Mpreg Birth Stories

By noughtees

675K 6.8K 535

Buku ini berisi kumpulan cerita mpreg (male pregnancy) birth yang mengandung kata-kata eksplisit, muatan dewa... More

Disclaimer
Guru Binal
The Pursuit
A Moment of Joy
Paying the Price
Ambil Peran
Request
Kado Burung Bangau
Urusan Negara
Bandel
Pembangkit Berahi
Pundak untuk Bersandar
Request 2
Rumah Baru
The Way He Loves
Bintang
Keberadaan yang Lain
Curug
Mencari Rumah
Pilihan Lain
Madu dan Peju
Pertama yang Kedua

The Painful Joy

6.7K 164 7
By noughtees

MakoHaru, preg!Haru, orgasmic birth

Kebahagiaan yang Haru dapatkan jauh melebihi segala kesulitan yang sudah ia lalui.

Kandungan Haru sudah memasuki bulan ketujuh. Ia banyak menghabiskan waktu di rumah, meski sesekali keinginannya untuk menemani Makoto bepergian tidak dapat ditahan. Yang lebih sulit lagi bagi Haru adalah menjaga janin di dalam kandungan dengan tidak terlalu banyak memaksakan diri. Jelas Haru masih memiliki jiwa dan semangat seorang perenang yang andal. Ia juga meluangkan waktu setiap minggu untuk melatih otot-ototnya walau sedang hamil. Pun demikian, sejak memasuki trimester ketiga, olahraga itu tidak lagi ia lakukan. Sebabnya tak lain dan tak bukan adalah larangan dari Makoto, suaminya sendiri.

Hari itu, Makoto mengiyakan ajakan beberapa orang teman untuk latihan sekaligus berpiknik di pantai. Usai dengan segala persiapan, ia hendak pergi berangkat agar tidak terlambat.

“Makoto,” ujarnya pelan.

Lelaki berpostur jangkung yang sudah berada di ambang pintu itu menoleh, menengok ke arah pria yang ia kasihi. “Ada apa, Haru-chan?”

“Aku mau ikut ke pantai juga.” Tatapan memelas, atau tepatnya memohon, diarahkan pada Makoto. Sebenarnya, jelas Haru tahu jawaban macam apa yang akan didapatkan, tetapi ia pikir lebih baik mencoba tiap ada kemungkinan untuk mengambil kesempatan. Dapat saja sesekali Makoto memberikan kelonggaran kali ini, bukan?

Makoto menggelengkan kepalanya pelan. Langkahnya terarah mendekati Haru, kemudian tangannya mengelus lembut surai gelap dari pria yang tidak lebih tinggi darinya itu. “Kau sekarang ini tengah hamil besar.” Tangan yang semula ada di pucuk kepala Haru kini perlahan mendarat di perut Haru yang besar dan bulat, mengusapnya. “Kalau bisa, aku pun akan memilih untuk tinggal di rumah, menjagamu dan calon anak kita,” tambah Makoto, berusaha membuat Haru mengerti bagaimana ia merasa khawatir.

Sang pria hamil tertunduk, lantas dengan erat memeluk Makoto. “Hati-hati.” Sembari menaruh dagu di pundak Makoto sebagai penopang, Haru menepuk-nepuk punggungnya. “Kau ragu akan suamimu ini? Aku bisa jaga diri baik-baik, Sayang.”

“Aku tahu. Suamiku ini laki-laki yang paling kuat, paling hebat di seluruh dunia. Jaga diri dan bayimu ini,” ujar Makoto.

“Bayi kita.” Haru memotong perkataan Makoto, tersenyum tipis.

“Ah, iya. Bayi kita berdua.” Makoto tertawa kecil, lalu menyisir rambut suaminya ke belakang. Selama beberapa detik, bibirnya tepat mengecup lembut kening Haru.

Dadanya menghangat, kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya. Dalam hati, Haru mengakui bahwa Makoto adalah satu-satunya orang yang dapat membuatnya merasa sebahagia ini. Lengannya memeluk longgar pinggang Makoto, cukup untuk membuat sebagian area dari perut keduanya saling bersentuhan.

Belum sempat Haru berkata-kata lagi, Makoto memosisikan wajah tepat di depan perutnya dengan berlutut. Kaus putih yang Haru gunakan tersingkap, mengekspos perut yang bagi Makoto, membuat Haru terlihat jauh lebih menarik di matanya. Dengan kata lain, seksi. Makoto mengecupi bagian tubuh sang suami sementara kedua telapak tangannya menelusuri tiap bagian dari kulit perut Haru yang terekspos itu.

“Makoto.”

“Hm?” Sedikit mendongak, Makoto dapat melihat wajah Haru yang terlihat lebih manis dengan sedikit semburat kemerahan pada kedua pipi. “Kenapa, sayangku?” Manis. Manis dan begitu hangat senyum Makoto yang tergurat di wajahnya, juga kata-kata yang meluncur dari mulutnya.

Siapa yang menyangka, keputusan baik Haru maupun Makoto untuk menikah berujung pada banyaknya hal-hal indah. Bertahun-tahun lamanya hidup sebagai sahabat untuk satu sama lain, kini keduanya menjadi teman sepanjang usia. Makoto bersyukur, terlebih ia dapat terus mencurahkan kasih sayangnya untuk Haru dengan cara yang lebih baik, lebih romantis. Kehamilan Haru awalnya tidak serta-merta diterima orang-orang di sekitar pasangan itu, tetapi hal tersebut yang justru membuat mereka dapat melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih intim dan serius: pernikahan. Sempat dilanda keraguan, nyatanya Makoto dan Haru dapat menjalani kehidupan berumah tangga yang harmonis. Kehadiran si jabang bayi pun membuat Makoto lebih protektif pada Haru, yang otomatis berbalas dengan bagaimana Haru bersikap lebih manis pada Makoto.

“Jangan pergi.” Pelan, tetapi perkataan itu jelas tertangkap oleh telinga Makoto. Haru memainkan rambut Makoto, menyusuri sela-sela helai rambut berwarna olive kecokelatan itu dengan ruas-ruas jemarinya. “Minggu ini, kamu bisa ambil jatah istirahat, kan?” tanyanya menambahkan, hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama Makoto di rumah. “Aku mau kau di rumah hari ini.”

Makoto tersenyum. Suaminya tengah manja, ditambah ia sendiri cukup malas untuk pergi keluar. “Sebentar, ya, Haru-chan.” Ia terkekeh dan kembali berdiri, lantas mengambil ponselnya yang ada di dalam tas untuk memberi kabar bahwa ia berhalangan untuk ikut datang ke pantai. Memang pergi ke pantai selalu menyenangkan, tetapi Makoto tentu dapat membawa Haru ke pantai bersamanya lain kali. Dengan banyak momen yang bisa dibagi berdua, tanpa harus datang hanya karena perlu latihan berenang. “Aku ambil jatah istirahatku hari ini.” Senyum terulas, punggung tangan diusapkan pada pipi Haru. Ia kemudian melingkarkan lengan di pinggang lelaki yang bertubuh lebih pendek darinya itu.

Haru selalu tampan, tetapi mata Makoto makin betah melihat Haru yang tengah mengandung dengan perut besarnya. Rasanya, satu hari penuh pun tidak akan cukup untuk Makoto habiskan dengan memandangi dan mengagumi sosok yang telah membuatnya jatuh hati.

Tatapan Haru terarah pada sang lelaki jangkung. Ia mengelus lembut pipi Makoto seraya mendekatkan tubuh, menepis jarak di antara keduanya. “Jangan pergi ke mana-mana. Manjalah pada suamimu yang tengah hamil besar ini,” ucap Haru mantap dengan intonasi yang tenang, membuat degup jantung Makoto menjadi sedikit tidak karuan.

“Aku mau manja,” jawab Makoto sembari mengecup kening Haru, “pada suamiku ini. Yang paling tampan di seluruh Jepang, bahkan dibanding semua laki-laki di seluruh dunia.” Sebagai tambahan, kecupan di kedua pipi dan bibir Haru juga ia berikan.

∘ ∘ ∘

Napas Haru sedikit memburu. Ia cemas, takut, sekaligus tidak sabar untuk menyambut kelahiran buah cintanya dengan Makoto. Terbaring di ranjang pasien, tangan Haru menggenggam milik Makoto yang juga tengah mengusapi perut buncitnya. Kontraksi pertama sudah muncul belasan jam lalu. Hal itu pula yang membuat keduanya untuk langsung bergegas ke rumah sakit, mencegah kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan tanpa keberadaan dokter atau orang-orang lainnya dengan keahlian medis. Setiap kali kontraksi datang, Haru hanya melenguh dan meminta Makoto untuk memijat pelan perutnya.

“Sabar, ya, Sayang,” ucap Makoto pelan setengah berbisik tepat di telinga Haru. Dirinya diliputi kecemasan dan ketakutan yang luar biasa karena ini pertama kalinya pasangan itu akan memiliki seorang anak—bayi yang akan mengisi keseharian mereka.

Haru menanggapi dengan anggukan pelan. Rasa sakit yang intens kembali muncul di bagian bawah perutnya, membuat ia mengerang dan refleks meremas kuat tangan Makoto. Pinggulnya terangkat, kedua kakinya menggelinjang. Hampir saja ia mengumpat, tetapi ekspresi wajah Makoto yang penuh akan kekhawatiran menjadikan hatinya seketika luluh.

“Makoto, perutku sakit.”

Tangan Makoto dengan lembut mengusap rambut suaminya. “Sakit, Sayang?” Ia membiarkan tangannya yang lain diremas kuat, kemudian perlahan mengarahkan tangan tersebut ke bawah untuk mengelus perut besar Haru. “Sabar, ya. Aku di sini bersamamu, Haru-chan.”

Tidak dapat Haru pungkiri, sentuhan Makoto selalu dapat membuatnya merasa lebih tenang. Meskipun tengah merasakan sakit dan rasa tidak nyaman yang luar biasa, ia dapat memberikan senyuman tipis berkat hangatnya bagian perut yang dielus dengan lembut oleh Makoto. Haru berusaha mengatur napasnya, meringis sembari mencengkeram kuat bagian sisi dari ranjang pasien. Bagian bawah perutnya makin nyeri. Lenguhan dan erangan keluar dari mulutnya secara bergiliran.

Melihat Haru yang sempat tersenyum, Makoto turut melakukan hal sama dengan dua alasan. Pertama, ia tersenyum karena senyum Haru terlihat begitu manis di matanya. Kedua, ia bangga dengan perjuangan Haru yang berniat mengandung dan melahirkan anaknya—semata agar kedua laki-laki itu dapat melangsungkan kehidupan rumah tangga bersama. Makoto menyingkap baju pasien yang Haru kenakan, mengekspos perut buncit sang suami yang mengencang karena kontraksi. Ia kembali menyentuh dan memijat lembut bagian bawah perut Haru sementara tangannya yang semula di pucuk kepala Haru, kini mengusapi pergelangan dan punggung tangan lelaki itu. “Kau butuh apa? Biar aku bantu, Sayang.”

“Temani aku di sini, Makoto. Sakit sekali.” Matanya menatap wajah Makoto sesaat, kemudian terfokus ke perut buncitnya yang terekspos sempurna. Haru mengerang kesakitan karena gelombang kontraksi yang begitu kuat. Pinggulnya refleks terangkat, cairan keruh menyembur dari lubangnya. Ia tidak tahu banyak soal kehamilan dan persalinan, tetapi ia yakin yang keluar itu air ketubannya yang baru saja pecah. Berusaha tidak panik, Haru menarik napas panjang dan berusaha membiasakan diri.

Makoto menyadari apa yang baru saja terjadi. “Sayang, ketubanmu pecah. Tunggu di sini sebentar, ya,” ujarnya sambil mengecup kening Haru sekilas, kemudian bergegas untuk memanggil dokter yang bertugas untuk membantu persalinan anak dari pasangan perenang andal itu. Makoto lantas segera kembali ke ruang persalinan, memegangi satu tangan Haru dan memperhatikan area pribadi suaminya yang basah karena air ketuban.

Tidak lama berselang, dokter dan perawat turut masuk ruangan.

“Nanase-san, saya periksa pembukaannya dulu, ya.” Dua jemari sang dokter itu masuk perlahan ke lubang Haru setelah menggunakan sarung tangan khusus yang steril, membukanya di dalam sebelum kemudian mengangguk pelan. Ia memberi tanda bahwa Haru sudah dapat mulai mengejan.

Haru sendiri meringis, menatap sayu ke arah Makoto yang masih menggenggam dan sesekali mengecup tangannya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. “Makoto, aku takut.” Kakinya dibuat mengangkang lebar, pergerakan bayi di perutnya makin jelas terlihat.

Makoto mengusap rambut Haru lembut. “Sabar, ya, Sayang. Jangan takut. Aku di sini untukmu.” Ia menunduk untuk mengecup perut buncit suaminya, mengusap bagian dalam paha Haru dan menahannya agar tetap membuka lebar untuk memudahkan kelahiran. “Ayo, mengejan, Haru-chan.”

Sembari menahan mulas di perut karena kontraksi dan perih di lubang lahir, Haru mengejan kuat. Lubangnya berkedut, perutnya mengencang, dadanya naik-turun akibat napas yang memburu, sedangkan kejantanannya memerah dan mengacung , mengeras akibat stimulasi di prostat karena bayi yang mulai turun di jalur lahir. “EUMMNGGHHHH!”

“Bagus. Mengejan lagi, ya,” ucap dokter membimbing Haru. “Pelan-pelan.”

“Sayang …” kata Makoto terjeda. Ia berdiri tegap, masih dengan tangan yang digenggam dan diremas kuat oleh Haru yang tengah sibuk mengejan untuk melahirkan buat cintanya. Pasang matanya melihat Haru dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu terpusat di bagian bawah tubuh sang suami. Tubuh ramping dengan otot yang kuat, perut buncit yang terlihat lebih berat di bagian bawahnya, kedua kaki Haru yang mengangkang lebar, sebagian dari kepala bayi yang terlihat di lubang lahir Haru, juga batang penis yang keras dan merah itu menjadi pemandangan tersendiri bagi Makoto. Ia menelan ludah, berusaha untuk fokus mendampingi suaminya. “Tahan sakitnya, ya, Sayang. Ayo, mengejan lagi. Haru-chan hebat.”

Tangan sang dokter dengan lihai menarik dan memijat area di sekitar bibir lubang Haru, membantunya untuk melebar yang juga membuat pria hamil itu merasakan sakit yang luar biasa di bagian bawah.

Kepala bayi makin mendorong lubangnya dari dalam. Haru mengerang, meremas tangan Makoto kuat-kuat untuk melampiaskan rasa sakit yang ia rasakan. “HAAAAHHH, penuh, Sayang. Sakit.” Penisnya berkedut makin mengeras, lubangnya terasa bagaikan dibuka dan dirobek paksa. Meski sudah mengira bahwa proses melahirkan tidak akan mudah, Haru tidak menyangka sakitnya jauh di luar apa yang pernah dipikirkan. Ia menarik napas panjang, kakinya refleks ingin menutup walaupun tentu, upayanya menutup kaki dicegah oleh Makoto, suaminya sendiri, dan perawat sebagai asisten sang dokter. Desahan dan lenguhan Haru memenuhi ruangan.

Mendengar suara Haru yang tengah kesakitan, Makoto cukup salah tingkah sebab tiap suara yang dikeluarkan Haru mengingatkannya akan saat-saat keduanya memadu kasih. Tentu, kali ini beda karena terdengar lebih keras dan lepas sebagai pelampiasan atas rasa sakit. Penisnya sendiri sesak di dalam celana, tetapi ia menggelengkan kepala berusaha membuang jauh-jauh pikiran kotor yang mengganggu. “Haru-chan, pelan-pelan, ya?” Entah apa yang Makoto maksud, antara ia mau Haru mengejan dengan perlahan dan lebih hati-hati atau ia ingin Haru sedikit mengecilkan suara yang membuat penisnya tegang di luar kendali. Makoto sendiri tidak tahu.

“FUUUUHH,” Haru mengatur napas, memejamkan mata sesaat sebelum menatap ke arah Makoto. “Sakit, Sayang.” Napasnya berusaha diatur, bayi dalam kandungannya perlahan bergerak turun. Bibir lubang Haru melebar, membuatnya refleks meremas pinggiran ranjang dan tangan Makoto di saat yang bersamaan. Perut buncitnya sedikit mengilat karena keringat, jelas terlihat mengencang karena kontraksi yang kuat.

Makoto menelan ludah. Ia makin salah tingkah dengan posisi Haru yang entah kenapa seolah makin menantang berahinya untuk bangkit. “Teruslah mengejan, Haru-chan.” Makoto membiarkan satu tangannya diremas kuat oleh Haru, sementara tangannya yang lain memegangi dan memijat perut suaminya itu. Matanya terfokus pada satu arah, takjub dengan proses persalinan yang tengah berlangsung. Ia menyaksikan secara langsung bagaimana buah hatinya membuka jalan keluar, melebarkan liang senggama yang selama ini menjadi tempat Makoto melampiaskan nafsu dan rasa cinta pada Haru yang begitu membara.

Otot tangan Haru terlihat mengencang dan tegang seraya dengan bagaimana ia mencengkeram kuat tangan Makoto dan pinggiran ranjang tempatnya berjuang untuk melahirkan. Ia membiarkan perutnya disentuh dan dipijat pelan oleh sang suami, melenguh dalam nyeri. Lubang kelahirannya menonjol oleh kepala bayi yang mau keluar. Seolah ditarik dan dibuka paksa, perlahan lubang Haru melebar.

“Haru-chan sabar, ya?” ucap Makoto pelan. Pandangan matanya berpindah sebab terlalu banyak hal yang rasanya perlu ia lihat.

Kepala bayi yang mendorong dari dalam lubang Haru, perut buncit Haru yang sesekali mengencang akibat kontraksi hebat, tangan dokter yang terampil dan sibuk membantu memudahkan Haru dalam proses kelahiran, serta raut wajah kesakitan Haru secara bergantian menjadi fokus Makoto. Sempat terpikir soal ia yang ingin menggantikan Haru untuk melahirkan bayi mereka. Namun, melihat Haru yang kesulitan membuatnya sedikit ciut. Ia belum tentu sekuat suaminya dalam menghadapi hal yang sama.

Sentuhan Makoto dapat membuat Haru sedikit merasa lebih tenang dan nyaman. Haru sendiri hanya mengangguk karena sakit, sensasi perih yang luar biasa di bagian bawah. Bibir lubangnya dipijat pelan oleh dokter, dibuat melebar guna membantu keluarnya kepala si jabang bayi. Ia mendongakkan kepala, meremas lebih kuat bagian tepi ranjang persalinan sembari terus mengejan. “AAAANGGHHHH!”

“SSHHH, Sayang,” ringis Makoto sambil menatap wajah suaminya yang tengah kesakitan. Tangannya kemudian mengusapi rambut Haru lembut, bibirnya mengecup kening Haru. Ia sedikitnya merasa bersalah karena tidak mampu mengurangi penderitaan yang tengah suaminya rasakan, banyaknya berusaha menepis pikiran kotor yang ada di dalam kepala.

Sekujur tubuh Haru terasa gerah dan basah oleh keringat, tidak terkecuali rambut dan kepalanya. Ia melenguh karena sakit yang luar biasa, terutama di bagian perut dan jalur lahirnya. Lubangnya makin membuka lebar, tubuh bayi terasa makin turun, darah dan air ketuban mengalir dari sela di antara bibir lubang Haru dan kepala bayi yang berusaha keluar. “EUMMNGGHHHH, Sayang, sakit.” Di antara sensasi nyeri yang intens, Haru juga merasa terangsang secara seksual dan penisnya yang berkedut menjadi bukti. Tentu ini hal yang lumrah terjadi, sebab tekanan dari bayi di jalur lahir dapat memberikan stimulasi pada prostat. Precum membasahi ujung penisnya yang memerah meski hal itu tidak disadari Haru sepenuhnya.

Makoto terkesiap melihat darah dan air ketuban keluar dari lubang lahir milik Haru. Ia menelan ludah, lalu menggelengkan kepala untuk kembali fokus menemani suaminya itu. “Tahan, ya, Sayang. Sedikit lagi.” Tidak bisa berbohong, Makoto sesekali terpaku memperhatikan kejantanan Haru yang berdiri tegak dan basah di bagian ujungnya. “Ayo, Haru-chan, mengejan lagi.”

Wajah Haru memerah, begitu pula dengan bagian bibir lubangnya yang melebar oleh kepala bayi. Ia mengerang, mengejan sekuat tenaga sampai kepala bayi tersebut keluar setengahnya, “HAAAANGHHH!” Akan tetapi, karena kurang lama mendorong, kepala bayinya kembali masuk. “SSSSHH, sakit. Aku tidak kuat, Sayang.” Perutnya naik-turun karena kontraksi, sedangkan precum makin banyak keluar dan mengalir di batang penisnya.

“Haru-chan pasti kuat. Suamiku hebat.” Tangan besar Makoto mengusapi perut Haru, turun untuk mengusap bagian bawahnya. “Demi anak kita, ya?”

Tubuh Haru sekujurnya telah basah oleh peluh setelah mengejan beberapa kali, tidak terkecuali rambutnya. Tatapan mata memelas diarahkan pada Makoto, berikut dengan anggukan pelan. “Iya, Sayang. Demi anak kita.” Ia berusaha mengejan kembali, sementara batang kejantanannya terus berkedut akibat stimulasi di prostat yang muncul berkat tekanan dari kepala bayi di dalam. “EUMMMNGGHHHH!” erang Haru sembari mengejan sampai kepala bayi keluar setengahnya. Lubang kelahirannya yang melebar ditahan oleh dokter, mencegah bayinya masuk kembali.

Makoto memegangi paha Haru dengan satu tangan, menahannya agar tetap terbuka lebar selama persalinan berlangsung. “Terus, Sayang. Jangan berhenti mengejan.” Tangannya yang lain kembali mengusap perut bulat Haru, sedangkan matanya tidak bisa melepaskan pandangan dari penis pria hamil yang sudah berkedut hebat dan memerah itu.

Erangan Haru makin kencang terdengar memenuhi ruangan. Ia mengejan lebih kuat, menahan rasa perih yang luar biasa sebab lubang lahirnya seolah tengah dirobek secara paksa. Kakinya gemetar, darah dan air ketuban mengalir membasahi alas yang berada di bawah pantatnya. “HAAARRGHHHH SSSHHHH … Sayang, MMMNHHHH!”

“Sabar, ya, Sayang. Aku di sini,” ucap Makoto berusaha menenangkan.

Lelaki berambut hitam itu mengejan lagi, meremas tangan Makoto dan pinggiran ranjang dengan kuat. Wajahnya berubah memerah seraya ia mengejan, matanya terpejam berusaha mengabaikan sakit yang dirasa di bagian intimnya. “MMMNHHH NNNGGHHHH!” Lubangnya kian melebar hingga akhirnya, kepala bayi dapat sepenuhnya keluar, diikuti oleh semburan air ketuban yang bercampur dengan darah. Sementara itu, kejantanan Haru memuntahkan sperma yang kemudian mengotori tangan sang dokter dan perut buncitnya sendiri. “AAAAHH HAAAHHH,” desahnya yang otomatis lolos dari mulut akibat rasa sakit yang saling tumpang tindih dengan nikmat berkat orgasme di tengah proses melahirkan.

“Sayang, kepalanya keluar!” ujar Makoto senang, sedikitnya terkejut dengan Haru yang tiba-tiba mengalami orgasme. Ia mengusap lengan Haru dengan lembut, membuat kontak mata dengan sang pria. “Sedikit lega, hm?” Senyum manis diberikan, yang diharap akan membuat Haru senang.

Anggukan kepala pun menjadi jawaban Haru. Tidak disangka, proses melahirkan buah hati dapat memunculkan sensasi yang tidak akan Haru lupakan. Sebagaimana saat bayi ini baru diupayakan untuk mulai tumbuh di dalam rahimnya, ada nyeri dan nikmat tersendiri yang Haru rasa. Dokter yang bertugas tengah memfokuskan perhatian untuk membersihkan wajah bayi, kemudian perut Haru mengencang lagi akibat kontraksi. Bayinya memutar guna menyesuaikan posisi badan dengan lubang lahir. Haru refleks kembali mengejan, mengerang kesakitan.

Makoto tidak dapat menyembunyikan ekspresi takjub dan bangganya melihat Haru yang berjuang dengan sekuat tenaga untuk melahirkan buah cinta keduanya. Ia mengusap rambut Haru, mendaratkan kecupan di kening Haru yang penuh peluh. “Sedikit lagi, Sayang,” bisik Makoto. Matanya melirik ke arah selangkangan Haru, menyaksikan proses terdorongnya badan si jabang bayi setiap kali suaminya mengejan. Tangan dokter yang membantu persalinan pun terlihat mahir dan berpengalaman, memastikan Haru dan bayi yang lahir dapat selamat. Makoto refleks menggigit bibir bawah, ngeri membayangkan yang tengah Haru rasakan. “Sedikit lagi, ya. Sedikit lagi anak kita akan lahir ke dunia,” katanya lembut sembari menatap Haru. Ia sedikit menundukkan badan untuk memberi kecupan di kening, juga di pipi sang suami.

“AAAAARGGHHH! EUMMMMNGGHHHHH, sakit sekali, Makoto!” Dengan dorongan terakhir yang panjang, akhirnya Haru berhasil melahirkan bayi yang selama sembilan bulan ke belakang begitu betah berada di dalam perutnya. Bayi itu meluncur keluar, ditangkap dengan hati-hati oleh dokter yang membantunya lahir. Senyuman langsung muncul di wajah Haru, nyaris bersamaan dengan munculnya senyum di wajah Makoto. Sebelum dibersihkan, bayi itu didekap hangat oleh Haru dalam pelukannya. Sakit yang ia rasakan saat melahirkan memang tidak terbilang, tetapi semua itu seolah terbayar dengan tangisan sang buah hati. “Akhirnya anak kita lahir, Sayang,” ucap Haru dengan napas terengah.

“Iya, akhirnya anak kita lahir,” sahut Makoto. “Haru-chan hebat. Terima kasih, ya,” tambahnya lagi sembari mengecup pipi Haru, dengan senyuman yang belum luntur dari wajahnya. Hari ini, hari pertama mereka menjadi keluarga kecil yang lengkap dengan kehadiran sang buah hati.

✦✦✦

hi, ini tulisan commission saya yang pertama. udah lama dijual dalam bentuk pdf juga dan mungkin beberapa dari kalian udah ada yang pernah baca. tapi sekarang, saya lagi “beberes” alias take down beberapa tulisan dari lynk dan akan saya publish di sini.

spoiler untuk next part: saya bakal publish yang pairing-nya thai. mohon ditunggu aja dan makasih buat support kalian semua ❤️❤️

oh iya, mulai dari part ini saya bakalan kasih catatan kecil begini, ya. entah isinya update atau informasi apa pun, atau mungkin curhatan saya doang wkwkwk intinya jangan sungkan untuk ikutan ngobrol biar saya gak berasa ngomong sendiri :”

Continue Reading

You'll Also Like

163K 11.4K 73
Tiga pasang remaja yang di takdirkan menemukan bayi yang di takdirkan mengurus ke empat bayi karna suatu insiden dulunya bayi bayi itu di tempatkan...
Mpreg Story By hooyuhu55

General Fiction

335K 2.9K 11
haloo❗️❗️disini cerita pria bisa hamil dan melahirkan🫄🏼 ini ceritanya bener bener dari otak yg sangat gabut ini jadi kalo ada salah salah kata moho...
106K 5.9K 29
Aelin tidak menyangka kalau sang ibu menikah lagi dengan seorang duda, ayah Aelin meninggal dunia sekitar 3 tahun yang lalu karena serangan jantung...
28.4K 2.2K 50
Cerita tentang kehidupan Seo Changbin dan para istrinya. 🔞🔞🔞 Bxb #gay #homo Tidak di anjurkan untuk Homophobic Jangan sampai salah lapak yaa... ...