♡
14 Mei
Di rumah, ibu Marie menjadi giat menonton Tv, demi mengetahui perkembangan peristiwa kerusuhan diskriminasi terhadap keturunan etnis Tionghoa. Dikabarkan, di kota Solo, Palembang, dan Medan juga sudah terjadi kerusuhan itu.
Di dapur, pikiran Marie sekarang diserang kecemasan, ketakutan. Dia berhenti menuangkan air minum di gelas. Berusaha menenangkan nafas, baru meneguknya.
Dia pergi ke teras depan rumah, menemui Anita yang tengah membaca majalah.
Dipandanginya gadis itu, bersama pikiran masih tak menyangka jika dia merupakan sosok tak terduga dalam hidupnya.
"Anita," panggilnya setelah ikut duduk di bangku.
Anita menoleh sepenuh hati. "Iya.."
"Kamu sudah tau latar belakang diri saya,"
Anita menunggu Marie melanjutkan.
"Keluarga saya keturunan etnis Tionghoa," lanjut Marie lirih.
Hening. Gadis itu termenung memandanginya.
Marie menghela nafas sejenak, sebelum bertanya, "Apa kamu tidak masalah?"
"Masalah apa?"
"Kamu tau kan faktor apa kerusuhan yang sekarang terjadi menyerang pada warga seperti kami? Apa kamu tidak benci kami?"
Seakan terhimpit dada Anita mendengarnya.
Dia bawa satu tangan Marie dalam genggaman.
"Suster.Marie," Sepasang netra-nya menatap begitu dalam.
"Saya mengerti keresahanmu.
Dengar, saya tidak perlu untuk peduli tentang itu.
Penyebab gejolak orang-orang melakukan kerusuhan, penyerangan massal terhadap keturunan etnis Tionghoa ini, karena ada provokator tidak bertanggung yang sengaja menunggangi masalah politik, dan masalah krisis moneter ini. Memanfaatkan emosi orang-orang demi keuntungan pribadi mereka. Dengan mengalihkan kemarahan masyarakat atas kematian mahasiswa Trisakti pada sentimen etnis Tionghoa.
Saya sangat menghargaimu dan keluarga mu. Setiap orang, apapun keturunannya, darimana pun asalnya, bagaimanapun ekonominya, sama-sama punya Hak Asasi Manusia. Dalam perbedaan apapun. Saya yakin, kalian orang baik. Karena kamu pun tumbuh menjadi orang baik."
Bibir Marie mengembang senyum ketenangan. Dia peluk Anita.
"Terima kasih, Anita,"
Senyuman terulas manis. Anita kecup pundaknya penuh sayang.
"O ya, saya sudah lama punya sebuah rencana," cerita Anita.
"Apa itu?"
"Rencana berpindah negara,"
Sontak Marie menatap sedih.
"Kamu mau pergi?"
Dengan jemarinya Anita ubah bentuk bibir Marie menjadi tersungging senyum.
"Tidak perlu khawatir dulu..! Saya berencana ingin pergi pastinya bersama kamu. Saya berharap kita dapat pergi ke tempat dimana minim orang yang berpotensi menghakimi kita berdua, dan kita dapat memiliki kesempatan lebih untuk berusaha hidup dengan baik disana."
Bentuk senyuman Marie melebar.
"Begitu ya..
Kemana?"
"Hm.. Mungkin Australia? Atau Taiwan? Jepang?
Apa kamu mau bersama saya? Berjalan bersama-sama dalam meraih asa dan impian ini?"
Marie genggam tangan Anita. Sepenuh hati dia menjawab, "Kemana pun baik nya, jika itu bersama mu. Saya bersedia. Kita akan berjalan bersama-sama mengarungi kehidupan."
Rasa haru menggelegak memenuhi dada.
Anita berhasil mengecup kilat bibir Marie. Menghadirkan senyum malu-malu milik perempuan itu.
"Kalau saya cium, khawatir akan terlihat orang lain," bisik Anita diiringi kekehan.
"Hhehe."
Marie tertawa kecil.
Hari ini, para guru besar Universitas Padjajaran, Bandung, mengeluarkan pernyataan keprihatinan dan mendesak diselenggarakannya sidang umum istimewa MPR.
Sementara itu di Jakarta, kerusuhan dan penjarahan terjadi di beberapa pusat perbelanjaan, seperti supermarket Hero, Super Indo, Makro, Goro, Ramayana, dan Borobudur. Selain dirusak, sebagian ada yang dibakar.
Gereja Katedral Santo Petrus.
Di mimbar nya, Pastor Leo berseru, "Sebelum mengakhiri doa bersama sore, mari kita doakan negara ini, dan keselamatan bagi saudara-saudara kita, siapapun, dimanapun mereka. Khususnya, mereka yang sedang tertimpa musibah diskriminasi,"
Semua orang memanjatkan doa. Lalu pastor imam Leo kembali bersuara, "Dalam nama Yesus kristus Tuhan kami, permohonan ini kami panjatkan kepada Mu, sebab Engkaulah pengantar kami, kini dan sepanjang masa. Amin.
Dalam nama bapak, putera, dan roh kudus. Amin."
"Amin.."
Suara hewan-hewan meramaikan malam. Malam yang biasa selalu dapat dinikmati, dilalui dengan tenang, dua hari ini tidak. Marie dan keluarga, serta Anita, sering berkumpul menonton Tv, menyimak berita tentang kerusuhan. Mereka khawatir jika kerusuhan itu menyebar ke daerah tempat tinggal saudara, maupun ke daerah ini.
Dikabarkan oleh news anchor berita, beberapa pusat perbelanjaan besar di Jakarta dibakar oleh massa perusuh. Dan sekitar 500 orang meninggal dunia akibat kebakaran selama kerusuhan hari itu terjadi. News anchor pun menyampaikan pada para pemirsa untuk tetap selalu hati-hati, serta waspada, dimana pun.
Tentu saja kabar ini mengejutkan lagi mereka semua. Begitu pula kecemasan, ketakutan, melanda hati mereka.
Tidak ada unsur karena kekasihnya keturunan etnis Tionghoa, Anita menentang keras aksi kerusuhan itu. Namun, orang-orang yang menentang seperti dirinya lebih sedikit dibanding mereka yang pro. Baginya, kalaupun jika memang ada pengusaha Indonesia keturunan etnis Tionghoa yang menyimpan harta di luar negri, dan hal lainnya seperti yang diisukan, lantas kenapa harus menyerang orang-orang yang tak ada hubungannya dengan masalah ini, apalagi mereka yang tak bersalah. Bahkan harus sampai terenggut nyawa. Padahal pembuktiannya pun ada.
Jika bicara tentang adanya individu keturunan etnis Tionghoa yang tak baik, di keturunan manapun ada orang yang tak baik. Bukan berarti semua pasti sama sebagai orang yang tak baik. Dia sangat menyayangkan, sebagian besar masyarakat menjadi korban adu domba, pengalihan isu oleh pihak tak bertanggung jawab.
Dia genggam tangan Marie. Lewat kehangatan sentuhan, menyampaikan ketulusannya yang tidak akan pernah takut untuk menjaganya, menghadapi apapun bersamanya.
Sekitar pukul sembilan, seorang perempuan dokter jaga di salahsatu rumah sakit Surabaya, mendapat pasien gadis muda korban kerusuhan yang baru tiba di rumah sakit, dan akan dia tangani.
Usai diperiksa, dia syok mendapati keadaan organ intim pasien tersebut. Badannya gemetar, meringis pilu. Mentalnya langsung terkena. Begitu prihatin atas keadaan si pasien yang telah diperkosa oleh pelaku kerusuhan, sampai dirusak organ intim nya.
Tak sanggup berkata-kata, emosi berkecamuk.
Sejenak dia membuang nafas berat, memandang iba si pasien yang masih dalam keadaan pingsan.
Solo.
Dua orang laki-laki keturunan etnis Jawa sedang berjaga-jaga di dalam sebuah bangunan ruko milik majikannya yang merupakan keturunan etnis Tionghoa. Majikan mereka dan keluarganya baru saja pergi untuk menyelamatkan diri, sebelum ada massa perusuh yang datang. Dan menyerahkan semua keeprcayaan atas harta mereka disini pada dua orang; ayah dan anak itu.
Mereka berdua berharap, semoga malam ini dan seterusnya aman. Tapi ternyata, diluar sudah terdengar suara berisik kelompok massa.
Jantung berdebar kencang, dilanda kekhawatiran luar biasa.
"Pak," panggil sang anak pada ayahnya.
Balok kayu telah berada di genggaman. Sembari memperhatikan pintu besi toko yang telah dikunci dengan baik, ayah berkata, "Jangan takut! Kamu bersama bapak. Gusti Alloh bersama kita, ndo."
Anaknya mengangguk. Berusaha meyakinkan diri. Kalaupun maut menjemput pada malam ini, dia percaya bahwa ayahnya merupakan orang baik, dan dirinya sudah berusaha menjadi orang baik selama hidup ini. Dia berserah pada Tuhannya.
Tiba-tiba dia harus terkejut saat sang ayah menarik lengannya untuk mundur. Ternyata kelompok massa itu telah berhasil merusak dan membuka pintu besi toko. Maka sekarang, mereka berdua mulai terkepung, dicecar pertanyaan tentang majikan mereka, dan diintimidasi tanpa kenal nurani. Walau sudah berusaha melawan sebisa mungkin, ayah dan anak itu tetap kalah. Mereka dihajar habis-habisan sampai tak sadarkan diri. Diseret ke lantai atas seperti binatang. Lalu ditinggalkan begitu saja dalam keadaan bangunan yang telah dibakar.
Jakarta. Dini hari. 04.00 WIB. Seorang ibu bersama dua anak kecil laki-laki dan anak perempuannya yang masih berusia tujuh tahun dan lima tahun, keluar dari rumah dengan penuh waspada. Sang ibu mengingatkan anak-anaknya untuk terus mengikuti, tidak berisik dan selalu berhati-hati.
"Mamah, takut.." bisik anak perempuannya hampir menangis melihat keadaan sekitar yang sunyi mencekam, dan langit masih hitam pekat, gelap.
Mereka bertiga terus berjalan. Dua bahunya dibebani tas-tas besar. Sekuat tenaga ibu muda itu harus menahan kuat-kuat sembari menggandeng kedua anaknya.
Dia menghela nafas sejenak.
"Bayangkan ini sudah siang, ya, sayang! Jangan takut! Kita bersama-sama. Dan kita harus terus berjalan cepat agar segera sampai di tempat yang aman."
"Iya, mamah," sahut si bungsu.
Getir sedih menyelimuti hatinya di tengah situasi sangat kacau ini. Seorang ibu muda yang harus berjuang sendirian menyelamatkan diri dan anak, tanpa suami yang belum dapat pulang dari negeri rantauan, Hongkong. Sebagai keturunan etnis Tionghoa, tentu dia sudah tidak aman berada di tempat tinggalnya. Tidak ada keluarga, ataupun saudara. Beruntung tempat tinggalnya masih belum disasar penyerangan. Tapi tidak pasti jika itu hari ini, atau esok. Tidak ada jaminan mereka akan aman. Maka, setelah mendapat informasi jika pukul lima pagi ini di pelabuhan Tanjung priuk ada kapal laut yang akan pergi ke Kalimantan, dia memutuskan pergi meninggalkan rumah demi keselamatan. Entah sementara, atau selamanya. Dia tidak tau. Kemanapun dia akan pergi, kecuali ke luar negeri seperti sebagian keturunan etnis Tionghoa lain yang memiliki uang lebih.
Dia sudah ingin menangis meluapkan emosi. Tetapi, dia tidak ingin. Agar anak-anaknya ikut tegar. Mereka harus segera sampai di penampungan.
Di tengah ketakutan, anak sulungnya mengeluh. "Dingin, mah.."
"Sabar, sayang.." sahutnya menguatkan diri.
Dalam hati terus berdoa, semoga tidak ada orang-orang perusuh yang menemukan mereka.
🤧
Lanjut setelah vote ke bab berikutnya..
❤️