Hongjoong selalu bangun dengan rutinitas yang sama setiap pagi: kopi hitam tanpa gula, membuka laptopnya, lalu mulai menulis artikel freelance sambil mendengarkan musik lo-fi.
Tapi pagi ini, rutinitasnya dirusak oleh mual yang tak tertahankan.
Ia bahkan nyaris menumpahkan kopinya saat bergegas ke kamar mandi.
“Ini gara-gara ramen instan kemarin malam, pasti,” gumamnya sambil menyeka wajah di depan cermin.
Namun, mual itu tidak hilang setelah hari berlalu.
Bahkan, semakin parah setiap pagi berikutnya. Ia mulai panik.
“Tidak mungkin kan kalau aku…”
---
Malam itu kembali menghantui pikirannya.
Malam di mana ia mabuk di pesta ulang tahun temannya, Seonghwa.
Malam di mana ia bertemu dengan Jung Wooyoung, pria tampan dengan senyum yang terlalu percaya diri.
Malam di mana semuanya dimulai dan berakhir dengan satu keputusan impulsif.
“Itu hanya one-night stand,” Hongjoong berbisik pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan pikiran yang berputar. “Pasti bukan itu masalahnya.”
Tapi kenyataan berbicara lain.
Dua garis merah yang muncul di test pack yang baru saja ia beli menjadi jawaban yang jelas dan tak terbantahkan.
---
Hongjoong menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar.
Ia sudah menghapus nomor Wooyoung dari kontaknya, tapi tentu saja Seonghwa punya salinannya.
“Kenapa kau ingin menghubungi dia lagi?” tanya Seonghwa curiga saat Hongjoong meminta nomor itu.
“Ada sesuatu yang perlu kubicarakan dengannya. Ini penting.”
Seonghwa mengangkat alis tapi tidak bertanya lebih jauh.
“Baiklah, tapi hati-hati. Wooyoung itu… ya, kau tahu sendiri, dia suka mempermainkan orang.”
Hongjoong hanya mendesah.
Ia tidak punya pilihan.
---
Pertemuan mereka di sebuah kafe kecil tidak berlangsung seperti yang Hongjoong harapkan.
“Jadi, apa yang sangat penting sampai kau harus menemuiku?” tanya Wooyoung dengan nada santai, menggulung lengan bajunya sambil menyesap latte.
Hongjoong menatap pria itu, mencoba mencari kata-kata. Tapi bagaimana kau bisa menjelaskan situasi ini tanpa terdengar gila?
“Um…” Hongjoong mengambil napas dalam-dalam. “Aku hamil.”
Wooyoung terdiam. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun, seolah kata-kata Hongjoong membutuhkan waktu untuk benar-benar masuk ke otaknya.
“Kau… apa?” tanyanya akhirnya, setengah tertawa. “Itu lelucon yang bagus.”
“Ini bukan lelucon.”
Ketegasan di suara Hongjoong membuat Wooyoung menatapnya lebih serius. “Tunggu sebentar. Maksudmu, kau… dan aku… dan—oh.”
“Ya. Oh.”
Wooyoung menyandarkan diri ke kursinya, matanya membelalak. Ia terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Tapi bagaimana itu bisa terjadi? Maksudku, aku cukup yakin aku—”
“Kau pikir aku tahu?!” potong Hongjoong, hampir berdiri dari kursinya. “Kau pikir aku menikmati pagi-pagi muntah di kamar mandi? Atau mencoba menjelaskan ini ke diriku sendiri?”
Wooyoung mengangkat tangannya, tanda menyerah. “Oke, oke, maaf. Aku tidak bermaksud menyalahkanmu.”
Keheningan canggung mengisi ruang di antara mereka. Wooyoung tampak berpikir keras, sementara Hongjoong sibuk menyesap teh hangatnya untuk menenangkan diri.
“Jadi… apa rencanamu?” tanya Wooyoung akhirnya.
Hongjoong menatapnya. “Rencanaku? Maksudmu apa? Ini juga tanggung jawabmu.”
“Benar,” gumam Wooyoung, mengangguk pelan. “Tentu saja. Aku hanya… yah, aku tidak pernah membayangkan diriku menjadi seorang ayah.”
“Aku juga tidak pernah membayangkan diriku hamil anak dari pria yang bahkan tidak kukenal dengan baik,” balas Hongjoong cepat.
Wooyoung terkekeh, meskipun situasinya jauh dari lucu. “Baiklah. Kalau begitu, kita sama-sama berada di wilayah yang tidak dikenal.”
---
Hari-hari berikutnya menjadi campuran kekacauan, kekikukan, dan momen-momen mengejutkan. Wooyoung, meskipun awalnya tampak tidak serius, mulai menunjukkan sisi dirinya yang tidak pernah Hongjoong bayangkan.
Ia muncul di depan apartemen Hongjoong dengan tas belanja penuh camilan sehat dan vitamin. “Aku googling apa yang baik untuk ibu hamil,” katanya sambil menyerahkan sekantong besar almond dan yogurt.
Hongjoong mendengus. “Kau tahu aku benci almond, kan?”
“Ya, tapi anak kita mungkin suka,” jawab Wooyoung, matanya bersinar dengan semangat yang aneh.
Wooyoung juga mulai mengantar Hongjoong ke pemeriksaan dokter, meskipun ia mengeluh tentang harus bangun pagi. “Aku harap anak kita tidak mewarisi kebiasaanmu bangun jam 6 pagi,” keluhnya sambil menguap di ruang tunggu.
Hongjoong mencoba menjaga jarak, tapi Wooyoung punya cara untuk memecahkan semua dinding yang ia bangun. Seperti ketika ia muncul di apartemen Hongjoong dengan buku panduan parenting.
“Kau serius membaca ini?” tanya Hongjoong skeptis.
“Tentu saja. Aku ingin menjadi ayah yang keren,” jawab Wooyoung dengan bangga, meskipun ia terlihat lucu dengan kacamata baca yang terlalu besar.
Hongjoong tidak bisa menahan tawa. “Kau benar-benar tidak masuk akal.”
“Tapi kau menyukaiku,” balas Wooyoung dengan senyum menggoda.
Hongjoong mendengus, tapi tidak membantah.
---
Ketika perut Hongjoong mulai terlihat, kabar tentang kehamilannya menyebar di antara teman-teman mereka. Banyak yang terkejut, tapi tidak ada yang lebih kaget daripada Seonghwa.
“Kalian benar-benar pasangan paling aneh yang pernah kulihat,” katanya sambil menggelengkan kepala.
Namun, di balik semua kebisingan itu, Hongjoong mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Wooyoung, pria yang awalnya ia pikir hanya main-main, ternyata menjadi seseorang yang ia bisa andalkan.
Dan ketika Wooyoung berdiri di dapur kecilnya suatu malam, memasak sup rumput laut untuknya, Hongjoong menyadari satu hal: mungkin, hanya mungkin, mereka bisa benar benar bersama.
“Wooyoung,” panggilnya pelan.
“Hmm?” Wooyoung menoleh, masih sibuk mengaduk panci.
“Terima kasih.”
Wooyoung tersenyum, kali ini tanpa nada menggoda. “Sama sama.”