"Papi mau ke Bandung satu minggu, kalo kamu gak terus terang, Papi gak tenang di sana, otomotif kerjaan Papi akan gak fokus". Bara menatap anak pertamanya itu dalam dalam.
Nafas Chika tercekat, sungguh isi kepalanya semuanya mendadak tidak berfungsi. "Aku gak ada-". Belum sempat Chika menyelesaikan ucapannya, dia dikejutkan dengan ponsel Bara yang di perlihatkan di hadapannya. Disana menampakkan videonya dengan Ara yang tengah berciuman di dalam mobil.
Jantung Chika nyaris terasa lepas dari tempatnya. Ternyata malam itu Bara sudah menaruh curiga kepada Chika dan juga Ara. Hubungan pertemanan mereka tidak memperlihatkan seperti layaknya pertemanan perempuan pada umumnya melainkan seperti hubungan dengan lawan jenis.
Malam dimana Bara berdiri di teras rumah sambil memandang mobil Ara yang masih berhenti di depan pagar rumahnya dengan Chika di dalam sana tak kunjung keluar. Padahal hampir satu jam Bara berdiri disana tetapi Chika belum juga keluar. Apa yang di lakukan mereka didalam itu.
Hingga cctv rumah menjelaskan semuanya. Salah satu kameranya menangkap kegiatan Chika dan Ara yang tengah berciuman didalam mobil dengan kondisi pintu yang sedikit terbuka. Kemarin, Bara mencoba melihat lihat hasil tangkap video dari cctv yang ada dirumahnya.
Alhasil yang ditemukannya sebuah yang membuatnya shock setengah mati, kerjaannya kemarin sedikit tercecer akibat pikirannya yang melayang jauh oleh ulah anak sulungnya.
"Itu apa?". Tanya Bara kembali.
Chika, dengan tangan yang sedikit gemetar meraih ponsel itu dan melihat lebih jelas. Kapan ini terjadi? Dia sendiri saja bingung waktu kapan mereka melakukan itu. Sangking seringnya kali ya. :D.
Namun meski begitu Chika sedikit lega. Untung saja bukan momen di mana dia dan Ara yang bercumbu di dalam mobil sampai bajunya terlepas oleh Ara. Kejadian itu sedikit brutal menurutnya untuk mereka yang baru pertama kali melakukannya.
"Pi". Chika terus menelan ludahnya, meski susah payah, dia tetap mencoba melakukannya. Tubuhnya belum sepenuhnya kembali normal masih sangat ketakutan.
"Kenapa harus seperti itu sayang?". Aya ikut bertanya, perasaannya Ara itu terlihat anak yang tidak menyimpang sama sekali terlihat anak yang lurus lurus saja tidak aneh aneh, dan ini apa yang terjadi? Itulah makanya tidak boleh menilai orang dari luarnya.
"Mami". Bibir Chika sudah melengkung. Tatapan Aya masih ada tatapan iba disana. Tetapi jika Chika menatap Bara, langsung nyalinya menciut.
"vrumm vrumm". Ketiganya sama sama menoleh arah pintu saat mendengar suara mobil. Memang suara mobil sport Ara itu terdengar sedikit keras suaranya.
"Papiii". Chika panik kala melihat Bara yang bangun dari duduknya. Semakin paniknya lagi ketika Bara yang kian mendekat ke pintu.
Chika berlari lebih dulu ke arah sana namun langkahnya terhenti mendengar suara Bara. "Duduk Chika". Bara sedikit membentak.
"Papi". Chika menggeleng kepalanya. Dia takut jika Bara melakukan hal yang tidak kepada Ara. "Pi, bukan salah Ara, jangan". Chika sudah menangis dia takut luar biasa, matanya menatap Aya seakan akan meminta pertolongan, namun aya malah menghela nafasnya resah.
"Tok tok". Suara ketukan itu tambah membuat Chika kalang kabut. Seharusnya dia urung dan menolak suruhan Papinya yang menyuruh Ara untuk datang kerumahnya. Padahal Ara belum sempat beristirahat sama sekali. Hanya membersihkan tubuhnya secepat kilat ketika mendengar perkataan Chika beberapa saat lalu.
Chika tidak tahan lagi, membuka pintu dan keluar begitu saja. Menarik tangan Ara keluar dari rumahnya tanpa memperdulikan Bara yang juga ikut keluar di ikuti Aya di belakangnya.
"Kamu sayang aku kan? Balik ya, pulang". Pinta Chika, dia sudah sangat gemetar dan itu dapat di rasakan oleh Ara.
"Sayang tenang dulu ya, gak papa biar aku ketemu sama Papi, Mami kamu dulu". Chika menggeleng dia tidak mau. Bara memang tidak pernah memarahinya tapi tidak menutup kemungkinan Bara bisa saja memarahi Ara atau juga mengatainya, Chika tidak mau itu terjadi. Sudah cukup Ara menderita selama ini, dia tidak mau menambah beban Ara.
"Ara pulang, please. Papi marah besar, Mami juga. Maaf aku udah suruh kamu kesini. Pulang ya, aku mohon, pergi dari sini". Chika sesenggukan bahkan nafasnya sudah putus putus.
"Chika masuk, dan kamu juga". Bara menghampiri Chika dan Ara yang berada di luar pagar rumah mereka. Suasana sudah terlihat gelap dan memang komplek Chika ini terlihat sepi.
Chika reflek berdiri di depan Ara menyembunyikan Ara di belakang tubuhnya. "Papi, aku yang salah, dia gak salah. Aku mohon maafin aku".
Aya yang berdiri di sebelah Bara menatap dalam Chika dan juga Ara. Selama hidupnya selama dia menemani hari hari Chika dan hubungan Chika, anaknya itu tidak pernah seperti ini. Dia tidak pernah memohon untuk orang lain apalagi sampai nangis hanya untuk membela orang lain. Bahkan dengan Vito dulu pun, Chika tidak berbuat seperti ini.
Chika memegang tangan Ara erat dari baling punggungnya. Wajahnya berbalik lagi menatap dalam mata Ara seraya memohon kembali. "Pulang ya, kalo kamu sayang sama aku, dengerin aku, kamu pulang sekarang juga".
Ara dilema dia bimbang. Dia ingin bertanggung jawab atas perbuatannya namun perkataan Chika membuatnya sulit untuk melakukan keputusan. Akhirnya Ara mengangguk dan berbalik masuk ke mobilnya.
Tetapi tidak jadi saat Bara mengatakan sesuatu. "Kamu masuk kedalam rumah saya sekarang atau kamu gak akan pernah lihat anak saya lagi selamanya".
Ara menegang langsung memutar tubuhnya kembali, meraih tangan Chika dan menggenggamnya erat. Dia sudah bersumpah tidak akan meninggalkan Chika apa pun yang terjadi.
"Aku masuk Om". Ara merasakan tangan Chika di genggamannya sudah erat. Melihat Bara yang sudah berjalan lebih dulu ke depan membuat Ara mengikutinya, tetapi Chika menahan tubuhnya, dia tidak bergerak sama sekali.
Ara takut, siapa bilang dia tidak takut. Tapi ketakutannya lebih besar akan kehilangan Chika dari pada jika nanti dia akan menerima makian, cacian dari Bara atau mungkin Bara akan menghajarnya karena sudah membawa pengaruh buruk untuk anaknya, namun tak apa, dia sudah terbiasa menerima itu.
"Kamu percaya aku kan? Apa pun yang terjadi aku gak akan ninggalin kamu. Sekarang kita masuk aja, kamu jangan khawatir aku akan baik baik aja".
"Araa". Isak Chika dia masih menggeleng, rasa takutnya masih sangat jelas di rasakannya.
Ara menghembuskan nafasnya sudah siap dengan semuanya, setelahnya menarik Chika masuk kedalam rumah tersebut. Ara berdiri di depan Bara dan juga Aya, wajahnya menunduk dengan Chika di sampingnya yang tidak mau pergi dari sana.
"Kamu duduk aja sana". Suruh Ara. Tetapi Chika kekeh tidak mau tetap ingin menemani Ara dalam suka dan duka.
"Kamu ngapain disitu duduk Chika". Suara tegas Bara terdengar kembali. "Sayang duduk sini kamu". Aya ikut menyahutinya.
Chika menggeleng, dia tidak akan tega melihat Ara seorang diri terkena amarah Papinya.
"Berani sekali kamu berhubungan lebih dari sekedar teman dengan anaknya saya". Bara menatap wajah Ara yang menunduk. "Kalian itu perempuan. Gak malu kalo orang lain tau?".
"Papi". Chika tidak terima Bara hanya memarahi Ara saja. "Jangan marahin Ara, bukan Ara yang salah aku-".
"Iya, Papi juga akan marahi kamu, kalian berdua salah. Gimana nanti kalo Eyang tahu cucunya pertamanya punya kelainan seksual kayak gini. Tau gitu Papi akan lanjutin pertunangan kamu sama Vito, menyesal Papi batalin pertunangan kalian itu.
Mendengar perkataan Bara, Ara mengangkat wajahnya menatap dalam Bara. Remasan nya pada tangan Chika terasa lebih erat. Sementara Chika yang tahu respon tubuh Ara segera mengusap punggung itu menenangkannya.
"Papi sadar ngomong kayak gitu? Aku dilecehkan sama Vito dan Papi bilang nyesel batalin perhitungan aku sama bajingan itu? Aku gak bahagia sama dia sama sekali, aku bahagia sama Ara!". Chika menjerit, sungguh sakit mengingat apa yang sudah Vito lakukan terhadapnya. Masa remajanya seakan akan neraka yang harus dia lalui.
Bara terdiam, sementara Aya menoleh arah Bara, dia juga tidak percaya Bara akan berkata demikian. Padahal Aya sudah mengingatkan Bara supaya tidak terlalu kelewatan dalam mendidiknya.
"Aku gak peduli sama siapa pun, aku tetap mau Ara, Dia pergi dari kehidupan aku, aku juga akan ikut dia".
"Banyak cara lain yang bisa buat kamu bahagia, gak dengan cara ini, sayang". Tutur Aya.
"Gak, aku gak percaya siapa pun, terakhir aku percaya laki laki dia menghancurkan aku sampai ke dasarnya, sakit Mi, sakit jadi aku, begitupun Ara dia jauh lebih sakit". Chika menangis kembali.
"Chika". Lirih Ara menoleh padanya. Tangannya terangkat menghapus air mata Chika. "Jangan nangis". Pinta nya.
"Om, Tante". Ara mendekat satu langkah tapi tak melepaskan tangan Chika yang masih menggenggam erat tangannya.
"Maaf kalo aku lancang dan kesannya kurang ajar, tapi dengan kesadaran penuh aku mengakui kalo aku mencintai anak Om dan Tante-". Mata Ara tertutup ketika melihat tangan Bara yang terangkat hendak melayangkan tamparan untuknya. tidak lama mata itu terbuka kembali ketika tidak merasakan apa apa di pipinya.
Melihat Aya yang sudah menghalau tangan Bara tersebut. "Pi, gak perlu pakai kekerasan". Ujarnya menatap Bara.
Ara tidak gentar tetap berdiri kokoh di depan kedua orang tua Chika. "Aku bahagia ketemu anak Om dan Tante. Jujur, anak Om dan Tante yang lebih dulu masuk dan mengusik hidup aku, awalnya aku juga marah dan merasa terganggu dengan kehadirannya, tapi lama kelamaan aku menemukan kebahagian yang selama ini aku cari di diri anak Om dan Tante. Kalo pun aku bisa berpesan pada Tuhan aku ingin meminta untuk tidak mencintai anak Om dan Tante yang sama jenis dengan aku". Ara menarik sebentar nafasnya saat rasa sesak melanda dadanya.
"Aku gak bahagia Om, Tante, aku cuma punya Mama dalam hidupku yang menyayangi aku sepenuh hatinya dan sekarang aku punya Chika yang juga ikut menyaingi aku. Aku bersyukur bisa merasakan kasih sayang oleh dua perempuan yang aku cintai-".
"Apa maksud kamu? Kamu punya Danu Papa kamu kenapa kamu hanya mengatakan jika hanya punya Ranti?".
Ara tersenyum masam menghapus air matanya yang mengalir tanpa dia sadari. "Om, Tante, izinin aku sama Chika. Aku tau hubungan kita ini gak tau akan berakhir dimana, tapi aku mau selama itu juga aku mau Chika ada di sisi aku, aku-". Ara mulai sulit mengutarakan isi hatinya saat dadanya semakin sesak.
"Papi, Mami, Ara gak bahagia selama hidupnya dia menderita, sebab itu dia gak mengakui pak Danu menjadi bagian dari kebahagiannya-". Chika menyela omongan Ara.
"Chika". Ara memotong ucapannya. Bagaimana pun dia tidak ingin memburukkan Papanya.
"Biarin, biar semua orang tau, kalo Papa kamu itu jahat-".
"Chikaa!". Tegur Ara lagi membuat Chika terdiam.
Bara dan Aya saling pandang dalam kebingungannya. Mereka di kejutkan dengan Ara yang sudah bersimpuh di kaki mereka. "Aku akan buat Chika bahagia, Om, Tante. Aku gak bisa hidup tanpa Chika, dia udah terlalu dalam masuk dan mencampuri hidup aku, tolong".
Bara menarik kakinya di bawa sana saat merasakan ada tetesan air mengenai kakinya. Lidahnya seketika beku tidak dapat berucap apa apa lagi. Dia masih mencerna ucapan anaknya tentang Ara.
Ara mundur ke belakang akibat Bara yang bangun dan berdiri dari duduknya. Seketika Bara pergi dari sana dengan mengusap kepalanya kasar.
"Pi, mau kemana?". tanya Aya yang juga bangun namun masih berdiri di tempatnya.
"Mau memastikan anak aku satunya lagi, sebelum aku gila". Ucapan Bara, menyatukan alis Aya yang terlihat bingung sambil mencerna ucapannya.
"Mi, kemana? Ini sekarang gimana-". Chika juga bingung dengan orang tuanya yang pergi begitu saja tanpa keputusan apa pun.
"Mami mau memastikan suami Mami kenapa, sebelum dia benar benar gila seperti ucapannya". Aya ikut pergi dari sana. Menyisakan Chika dan Ara yang kebingungan sendiri. Akhirnya mereka semua kebingungan bersama.
Chika menuntun Ara untuk duduk di sofa. Keduanya saling pandang. "Makasih". Chika menyeka sisa air mata Ara di pipinya.
"Aku yang harusnya bilang terimakasih. Terimakasih udah mau percaya sama aku". Chika memeluk Ara erat. Entah kenapa hatinya tiba tiba saja plong dang lega.
"Pulang". Teriak Bara dari arah kamarnya. Kini Bara dan Aya sedang menonton Chika dan Ara dari cctv ponselnya. Sepertinya mereka harus sering sering memantau cctv rumah mereka jika suatu saat Ara berkunjung.
Karena dilihat dari cctv sebelumnya, anak mereka yang menyosor Ara lebih dulu. Mereka takut jika Chika akan melakukannya lagi nanti.
"Pulang". Teriaknya lagi sangat jelas terdengar dari loudspeaker cctv diruang tamu". Sebelum ada setan masuk ke tubuh Chika, kamu pulang sekarang". Sambungnya. Chika melebarkan matanya. Apa maksud Papinya berbicara seperti itu.
"Sayang aku pulang ya". Ara merapikan rambut Chika yang menutupi wajah cantiknya.
"Jangan sentuh anak saya". Ucap Bara langsung menghentikan perbuatan Ara.
"Papiii". Chika ikut berteriak pada Bara. Papinya itu sudah mirip seperti penjaga cctv di lampu merah.
Chika melengkungkan bibirnya kebawah tidak rela melepaskan Ara pulang. "Aku ikut".
Ara terkekeh saat tadi sempat menangis, "Jangan, nanti Papi kamu sama Mami makin marah sama aku, mau?". Dan Chika langsung menggeleng.
"Tapi kan by". Feeling Chika tidak pernah salah.
"Apa sayang?". Tanya Ara yang sedang memakai sepatunya.
"Aku rasa tadi Papi-".
"Shttt" Ara menaruh telunjuknya di depan bibir Chika. "Aku juga ngerasa gitu, semoga aja ya. Tapi mau gimana pun aku gak bakal tinggalin kamu, dan kamu jangan coba2 buat tinggalin aku, Chika".
Chika menangkup wajah Ara. "Aku cinta kamu, gimana bisa aku ninggalin kamu". Chika berucap jujur namun telinganya masih bisa mendengar jelas suara Bara dari dalam rumahnya yang menyuruhnya masuk.
"Sayang, Papi kamu makin marah, aku pulang dulu ya, kamu baik baik, aku tetap akan jemput kamu besok, kita pergi bareng". Chika mengangguk.
"Yaudah masuk sana". Ara berjalan keluar gerbang dengan Chika yang masih mengikutinya. "By?". Panggil Chika menarik baju Ara.
"Hm?". Ara berdiri di samping pintu mobilnya menunggu apa yang akan di katakan kekasihnya ini.
"Cium". Pintanya pelan, kepalanya mengendap ngendap tak ingin di lihat Bara.
Ara hanya terkekeh mengusap pipi Chika. "Kamu gak liat tadi Papi kamu marah kayak gitu? Dan sekarang kamu minta sesuatu yang menjadi akibat permasalahan kita hari ini".
Chika kembali cemberut. "Ok". Katanya.
"Hati hati kamu, sampe kabari aku ya". Chika mengusap tangan Ara yang berada di jendela mobil.
"Iya sayang, aku balik dulu. Kalo ada apa apa kabari aku. Bye sayang, love u".
"Love u more". Bertepatan dengan Ara yang sudah melajukan mobilnya pergi meninggalkan kediaman Chika.
Chika masuk kedalam rumahnya dan sudah melihat Bara duduk ditempatnya tadi. "Papi". Panggil Chika pelan.
"Gak bisa dipikirin lagi?".
"Gak". Chika langsung membantahnya dengan cepat.
"Banyak laki laki lain diluar sana lebih ganteng, lebih baik, dan lebih macho, kenapa harus dengan yang kayak kamu".
"Aku udah pernah sama laki laki yang kayak Papi sebutin itu, tapi yang ada apa? Kelakuannya malah melebihi dari binatang".
Bara mengatur nafasnya mendengar ungkapan Chika. "Berarti kamu-". Chika memotong ucapan Bara.
"Gak sama Ara berarti gak sama siapapun. Papi akan ngeliat aku seumur hidup sendiri.
"Tapi Papi mau cucu, kamu sama Ara emang bisa menghasilkan cucu buat Papi?".
Chika tersedak ludahnya sendiri mendengar ucapan Bara yang sungguh tidak terpikirkan olehnya sama sekali.
"Pi". Chika sampai kehilangan kata katanya. "Aku bahkan belum lulus SMA loh, Papi udah mau cucu aja, emang Papi mau aku nikah muda? Ayo aku ikut aja, asalkan sama Ara. Soal anak gampang. Perempuan sama perempuan juga bisa".
"Papi mau nikahin aku sama Ara kapan?". Tambah Chika lagi, dia jadi heboh sendiri.
Bara menggaruk kepalanya gusar, menatap kesal Chika. Anaknya ini benar benar sudah hilang arah sepertinya. Cinta apa itu, cinta tai kucing.
"Kamu ya, sekolah dulu yang bener, terus lanjut kuliah biar sukses, habis itu Papi cari lelaki yang kaya raya-".
"Papiiiii". Sela Chika yang mulai terlihat kesal. "Kalo Papi mau cucu, seenggaknya tunggu Ara lulus sekolah dulu, kita bisa juga kasih Papi sama Mami cucu-".
"Cukup, omongan kamu udah ngelantur kemana mana, bangun jangan mimpi terus".
"Ckk". Chika berdecak. Sementara Bara sudah sangat pusing, bagaimana jika Mamanya tahu. Pasalnya kedua adiknya juga mempunyai anak yang sama dengannya sekarang ini. Dan dia tidak menyangka jika Chika juga akan seperti mengikuti jejak itu juga. Apa dosa Mama dan Papanya sehingga keturunannya jadi seperti ini.
Sepertinya Bara harus menyiapkan mentalnya mulai dari sekarang jika suatu hari Mamanya itu tahu tentang Chika. Sudah dipastikan dia akan mendengar pidato satu tahun full non stop.
*
"Hay". Ara di datang ke Galeri Chika dan mengagetkan sang pemiliknya. "Kok gak bilang2 kesini?". Chika yang sedang menggambar di tubuh seorang perempuan itu menghentikan sebentar aktivitasnya.
Ara menyengir dan makin masuk ke dalam ruangan yang tidak terlalu luas tersebut. Tatapannya fokus pada tangan sang perempuan yang memegang paha Chika yang hanya mengenakan celana pendek sebatas paha itu.
Ara mendekat menyentil tangan tersebut hingga tak lagi memegang paha Chika. Sang pemilik tangan itu kaget dan mendongak melihat siapa pelakunya.
Ara tak peduli dengan tatapannya. Sementara Chika menatap geli Ara yang bertingkah demikian.
"Ngapain?". Tanya Chika melanjutkan lagi kegiatannya, Kali ini menato di bagian betis.
"Apanya?". Ara menaiki alisnya.
"Ngapain kesini?". Tanya ulang Chika.
"Emang kenapa gak boleh?". Chika tertawa pelan, Ara semakin di ladeni semakin menjadi jadi nanti.
"Ara, keluar aja sana, tunggu di ruangan aku". Chika jadi tidak fokus jika ada Ara di sebelahnya.
"Emang kenapa sih? Aku cuma mau liat kamu kalo lagi kerja itu kayak mana". Ara malah semakin mendekati tubuhnya ke samping Chika.
"Sana deh, aku gak fokus kalo ada kamu".
"Lah, aku gak ngapain ngapain loh padahal".
"Justru itu, kamu yang gak ngapa ngapain tapi ngeliatin aku dari tadi, aku gak fokus". Chika benar benar grogi dengan Ara yang menatap wajahnya. Dia tahu itu.
Ara terkekeh. "Yaudah deh, aku merem aja nih". Ara menutup matanya tak lagi melihat kegiatan Chika yang takut nya malah salah tusuk nanti.
20 menit berlalu, Perempuan tadi sudah keluar. Chika juga sudah selesai membersihkan alat alatnya dan juga tangannya. Melihat Ara yang tidak bergerak sedari tadi. Apa dia sudah tertidur. Chika mendekat duduk di samping Ara memandang wajah itu dari samping. Hatinya berbunga bunga, pacarnya ini benar benar sangat tampan dan cantik tentunya.
"By, ngantuk ya? Di ruangan aku aja tidurnya, yuk". Chika mengelus pipi Ara dan naik mengusap luka jahitan yang ada di antara kening dan alisnya. Mata Ara terbuka menampilkan wajah Chika yang berada dekat dengannya.
"Udah pulang orangnya?". Ara menegakkan punggungnya merenggangkan kedua tangannya. Meski tertidur sebentar tapi dia kelihatan pulas.
Chika mengangguk. "Ngantuk?". Tanyanya.
"Gak lagi". Sahut Ara. Ara menggenggam tangan Chika. "Aku mau bilang sesuatu ke kamu, Bisa keluar? Masih ada kerjaan kamunya?".
Chika memiringkan kepalanya menatap Ara penasaran. "Bilang apa? Disana aja".
"Gak bisa disini, harus di tempatnya, kamu juga harus liat".
"Apa sih by? Sok sokan rahasiaan deh". Chika bangun dari sana tapi dengan sigap Ara menariknya hingga jatuh ke pangkuannya.
"Cup. Mau gak?". Ara tersenyum setelah berhasil mengecup bibir merah itu.
"Mau kemana emang?". Chika penasaran sekaligus curiga dengan Ara.
"Makanya ikut aja, Ayo". Ara bangun bersamaan dengan Chika yang juga ikut bangun.
"Zee titip ya, gue pergi sama Ara bentar". Chika menghampiri Azizi di ruangannya. Azizi mendengus melihat Ara yang tiba tiba sudah berada di tempatnya.
"Kek jelangkung lo". Ucapnya pada Ara yang di hadiahi tawa oleh Ara.
"Mau kemana?". Chika mengulang pertanyaannya seraya memasang seat belt nya.
"Ada pokonya. Kamu juga udah pernah kesana kok".
"Awas kalo aneh aneh".
*
"Sampai". Ujar Ara tersenyum beda dengan Chika yang kebingungan.
"Kamu lagi pengen makan itu?".
Ara menggeleng. "Itu punya aku".
"Hah? Apasih? Yang jelas ngomongnya". Chika mengarah pandangannya ke luar ke arah toko kue tersebut.
"Sayang, toko itu punya aku, aku bangun dari satu tahun lalu, gak ada yang tau sama sekali, Mama juga gak tau, kecuali kamu. Gak bermaksud membunyikan, tapi aku masih belum siap bilang ke siapa siapa, aku cuma pengen buktiin kalo aku berguna. Memang belum lama sih tokonya berdiri, tapi cukup kok untuk ngidupin aku sama Mama, kamu juga kalau suatu saat Papa beneran buang aku".
Chika masih bengong, belum dapat mencerna apapun yang di ungkap kan Ara baru saja. "Jangan bercanda". Hanya itu yang dapat Chika katakan.
"Gak ada yang bercanda aku serius. Setiap Papa kasih uang ke aku, gak aku pake buat senang senang, semuanya aku tabung. Aku usaha sendiri juga buat rekening baru, aku alihkan kesana untuk bangun toko itu. Aku bisa Chika aku mampu, aku berguna kan?".
Mata Chika sudah berkaca kaca. "By, demi apa?". Chika menarik Ara ke pelukannya, memeluknya erat. Sumpah demi apa pun Chika masih tidak menyangka dengan apa yang dilihat dan di dengarnya saat sekarang ini.
"Kamu berguna, ada dan gak ada toko itu kamu tetap berguna buat aku, buat Mama kamu, buat orang orang yang menyayangi kamu.
"Kita kasih tau Papa kamu ya, bilang kalo kamu mampu, kamu bisa. Jangan tutupin apa pun lagi. Tunjukkan ke Papa kamu kalo apa yang dia bilang ke kamu itu semuanya gak benar. Kamu anak yang berguna kamu istimewa kamu dapat diandalkan. Kita bilang ke Papa kamu ya, aku temenin, pasti dia bangga sama kamu".
Ara menggeleng, menarik diri dari pelukannya Chika. "Jangan, gak usah, aku gak butuh validasi dari Papa, mau aku berhasil dan tidak dia gak aka perduli. Dia menaruh dendam sama aku, Chika".
"Maksud kamu?". Chika tidak paham perkataan Ara di akhir itu.
"Gak ada apa apa sayang. Turun yuk".
"Bentar dulu, aku masih kaget loh kamu punya toko kue yang sebesar ini. Ini tuh tokonya terkenal Ara, Papi aku sering datang kesini katanya, dia bilang setiap hari dia liat banyak yang masuk kesini. Perusahaan Papi aku di seberang sana loh".
Ara mengikuti arah tunjuk Chika. "Itu Kantornya Om Bara?". Ara juga sedikit kaget. Tokonya berdekatan sekali dengan kantor Papi Chika.
Chika mengangguk. "Nanti aku gratisin ya buat Calon mertua aku". Chika melirik arah lain, wajahnya panas tiba tiba. Perkataan Ara membuat hatinya bergejolak, hingga pipinya sudah bersemu merah.
"Merah banget wajah kamu sayang, kenapa tu?". Chika memukulnya membuat Ara semakin terkekeh.
"Aku gak mau masuk ya". Chika membuang wajahnya ke arah lain.
"Masuk dong, masak calon pemilik keduanya gak mau masuk".
"Apasih Ara, kamu kira aku tergoda?".
"Tergoda dong, buktinya kamu terpikat sama aku".
"Dih, Pede banget anda".
"Oh jelas dong harus pede, pacar aku secantik ini, harus percaya diri lah, rugi dong kalo gak".
"Kok kamu makin tengil ya, pantesan Gita sama Elli manggil kamu tengil, udah mendarah daging soalnya ya".
"Mana ada tengil, mereka aja yang gak bisa menerima kharismatik dari diri aku yang bisa pacari temannya yang cantik not real ini".
"Aku baru tau selain kepedean kamu juga tukang gombal ya, sayangnya gak mempan di aku".
"Bilang gak mempan, tapi wajah kamu merah, kenapa? Sesak pup kah?".
"Ara! Aku turun ya".
"Turun aja kalo bisa". Entah kenapa Ara sangat bahagia malam ini dapat bercanda dengan Chika seperti ini.
"Buka gak". Pintu mobil di kunci Ara, Chika semakin kesal dibuatnya.
"Oke, dengan senang hati sayang". Ara mendekatkan tubuhnya pada Chika, itu membuat Chika mundur hingga punggungnya menyentuh pintu mobil.
"Kamu mau ngapain?". Chika malah takut.
"Tadi katanya suruh buka".
"Buka pintu mobilnya. Emang kamu mau buka apa?".
"Aku kira buka baju kamu".
"Mamiiii". Chika malah berteriak, dia jadi takut dengan ekspresi yang Ara tunjukkan saat ini.
"Aahahah". Ara tertawa bahagia, seru baginya menikmati situasi saat saat seperti ini bersama Chika.
"Aku bercanda sayang". Ara meraih tangan Chika dan menarik agar dekat dengannya kembali.
"Aku beneran takut Araa". Mata Chika sudah berkaca kaca. "Ini di tempat umum, berani kamu kayak gitu, aku hajar kamu". Seraya tangannya menyeka air mata yang sudah turun dari sana.
"Loh kok nangis, aku cuma bercanda sayang, maaf". Meraih kepala Chika, Ara memeluknya sayang. "Maaf ya, bercanda aku".
"Jangan gitu lagi".
"Iya sayang, maaf". Mengangkat wajah Chika dan menatapnya intens. "Nanti kalo kamu ada waktu temani aku jumpai Mama buat kasih tau tentang ini ya, tentang toko. Aku takut Mami marah".
Chika mengangguk. "Terus kenapa kamu bilang ke aku". Chika masih penasaran. Ara tidak memberitahu Ranti tetapi memberitahu dirinya.
"Karena kamu segalanya bagi aku. Bukan Mama gak segalanya untuk aku tapi kamu beda, kamu orang lain yang masuk dalam hidup aku dan merampas seluruh yang ada di dalam sana. Dan kamu harus tanggung jawab".
"Manis banget kalo kayak gini kamu".
Ara terkekeh lagi. "Yaudah ayo turun".
Keduanya pun turun dan memasuki toko. Seperti biasa para karyawan disana berdiri dengan rapi di tempatnya melihat kehadiran Ara.
"Tuh kan, aku waktu itu aku juga ngerasa ada yang aneh tau pas masuk kesini. Kok yang kerja disini langsung diam dan nurut gitu sama kamu, sama kayak hari ini. Oooh rupanya kamu boss nya, pantesan". Chika berbisik tepat di telinga Ara.
"Boss". Sapa salah satu karyawannya. Ara mengangguk. "Tadi si Sari pulang, dia izin Mamanya masuk rumah sakit". Ujar nya.
"Kok gak ada yang ngomong di grup?". Ara membuka ponselnya membuka room chat grup tokonya namun memang tidak menemukan apa apa disana.
"Baru aja, boss. Dia buru buru soalnya".
Ara membuka resleting tas selempangnya, mengambil beberapa lembar uang pecahan berwarna merah dan di berikan pada Mail, karyawan yang berbicara dengan Ara itu.
"Tau rumah Sari? Gak jauh dari sini juga kan? Tolong titip ke dia. Dan salam sama Mamanya semoga cepat sembuh". Pesan Ara. Mail terdiam sebentar setelahnya mengangguk cepat. "Oke boss. Sekarang saya kesana".
"Tunggu". Tegur Ara kembali. "Ongkos kamu".
"Mail tersenyum, Boss nya ini benar benar sangat pengertian. Ara sebisa mungkin bersikap adil kepada karyawannya dan tentunya profesional. "Makasih banyak boss". Ucap Mail. Dia berlalu dari sana, tapi sebelum itu. "Boss yang di sebelahnya cantik". Setelah ucapannya dia berlari keluar meninggalkan Ara yang memasang raut wajah horornya.
Chika tertawa, lucu melihat wajah Ara yang tegang setelah menerima sebuah candaan dari karyawannya sendiri.
Ara menatap kembali Chika. "Ngapain senyum senyum?". Tanya nya
"Lah salah emang aku senyum?".
Ara menghela nafasnya. "Kita keruangan aku ya".
"Cieee udah ada ruangan sendiri nih". Sekarang giliran Chika yang menggoda Ara. "Boss nih sekarang, ciee". Tambahnya lagi.
"Sayang, jangan gitu". Ara menunduk menarik Chika menuju ruangannya, dia malu diperlakukan seperti itu.
Chika memperhatikan seisi ruangan Ara, masih terlihat kosong tidak banyak perabotan di dalam sini. "Aku yakin deh kalo Pak Danu tau dia pasti bangga sama kamu".
Ara mendudukkan pantatnya di sofa sambil melihat Chika yang mengelilingi ruangannya. "Aku yang gak yakin, sayang".
Chika berbalik menatap Ara. "Nanti suatu saat kalo semuanya bisa membaik, aku akan temani kamu kasih tau Pak Danu yang sebenarnya ya, kamu gak sendiri, ada aku, ada Mama kamu dan sahabat sahabat kamu yang peduli dan tulus sama kamu".
Ara tak mengangguk langsung, matanya masih menatap Chika lekat. "Apa yang aku lakuin sampai Tuhan kasih kamu untuk aku, Chika? Aku bersyukur di pertemukan sama perempuan yang berani masuk ke raungan Papa aku dan ngaku ngaku ada perlu sama aku sampai bilang aku ikut pentas seni. Makasih Chika udah hadir dalam hidup aku".
Chika mendekati Ara, berdiri didepannya membungkukkan tubuhnya sejajar dengan Ara yang duduk di depannya. Tangannya terangkat menangkup sepasang pipi itu.
"Aku lebih beruntung dapetin kamu, tau gak? Aku gak tau lagi gimana cara mendeskripsikan kamu itu kayak apa lagi tau. Kamu it-". Ucapan Chika terputus oleh Ara yang dengan cepat menarik tengkuknya dan mencium bibir itu.
Ara melepaskannya hingga mereka saling pandang. Ciuman mereka berlanjut saat Chika mencium Ara kembali dan duduk di pangkuannya. Badan Chika menghadap Ara sepenuhnya. Mencium bibir Ara dengan lembut begitu pun sebaliknya.
Semakin dia mencicipi bibir Ara semakin pula Chika terhanyut di dalamnya. Tangannya sudah mengalung indah di leher Ara hingga naik ke kepalanya. Bergerak ke kiri dan ke kanan wajah mereka saling mencari rasanya.
Chika menyandarkan Ara pada sandaran sofa. Wajahnya serta bibirnya sudah berpindah tempat menuju leher Ara bergerak ke samping ke arah telinga sedikit menggoda disana. Tangan Ara sudah mencengkram kuat paha Chika yang hanya terbalut oleh celana pendek sebatas paha.
Chika menatap kembali Ara. Tak lama tatapan itu beradu, karena selanjutnya, Chika mencium kembali bibir Ara kali ini sedikit lebih keras. Chika mencoba mengulum kedua belah bibir itu menghisapnya kuat kuat hingga tercipta bunyi yang khas saat dia melepasnya.
Nafas keduanya terengah engah dan saling pandang. Kemudian Chika menjatuhkan kepalanya ke bahu Ara dan masih mengatur nafasnya disana. Chika menyudahinya takut mereka akan terbuai dan nanti kebablasan lagi.
"Kita pulang?". Ajak Ara pada Chika yang masih di dalam pelukannya. Chika mengangguk sambil mengusap bibirnya. Turun dari pangkuan Ara seraya membenarkan tatanan rambutnya. Chika berdehem. "Bibir kamu". Ujar nya. Ara paham dan langsung mengusap bibirnya itu serta membersihkannya. Ada bekas lipstik Chika disana.
"Rambut kamu juga". Chika memejamkan matanya. Baru setingkat itu, Ara sudah dibuat berantakan olehnya apalagi yang beberapa malam lalu saat hal yang tidak di rencanakan terjadi diantara mereka. Sudah tidak berbentuk kasur Ara ulah mereka berdua.
"Udah aman, sayang?". Tanya Ara setelah membenarkan letak rambut dan semua yang ada di dirinya. Chika mengangguk malu.
Keduanya sudah memasuki mobil. "Aku antar langsung kerumah atau gimana?".
"Mobil aku di Galeri by, aku pulang naik mobil aku aja".
"Sama aku aja, biar aku antar ke rumah langsung ini".
"Kayaknya gak bisa, mobil aku mau di pake Mami besok gak bisa ditinggalin di Galeri". Ucap Chika.
"Yaudah, aku ikut dari belakang ya". Ara tidak mau membiarkan Chika pulang sendiri di tengah larut malam ini.
Chika mengangguk saja. Dia mulai lemas dan mengantuk sekali.
*
Ara turun dari mobilnya menghampiri mobil Chika yang sudah sampai di depan rumahnya. "Aku balik ya". Ara berujar dari balik jendela mobil Chika. Mengusap lembut kepala itu beberapa kali.
"Hati hati ya". Balas Chika. Ara mengangguk dan balik ke mobilnya seraya berlalu dari rumah Chika.
"Mi". Chika masuk menyapa Aya yang sedang menonton tv. Padahal sudah jam 23.50 malam, tapi maminya itu belum tidur juga. Chika mendekat dan meletakkan paper bag yang di bawanya itu.
"Ara kasih". Ucap Chika lemas.
"Apa itu?". Bara datang dari arah dapur dengan segelas air putih di tangannya. "Sogakan? Gak tertarik Papi".
Chika mendengus, malas sekali meladeni Bara di jam segini dengan kondisi matanya yang sudah hampir habis watt.
"Kamu keluar sama dia?". Aya bertanya.
"Gak Mi, ketemu di jalan". Jawab Chika berbohong. "Aku naik dulu ya Mi, Papi, good night". Chika naik menuju dimana kamarnya berada.
"Besok malam kita kerumah Eyang, Eyang yang suruh, sekalian bawa dia dia itu, males banget Papi nyebut nama dia, Eyang yang suruh, Eyang udah tau juga".
Chika menghentikan langkahnya ketika mendengar ucapan Bara. Jantungnya langsung berdegup kencang. Apa lagi ini? Karena kondisi tubuh yang sudah tidak bisa diajak berdiskusi lagi, Chika melanjutkan langkahnya masuk ke kamar memilih tidur. Besok saja dia membahasnya kembali dengan Bara setelah tenaga tubuhnya sudah terisi full.
Eyyooo...
Gak ada kata kata yang mau aku sampaikan hari ini kayaknya...
Cukup sampai sini dulu ya...
Tetap selalu untuk,
VOTE, FOLLOW and KOMEN2 ya...
See U Next Chapter...
Bye bye 👋