.
.
.
Dini kini sudah siuman dan gadis itu tengah melamun setelah mendengar perkataan dokter. Pria berjas putih itu menyarankan Dini untuk tidak banyak pikiran serta istirahat yang cukup.
"mbak Dini butuh sesuatu?"
Pertanyaan Jani membuyarkan lamunan wanita itu.
Dini menoleh pada Jani yang tengah melipat pakaiannya. Rupanya bertambah satu lagi orang yang tidak menghakiminya dan tampak tulus padanya.
"Jangan pikir macam-macam mbak, kasian mbak sama dedek bayinya, saya juga bisa jantungan mbak kalo kayak tadi lagi"
Dini hanya tersenyum tipis menanggapi kekhawatiran Jani.
"Saya sudah telepon bapak, tapi belum direspon, mungkin bapak sibuk mbak, nanti saya coba lagi"
Dini tersenyum hampa "gak usah bi, aku juga gak akan lama disini"
"tapi mbak-"
"Bisa minta ponsel aku, bi?"
Dini meneirima ponselnya kemudian segera menghubungi kedua sahabatnya. Dan tak lama kemudian, dua gadis itu datang ke kamar inapnya dengan wajah panik.
Keduanya memeluk Dini bergantian dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Dini sendiri yang entah kenapa tiba-tiba menjadi melankolis tak mampu lagi membendung perasaannya.
Wanita hamil itu menumpahkan tangisannya dalam pelukan kedua sahabatnya. Tangisan itu begitu pilu, seolah ia mengadu akan seluruh beban dan kesakitan yang dirasakannya. Tembok kuat yang dipertahankannya sudah tak lagi ada.
Mendengar segala nasehat dokter tadi, Dini merasa ketakutan. Sekarang ia sadar, ini bukan lagi tentang dirinya, melainkan janin yang ada diperutnya. Harusnya sedari awal ia memang tidak egois mempertahankan egonya.
Lia dan Bina juga ikut menangis sembari memberikan kata-kata penenang. Ah, apa jadinya Dini jika tidak punya dua orang ini? mungkin kini dirinya lah yang berada diposisi Astrid.
Setelah sedikit tenang, Lia dan Bina langsung menyerbu wanita itu dengan berbagai pertanyaan. Pelan-pelan gadis itu menceritakan semua kejadian yang membuatnya merasa kian bersalah dan juga tertekan.
Dini merasa semuanya sudah cukup, mungkin ia memang menganggap dirinya jahat, tapi ternyata ia tidak sejahat itu untuk melihat kehancuran orang-orang disekitarnya.
"it's ok, lo kuat, lo punya kita, lo gak butuh mereka" ucap Lia dan Bina menenangkan.
kini Dini merasa tak berhak lagi untuk tinggal dirumah Dirga. Toh setelah ini, sudah pasti mereka akan bercerai. Dengan sedikit paksaan, Dini akhirnya pulang sore itu juga meski dokter mimintanya untuk tinggal semalam.
Dan sore itu juga Dini yang dibantu kedua sahabatnya langsung berkemas, ia akan pergi. Sejak awal ini bukan rumahnya.
Dini bukan kabur, ia hanya pindah tempat tinggal dan masih di Jakarta. Bina menawarkannya apartement kosong bekas kakaknya yang sudah keluar negeri. Masih sisa dua bulan pembayaran dan setelah itu ia akan membayar sendiri.
Biar begini, Dini juga punya tabungan dan pemasukan, meski tak menentu.
"Mbak, jangan pergi" Sedari tadi Jani hanya menangis sembari melihat Dini dan kedua temannya yang sibuk memasukkan barang.
"Bibi mah, kalo gak mau bantuin ya gak usah kesini ah" ucap Dini sebal pada wanita yang belum juga berhenti merengek itu.
"Jangan begini mbak, kita tunggu bapak dulu" Jani masih berusaha membujuk.
"dih gak mau, kan terserah aku"
Lia dan Bina hanya terkekeh melihat tingkah Dini dan ART nya.
"sebentar lagi bapak pasti pulang mbak"
"justru itu bi, aku harus cepet-cepet sebelum dia datang"
"Bibi denger kan apa kata dokter tadi? Aku gak bisa stress. Nah kalo ketemu mas Dirga tuh aku bisa stress bi, baby juga bisa ikutan stress" Dini mendramatiris keadaan dengan memeluk perutnya posesif.
"bibi mau aku kayak tadi pagi lagi?" Wanita paruh baya itu menggeleng panik.
"Tapi- gimana kalau bapak marah, mbak?"
Dini memutar matanya jengah "Ck, gak bakal bi, nanti juga aku kabarin dia kok"
"Tapi bibi jadi sendiri mbak"
Bina semakin terkekeh mendengar rengekan Jani.
"Kan nanti dia bawa istri barunya" ucap Dini asal.
"Mbak Dini mah!" kini Jani yang tampak kesal.
"Nanti aku kasih alamat aku ke bibi deh, bibi boleh main kesana, tapi jangan kasi tau siapa-siapa ya. Aku belum mau stress, belum bisa ketemu banyak orang.
Dan drama itupun berakhir dengan anggukan pasrah Jani yang sudah tidak bisa menghalangi kepergian majikannya.
@
@
@
Dirga mendengus jengah membaca rentetan pesan penuh drama yang dikirim istrinya.
Menyesal?
Minggat dan bercerai?
Ya, Dini sungguhan mengabari pria itu bahwa ia akan pindah dan ingin mengakhiri hubungan mereka.
Dirga yang tak percaya hanya bisa menggeleng dengan kelakuan wanita itu. Dini terlalu banyak tingkah yang entah kenapa terkadang membuatnya gemas. Lagipula wanita itu sudah menjebak dan mengandung anaknya, jadi tidak mungkin Dini pergi dengan sendirinya. Yang jelas Dirga tidak semudah itu percaya.
Namun ketika ia pulang, rasa percayanya terkikis kala menemukan kondisi rumahnya tampak jauh lebih sepi. Jani kemudian datang dan dengan raut bersalahnya berucap bahwa Dini sungguhan angkat kaki dari rumah ini.
Dirga menggeram marah dengan tindakan teledor wanita hamil itu, padahal Dirga hanya memintanya untuk tetap berada di rumah.
"biarin aja pak, kasian mbak Dini"
Dirga menatap wanita paruh baya itu heran.
"tadi pagi mbak Dini perutnya kesakitan dan pingsan, kata dokter dia gak boleh stress"
Jantung Dirga mencelos mendengarnya, bagaimana mungkin hal seperti ini tidak diberitahukan kepadanya?.
Dirga mungkin tampak abai, tapi ia tidak membenci Dini dan jabang bayinya. Dirga justru diam-diam merasakan perasaan berbeda akan semua hal baru dalam hidupnya. Ia hanya kebingungan meladeni Dini dengan segala sikap ajaibnya.
"kenapa kamu gak kasih tau saya?" geramnya hingga membuat Jani menunduk ketakutan.
"s-saya sudah telepon, tapi bapak gak angkat"
"saya melelpon balik bi! dan bibi ga angkat" ucap Dirga tajam.
"itu- anu- mbak Dini yang larang" Jani semakin takut.
Dirga mendengus keras kemudian berlalu menuju kamarnya. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi nomor Dini hanya untuk mengetahui bahwa nomornya sudah diblokir.
Agh sial, hari ini Dirga sungguh lelah dan pusing. Semua yang terjadi begitu menguras energinya. Astrid dan keluarganya, pekerjaannya yang menumpuk dan kini Dini, rasanya Dirga bisa gila.
Pria itu kemudian merebahkan dirinya dikasur sembari memencet kepalanya yang berdenyut.
Dini... siapa yang bisa ia hubungi untuk menanyakan keberadaan gadis itu?. Dirga sekarang sadar jika ia sangat tidak mengenali istrinya karena sedari awal mereka hanyalah orang asing.
@
@
@
Sudah hampir seminggu dan Dirga belum juga menemukan keberadaan Dini. Sudah banyak cara pria itu lakukan, dari mencari lewat sosial media hingga akunnya diblokir, mendapatkan alamat sahabat gadis itu hingga hanya berakhir diusir dan begitu seterusnya.
Lalu sore ini, tiba-tiba saja ia menerima kabar dari adiknya jika kini sang istri tengah berada dirumah orang tuanya.
Tidak peduli sudah waktunya pulang atau belum, Dirga langsung bergegas pergi. Dengan kecepatan penuh dan kondisi jantung yang sudah tak karuan, pria itu memutar setir mobilnya menuju rumah orang tuanya.
Ketika sampai disana, tatapan Dirga langsung tertuju pada wanita hamil yang hanya menoleh sekilas padanya.
Dirga menatap istrinya lamat, memindai kondisi wanita itu dari ujung kaki sampai ujung kepala. Diam-diam pria itu mendesah lega menemukan kondisi wanita itu yang tampak baik-baik saja.
"Sini kamu, ini istri kamu mau ngomong" ucap ibunya sedikit ketus, menatap wanita hamil didepannya dengan penuh waspada.
Dirga mengampiri keduanya kemudian duduk disisi istrinya hingga membuat sang ibu mendelik tak terima. Harusnya Dirga duduk disampingnya karena Dini akan menjadi sosok terdakwa disini.
Dini tersenyum tenang, sama sekali tak terganggu dengan sikap mertuanya.
"Saya ingin meminta maaf dengan benar juga membuat pengakuan" mulai Dini.
"Apa gak terlambat?" lagi-lagi wanita paruh baya dihadapannya itu berujar dengan ketus
"Lebih baik terambat dari pada tidak sama sekali kan tante?"
Sampai saat ini Dini bahkan belum berani memanggil ibu Dirga sebagai mama mertua. Dan hal itu membuat wanita paruh baya itu mendengus, panggilan tante terdengar seperti ejekan baginya. Anak-anak jaman sekarang memang sombong.
"Sudah memikirkan semuanya dalam pelarian kamu? pergi kok gak mikirin perut yang isi"
Wanita tua itu mengomel dengan lancar, meski jauh dalam lubuk hatinya ia merasa khawatir, yah sedikit, dan itu mungkin karena keberadaan calon cucunya.
Dini meringis mendengar perkataan mertuanya, namun ia sama sekali tak tersinggung. Meski kata-katanya menusuk dan tampak ketus, namun Dini tak merasakan kejahatan mertuanya, baginya wanita paruh baya ini sama baiknya seperti Dirga.
"saya gak kabur kok tante, cuma pindah rumah aja"
Ibunda dari Dirga itu memelototinya karena berani menjawab ucapannya. Dini sampai gelagapan ditempatnya.
"Saya baru saja dari rumah mbak Astrid"
Info itu membuat orang-orang disana menatapnya kaget, Dirga sampai menahan napasnya. Terakhir gadis ini ditampar saat menghampiri dirumah sakit. Lalu bagaimana dengan beraninya ia pergi kesana?.
"kamu-" ada geraman tak suka dari nada Dirga.
"saya cuma pergi minta maaf kok, gak sendiri juga, saya bawa bodyguard" dalam hatinya Dini terkekeh, mungkin Lia dan Bina diluar sana akan memakinya jika mendengar ucapannya barusan.
"Saya... perbuatan saya selama ini mungkin tak termaafkan, tapi saya tetap ingin meminta maaf dengan benar. Saya sadar saya sudah keterlaluan"
"saya sungguh menyesal dan meminta maaf sebesar-besarnya karena semua kekacauan yang melibatkan mas Dirga dan keluarga" Dini mengucapkan maaf dengan sungguh-sungguh.
"Saya akan mencoba menebusnya. Saya sedang mengurus perceraian, tapi mungkin baru bisa terwujud setelah saya melahirkan. Maaf kalau mas Dirga dan mbak Astrid harus menunggu beberapa lama lagi"
"tapi saya janji, setelah ini saya akan menjauh, saya tidak muncul dan menganggu mas Dirga lagi. Sekali lagi saya minta maaf"
Dirga dan ibunya sama-sama terpaku dengan ucapan tak terduga wanita itu. Tapi hanya sebentar, ada hal yang tidak bisa Dirga terima dari ucapan wanita itu.
"kamu mau bawa pergi cucu saya?" respon mertuanya.
"saya juga akan meluruskan hal itu. Mungkin ini akan menjadi kesalah saya yang tak termaafkan" Dini mengusap perutnya seolah meminta kekuatan, dan hal itu tak luput dari mata tajam suaminya.
"saya membohongi semua orang, bayi ini bukan milik mas Dirga"
Melinda-ibunda Dirga memekik terkejut, merasa shock dengan informasi yang diberikan wanita itu. Sementara sang anak-Dirga mengatatkan rahangnya marah.
"sebelumnya saya sudah tid-"
"kamu!" Melinda dengan cepat memotong ucapan gadis itu dengan rasa geram tak terbendung.
"Saya mohon maaf tante" ucap Dini lirih, kini wanita paruh baya itu menatapnya benci.
"Saya harap hal ini membebaskan mas Dirga dari rasa bersalah. Saya tahu mas Dirga adalah orang yang baik, mas Dirga gak perlu bertanggung jawab dengan bayi ini" Dini tidak tahu kenapa rasanya ia ingin menangis dengan pengakuannya kali ini.
"Kamu, benar-benar!. Setelah ini jangan pernah muncul dihadapan saya dan anak saya" ucap Melinda marah lalu pergi begitu saja.
Inilah yang Dini harapkan, kebencian yang mendalam pada dirinya. Lebih baik seperti itu agar kedepannya ia tidak berurusan lagi dengan orang-orang ini.
@
@
@
TBC