Taufan x Reader| Retakka's Fa...

By Goldilocks95

5K 858 558

|Taufan x Reader | Keluarga itu hampir menyentuh kata sempurna. Sebagai anak jalanan yang biasa hidup mengand... More

Prolog
- 01
- 02
- 03
- 04
- 05
- 06
- 07
- 08
- 09
- 10
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18

- 11

257 44 12
By Goldilocks95

Marquess Marlborough, adipati Newcastle, duke of Richmond, Duke of Montagu, duke of Somerset dan beberapa adipati lain mengunjungi kediaman Kakek Retak'ka yang berada jauh dari rumah tinggal mereka. Tujuan mereka jelas. Mereka datang membawa karavan berisi hadiah untuk Halilintar.

Satu adipati biasanya membawa satu karavan yang ditarik dengan empat kuda balap, dan dikendarai oleh kusir kakek-kakek bersetelan marinir. Kebanyakan dari mereka menggambarkan kedewasaan sebagai akses atas hal-hal seperti perempuan, alkohol, dan tanggungjawab keluarga. Jadi, beberapa adipati menawarkan anak perempuan mereka pada Halilintar, sebagian lainnya membawakannya botol brendi dalam botol kaca bermerek Madeira dengan label berulik figur rusa berwarna perunggu, dan sisanya menghadiahinya lencana Royal Navy[1], buku panduan mengenai caranya mengelola bisnis, dan kerja sama.

Terus terang, Halilintar hanya dapat mengelus area belakang lehernya, ketika adipati Newscastel betul-betul mempromosikan anak perempuannya yang katanya cantik jelita tiada tara itu. Halilintar bingung bagaimana akan meresponnya.

Halilintar sibuk memikirkan prahara di keluarganya. Maksudnya, pemuda mana yang tidak tertekan ketika dirinya ditarget menjadi santapan makan malam—Halilintar nyaris gila karena berulang-ulang kali merenungkannya. Halilintar tidak punya sisa ruang di kepalanya untuk mempertimbangkan seorang perempuan. Tidak, tidak sama sekali, tidak sebelum dia berhasil kabur dari keluarganya Kakek Retak'ka, dan hidup tanpa dihantui rasa takut akan perjagalan.

"Kalau begitu, soal (Nama)," Shielda berganti mengiklankan (Nama). Tangan Shielda menepuk halus pundak (Nama), dan mengakibatkan anak itu tersentak terkejut, sampai hampir meninggal begitu saja.

Kali ini Shielda memimpin jalannya diskusi tanpa Sai, sebab Sai memberitakan dia perlu mengurus sesuatu di pelabuhan. Shielda dikelilingi oleh anak-anak adopsinya, dan para tamu. Dia begitu sumringah dalam memperkenalkan profil Halilintar ke publik, bicara soal diplomasi, berkelit sepanjang waktu dalam banyak kesempatan, dan sekarang, tentang (Nama).

"Anak ini pandai." Shielda memuji (Nama) di depan tamu-tamunya. "Dia separuh menguasai aksara Perancis, dia berhitung dengan baik, dan aku selalu memanggilkan guru terbaik untuknya."

(Nama) memandangi tamunya Shielda, dari ujung ke ujung. Mereka terdiri dari sepasang ayah dan anak. Ayahnya brewokan, dan menguarkan berbau rokok litingan dari mantel beledunya. Sedangkan para anak bangsawan itu berhidung merah, konstruksi wajahnya menunjukkan bahwasanya sikapnya agak angkuh dan susah dinasehati, dan mereka semua sama-sama menyelidiki (Nama) sebaik-baiknya. Tipikal orang kaya pada umumnya. Sejujurnya, (Nama) tidak mempermasalahkan penampilan necis mereka, atau dari golongan mana mereka berasal—seringkali orang seperti (Nama) membenci bangsawan karena segala ketidakadilan di publik, tapi (Nama) tidak begitu. Namun, (Nama) merasa tersinggung karena dia ditawar-tawarkan. Shielda seperti sedang berjualan barang di pasar.

"Dia juga bermain biola." Shielda menengok pada (Nama), dan menyunggingkan senyum palsu.

"Biola?" (Nama) tergugu. Jadi kedatangan guru biolanya Thorn kemarin untuk mengajarinya dasar-dasar not lagu dianggapnya juga sebagai kemahiran? (Nama) melotot kebingungan. (Nama) tidak bermain instrumen musik. Dalam hidupnya, keterampilan seninya nol. Dia tidak suka menyanyi, dia tidak ekspresif dalam membaca puisi, dan setelah diberikan guru biola pun, (Nama) hanya mengikuti pelajarannya sambil mengantuk, karena jika tidak, Shielda akan marah.

"Putrimu berbakat." Marquess Marlborough memuji. (Nama) kenal orang itu. Sewaktu (Nama) masih berada di panti asuhan, pada setiap tanggal satu di setiap awal musim, (Nama) diminta Mara mengantarkan kue ke apartemen kontrakan seorang suster. Dia merupakan teman Mara di akademi keperawatan. Lokasinya ada di White Chapel. Tak terlalu jauh dari panti.

Kondisi White Chapel amat buruk. Rumah-rumah berdempetan dengan industri penghasil jelaga hitam. Pekerja kelas bawah dan orang-orang miskin meninggalinya, dan pencopetan terjadi hampir di setiap sudut distrik bersanitasi buruk itu. Penimbunan ale, lager, porter, dan stout secara ilegal kadang menimbulkan adanya polemik.

Dulu, (Nama) akan menjinjing keranjang kuenya, dan mengetuk pintu si suster. Setelah mengucapkan terimakasih, (Nama) akan pulang melalui jalan pintas yang kebetulan terhubung langsung ke rumah bordil terkenal di White Chapel. Dan disanalah (Nama) bertemu dengan Marquess Marlborough. Persetan dia mau mengatakan apa—dan sebaik apa dia menyajikan branding dirinya. Intinya orang itu telah terpergok menyewa wanita sambil mabuk-mabukan.

Kamuflase kewibawaannya tidak akan menghipnotis (Nama). (Nama) tahu sisi lain dari si pria tua bangka. Dia sudah bau tanah, tapi dia melakoni kehidupan semacam itu, begitu pikir (Nama). Marquess Marlborough terbukti bermuka dua. (Nama) curiga sifat dan tingkah laku gilanya menurun pada anak laki-lakinya.

"Dan, mungkin anakku akan menyukainya," Marquess Marlborough melirik anaknya. Anaknya tidak tampan. Dia memiliki wajah rata-rata orang Britania. Aksennya Irlandia sekali. (Nama) mewaspadai latar belakang anak laki-laki Marquess Marlborough. Begini, dialeknya aneh, makanya dia pasti tinggal terpisah dari orang tuanya yang berkarir di Inggris dalam waktu lama. Mengapa? Jangan-jangan dia tukang buat onar, dan orang tuanya sendiri pun mengusirnya dari manor?

"Ada apa ini?" Kakek Retak'ka datang dari pintu luar. Paman Bora Ra, Paman Adu Du dan Sai mengikutinya dari belakang. Mereka berwajah capek. Mereka baru saja mencari bukti penyelundupan yang digosipkan terjadi pada pelayaran unit kapalnya. Jadi, mereka telah bekerja keras di pelabuhan. Mereka membongkar semua isi kapal kargo, mendata kiriman-kirimannya ulang, dan memarahi semua bawahannya, termasuk para pengangkat sauh tak bersalah, dan pejalan kaki biasa.

Semua orang berdiri untuk menyapa Retak'ka. Kecuali (Nama). Dia lambat dalam merespon. Otaknya melemah belakangan ini, karena dia terlalu banyak berpikir dan menyiksa akal sehatnya.

Berhubung Gempa duduk di sebelahnya (Nama), Gempa lekas menarik tangan (Nama) untuk bangkit berdiri, dan berpura-pura mempertunjukkan etiket pada Retak'ka.

"Berdiri," Gempa berbisik di telinga (Nama), dengan menarik sepupu itu sampai menempel di pundaknya, menjauhi Shielda di sampingnya. (Nama) seperti manusia tanpa tulang. Tubuhnya letoy, gampang ditarik, dan mudah ambruk. Itu karena serangan psikologi yang diperolehnya dari tamu-tamunya Shielda.

"Kamu harusnya senang," Gempa mendelik. Nada bicaranya rendah, agar tidak siapapun bisa menguping. "Pikirkan, jika kamu menikah, kamu tidak akan disantap."

"Bukan pernikahan biasa, Gempa. Lebih dari itu. Aku akan dikembangbiakkan." (Nama) menyenggol pundak Gempa dengan kasar dan kencang, sehingga Gempa meringis dan mengelus tulangnya yang terluka sedikit. "Aku juga tak berniat keluar darisini tanpa kamu."

Gempa memandang (Nama) dengan cara lain. Dia agak tersanjung.

"Kami mengatur pertunangan ... (Nama)." Shielda mengaku.

"Apa?" Retak'ka mengangkat bahu. Dia menautkan tangannya di belakang punggung. "(Nama) belum dewasa."

Kemudian, Retak'ka mengabsen wajah tamu-tamunya satu per satu. "Aku yang akan bicara. (Nama), dan ... anak-anak, pergi ke kamar."

(Nama) tersenyum culas sambil melirik pada Shielda. (Nama) berancang-ancang untuk meledek kegagalannya, dan hendak menjulurkan lidahnya—tapi Gempa sudah tahu tabiat sepupunya. Anak itu etikanya perlu dipertanyakan. Alhasil, sebelum (Nama) memicu kericuhan, Gempa menahan dagunya agar tak bergeser ke arah Shielda, dan menyeretnya pergi, bersama anak-anak lain.

-

"Aku kehabisan cara." Kata Blaze.

"Aku juga." (Nama) menopang dagunya di tangan. Wajahnya malas dan kantung matanya makin mengeriput.

Solar, Blaze dan (Nama) duduk menatap langit, di tepian halaman samping. Mereka mengunyah ilalang di sudut bibir. Ketiga pengangguran itu tidak disertakan dalam misi penelusuran ruang bawah tanah, karena konon katanya, Halilintar percaya, mereka hanya akan mempersulit jalannya penyelidikan.

Ada benerapa hal yang dilingkari oleh tinta berpigmen biru di petanya. Dan Halilintar ingin tahu apa itu. Sayangnya Solar, Blaze, dan (Nama) tidak diajak. Mereka terang-terangan diusir dari perburuan harta karun, dan mereka ditugaskan menjaga Taufan, serta mengajaknya bicara.

Blaze mendongak pada Taufan. Taufan baru mandi. Dia berjemur di bawah sinar mentari pagi. Matanya terpejam menikmati semilir angin pembawa penyakt flu musiman. Kursi rodanya berada di antara padang rumput di antara hutan yang melingkupi bukit dimana kastelnya dibangun kokoh di bawah junjungan langit Woodbridge.

"Aku sudah mengajaknya bicara. Dia tidak merespon apa-apa. Kurasa dia tidak suka padaku?" Blaze cemberut.

"Iya. Soalnya mukamu seperti ayam yang berkokok tiada henti. Kamu terlalu berisik." Solar menimpali.

"Oh, begitu, ya," Blaze berdiri, dan dia melipat lengan kemejanya ke atas, barangkali bersiap menghajar Solar.

"Aku bahkan sudah mengancamnya akan menjatuhkannya ke pinggir jurang." Pandangan (Nama) terpaku pada hutan pinus. Dia melamun. Tapi mulutnya memiliki kesadarannya sendiri untuk bicara tanpa diminta. "Dia tak bereaksi apapun kecuali ... ya, dia memang membantuku pada akhirnya."

"Kalau begitu kujatuhkan saja kamu lagi. Ke jurang." Tutur Blaze. "Siapa tahu Taufan tiba-tiba bangun. Atau jika kamu takut, Sepupu Perempuan, Solar seharusnya bersedia. Ini demi kesembuhannya Taufan, 'kan?"

"Coba saja, kalau berani!" Solar ikut menyambar. Ketika keduanya bersitegang secara sengit, (Nama) kehilangan minat untuk melamun. Dia tak lagi berselera melamun karena pertikaian di sampingnya.

(Nama) melepehkan ilalang di mulutnya, dan dia tanpa sengaja memfokuskan pandangannya pada kursi roda Taufan. Di sana, Taufan tengah berleha-leha. Wajahnya rileks. Sebaliknya, (Nama) berekspresi makin masam.

Taufan susah sekali dibujuk. Taufan tetap tidak mau mengeluarkan sepatah-kata pun kecuali gumaman kecil dan lenguhan penuh protes. (Nama) geram.

Sebuah kupu-kupu bersayap biru tiba-tiba datang dari hutan pinus. Kupu-kupu itu terbangnya labil. Kadang dia meninggi, kemudian dia hinggap di tangkai daffodil, dan mengepakkan sayapnya ke sembarang arah, seolah dia tak punya sensor navigasi atas kemana dia akan pergi. Pada akhirnya, kupu-kupunya hinggap di hidung Taufan. Di pucuk hitungnya.

(Nama) tertegun. Seberapa besar pun usahanya untuk menjadi gadis baik seperti yang ada pada di buku dongeng, tak seekor pun kelinci, kucing liar, tupai, kupu-kupu, domba, atau bahkan belatung sekali pun yang sudi dekat-dekat dengannya. Semua hewan menjauhi (Nama). (Nama) pikir, hewan berorientasi takut pada manusia, dan semestinya demikian. Namun kupu-kupu bersayap gegap-gempita itu jatuh cinta pada Taufan, dan bertengger begitu saja di hidungnya.

Mengejutkannya, sebuah tarikan di sudut bibir Taufan muncul. Dia mengulas senyum. Taufan menipiskan bibirnya, dan tersenyum lemah. Ini kali pertama (Nama) melihatnya begitu.

Kupu-kupu dewasa hanya makan cairan, biasanya nektar, yang dihisap melalui belalai. Belalai kupu-kupu tergulung di bawah dagu kupu-kupu, dan belalai itu rasa-rasanya mengecup ujung hidung Taufan, hingga Taufan merasa geli.

(Nama) menghampiri Taufan. Dia penasaran mengapa kupu-kupu itu menyukai Taufan.

Srakkkk!

Sebuah gemeresak dari arah semak-semak memunculkan tupai yang membawa biji pohon ek di pelukannya. (Nama) memergoki tupai itu memanjat salah satu batang pohon, dan pergi ke dahannya untuk bersarang. Lalu, burung gembul berparuh tajam melintasi dahan dimana si tupai beristirahat, dan melesat ke padang rumput.

Matanya tajam. Mata burung itu tajam dan peka. Bulunya berwarna merah tua dan kuning di bagian dada dan perutnya. Ekornya pendek. Burung kerdil lucu. Sayapnya indah. Dia melesak ke arah kursi roda Taufan, ketika kupu-kupu di hidung Taufan memutuskan untuk kembali berterbangan tak tentu arah. Sejalan dengan kepergian si kupu-kupu, si burung robin datang, menerjang si kupu-kupu, menjebaknya di paruhnya, dan membawanya melandas ke daffodil-daffodil yang telah menguning bunganya.

Burung robinnya berhasil menangkap si kupu-kupu. Burung robin menyukai oriole, grosbeak, blue jay dan kadang-kadang memburu ulat yang tubuhnya bergizi, apalagi kupu-kupu. Baginya, kupu-kupu merupakan makanan lezat meski sulit di tangkap, karena ukuran kupu-kupu dewasa jauh lebih besar dari tubuh si pemangsa.

Bruk!

Taufan menjatuhkan diri dari kursi roda. Secara sengaja. Kentara sekali. (Nama) ialah saksinya.

Solar dan Blaze berhenti bertengkar. Mereka sigap ingin menolong, tapi (Nama) mencegahnya. (Nama) mengulurkan tangannya, menangkap kedua sepupunya, dan menahannya untuk tidak mengintervensi.

"Dia ingin menyelamatkan kupu-kupunya," (Nama) memberitakan. (Nama) memerhatikan kerja keras Taufan dari kejauhan, sembari berusaha memahaminya. Taufan tidak punya daya. Dia kesusahan. Kakinya tidak begerak meski Taufan telah memintanya.

Tapi, Taufan belum mau menyerah. Dia pria penuh upaya. Selanjutnya, Taufan merayap dengan menancapkan siku tangannya ke tanah, menopang bobot tubuhnya dengan menyeretnya pelan-pelan, dan menghampiri si kupu-kupu. Mata Taufan meluncurkan air mata. Taufan melupakan dimana dia berada, dengan siapa dia datang kemari, dan separah apa rasa keram yang mendera kakinya. Pikirannya berkabut, dan dia kehilangan kontak dari realitas lagi. Semuanya menggelap. Tidak ada padang rumput, dan bebungaan liar di sekitarnya.

Semuanya terasa kelabu. Pandangannya pun berkonsentrasi pada si kupu-kupu. Si kupu-kupu dicengkram erat oleh cakar si burung robin. Begitulah alam bekerja. Rantai makanan. Burung robin jantan itu hendak memangsa kupu-kupunya, akan tetapi dia masih kesulitan untuk menjadikan kupu-kupu itu tidak melawan.

Kupu-kupunya bersayap lebih besar. Kupu-kupu itu melawan dengan mengepakkan sayapnya berulang kali, melindungi dirinya dari pemangsa alaminya.

Tidak lagi. Jangan untuk yang kedua kalinya. Taufan tidak ingin melihat.

Taufan tidak punya banyak waktu. Kupu-kupunya terlalu jauh untuk dijangkau. Tangannya telah terangkat. Tapi dia masih belum bisa menggapainya. Taufan membenci ketidakberdayaan ini.

Taufan menutup mata erat-erat, tak mampu menyaksikan kupu-kupunya dimangsa oleh burung robin itu. Dia tidak mau mengalami gejolak perasaan yang sama. Taufan menangis. Tanpa suara. Dia lelah mencoba. Alam seakan membuktikan, dia selalu gagal menyelamatkan siapapun.

Krak!

Sebatang ranting terinjak oleh sepatu seseorang. Taufan, mengakses kembali pengelihatannya, dan menemukan (Nama) berjongkok di depannya, membelakangi Taufan. Ya. Dia menginjak ranting kering di antara rumput.

"Syuh, syuh, syuh!" (Nama) mengibaskan tangannya, menakuti si burung robin. Sebetulnya, itu manuver yang tidak dibutuhkan. Sebab burung robinnya telah menjauh ketika (Nama) menghentakkan kakinya ke rumput.

Burung robin membaca keberadaan (Nama) sebagai makhluk berbahaya. Alarm waspadanya berbunyi, dan si burung robin terpaksa meninggalkan mangsanya. Toh, kupu-kupu itu bersayap lebar, dan burung robin akan kewalahan jika dia mengangkutnya dengan kedua cakar. Tidak. Tidak bisa. Burung robin terlalu kecil. Lebih baik dia mencari jangkrik di sekitar sini, daripada berurusan dengan manusia.

(Nama) menyentuh kupu-kupunya dengan ibu jari. Kupu-kupunya menggeliat tak nyaman, karena dia terluka dan kesakitan. Namun, tak ada bagian dari tubuhnya yang patah.

(Nama) tidak tahu cara memperlakukan kupu-kupu. Niatnya baik dan mulia. (Nama) mencapit sayap kupu-kupunya, dan menyuruhnya terbang, kembali ke alam liar, berharap tidak ada lagi burung robin, tikus, atau burung pemakan insekta lainnya.

Solar dan Blaze sigap membantu Taufan duduk, dan mengembalikannya ke kursi rodanya.

Taufan menangkap basah kupu-kupu itu memfungsikan sayapnya dengan labil dan dinamis. Kupu-kupunya terbang, meski (Nama) sempat memperparah lukanya.

(Nama) menggesekkan jari telunjuk dan ibu jarinya, merasakan adanya serbuk-serbuk aneh yang melapisi jemarinya, setelah dia mencapit sayap si kupu-kupu.

"Kamu tidak apa-apa?" Tanya Solar. "Astaga. Kamu kenapa? Kenapa tiba-tiba sekali jatuh?"

(Nama) masih memandang pada telapak tangannya.

"Dia berusaha menyelamatkan kupu-kupunya," setelah membisu selama sekitar kurang dari tiga menit, (Nama) buka suara.

"Kupu-kupu apa?" Blaze mempertanyakan. Dia keheranan.

"Tentu saja kamu tidak tahu," (Nama) mengepalkan tangannya. "Kamu sibuk bertengkar. Kalau begitu, aku saja yang menjatuhkan kamu ke jurang, supaya Taufan terstimulasi untuk bergerak menolongmu!"

"Solar yang mulai duluan," Blaze mengaku. Dia menyilang tangan penuh keangkuhan. Dia pun membuang muka. Pipinya memerah.

(Nama) memincingkan mata pada Blaze dan Solar. (Nama) berpikir untuk mengambinghitamkan mereka lagi jika ada peristiwa yang membutuhkan pelaku palsu.

"Aa," Taufan bersuara. Lagi. Dia melontarkan pengejaan huruf vokal yang tak jelas. Taufan menatap (Nama). Taufan ingin memanggil namanya; ya, Taufan tahu siapa (Nama), darimana dia diadopsi, dan sifatnya. Taufan ingin menyebutkan nama si sepupu baru, adiknya Thorn, tapi lidah Taufan senantiasa kaku, seperti tersengat lebah. Rasanya nyeri jika Taufan memaksakan diri untuk berbicara.

Solar dan Blaze mendekat dan membungkukkan tulang punggungnya.

"Kurasa dia berkata sesuatu?" Blaze menaikkan satu alis. Dia mencoba mempertipis jarak dari Taufan, membiarkan telinganya berada di atas pundak Taufan.

"Iya!" Solar memekik. Selama bertahun-tahun lamanya, Solar selalu bertemu Taufan di setiap liburan musim panas, ketika keluarganya menjadwalkan menginap di kastel Kakek Retak'ka, dan dengan begitu, mereka selalu berinteraksi secara sepihak. Namun, selama dia ada di sini, Solar tak pernah mendengarkan Taufan berinisiatif duluan.

"Hey," Panggil Solar. "Dia memanggil kamu, aku rasa,"

(Nama) membalikkan badan, agar dia dapat mengabulkan perminfaan Taufan.

(Nama) masih sibuk meresapi jejak debu di jarinya. Setiap kupu-kupu memiliki sayap bercorak rupawan. Jika disentuh, debu akan berjejas ke kulit si pemegang. Sebetulnya itu sisik-sisik kecil, seperti pada ikan dan buaya, tonjolan dari dinding tubuh. Begitulah.

"Katakan padaku, Taufan," (Nama) menatap Taufan curiga. "Kematian siapa yang kamu saksikan di depan matamu sendiri?"

-

Catatan kaki

[1] Royal Navy, atau Angkatan Laut Kerajaan Britania Raya adalah "dinas senior" dari dinas angkatan bersenjata, yang merupakan tertua dari tiga cabangnya. Dari sekitar 1692 sampai Perang Dunia II, Royal Navy merupakan angkatan laut terbesar dan terkuat di dunia.

Continue Reading

You'll Also Like

19K 2.6K 21
Bagaimana jika seorang Libero kebanggaan Nekoma itu jatuh cinta dengan seorang gadis yang menjadi manager di Tim tersebut... Yang bernama (FULLNAME) ...
1.4M 124K 51
Bertransmigrasi menjadi ayah satu anak membuat Alga terkejut dengan takdirnya.
3.5K 308 16
(name) adalah gadis yang tangguh, ia bergabung ke dalam organisasi pemburu iblis. (name) mempunyai tingkat pemburu iblis yang setara dengan angkatan...
643K 36K 125
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...