Babymonster Rami || Bayang [E...

By BlueHaramie

14.9K 3K 456

"Akulah sang bayang, yang semu dan tak terjamu. Tak apa, adaku kau maknai sesukamu." Ini story remake. Orig... More

Part - 1
Part - 2
Part - 3
Part - 4
Part - 5
Part - 6
Part - 7
Part - 8
Part - 9
Part - 10
Part - 11
Part - 12
Part - 13
Part - 14
Part - 15
Part - 16
Part - 17
Part - 18
Part - 19
Part - 20
Part - 21
Part - 22
Part - 23
Part - 24
Part - 25
Part - 26
Part - 27
Part - 28
Part - 29
Part - 30
Part - 32
Part - 33
Part - 34
Part - 35
Part - 36
Part - 37
Part - 38
Part - 39
Part - 40
Part - 41
Part - 42
Part - 43
Part - 44
Part - 45
Part - 46
Part - 47
Part - 48
Part - 49
Part - 50
Part - 51
Part - 52
Part - 53
Part - 54
Part - 55
Part - 56
Part - 57
Part - 58
Part - 59
Part - 60
Part - 61

Part - 31

195 41 18
By BlueHaramie

Dua orang gadis tengah menikmati udara malam, berjalan-jalan santai mengelilingi komplek perumahan. Pharita memeluk tubuhnya yang kini merasa kedinginan, gadis satunya melirik kemudian melepas jaketnya dan memakaikan di tubuh si gadis. 

"Pakai saja.." 

"Lalu kau?"

"Aku kegerahan" Pharita hanya mengangguk dan tersenyum seraya mendekap jaket di tubuhnya. 

Setelah di rasa cukup, kedua gadis tersebut kembali ke rumah Rami, terduduk bersebelahan di teras rumah tersebut.

"Rora.."

"Hm?" 

"Apa aku boleh tahu tentang Rami?" Sebelah alis Rora terangkat namun kemudian mengangguk pelan.

"Apa yang ingin kau ketahui?

"Trauma apa yang membuat Rami takut sendirian?" 

Aurora menatapnya lekat, nampak ragu untuk menceritakan namun tatapan teduh Pharita mampu membuatnya luluh, gadis itu menatap kearah depan bersiap untuk bercerita.

"Dulu, waktu aku dan Rami masih berusia 10 tahun. Rami pernah hilang selama 3 hari. Semua orang mengira Rami menjadi korban penculikan, Paman Jae bahkan sampai meminta bantuan pihak berwajib" Rora menjeda kalimatnya, ia menyandarkan tubuh pada pilar bangunan di sebelahnya, Pharita menatapnya lekat, memasang pendengaran dengan tajam.

"Aku merasa bersalah kala itu karena menjadi penyebab hilangnya Rami" 

"Kau?" Rora menganggukkan kepala tanpa mengalihkan pandangan.

"Aku menyembunyikan kebenaran, saat mereka menanyakan tentang Rami, aku selalu berkata tidak tahu"

"Tunggu, apa maksudnya?" Sela Pharita, Rora terkekeh.

"Waktu itu aku meminta Rami untuk bersembunyi di sebuah tempat yang cukup jauh dari sini, kami sedang bermain petak umpet"

"Apa Rami menurutimu?"

"Jika ia tidak mengiyakan, ia tidak akan hilang, kan?"

"Ah, majjayo.." Si gadis terkekeh kecil, ia menarik nafas panjang dan merubah ekspresinya dengan serius.

"Rami bersembunyi di sebuah ruangan bawah tanah yang terbengkalai di belakang desa yang cukup jauh dari sini dan dia tidak bisa keluar dari sana"

"Terkunci?"

"Aku rasa iya, ruangan itu tertutup sangat rapat bahkan sulit untuk mendapatkan oksigen. Hingga akhirnya mereka menemukan Rami di sana, tak sadarkan diri dengan tubuh yang penuh luka dan hampir meregang nyawa"

"2 hari setelahnya Rami tersadar, dia histeris ketakutan. Dia berkata bahwa banyak orang-orang yang ingin membunuhnya di dalam sana"

"Sejak saat itu Rami tidak pernah suka jika ia sendirian di tempat gelap atau pun sempit. Tubuhnya gemetar dan bisa sampai histeris bahkan Paman Jae memutuskan untuk membawanya ke psikiater"

"Melihat kondisi Rami yang seperti itu, membuatku semakin merasa bersalah. Andai saja saat itu aku tak memintanya untuk bersembunyi mungkin Rami tidak akan memiliki kenangan buruk" Pharita mengusap pundak Rami yang mulai berkaca-kaca. 

"Ini bukan kesalahan mu, Rami yang memutuskan sendiri bersembunyi di sana"

"Aku yang juga memintanya bersembunyi di rubanah itu"

Deg!

Usapan tangan Pharita terhenti begitu saja, Rora menarik nafas panjang dan menundukkan kepala.

"Rami selalu patuh pada apapun yang aku minta atau bicarakan, dia tidak pernah menolak walaupun dia tahu itu akan membuatnya celaka.." 

"A-apa kau—?" Rora menoleh dan mengangguk.

"Aku meminta teman-temanku menguncinya di sana"

Pharita membelalak, tangannya menutup mulut yang terbuka, "K-kenapa?"

"Aku tidak tahu, aku tidak memiliki alasan yang tepat selain hanya menjahili"

"Dan aku takut mereka marah kepadaku, aku membungkam mulutku hingga detik ini"

Pharita menatapnya lekat dengan ekspresi ketidak percayaan, Rora menghapus setitik air mata yang baru saja keluar dari sarangnya. Ia menegakkan kepala dan menghadap penuh pada Pharita, ia menggenggam kedua tangan Pharita.

"Tolong rahasiakan ini, aku belum cukup berani untuk mengakui kesalahan, terlebih tidak mau Rami membenciku"

Pharita terdiam sesaat menatap lekat kedua manik Rora yang bergetar, "Kau tenang saja"

Rora tersenyum riang dan tanpa di duga menarik Pharita dan mendekapnya erat. Pharita tersentak kaget namun tak melepaskan pelukan, ia malah membalas dekapan Rora dan mengusap punggung si gadis.

30 menit kemudian, kedua gadis itu memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, waktu pun telah menunjukkan pukul 10 malam. Keduanya mengernyit menyadari bahwa lampu dalam rumah mati, juga lampu-lampu dari ruangan lainnya. Rora mengeluarkan ponsel, menyalakan senter dan membelalak.

"Rami.." 

Gadis itu berlari menaiki tangga, Pharita mengikutinya dari belakang. Membuka pintu kamar Rami yang ternyata juga dalam kegelapan, pandangan mereka terpaku pada Rami yang terduduk membelakangi dengan tubuh yang terdekap.

"Rami.." 

Rora berlari, ia menarik tubuh Rami dan mendekapnya. Tubuhnya gemetar, air matanya mengalir deras dengan kedua mata terpejam erat.

"A-Appa hiks.. Aku takut.." 

"Aku disini.." Bisik Rora mencoba menenangkan sepupunya. 

Rami menggelengkan kepala, ia mengeratkan pelukan pada kedua kakinya dengan tangisan yang memilukan. Pharita bergegas naik keatas ranjang, ia menarik kedua tangan Rami dan mencoba mengajaknya bicara.

"Gwaenchana, ada aku dan Rora disini, tidak perlu takut"

"G-gelap, di-sini gelap"

"Tenang Rami, bernafaslah perlahan"

Rora merenggangkan tubuhnya namun Rami dengan cepat memeluk tubuh si gadis semakin erat. Peluh bercucuran di wajah Rami, Pharita mengusapnya tanpa rasa jijik. 

"Aku akan coba menyalakan listriknya kembali" 

"Nde Eonnie"

Pharita turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar. Rora mencoba merenggangkan pelukan, ia mengusap lembut kepala Rami memberinya ketenangan.

"Maafkan aku, Rami"

"Rorayaa.."

"Aku disini Rarayaa, jangan takut" Perlahan pelukan erat Rami terlepas, Rora tersenyum dan menangkup wajah si gadis.

"Buka mata mu, ini aku.." Namun Rami menggelengkan kepalanya, ia menundukkan kepala membuat Rora menghembuskan nafas panjang. 

"Ge-lap, aku ta-kut.."

Tubuh Rami masih terasa bergetar, juga kedua telapak tangan yang tertutup. Sekuat tenaga Rami menahan jeritan ketakutan dan malah sengaja menggigit bibir bawahnya. 

Ctlek!

Rora tersenyum lebar, ia mengusap pelupuk matanya yang basah kemudian menyentuh pundak Rami.

"Sudah menyala, kau tidak perlu takut lagi"

"I-iya.." 

Rami perlahan membuka matanya, sedikit perasaan takutnya teralihkan. Gadis itu mengangkat kepala dan menatap pada Rora, Rora terdiam kaget melihat wajah pucat Rami juga bibir bawah si gadis yang terluka akibat gigitannya sendiri.

Ia mengusap air mata di wajahnya dengan tangan yang masih gemetar, mencoba tersenyum pada Rora yang masih menatapnya kaget. Gadis itu menoleh melihat Pharita yang masuk dengan segelas air mineral di tangannya. 

"Mengapa kau menggigit bibirmu?" Kaget Pharita dengan reflek mengusap bibir Rami dengan ibu jarinya. 

"Minum dulu" Si gadis blonde mengangguk, menerima gelas dari Pharita. 

Rora membantunya menggenggam gelas dan mengarahkan pada bibirnya. Rami meneguk perlahan air tersebut hingga tersisa setengahnya, ia menghela nafas panjang dan kembali tersenyum.

"Lebih baik?" Tanya Rora seraya menyisir rambut Rami, ia mengangguk pelan.

"Terimakasih"

"Sekarang kalian beristirahatlah" Tunjuk Pharita pada Rami dan Rora,

"Kau dimana?" 

"Aku akan tidur di sofa" Rami menggeleng tegas, tangan gemetarnya terangkat menyentuh lengan Pharita dan membuat gadis itu tersentak kaget karena telapak si Rami yang begitu dingin.

"Disini saja, cukup untuk kita" Lirih Rami dengan senyuman tipis, Rora dan Pharita menatapnya kaget.

"A-ani, aku—"

"Eonnie.." 

Tatapan sayu Rami membuat Rora menyenggol lengan Pharita dan mengangguk tipis, memintanya untuk menuruti apa yang Rami inginkan.

Pharita pasrah membuat Rami tersenyum, ia menggeser tubuh kearah dinding, Rora kemudian naik dan berbaring di sebelah Rami selanjutnya Pharita yang berada di sebelah Rora.

"S-selamat malam.." 

"Jaljayoo.." Balas Pharita dan Rora bersamaan, Rami tersenyum.

Rora menaikkan selimut menutup tubuh mereka, menoleh pada Rami yang telah memejamkan mata dan ikut memejamkan mata.
Berbeda dengan Pharita yang merasa tak tenang, gadis itu masih menatap langit-langit kamar hingga tanpa sadar 1 jam terlewati.
Ia mengangkat kepalanya, menatap Rami dan Rora yang telah tertidur kemudian menyingkap selimut hendak turun dari ranjang.

Grep!

Gerakannya terhenti saat sebuah lengan melingkar di perutnya, Pharita melirik lengan tersebut kemudian menatap Rora yang kini memiringkan tubuh kearahnya dengan kedua mata yang tetap terpejam. Pharita terdiam sesaat namun kemudian kembali merebahkan tubuh di posisi membelakangi Rora, mengurungkan diri untuk tidur di sofa dan memejamkan mata dengan senyuman manis yang tercipta.
































Astaga Rora .. Roraa..


Continue Reading

You'll Also Like

2.6K 133 40
assalamu'alaikum semuanya terimakasih yang mau baca cerita "AISYAH DAN FAHRI" selamat membaca
15.3K 1.4K 42
[END] "Kak, jangan ninggalin canny sendirian ya," Ujar canny. "Iya canny. Kita bakalan ada disini selamanya." Rora mengusap rambut canny dengan lemb...
68.9K 6.7K 37
FOLLOW SEBELUM BACA! [Update sesuai mood] Menceritakan 7 bersaudara yang tumbuh dalam asuhan seorang single parent. Lucas Bailey, orang tua tunggal y...
13.1K 1.2K 16
Anak yang harus merasakan pahitnya dunia, menjadi anak yang tangguh tapi disebalik ketangguhannya iya memiliki hati yang rapuh, bagaikan bunga yang l...