Sudah hari Senin lagi, aku harus sekolah. Rasanya aku ingin bolos, tapi tentu tidak bisa. Berjalan di koridor dengan earphone terpasang di telingaku, sedikit menutupi suara hujan yang begitu deras.
Aku sudah berdiri di depan kelas, menatap malas pintu bertuliskan XI IPA 2 yang ada di hadapanku. Baru saja ingin membukanya, mendadak ada suara keributan tidak jauh dari posisiku berdiri.
"Gue udah bilang sama lo, kalo sekolah bawa duit yang banyak. Lo bawa duit lima puluh ribu mana cukup? Miskin!" bentak Reza, lagi-lagi dia dan kedua temannya menindas adik kelas.
"Malak gue terus, lebih miskin dari gue, ya?"
Kulihat anak yang dipalak itu tersenyum miring. Reza yang semakin emosi mengangkat tangannya yang terkepal erat, siap meninju.
"Berenti!" teriakku, "kalo mau ribut jangan di depan kelas, dong. Gue mau tidur, nih," protesku.
Kudengar Reza mendecak, lalu menarik kerah belakang anak itu dan menyeretnya pergi.
Aku langsung masuk ke kelas, tak lupa menaruh buku matematika di atas meja Lala, kutu buku yang duduk di bangku paling depan dekat guru. Sudah ada tiga buku lain di sana. Lala menatapku sambil mengangguk kecil, tidak perlu diperintah, dia tahu apa yang kumaksud.
Seperti ucapanku tadi, aku ingin tidur. Bukan dalam posisi duduk lalu menyendarkan kepala di meja atau tembok, aku betulan berbaring di lantai, tepat di bawah mejaku, dengan tas sebagai bantalan.
"Tumben lo masuk hari Senin, pas ujan lagi," ujar teman sebangku sekaligus sahabatku, Carissa.
"Bulan ini gue udah bolos tiga kali, jadi gak bisa bolos lagi," ucapku sambil melihat layar HP.
Ya, itu alasanku masuk hari ini, tidak ingin cari masalah.
"Biasanya juga lebih dari lima kali," katanya lagi, tapi tak kuhiraukan.
Baru saja memejamkan mata, mendadak seruan wali kelasku terdengar. "Yang lagi tidur cepetan bangun!"
Aku yang terkejut, refleks duduk dan membuat dahiku menyundul meja.
Duk
"Aduh ...."
"Mentang-mentang gak upacara, jadi pada tidur-tiduran. Berdiri semuanya, nyanyi lagu Indonesia Raya 3 Stanza!" perintah beliau.
Aku segera berdiri, melepas earphone yang masih terpasang sejak tadi dan menyimpannya di saku seragam.
Akhirnya kami menyanyikan lagu kebangsaan sambil berdiri tegak. Selesai menyanyi, Pak Heri keluar. Bel pelajaran pertama belum berbunyi, biasanya jam segini kami masih upacara.
Tidak lama, ibu kantin datang membawa semangkuk mie, aku memang sudah memesannya sebelum masuk ke kelas tadi.
Ibu kantin menaruh mangkuk berisi mie di meja. "Dek, ini mie-nya."
"Nanti kalo udah selesai makan, mangkuknya saya taruh di bawah meja, ya, Bu. Ini uangnya."
Ibu kantin pergi setelah menerima uang. Belum sempat makan, mendadak seorang siswi sengaja menyenggol mangkuk hingga mie-ku tumpah ke meja.
"Ups ... maaf, gak sengaja," lirihnya sambil memasang muka melas.
Brak
Kesal, aku berdiri sambil menggebrak meja dengan keras, membuat seisi kelas menatapku.
"Jijik gue liat muka lo begitu, bersihin meja gue!"
"Yang makan siapa? Kok gue yang disuruh?"
"Masa gue yang bersihin, sih. Sekalian ganti duit sepuluh ribu gue!" Tanganku mengepal, menahan marah.
"Masa orang kaya gak mampu beli mie lagi?"
"Stella, tanggung jawab lo! Mau gue tampol muka lo biar makin jelek?" Carissa ikut membelaku.
"Lah, lo ngajak gu-"
"Biar gue yang bersihin, kalian gak usah ribut." Arkan, si ketua kelas, tiba-tiba datang untuk menengahi kami yang mungkin sebentar lagi akan saling menjambak. "La, lo itu pengurus kelas, tolong jaga sikap, dong," tutur Arkan.
Stella memang seorang pengurus kelas, yang menempati posisi sebagai sekretaris.
"Ar, kok malah belain dia, sih? Kan, gak boleh makan di kelas selain jam istirahat," keluh Stella, sambil terus menatapku.
"Emang ada peraturan gak boleh makan di kelas sebelum bel masuk?" tanyaku dengan mata melotot.
"Udah, La, mending lo duduk." Arkan betulan membersihkan mejaku. Ah, dia memang ketua kelas teladan.
Kulihat, Stella menatapku tajam lalu pergi begitu saja.
"Udah mau masuk, jangan pesen makanan lagi," titah Arkan.
Aku hanya mengangguk. Arkan yang memegang serbet kotor dan mangkuk bekas mie segera keluar.
Menghela napas kasar, aku duduk di bangku dan bersandar ke tembok, menunggu bel pelajaran yang sebentar lagi berbunyi.
"Padahal dari rumah udah pengen banget makan mie soto," gumamku.
Carissa menepuk bahuku beberapa kali. "Sabar, ya ... nanti pas istirahat gue beliin lo mie."
Tok tok tok
Suara ketukan terdengar, disusul oleh decitan dari pintu yang baru saja dibuka.
"Permisi sebentar, ya, anak-anakku."
"Iya, silahkan masuk, Bu."
Guru matematika yang membawa penggaris panjang di tangannya datang menghampiriku. Sepertinya aku tahu apa yang akan beliau katakan. "Shaqueena Arabelle, tugas kamu ada enam yang kosong, mau kapan dikumpulin?"
"Loh, bukannya cuma lima, Bu?"
Beliau membetulkan kacamata tebalnya yang cukup besar. "Hari Jumat kemaren juga kamu gak ngerjain tugas."
"Iya, nanti pasti saya kumpulin, kok, Bu."
"Nanti-nanti terus, udah tiga minggu belum ada kepastian."
"Saya lupa terus. Pelajaran ibu hari Rabu, 'kan? Saya cicil, deh."
"Ini janji yang terakhir. Kalo masih belum, ibu kosongin beneran."
Aku langsung sumringah. "Siap, Bu. Terima kasih banyak ...."
Kulihat, beliau menggelengkan kepala sambil menghela napas pasrah, dan segera berjalan ke arah pintu.
Beliau ini guru yang paling sabar kalau soal menunggu tugas, setiap aku menunda tugas, beliau akan tetap memberiku kesempatan. Santai sedikit tidak apa-apa.
°°°°°
Jam pelajaran terakhir sudah selesai. Hari ini aku tidak mengendarai motor, jadi aku berjalan menuju halte Transjakarta untuk pulang. Kebetulan langit masih mendung, dan rintik hujan mulai kembali membasahi jalanan.
"PR Bahasa Inggris, piket, biasanya ada tugas kelompok Bahasa Indonesia besok. Kenapa banyak banget, sih?" Aku mengacak rambutku karena kesal.
"Bude masak apa, ya? Pengen makan tumisan cumi, deh ...."
Tadinya aku berjalan pelan sambil sesekali bicara sendiri, sampai akhirnya aku melihat sesuatu yang menakutkan. Hal itu membuatku sempat membeku di tempat.
Aku akhirnya memilih untuk berlari, meski kakiku gemetar. Kenapa para pelajar itu tawuran? Mereka luka dan berdarah dimana-mana.
Aku berhenti di sebuah gang sempit yang cukup jauh. "Gila banget." Aku merasa jantungku berdetak tak karuan.
Tiba-tiba aku mendengar suara anak kecil menangis, saat menoleh, aku langsung menutup mulutku. Anak perempuan, mengenakan seragam TK, sedang menangis keras di gendongan lelaki yang seumuran denganku.
Aku segera berlari ke arah mereka. "Woy! ada penculik!" jeritku.
Aku mengambil alih anak kecil yang ada di gendongannya, lalu menonjok perut lelaki itu sekeras mungkin. "Tolong, tolong!"
"Diam! Saya bukan penculik!" Lelaki itu menggenggam kasar pergelangan tanganku, aku langsung menghempasnya, dan menendang tulang keringnya selagi berteriak keras.
Anak kecil yang ada di gendonganku semakin menangis karena panik, sedangkan aku sendiri masih berteriak meminta bantuan.
"Kenapa, kenapa?"
"Ada apa ini?"
Empat orang bapak-bapak menghampiri kami.
"Liat tangan cowok itu, Pak. Dahi sama lengan anak ini disayat pake pisau lipat."
Anak lelaki itu langsung menjatuhkan pisau yang ada di tangannya. "Enggak, kalian salah paham."
Dia melarikan diri, tapi dua orang bapak-bapak yang mengejarnya, berhasil menahannya.
Dag
Bug
Dug
Lelaki itu mulai dipukuli habis-habisan.
"Dasar bocah bandel!"
"A-ampun, Pak ... uh ... uhuk ...."
"Sini lo, biar tau rasa!"
Anak di gendonganku yang melihat kejadian itu semakin meraung.
"Sini adiknya, biar saya gendong!"
"Kita bawa ke rumah sakit dulu, ayo!"
Kami bertiga lari menuju rumah sakit yang untungnya sangat dekat dari tempat kejadian, meninggalkan anak lelaki itu bersama dua pria lainnya. Syukurlah anak itu tidak terluka parah, hanya saja dari tingkah lakunya anak ini sepertinya mengalami trauma.
°°°°°
Kejadian tadi benar-benar membuatku terkejut, rasanya seperti aku baru saja mengalami bencana besar.
"Apa-apaan yang tadi itu? Kalo misalnya gue ketemu dia lagi gimana? Kalo dia dendam sama gue? Kayaknya gue gak mau pulang sendiri lagi mulai besok." Aku merasa agak gelisah sekarang ini.
Sudah hampir sampai di halte, tapi hujan mendadak turun dengan lebat, angin bertiup kencang dan riuh petir mulai terdengar. Sungguh, aku tidak suka hujan, apalagi yang seperti ini.
Aku berlari lagi, kali ini untuk mencari tempat berteduh. Sebenarnya aku ingin cepat-cepat sampai di halte, tapi aku terlalu takut untuk lanjut berjalan. Karena terkena hujan, pandanganku menjadi berbayang.
Brak
Aku yang tersandung batu, langsung tersungkur. Sekarang aku sangat kotor. Benar-benar kesal, aku berteriak hingga beberapa orang terkejut dan menoleh ke arahku.
"Mama, itu orang gila, ya?"
Aku menoleh cepat ke arah anak kecil yang bicara itu, lalu melotot ke arahnya.
"Mama, takut ...." Anak itu ingin menangis karena melihat raut wajahku.
"Eh, enggak, sayang. Kakaknya cuma kepeleset aja, kok ...."
Aku mendecak, lalu berdiri dengan perlahan. Ya, sejak tadi aku masih duduk. Banyak orang, tapi tak ada satupun yang berniat menolong, mereka malah menatapku seperti sedang menonton topeng monyet.
"Udah pulang naik TJ, penampilan kayak gini, gue pasti jadi bahan omongan."
Aku kembali berjalan dengan sedikit meringis, kakiku yang luka, perih terkena tetesan hujan. Aku tidak menyangka hal buruk terjadi berkali-kali padaku hari ini, sungguh suram. Setelah ini mungkin aku akan semakin membenci hari Senin.
"Belle?"
Ada suara yang kukenal, memanggil namaku dari belakang, aku segera menoleh. Benar saja, itu Arkan.
"Kenapa lo kotor gitu? Jatoh?"
"Buta mata lo?" Tak bisa menahan emosi, jadi aku membentak si ketua kelas, yang sebenarnya adalah sahabatku sendiri.
"Pake jaket gue aja, deh, biar seragam lo yang kotor agak ketutup. Terus, ayo gue anter balik." Arkan mengambil jaket hitam dari tasnya yang waterproof.
"Serius lo? Gak sibuk atau buru-buru?"
Arkan mengangguk. "Tumben lo gak bawa motor, terus kenapa gak minta bareng gue aja?" tanyanya.
"Tadi lo dipanggil ke ruang guru, gue kira lama, jadi gue balik sendiri. Lagian gue gak mau ngerepotin," jawabku.
"Hm ... langsung jalan aja? Gapapa hujan?"
"Iya, gue udah kayak gini, mending sekalian."
"Oke."
Arkan segera mengantarku pulang. Dia melajukan motornya dengan tenang. Kami hanya diam selama perjalanan.
Aku segera turun dari motor Arkan, setelah dia menghentikan motornya tepat di depan gerbang rumahku. "Ini jaket lo, makasih."
Dia melirik jaketnya sebentar, lalu terkekeh. "Lo gak berubah, Belle," katanya sambil mengambil jaket itu.
Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya cengengesan. "Gue masuk, lo hati-hati pulangnya."
Arkan mengangguk kecil, menampilkan seulas senyum. Setelah menutup gerbang, kudengar Arkan menyalakan motornya, dan menjauh dari depan rumahku.
Aku masuk, melewati ruang keluarga, menemukan anak lelaki bertubuh gemuk sedang duduk di sofa sambil makan kuaci.
Aku merebut toples yang ada di tangannya. "Ini kuaci gue, kenapa lo makan?"
"Ada di sini, gue makan, lah."
"Dih, seenaknya aja lo! Kalo mau makan ini ada syaratnya. Lo harus ngerjain PR matematika gue. Gimana?"
"Boleh, tapi nanti aja, jangan lupa kuacinya ditambah."
"Oke, hehehe ...." Aku menyerahkan toples itu ke adikku lagi, lalu bergegas menaiki tangga ke lantai dua, menuju kamar.
Aku langsung mengganti seragamku yang sudah basah dan kotor, meletakkannya di lantai begitu saja. Aku sedang tidak mood melakukan apapun, bahkan sekedar menaruh seragamku di keranjang kotor.
Aku segera melompat ke kasur, dan menarik selimut tebalku sampai tubuhku tertutup sempurna. "Tidur bentar, ah ... balikin mood."
Kalau mood sedang tidak bagus, rasanya memang malas melakukan apapun.