spare
The Bonds
The "First" Encounter
The Trauma
Hostage
Stood His Ground
What Lies in The Past
Chaos
Point of No Returns
Evergreen
Infinitely Falling (Extra)
Favorite Person (Extra)

A Hug

737 112 30
By iamnocturne

Bulan berpendar malu-malu di langit gelap tanpa bintang. Awan berarak ditingkahi embusan angin yang kian lama kian kuat—seakan terburu-buru, entah mengejar apa. Malam ini suhu sekejap terasa gerah, lalu mendadak jatuh drastis dan terasa dingin nan lembab. Bau petrikor bahkan lebih dulu hadir sebelum rintik air hujan datang; beruntungnya ramalan cuaca untuk hari ini sudah diberitakan sejak tadi-tadi, ketika tetesan air langit itu akhirnya tiba menyentuh bumi, orang ramai sudah persiapan dengan keluar membawa payung atau jas hujan.

Mulanya hanya gerimis, kemudian berubah semakin deras; para pejalan kaki mempercepat langkah mereka; laju para pengendara lebih pelan dan perhitungan; beberapa cukup sial lupa tak membawa payung atau jas hujan hingga terpaksa pergi menepi untuk berteduh. Di antara mereka yang sibuk dengan dunia, Maximilian tidak ragu menyebut dirinya sebagai si paling sial. Riuh sang bayu serta gemuruh guntur menutup hampir semua suara-suara lain yang datang dari alam—Max temukan diri seperti orang bodoh yang hilang kewarasan, sebab dari tadi berlarian tanpa arah dan tak segera meneduh meski habis kuyup sekujur badan.

Sang asad merutuki kecerobohan serta ketidakmampuannya untuk bertindak cepat di bawah tekanan, dan kini terpaksa harus menelan pil pahit kenyataan ketika netranya—yang susah payah membuka diterpa rinai langit—nihil bertemu apa yang dicari-cari. Dia kehilangan jejak sang omega, dan hujan sialan ini semakin membuatnya kesulitan mengikuti scent yang ditinggalkan oleh Peter—ah, tidak, namanya sudah berganti; pastinya dia begitu ingin mengubur masa lalu itu dalam-dalam.

Detikan waktu terus mengejar; jika boleh bicara jujur, kekhawatiran yang memenuhi isi kepala dan batinnya sekarang bukan lain karena sang putra berada di tangan kakaknya. Maximilian tahu dia berhutang kata maaf pada omega yang dihamilinya berjuta-juta kali, dia juga mengerti untuk memohon ampunan pasti tidak akan gampang. Akan tetapi, harus diakui kalau tanggung jawab yang dimilikinya terhadap sang omega dan putranya jelas berbeda. Ikatan mereka terhubung kuat oleh kelatnya darah—sebuah garis keturunan yang tidak dapat dibantah, pun dimungkiri faktanya, bahwa sang balita terlahir dengan mewarisi sebagian dirinya.

Sedang di sisi lain, Max bahkan tidak pernah mengikat si omega sebagai miliknya.

Mungkin terdengar jahat untuk seorang pendosa seperti dia sampai berpikiran begini, tapi Max sungguh dibutakan kasih sayangnya kepada sang anak. Dia hanya harus menuruti perintah Mathias dengan membawa omega itu padanya, barangkali sang kakak akan sedikit berbelas kasih atas Kieran. Ya, mengejutkannya, ide itu terlintas cukup banyak di rentang waktu yang terbatas ini, tetapi Max tidak mungkin bisa melakukannya tanpa menemukan si omega terlebih dahulu.

“Ke mana pergimu ... demi Tuhan, tidak tahukah nyawa putra kita sedang dipertaruhkan!” Gusar sang alpha; ruas jemari naik menyelinap celah rambut dan menariknya ke belakang. Dia sudah kehabisan waktu.

***

For fucks sake, tenangkan anak sial itu! Kita tidak butuh kebisingan lain di tengah hujan guntur ini!” Wanita yang barusan dibentak semakin memeluk tubuh kecil dalam dekapannya erat. Bibirnya membuka untuk ucap kata penenang seiring telapak tangan menemukan tempat tutupi kedua telinga seorang balita yang terus menangis. Dia tidak mungkin tahu bila gelegar petir menakuti Kieran, dan lebih buruk lagi suara bentakan sang tuan memperparah kepanikan balita itu. “Di mana pula bajingan itu sekarang, lamban sekali! Tugasnya bahkan tidak rumit kalau hanya untuk menyeret seorang omega. OMEGA!!” Lagi dan lagi, gerutuan marah sang tuan tidak berbalas, sebab mereka yang ada di sana takut mendapat masalah.

Ck, kalian juga tidak membantu sama sekali. Ini cuma hujan air, bukan batu. Lemah.” Sang alpha melirik sengit tiga anak buahnya yang turut serta kemari. Dua orang ditugaskannya berjaga sekaligus memeriksa seluruh area rumah, terutama untuk menunggu di depan dan mengabari bila adiknya sudah tiba—tapi mereka malah masuk karena hujan deras. “Maaf, sir. Kami cukup kesulitan memantau di bawah guyuran hujan--” Telapak sang alpha terangkat memutus kata-kata dari mulut si anak buah. Tidak butuh ada ucap atau teguran, hanya ditatap saja dan alpha bawahannya menunduk tanpa berani membalas kontak mata.

Untuk sejenak ruangan itu nihil dari suara—mengecualikan hujan petir dan angin ribut di luar, serta, “Oh, astaga. Apa perlu kusumpal mulut anak itu supaya bisa diam?!” Meski bibi asisten rumah sudah berusaha memeluk Kieran demi meredam suara tangisnya, itu masih belum cukup. Anak laki-laki itu butuh rasa aman dari orang tuanya. “Maaf bila saya terdengar lancang, Tuan, tapi kalau boleh izin, saya tenangkan dia di kamar. Ini sudah larut, balita seumurnya butuh banyak istirahat.” Tutur si wanita sambil berusaha terdengar tidak mencurigakan; sadar benar kalau dirinya tak diperlakukan kasar karena sang tuan berpikir dia bekerja di bawah suruhan ayahnya.

“Ya, ya, bawa anak sial itu pergi, aku pening mendengarnya menangis!” Dengan izin dari sang tuan, si wanita lantas berterima kasih dan pamit undur diri dengan Kieran ada dalam gendongan. Namun, rupanya dia tak luput dari sasaran curiga, sebab sang tuan menitah salah satu orangnya untuk mengikuti mereka ke kamar. “Kalau kau tidak keberatan, anak ini takut padamu, jadi jangan mendekat lebih jauh.” Peringatnya ketika tiba di depan sebuah pintu bercat kayu.

“Kau tunggulah di sini.” Sambung si wanita sembari memutar kenop pintu dan melewatinya. Dia sudah hampir menutup kembali papan itu kalau bukan karena ditahan oleh si alpha, “Pikirmu aku bodoh? Biarkan pintu ini tetap terbuka, aku harus memastikan kau tidak kabur membawa anak itu.” Seringai miring sang alpha terukir tajam, seolah dia baru saja menebak isi kepala lawan bicaranya.

Tidak lebih dari tatapan datar dia terima, “Segila apa aku, hujan deras begini kabur membawa balita. Lagi pula kau tahu aku bekerja untuk Tuan Besar—dengan kata lain, aku juga mematuhi Tuan Mathias.” Ucapan sang wanita mengundang tukik emosi dari kedua alis sang alpha. Pria itu mendengus, lalu menarik tangannya dari permukaan pintu; membiarkan papan itu berayun hingga menutup sepenuhnya.

Segera setelah mengunci pintu dari dalam, bibi asisten rumah melangkah tergesa ke sudut ruangan. Lengannya menurunkan tubuhKieran yang masih gemetar dan menangis tersedu-sedu, tapi bukan untuk menenangkannya. “Tenanglah sebentar, Nak!” Suaranya yang panik terdengar bersamaan sebuah vas besar di pojok ditariknya menyingkir. “Aku sudah berjanji pada ayahmu untuk menjagamu.” Dia melanjut, masih tidak menatap si balita karena ujung-ujung jemari kini sibuk menyusuri dinding. Tak lama berselang, sebuah pintu kecil terbuka di hadapan mereka.

“Masuklah, ikuti tangga ini, hanya ada satu jalur, kau tidak akan tersesat.” Dia menunjuk pada tangga turun ke bawah, hanya melihatnya saja Kieran sudah jelas tak ingin masuk ruang sempit itu. Lebih lagi gelap—bibi juga sadar, dia berdiri mencari sesuatu dari dalam lemari, lalu menyodorkan sebuah senter ke tangan Kieran. “Ayahmu akan menemukanmu di sana, percayalah. Cepat, tidak ada waktu, Nak.” Sorot mata wanita itu berlinangan basah, dia mana bisa tega menyuruh anak sekecil Kieran untuk bertahan sendirian. Tapi jika mereka berdua menghilang, pasti masalahnya akan semakin rumit.

“Tidak, hiks, gelap ... Elan mau Kakak!” Bibi pejamkan matanya sejenak, dia tidak punya banyak waktu lagi. “Ini demi kebaikanmu juga, Nak. Tetaplah hidup untuk ayahmu.” Parau suaranya mengiringi gestur kasar—tubuh Kieran setengah didorong paksa untuk masuk lewat pintu kecil itu. Tangisnya makin keras, yang ini bersama kata kenapa dan jangan berulang kali. Tak pelak pintu kamar digedor kuat, alpha di luar sana mengumpat karena si balita bukannya tenang malah kian membuat bising. “Apa yang kau lakukan di dalam sana?! Ikat saja mulut anak itu kalau tidak mau diam juga!” Bibi menoleh dengan jantung nyaris berhenti—untung saja si alpha tidak ngotot mendobrak masuk. Tapi itu jadi bukti kalau Kieran harus lekas kabur.

“Kau akan baik-baik saja, aku janji.” Gelengan kepala Kieran ribut, air matanya bercucuran, kedua lengan terulur ke depan karena dia sungguh tidak mau masuk ke kegelapan itu. Namun, Bibi mendorongnya lagi, lebih pelan dan hati-hati karena tidak mau jari si kecil terjepit pintu yang ditutup. “Ini hanya sebentar.” Bibi tersenyum, lalu semuanya gelap, hanya ada terang senter yang jadi pegangan Kieran. Si balita menangis di tempatnya berdiri, lalu dia dengar ketukan dari pintu, “Pergi, Nak! Pergi, jangan lihat ke belakang! Ayahmu pasti akan menemukanmu!” Kieran mencecap asin tangis dan ingusnya, tidak mendengarkan. Bagaimanapun dia tetap hanya anak kecil yang tidak tahu caranya menghadapi takut akan gelap. “Kieran, Bibi mohon, ayah-- Kakak pasti juga akan di sana!”

Kakak? batin si balita, menoleh ke kiri tempat sumber suara bibi asisten rumah. “Ya, Ayah sedang keluar untuk menjemput Kakak, dan nanti mereka akan kemari menjemputmu juga.” Ujar Bibi dengan redam. Bagi orang dewasa, kebohongannya jelas terbaca, tapi untuk Kieran, dia tentu akan percaya. “Kakak?” Cicitnya, lalu percakapan searah oleh Bibi terjadi beberapa kali. Wanita itu berupaya meyakinkan si kecil untuk melangkah turun ke rubanah—setidaknya jika situasi menjadi tidak terkendali, bocah itu punya sedikit waktu lebih.

Pelan tapi pasti, Kieran mulai yakin. Anak itu mengambil langkah pertama meniti anak tangga meski sambil gemetaran. “Kakak, tolong Elan.”

***

Ketemu. Omega itu, Max berhasil menjumpainya di halte bus cukup jauh dari area rumah sakit. Tubuh kurusnya terlihat ringkih, menggigil dengan hanya kain baju tipis yang melingkupi. Dia berdiri sambil terus berayun ke depan dan belakang serta celingukan, seperti tidak sabar untuk bus segera tiba menjemput. Pastinya dia tidak berharap kalau yang menepi berhenti di hadapannya justru sebuah jentera empat hitam misterius. Max bersumpah, sudut matanya melihat omega itu sudah akan berlari detik ketika mobil miliknya terparkir. Lebih lagi begitu pintu kemudi terbuka dan dia yang muncul dalam keadaan kuyu—terserah, toh hujan juga belum ada tanda reda—Max temukan manik jelah si omega membelangah lebar dan kakinya terpaku di tempat.

Kenneth, aku tidak punya sisa tenaga untuk ini, jangan berteriak atau kabur lagi ... please.” Dia menjaga jarak supaya tidak menakuti Kenneth. Sepanjang itu, oniks hitam di matanya menyimpan emosi campur aduk, tapi yang kali ini didominasi permohonan. “Aku minta maaf atas semuanya,” lanjut sang leo dengan suara bertambah lirih, malah lesap dibanding kerasnya hujan ini. Satu kali meneguk ludah, kakinya melangkah ke depan, kikis jarak di antara mereka. Kenneth tidak dia sangka akan benar-benar diam tanpa niatan kabur—sampai Max menyadari ada ketakutan dan trauma yang lekat di paras si omega malang. Dia henti dengan jarak masih tersisa meski hanya sedikit, kedua tangannya terkepal erat-erat.

“Kau ... mengenaliku?” Membaca air muka horor yang tampil dan tubuh gemetaran, Maximilian tahu persis jika Kenneth sudah mengenalinya sejak satu kaki menapak turun dari kendaraan. Malam ini dia tidak berusaha menutupi feromonnya sama sekali, dan sekalipun hujan turun, dari jarak dekat begini—juga trauma yang membekas bagi si omega atas kejadian malam itu—Kenneth pasti akan langsung sadar bahwa alpha asing yang berdiri di hadapannya adalah orang yang sudah melecehkannya dulu.

“K--kau ... kau bukan--”

Max tersenyum kecut, “Aku bukan Mathias,” tak berani menatap ke depan setelah fakta itu terucap.

“Tidak mungkin ... tidak ... kumohon jangan lagi,” Max tersentak melihat sang jauza jatuh berlutut dan menutup mulut serta hidungnya. Jika ada omega yang akan mual mencium feromon busuk alphanya, maka Kenneth adalah orangnya. Dia menangis dengan mata terpejam— tidak berharap akan menjumpai pemilik feromon ini untuk kedua kalinya. “Ini cuma halusinasi ... ini tidak nyata ... ayolah sadar, kau sudah berkali-kali melewati ini!” Dada sang alpha terasa sesak mendengar kenyataan bahwa ada orang lain yang lebih terpuruk atas kejadian empat tahun silam. Patutnya dia sudah mengerti dan menduga ini akan terjadi. Lebih dari dirinya, Kenneth bukan hanya mendapat trauma hingga ingin melupa identitas masa lalunya, tapi turut dipaksa mengambil tanggung jawab penuh anak hasil rudapaksa.

Setiap bayi yang baru lahir, terlepas apa pun secondary gender-nya ketika dewasa, akan lebih dulu memiliki feromon dari ayahnya sampai usia beberapa bulan. Orang dulu-dulu bilang, itu adalah cara semesta memicu naluri kebapakan sekaligus membentuk ikatan yang menjamin tanggung jawab seorang alpha terhadap keturunannya. Mengetahui fakta ini tidak lebih dari beban rasa bersalah bagi Maximilian. Dia tidak yakin sanggup membayangkan bagaimana Kenneth harus menjalani masa-masa itu sendirian.

Tegukan ludahnya kasar, lutut dibawa turun menekuk hingga dirinya dan si omega berhadap-hadapan. Bibir yang sedikit menggigil membuka pelan, “Kenneth,” dilihatnya si lawan bicara kini malah menutup kedua telinga, seolah benar-benar menganggap bahwa dia ini cuma proyeksi atas trauma. Sial, lupakan soal idenya menyerahkan si omega pada sang kakak, dia hanya ingin memeluknya erat dan memberinya rasa aman. “Maaf. Sungguh, maafkan aku. Aku tidak punya pembelaan apa pun,” kata dari mulutnya tertahan, demikian juga si omega yang membuka kelopaknya seketika lepas kalimat Max dilanjutkan, “... tapi Kieran dalam bahaya. Putra kita butuh bantuan.” Suaranya sarat sesal, tapi juga menyimpan khawatir.

Manik berlian itu lagi-lagi membulat, “Apa-- apa yang sudah kau lakukan padanya?!” Bukan hal yang Max kira akan terjadi, ketika Kenneth meraih kerah bajunya kasar. Kilatan di mata si omega masih dihinggapi takut, tapi secercah api kemarahan turut menari di sana. “Bajingan, apa lagi yang kau inginkan dari putraku?! Tidak cukupkah menghancurkan hidup kami berdua?!” Tangan kanan si Juni mengepal erat hingga buku jari memutih, dia lesatkan pukulan tanpa peringatan ke rahang sang alpha hingga jatuh ke belakang—lalu pangkal hidung, pelipis, dan entahlah mana lagi, dia tak menghitung sebab lawannya juga hanya diam menerima. “Dasar alpha brengsek! Iblis! Enyah dari hidup kami!”

Pukulan yang Kenneth layangkan tidak sebegitu menyakitkan kalau dibanding dengan luka abadi yang sudah Maximilian torehkan untuk si omega. Maka dari itu dia tidak berencana membalas sama sekali.

Bahkan di tengah amukannya pun ketakutan yang terpancar di mata Kenneth tidak jua menghilang. “Dia takut gelap dan juga petir, apa kau tahu itu? Sekarang aku tidak ada di rumah bersamanya, dan itu semua karena dirimu!” Pukulan kesekian ditahan oleh Max; untuk sekejap dia buat Kenneth merinding mengira sang alpha akan membalas dengan kasar. Namun, untuk beberapa detik kosong, mereka hanya saling tatap.

“Mathias,” nama itu keluar dari belah bibir berdarah sang asad. “Dia sudah bebas dari penjara. Kieran sekarang ada bersamanya. Dia melakukan ini untuk balas dendam padamu.”

Kenneth diam, lalu tertawa seraya mundur. Sang jauza sudah seperti orang sinting. “Oh, astaga. Aku pasti sedang tidak waras, halusinasiku jadi sangat nyata begini.” Alis sang asad menukik, “Aku tidak bercanda, Ken. Entah apa yang bisa dia perbuat pada anak kita jika tidak lekas dihentikan.” Lagi, Kenneth masih tertawa, tetapi sirat matanya putus asa. “Omong kosong, hukumannya masih lama berjalan. Kau-- kau hanya wujud halusinasiku ... aku yang lebih tahu, alpha bajingan itu tidak akan bisa menemukanku, lebih lagi menyentuh anaknya.”

Belum ada sedetik, gelegak emosi langsung tersulut begitu Max dengar nama sang kakak diakui oleh si omega. “Mathias bukan ayahnya!” Darah di sudut bibir dia seka, maju dua langkah tanpa acuh meski si gemini mundur. “Tahu apa kau ini, matamu ditutup sepanjang malam itu berlangsung.” Kenneth mundur hingga punggung terhimpit dinding halte bus, dia mulai sadar kalau pria asing di hadapannya  nyata.

“Bau alkohol dan asap rokok malam itu pasti sudah mengacaukan indra penciumanmu,” tuk, langkah maju sang alpha berhenti, jarak mereka tersisa tidak ada tiga puluh senti. “Jawab, Kenneth. Bukankah aku yang kau kenali dari feromon lahir Kieran?” Maximilian masihlah remaja, dia belum banyak belajar mengendalikan ego alphanya dan berujung kesulitan berhenti sekarang. “Kieran putraku. Dan kupastikan untuk memotong tangan si brengsek Mathias jika dia berani menyentuhnya.”

***

Perjalanan kembali ke rumah tidak terasa menyenangkan. Max berhasil menyeret Kenneth ikut bersamanya, tapi dia tidak bangga sama sekali, si omega bahkan hanya diam sambil memainkan kuku-kukunya di atas pangkuan. Sekilas sudut mata sang alpha temukan ulah si Juni buat jarinya terluka, tapi dia pun tidak bisa sembarangan menggenggam tangannya meski khawatir.

Berada satu mobil penuh feromon alpha yang sudah menggagahinya paksa jelas adalah mimpi buruk bagi omega mana pun. Kenyataan kalau malam ini Kenneth menurut pada Maximilian bukan berarti sang asad sudah dapat kepercayaan penuh, melainkan sebab si Juni tunduk pada rasa takutnya, dan itu terasa lebih menyakitkan bagi si dominan.

Bukan begini yang kuharapkan. Jika sekarang Max berucap ‘maaf’ pun dia tahu Kenneth akan mengiakan, tapi itu semata karena sang jauza tidak punya keberanian untuk membantah.

Mobil Max berhenti di bawah naungan bayang pohon besar, sedikit jauh dari gerbang kediamannya. Hujan deras malam ini cukup membantu untuk menyamarkan keberadaan mereka, dia bahkan seperti uji nyali dengan berkendara tanpa menyalakan lampu. Max paham kakaknya tidak mungkin datang sendirian, pasti ada beberapa cecunguk yang dia bawa untuk ikut berjaga-jaga, jadi dia tidak mau mencuri perhatian.

Kenneth memerhatikan dalam diam ketika sang alpha membuka laci dasbor—dia melotot begitu tahu apa isinya—untuk mengeluarkan senjata api serta beberapa buah peluru dari sana. Max memasukan butir-butir peluru itu ke dalam senapan kosong dengan lihai seakan sudah terbiasa. “Tunggu di sini, aku akan kembali dalam lima belas menit bersama Kieran.” Ujar pemuda itu, dan Kenneth tidak bisa menahan diri untuk tidak memegang tangannya, mencegah Max turun dari mobil. “Buat sumpah.” Kata omega itu, serius, “Bersumpahlah untuk melindungi putraku dan membawanya kembali tanpa terluka.”

Kenneth berjengit kala punggung tangannya dirangkum oleh telapak dingin Maximilian. “Aku bersumpah atas nyawaku sendiri, aku pasti akan membawanya pulang padamu.” Dan dengan begitu, Kenneth biarkan Max pergi membelah derasnya hujan.

Tungkai sang asad berayun penuh perhitungan mendekati gerbang rumahnya sendiri. Beruntung hujan malam ini sepertinya akan awet hingga esok pagi, dia tidak perlu memikirkan soal suara dan hanya harus berusaha tidak menimbulkan pergerakan tiba-tiba. Senapan siap tergenggam, dia sudah menduga kalau di pekarangan pasti akan kosong—hujan begini, siapa mau berkeliaran. Bahkan anak buah Mathias pun pasti cukup waras.

Max menyusuri halaman dengan memanfaatkan bayangan pohon, pagar, atau semak-semak. Dia tak boleh tersorot cahaya lampu dari jendela rumah. Namun, yang tidak dia sangka kemudian, adalah kilat cahaya yang lewat mengenai kakinya dengan berantakan. Hampir saja dia mengira sudah ketahuan kalau bukan karena sumber kilatan itu disadarinya berasal dari balik kaca ventilasi kecil di bawah dan tertutup semak-semak. Seketika maniknya membola, terburu bawa diri merunduk hingga wajah nyaris mencium tanah demi bisa memeriksa lebih jelas.

Kilatan cahaya tadi kembali bergerak, menyilaukan sejenak kedua mata yang mengintip sampai arahnya berubah sembarangan. “Kieran!” Dia melihatnya; sang putra menangis kebingungan di ruang bawah tanah rumahnya dengan sebuah senter jadi sumber penerangan. Tidak buang waktu, Max berupaya mencongkel jendela kecil itu untuk membuka.

“Kieran!” Panggilnya begitu berhasil membuka celah; Max ulurkan tangan kirinya masuk—hanya muat untuk itu. Pekikan sang alpha menarik atensi si balita yang lekas menoleh dan berlari ke arahnya. “Ayah di sini, sayang ... stt, jangan menangis.” Sesak sekali rasanya menyaksikan kedua tangan Kieran naik dan anak itu yang terus berusaha melompat kecil untuk bisa mencapai tangan sang ayah. Jarak ventilasi terlalu tinggi, pun tidak bisa juga kalau Max akan menarik sang putra dari celah sempit itu. “Sabar sebentar, hm? Ayah ke situ dan bawa Kieran keluar, oke?” Jawaban sang putra hanya gelengan di sela tangis, dia tidak mau ditinggal sendirian lagi.

“Ayah janji, sayang. Ibu juga sudah menunggu kita di depan sana, jadi jangan menangis lagi.” Max mundur, mau tak mau meninggalkan Kieran yang menjerit-jerit berusaha ambil perhatiannya lagi. “--yah!” Telinga dengar penggalan akhir si kecil memanggil, dan untuk pertama kalinya Max merasa dirinya lengkap.

Kakinya tergesa menuju bagian belakang rumah, tapi tetap hati-hati. Di sana ada pintu besi menuju ke rubanah yang sialnya digembok. Max hampir tidak ingat kapan terakhir dia suruh orang yang bekerja mengurusi pekarangan untuk jangan mengunci pintu ini—tapi beliau bilang takut peralatan banyak hilang atau binatang masuk. “Ck, sial.” Umpat sang leo; frustrasinya hanya sebentar karena lepas itu dia mendangak dan mengamati langit. Tetesan air kuat menimpa wajahnya seperti ribuan jarum, tapi yang ditunggunya adalah kilatan petir.

Ctarr!

Segaris cahaya bercabang membelah kanvas langit gelap, Max bawa arah matanya kembali pada gembok di pintu dengan senapan teracung. Ketika suara guntur datang menyusul dengan gelegar yang sanggup buat kaca bergetar, telunjuk tarik pelatuk senjatanya untuk menembak.

Bhlar! Dor! Bhlar!

Maximilian memanfaatkan kerasnya guruh untuk menyamarkan suara tembakannya. Namun, satu lesatan peluru masih belum cukup merusak gembok di sana, maka dia kembali menanti kilat dan gemuruh datang. Tidak terhitung berapa kali bibir menggigil sang alpha menyumpahi banyak hal, “Putraku ketakutan di dalam sana sendirian, sialan!” Tembakan kedua akhirnya berhasil melonggarkan gembok, dan yang ketiga, bukan peluru, Max ambil batu bata di dekatnya untuk memukul gemboknya hingga lepas. Bajingan, dia membatin karena harus berlagak perampok di rumah sendiri.

Max menuruni tangga dengan tergesa, tak peduli licin oleh hujan yang masuk ketika dia buka pintu besi menuju rubanah. Di bawah sana hanya ada ruangan sempit penuh peralatan kebun dan perkakas lain, tapi jika rak di sudut digeser—yang mana itulah yang dilakukannya sekarang—akan ada sebuah akses ke ruangan lain. Sang alpha selipkan senapannya ke sabuk belakang, lantas mendorong rak berisi pot dan banyak barang bekas di sana supaya bergeser. Mestinya Maximilian sudah lelah dengan banyaknya energi yang dikuras hari ini, tapi dia tidak merasa kesulitan waktu menyingkirkan rak itu sampai akses rahasia ke ruangan sebelah terbuka lebar.

“Ayah!” Pekikan datang dari si kecil yang tidak buang waktu langsung menghambur ke pelukannya. Siapa sangka rasanya dipanggil ayah akan begitu mengagumkan. “Ayah di sini, sayang, Ayah memelukmu ... jangan takut, Ayah sudah janji tidak akan membiarkanmu sendirian lagi.” Max mendekap erat tubuh sang anak, membiarkan tangisan balita itu puas dapat sandaran di pundak kokohnya. Buliran basah bekas hujan menetes dari helai rambut sang leo, tapi dia juga tidak akan malu mengakui bila yang mengalir di pipinya mungkin sudah bercampur air matanya sendiri.


Bersambung.

Continue Reading

You'll Also Like

85.2K 5.9K 18
Laksita Hana Bahira adalah seorang Perempuan yang terpaksa menyewakan Rahimnya pada seorang Laki-laki karena satu masalah yang sedang membebaninya. N...
623K 35.4K 125
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
180K 24.9K 61
Allura Christy Gadis remaja polos nan lugu yang kerap kali mendapat bullyan dari semua siswa siswi di sekolahnya. Bagaimana tidak, sekolahnya saja s...
4.6K 291 10
aku sudah memutuskan untuk pergi dan berhenti untuk mencintaimu. Terimakasih atas rasa sakit yang sangat sulit untuk di sembuhkan.