~~~
Kalana termenung ketika sebuah bola kecil menggelinding mengenai kakinya, terantuk tepat pada mata kaki Kalana. Tak berapa lama seorang anak laki-laki berlari ke arah nya, dengan wajah riang yang juga nampak sedikit khawatir.
"Tante maaf ya bola Liam nakal banget, lali na jauh tampai kesini." Suara khas bocah kecil dengan beberapa kalimat yang belum bisa ia ucapkan dengan benar memasuki rungu Kalana. Si anak menunduk mengambil bola yang sebenarnya masih cukup kebesaran untuk ia pegang seorang diri meski sudah menggunakan kedua tangan nya.
"Gakpapa sayang, bola nya nggak nakal kok. Mama kamu mana?" tanya Kalana yang kini duduk berjongkok agar bisa menyamakan tinggi nya dengan si anak.
Kalana tersenyum manis, anak selucu ini selalu bisa membuat Kalana gemas.
Si anak menunjuk ke arah kanan dan agak sedikit membelakangi tempat dimana tadi Kalana berada, "Disana tante, lagi nemenin kakek."
"Tante anterin kamu ke mama ya, mau kan?" Meski sebenarnya jarak ibu si anak hanya berkisar beberapa meter, namun tetap saja Kalana tak akan membiarkan anak selucu ini berjalan seorang diri untuk kembali pada ibu nya.
Si anak hanya mengangguk singkat, kemudian tangan kanan nya segera Kalana ambil untuk di tuntun. Kalana sempat juga mengajukan diri untuk memegang bola nya agar tak kesusahan, tapi anak kecil tersebut bersikeras ingin membawa bola nya sendiri. Kalana turuti tentu saja, Kalana tahu anak kecil terkadang pasti ingin memegang mainan nya sendiri.
Selepas mengembalikan anak kecil tersebut pada ibu nya, Kalana berbalik, melangkah dengan pelan pada tempat ia berada sebelumnya.
Disana, dibangku taman rumah sakit, masih ada Ceilo yang sebenarnya sedari tadi duduk bersama Kalana.
Tadinya Ceilo meminta Kalana untuk berbicara berdua, dengan raut memohon Ceilo meminta waktu Kalana agar perempuan itu mau diajak bicara. Kalana mengiyakan, bukan karena rasa iba namun karena memang merasa jika ada suatu hal yang perlu dikomunikasikan, maka komunikasi kan lah sebelum semuanya menjadi kesalahpahaman seperti yang sudah-sudah.
Namun sampai dengan, mungkin kurang lebih lima belas menit berada di bangku taman, Ceilo masih bungkam. Mereka berdua hanya duduk, termenung, menatap lurus dengan pikiran masing-masing. Sampai dengan sebuah bola menggelinding mengenai kaki Kalana dan kemudian kehadiran seorang anak kecil, barulah keheningan tersebut terpecah.
"Kamu tau hal apa yang paling bikin aku hancur selain keluarga aku yang berantakan?" Ucap Ceilo secara tiba-tiba saat Kalana baru saja kembali duduk, bersisian dengan Ceilo di bangku taman.
Kalana tak menyahut karena rasanya Ceilo bukanlah tengah melontarkan pertanyaan, namun pernyataan.
"Waktu aku tau anak aku pergi. Saat Stefan ngasih tau kalau kamu lagi hamil, aku seneng banget. Rasanya kayak Tuhan ngasih anugerah buat aku ditengah kacau nya hidup aku, tapi nggak berapa lama Stefan ngehancurin impian aku dengan bilang kalau anak itu udah pergi. Anak aku udah ninggalin aku tanpa aku sempat tau kalau dia ada. Tapi semua bukan salah kamu, aku yang salah karena nggak becus sebagai ayahnya. Dendam bikin aku buta sama semuanya sampai aku lupa tentang gimana keadaan kamu." Ceilo menunduk, meski bersisian, namun mereka berdua tak saling pandang, hanya menatap lurus kedepan dengan mulut yang kini mencoba untuk mulai bersuara.
"Kalana, aku tau kesalahan aku sama kamu sangatlah besar. Aku sadar, sudah sepantasnya kamu benci sama aku. Tapi gimanapun aku harus tetap minta maaf sama kamu. Gakpapa kalau kamu nggak bersedia buat maafin aku, karena emang sudah seharusnya begitu. Minta maaf sama kamu itu ibarat sebagian kecil dari kewajiban aku sebagai orang yang punya banyak dosa ke kamu. Selama empat tahun ini aku nggak sempat satu kalipun benar-benar minta ampun sama kamu. Buat semua yang udah aku lakuin ke kamu, aku minta maaf Kalana." Ceilo melanjutkan untaian kalimat nya yang cukup panjang, menoleh ke arah Kalana yang berada di sisi kanan nya, menatap perempuan itu lirih walaupun bergantian, kini Kalana yang menunduk.
Bagaimana Kalana harus menjelaskan isi hati nya setelah mendengar semua kalimat maaf dari Ceilo? Jawaban nya, tidak tau, tidak ada. Kalana seolah henti pikir.
Mereka kembali hening, hanya semilir sejuknya angin sore yang menenami, kicau burung yang seolah menjadi lagu penenang.
Kalana hanya merasa jantungnya seperti di tikam ribuan jarum. Liam, anak kecil yang barusan menghampiri Kalana tanpa sengaja, yang mungkin berusia sekitar tiga tahun. Melihat dan juga berbicara dengan Liam membuat Kalana seketika merindukan anaknya yang bahkan tak sempat Kalana sapa, yang hanya singgah begitu sebentar di rahim Kalana, memberi harap namun kemudian sirna begitu saja.
Ceilo bilang bahwa lelaki itu begitu terpukul ketika kehilangan anaknya, pun begitu pula dengan Kalana. Hal yang paling menakutkan, yakni ketika kehilangan harapan.
Sama seperti Kalana, Ceilo yang sedari tadi hanya diam pun akhirnya membuka suara ketika Liam menghampiri. Mengkhayal seolah Liam adalah putra nya yang tengah bermain.
Kalana dan Ceilo hanyalah sepasang yang memiliki harapan mereka masing-masing.
"Ilo, anak aku mungkin seusia Liam kalau aja dia masih hidup," pandangan Kalana kosong kedepan, mulutnya menguntaikan kalimat tanpa disadari, hanya mengikuti kehendak hatinya.
"Anak kita Kalana, anak aku dan kamu." Ceilo menginterupsi, berusaha mengoreksi perkataan Kalana dan masih menatap lekat perempuan tersebut.
Pandang Kalana beralih, dua anak manusia itu kini saling menatap lekat satu sama lain hingga akhirnya Kalana yang kembali menunduk terlebih dahulu.
"Semua udah berlalu Ilo, mau kita ungkit sejuta kalipun nggak akan merubah keadaan." Ucap Kalana berusaha ikhlas meski hatinya sebenarnya merintih, ingin protes pada keadaan namun sadar bukan hanya ia seorang yang mengalami kesakitan di dunia ini.
"Aku tau Lan, karena itu aku minta maaf walaupun rasa sesal bakal terus ngikutin aku seumur hidup. Aku juga udah tau pelaku yang nabrak kamu, nggak lama setelah kecekalaan kamu." Kalimat terakhir yang Ceilo ucapkan tentu membuat Kalana segera menegapkan badan, sedikit terkesiap.
"Orangnya sekarang dimana?" tanya Kalana, tentu sangat penasaran. Pelaku tersebut membuat Kalana kehilangan janin nya.
Ceilo mengambil nafas, sudah lama ia ingin memberi tahu hal ini pada Kalana. Bukan untuk membuat Kalana bertambah risau, hanya saja bagaimanapun Kalana memiliki hak untuk tahu siapa orang yang sudah mencelakai Kalana kemudian kabur begitu saja.
"Keisya. Dia sengaja nabrak kamu Lan, dia nyari keberadaan kamu dan sialnya dia lebih dulu nemuin kamu dibanding aku."
Tangan Kalana seketika mengepal, kuku-kuku jarinya bahkan melukai telapak tangan nya sendiri. Pedih fisiknya saat ini tak berarti apapun dibanding pedih dihatinya saat mengetahui kebenaran yang terjadi.
Melihat amarah di raut Kalana membuat Ceilo seperti dihujami belati. Wajar jika Kalana marah, Ceilo juga sangat membenci Keisya. Ketika Ceilo tahu bahwa Kalana menjadi korban tabrak lari bahkan kecelakaan tersebut membuat mereka kehilangan anak mereka, tentu Ceilo segera mengambil sikap dan mencari orang yang harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Bagai sebuah kejutan, ternyata Keisya yang masih menyimpan dendam pada Ceilo lah yang mencelakai Kalana dengan sengaja.
"Aku udah tuntut Keisya, tapi sayangnya dia cuma di penjara selama lima bulan dan denda seratus juta. Punya gadun orang berkuasa bikin dia gampang lepas dari jerat hukum." Ceilo mengucap sembari meringis kecil ketika teringat bahwa perempuan ular itu rasanya tak mendapatkan ganjaran yang setimpal.
Kalana berdecih, mengusap kening nya sendiri yang tiba-tiba terasa pening.
"Sekali lagi aku minta maaf Lan karena nggak becus buat bikin Keisya dapat hukuman yang setimpal. Dosa aku sama kamu bener-bener nggak bisa kehitung." Jujur saja, air mata sudah menggenang di pelupuk Ceilo ketika sekali lagi ia teringat bahwa Keisya sudah membuatnya kehilangan anaknya, kehilangan harapannya.
Ceilo memang terlahir dari keluarga bersendok emas, namun ia hanyalah keluarga pengusaha. Sedang orang dibelakang Keisya adalah yang berkuasa pada kedudukan di negeri ini, yang bisa dengan mudah mempermainkan jabatan dan juga hukum. Sehingga pada akhirnya Ceilo tak bisa berbuat lebih.
"Kalana, aku cinta sama kamu. Sedari awal, aku tertarik saat kita pertama kali ketemu. Semakin lama perasaan itu semakin berkembang, tapi sayangnya aku salah paham sama kamu. Nggak pernah sedetik pun aku nggak cinta sama kamu, meskipun dengan bodohnya aku harus memperlakukan kamu begitu buruk. Keisya hanyalah perempuan yang aku jadikan alat sebagai ajang balas dendam biar kamu sakit hati. Tapi sejujurnya tiap kali nyakikitin kamu aku juga sakit, tiap liat air mata kamu, aku juga mau nangis. Aku nggak pernah nganggap Keisya pacar, dan bahkan aku cuma nunjukin kemesraan ketika di depan kamu. Sedari awal aku juga udah tau Keisya perempuan seperti apa, karena itu aku pilih dia sebagai alat ku buat nyakitin kamu."
Kalana tersenyum kecut mendengar penjelasan panjang dan juga ungkapan perasaan dari Ceilo. Rasanya terdengar seperti omong kosong belaka.
"Ilo, semua udah di masalalu. Hubungan kita mungkin hanya singgah sebagai pelajaran buat aku dan kamu." Kalana melirih, ia hanya tak ingin lagi mengingat masalalu. Baginya semua sudah usai dan tak perlu di gali lebih banyak lagi karena hanya akan semakin menyakitkan hati.
"Aku tau Lan, aku juga nggak ada niat buat berharap lebih. Aku sadar diri, aku tau aku salah. Serakah rasanya kalau aku berharap kamu mau kembali sama aku. Kamu tenang aja, aku nggak akan berusaha buat milikin kamu lagi karena aku tau aku nggak pantas buat kamu meskipun rasa cinta aku ke kamu nggak pernah pudar barang sedetikpun. Se-enggaknya aku tau kamu baik-baik aja, itu udah lebih dari cukup."
Kalana meneguk ludahnya, rupanya lelaki disampingnya ini sudah pasrah terlebih dahulu.
"Apapun yang terjadi, semua udah di masalalu. Aku emang susah lupa gimana cara kamu dulu nyakitin aku, tapi aku akan berusaha untuk ikhlas sedikit demi sedikit. Buat diri aku sendiri, buat ketenangan hati aku. Dan aku harap kamu juga akan selalu baik-baik aja, Ceilo."
Mata Kalana mengerjap kecil, ia juga tengah berusaha menahan air mata nya. Duduk berdua seperti ini bersama Ceilo dan membicarakan tentang apa yang dulu pernah mereka lalui membuat Kalana harus kembali menyalin lembar demi lembar kehidupan nya yang pernah terjadi di masalalu.
Sedang Ceilo sedikit melega serta berusaha untuk mengais eksistensi Kalana sebanyak mungkin. Ceilo tahu, setelah ini entah kapan ia akan bisa kembali menatap Kalana sedekat ini. Memotret sebanyak mungkin tiap lekuk wajah perempuan yang sangat ia cintai untuk ia tanam dan ia kenang setiap waktu.
Jangankan untuk sekedar menyentuh ujung jari Kalana, menatap sosok nyata perempuan itu saja bagaikan keajaiban nan sangat langka bagi seorang Ceilo.
Sepasang itu kini tersenyum pilu, saling menautkan doa yang hanya hati mereka sendiri yang tahu.
Kisah Kalana dan Ceilo sudah berakhir tanpa mereka sempat mengecap rasa bahagia.
✨✨✨
Belum ending ya, dan pejuang happy ending tenang kok, tenang aja 😆