Aku berjalan menghampiri Alfa dan Rayhan yang hanya menatapku tanpa berkata-kata. Begitu sampai, aku berdiri di hadapan mereka dengan kaki yang terbuka selebar panggul dan kedua tangan di pinggang, bahuku ditarik ke belakang dan dadaku membusung. "Aku mau bikin pengakuan."
"Wah, pengakuan dosa?" canda Rayhan, tangannya menerima uluran rokok dari Alfa. "Mau?"
Menimbang-nimbang keadaannya dan berpikir aku butuh sesuatu untuk menguatkanku, aku menerimanya. "Apa nih?"
"Magnum."
Aku membawanya ke bibirku dan mengisap lalu mengembalikan rokok itu pada Rayhan, menarik napas membawa asap rokok di mulutku ke dalam paru-paru. "Oke," kataku, asap rokok keluar bersamaan denganku berbicara. "Aku mau bikin pengakuan."
Rayhan mengangguk. Aku menarik napas dalam, bersiap melontarkan pengakuan keduaku setelah pada Cass. "Aku panseksual."
Hening. Mungkin harusnya...
"Itu apa?" tanya Rayhan.
Aku melirik Alfa yang hanya menatapku dalam diam kemudian menunduk, memainkan ujung sepatuku di atas lantai batu yang keras. "Gampangnya, aku bisa tertarik dan bisa pacaran sama siapapun, terlepas dari jender mereka."
"Bi?"
Rambutku yang terurai bergoyang saat aku menggelengkan kepala. "Bi berarti bisa tertarik sama dua jender. Pan berarti bisa tertarik sama semua jender."
"Aku gak ngerti."
Aku menghembuskan napas. "Ini bakal rada rumit, so bear with me, fam."
Aku kembali menegakkan kepala, namun mataku berkelana ke manapun selain mata dua orang yang telah menemaniku sejak zaman SMP melalui suka dan duka serta sedikit tindak kriminal. "Jender itu terbagi dalam binari dan nonbinari. Binari itu cewek dan cowok. Nonbinari itu androgini, trans, genderfluid, dan masih banyak lagi. Netral, agender, bigender, you name it.
"Jender sama jenis kelamin itu beda, jadi sebelum kalian protes, denger dulu: jenis kelamin itu ditentukan secara biologis dari kepemilikan anunya. Gampangnya gitu. Jender itu berdasarkan psikologis; apa kamu ngerasa kamu cewek atau cowok? Dua-duanya? Atau bukan sama sekali?
"Penjabarannya secara lengkap bisa makan waktu lama dan lumayan bikin pusing, tapi intinya, jender itu ada banyak, lebih dari dua, dan aku bisa tertarik sama semua orang dari jender manapun."
"Terus kamu tau dari mana kalau kamu itu pan?"
Ini dia. "Aku tau, karena..." aku menarik napas dalam sekali lagi, menghirup aroma tajam tembakau dan kertas filter yang terbakar. "Karena mantan pacarku itu transgender."
Alfa yang sedang mengisap rokok terbatuk. "Asu. Asli?"
Aku mengangguk, masih menolak menatap mereka berdua.
"Awalnya aku bingung karena kukira aku ini straight. I mean, aku pernah naksir Johan, kan? Dan tiap ngeliat cogan pun aku mikir, like, damn he's hot. Atau cute, terserah. Tapi kemudian aku ketemu cewek ini, namanya Janis, dan tiba-tiba duniaku jungkir balik. Dia adalah cewek yang terjebak dalam tubuh cowok--"
"Kayak Caitlyn Jenner?" potong Rayhan.
Puji Tuhan atas eksistensi Caitlyn dan Internet. "Iya, kayak Cait."
Aku melanjutkan. "Terus aku mulai cari-cari gitu, semacam riset sama Cass, sepupuku. Dan aku nemu label pan, dan... IDK, waktu aku baca definisinya ada semacam perasaan... perasaan, gimana ya... kayak... sesuatu yang terkubur dalam muncul keluar, gitu? Atau--"
"--Atau kayak ada bagian kesadaran lu yang bangun?" tawar Alfa.
Sebelum aku mengendalikannya, mataku telah berpaling dari alang-alang di seberang jalan di samping lapangan parkir dan menatapnya, lurus. "Iya."
Mata Alfa tampak keras, teguh oleh tekad namun juga rasa memahami. Pipiku memerah dan aku kembali mengalihkan pandangan. "Gak tau deh."
Rayhan memandangku dan Alfa bergantian. "Sebentar," katanya. "Ada sesuatu yang aku gak tau."
Kali ini baik aku maupun Alfa menolak membalas tatapan menyelidik Rayhan. "Kalian berdua punya rahasia yang aku gak tau."
Tidak ada yang menjawab. Ketika Rayhan kembali berbicara, suaranya penuh rasa frustrasi dan sakit hati. "Kalian nyimpen apa?"
Aku melirik Alfa yang duduk bersandar ke tiang gazebo, kedua lututnya naik di atas tangga hingga nyaris sejajar dengan dadanya dan tangannya yang kurus menjentikkan abu rokok yang mulai memanjang. Dia melirikku dan kami bertatapan. "Serius Fa, Tan, kalian--"
"Gua bi."
Begitu saja. Tidak ada kata-kata pembuka. Tidak ada satu pun hal untuk mempersiapkan Rayhan. Malam seolah membeku dengan pengakuan kami. Saat aku berhasil mengumpulkan keberanian untuk menatap Rayhan, dia menatap kami berdua dengan wajah pias tidak percaya. "Han..."
Suaraku yang memanggilnya seolah menyadarkan Rayhan. "Aku--kalian... kalian udah berapa lama nyembunyiin ini?"
Bukan menyembunyikan, aku ingin berkata. Tapi mulutku terkunci rapat. "Berapa lama?!"
"Dari SMP!" Alfa balas berteriak. "Jauh sebelum lu dateng! Jauh sebelum kita bertiga! Jauh, jauuuuhh sebelum... sebelum--"
"Kenapa kalian gak ngasih tau aku?" Rayhan bolak-balik menatap kami berdua, tatapannya getir. "Apa kalian pikir aku gak bakal ngerti? Atau ada semacam klub rahasia buat orang-orang kayak kalian?"
"Ada! Gua sama Tanya hadir tiap hari Kamis minggu kedua dan keempat bulan ganjil. YA LU PIKIR?"
"Kalau gitu kenapa aku gak dikasih tau!? Kenapa cuma kalian berdua yang tau? Atau ada orang lain yang tau juga?"
"Kok kamu jadi marah, sih Han?" aku ikut kesal. "Kenapa kamu jadi merengek gini? Kamu kira ini topik yang bisa dibicarain bebas? Hei Han, apa kabar? Udah ngerjain PR matem belum? Oh iya, ngomong-ngomong aku ini--" aku menghentikan diriku sendiri saat melihat bapak-bapak dari warung di ujung lain gazebo telah keluar bersama seorang wanita yang kemungkinan istrinya, menatap kami bingung. Aku menelan ludah dan memeluk tubuhku, salah satu tanganku memainkan kancing di lengan atas jaket denimku.
"Senggaknya kalian kan bisa ngomong!" Rayhan mengacak-acak rambutnya frustrasi. "Kita udah berteman berapa lama, sih?"
"Emang kalau temenan berarti gua harus cerita semuanya sama lu?" suara Alfa meninggi. "Ha? Lu harus tau segala hal tentang hidup gua?" Alfa melempar rokoknya yang baru diisap setengah dan berdiri, menginjak puntung rokok itu dengan emosi. "Emang lu yang ngalamin apa yang gua alamin? Lu yang ngejalanin? Bukan, Han! Lu gak berhak ngerasa sakit hati cuma gara-gara gua gak ngasih tau lu satu hal itu, satu hal kecil. Itu urusan gua, gua yang berhak nentuin siapa yang gua ajak bicara soal itu."
"Tanya termasuk dan aku nggak?"
Suara Rayhan penuh rasa sakit hati. "Gua udah bilang, itu keputusan gua."
Malam kami bertiga yang awalnya utuh baik-baik saja seolah mendadak pecah; dengan Rayhan yang duduk di pinggir gazebo, wajahnya pucat dan matanya lebar, aku; yang berdiri agak jauh darinya, memalingkan wajah dan memeluk tubuhku sendiri, dan Alfa yang berdiri memunggungi kami berdua. Aku masih bisa menghampiri mereka hanya dalam beberapa langkah lebar namun rasanya seperti ada jarak berkilo-kilometer antara kami bertiga, terutama antara aku dan Alfa dengan Rayhan.
Perlahan, Rayhan membungkukkan bahunya, kepalanya menunduk ditopang oleh tangannya di atas lutut. Tangan Alfa gemetar, berusaha menyalakan rokoknya tanpa hasil. Kami bertiga tetap diam seperti itu selama beberapa saat.
Aku tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Tapi, memang apa yang kuharapkan?
Rayhan bukan Cass. Rayhan--sejauh pengetahuanku--adalah apa yang masyarakat anggap remaja lelaki normal. Mendapatkan pukulan bertubi-tubi seperti ini pastilah sulit dan mengejutkan. Pertama aku, kemudian Alfa. Aku tidak mengatakan kami adalah satu-satunya teman yang dia miliki, tapi kami adalah sahabat terdekat masing-masing; bahkan mereka lebih daripada Cass. Mengetahui orang terdekatmu ternyata tidak seperti yang kau kira... itu pasti sulit.
Tapi aku tidak tahu mana yang lebih sulit: kesulitan Rayhan menerima kami atau tekanan batin yang Alfa dan Cass rasakan selama bertahun-tahun hidup di lingkungan yang menolak eksistensi orang-orang seperti mereka, dan sebentar lagi, aku.
Karena untuk memutuskan come out pada lebih banyak orang berarti aku membuka tabir ke dalam bagian diriku yang ditolak oleh mayoritas; ini menjadi nyata sekarang; di sini, detik ini, ketika kami bertiga saling berdiam diri karena tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat untuk memecahkan keheningan rapuh yang semakin memberatkan. Karena tidak satu pun dari kami berani menanyakan pertanyaan terpentingnya.
Habis ini apa?
Ponselku kembali bergetar. Aku mengeluarkannya dari saku dan melihat SMS dari ibuku. Jangan lama-lama pulangnya.
Aku membalas dengan satu kata singkat. ok.
Aku mengangkat kepala, menatap Rayhan yang kepalanya tertunduk dalam dan Alfa yang masih gagal menyalakan rokok karena tangannya tak berhenti gemetaran ditambah angin malam yang berhembus cukup kencang.
Secara impulsif, aku berjalan menghampiri Alfa dan membentuk pelindung angin dengan kedua tanganku di sekitar rokok dan pemantiknya. Dalam sekejap rokok itu menyala. "Makasih. Lu mau?"
Aku menggeleng. Tanpa berpikir aku mencondongkan tubuh dan memeluknya, tanpa ragu Alfa balas memelukku. "Sekarang gimana?" akhirnya aku bertanya lirih.
Alfa bungkam sesaat sebelum menjawab, "Nggak tau."
Aku melepaskan Alfa dan berjalan pada Rayhan, duduk di sampingnya dengan paha kami menempel dan memeluknya dari samping; tulang pipiku bersandar pada bahunya. Alfa berdiri di samping tiang gazebo yang tadi dia sandari, matanya menyipit saat dia mengisap rokok dan angin meniup asap ke wajahnya.
"Apa..." Rayhan berkata serak kemudian berdeham. "Apa cara terbaik buat bereaksi kalau temen kamu bilang ternyata dia bukan straight?"
Dadaku melonjak karena harapan yang langsung kubungkam. "Gak tau. Mungkin ganti opsi bahasa GPS mereka ke bahasa Indonesia supaya nggak disuruh jalan lurus dalam bahasa Inggris? Karena... tau kan... straight? Hetero? Lurus?"
Rayhan tertawa lemah, sejak dulu hanya memberiku poin untuk usaha mengenai selera humorku yang payah dan menyangkut permainan kata. "Selain itu?"
"Lu terima mereka apa adanya dan lupain," Alfa angkat bicara.
"Itu bisa," sahutku. "Get over it, stay sassy, move on."
Rayhan menghembuskan napas gemetar. "Tapi... gimana?"
Dia mengangkat kepalanya, matanya bertatapan denganku lalu Alfa. "Gimana cara move on-nya?"
"Terima kenyataan bahwa nggak semua orang itu heteroseksual dan bukan berarti orang yang non-hetero berarti homoseksual. Dan terima kenyataan bahwa orang-orang anomali ini nggak cuma eksis di TV dan Internet, Netflix dan YouTube atau Tumblr; mereka nyata dan ada di sekitar kamu. Like, literally."
Jakun Rayhan bergerak naik-turun ketika dia menelan ludah. "Oke... oke, aku usahain. Bukan berarti aku nolak," tambahnya cepat-cepat. "Cuma... ini tuh asing banget buatku."
Aku mengangguk. "Dimengerti."
Rayhan mendesah. "Ada lagi?"
"Gua pernah naksir sepupu gua sendiri."
Rayhan menekankan tumit telapak tangannya ke mata. "Astaga."
Alfa memaksakan sebuah cengiran. "Gak gua pacarin kok, jadi bukan inses. Lagian itu udah lama, zaman gua masih pake popok kali."
Rayhan menganggukkan kepalanya padaku. "Kamu?"
Aku menatap satu titik di ujung lapangan parkir yang jauh dari kami. "Kadang... kupikir mungkin aku bukan cewek."
Untuk kedua kalinya malam ini, Alfa tersedak asap rokok. "Lu cowok, Tan?"
Aku menggeleng. "Bukan. Bukan cewek, bukan cowok. Mungkin bukan dua-duanya, mungkin dua-duanya. Aku gak tau. Kayak yang udah aku bilang, sejak aku ketemu Janis aku belajar banyak soal komunitas LGBT-plus ini, salah satunya ya soal jender itu tadi. Dan karena selama libur aku nganggur, aku punya banyak waktu untuk berpikir. Salah satunya adalah: apa aku emang beneran cewek atau cuma jenis kelaminku aja yang cewek? Entahlah, aku belum nemu jawaban untuk yang satu itu."
Aku mengedikkan bahu. "Anggap aja aku lagi mencari jati diri."
Di sampingku, Rayhan berdeham gugup. "Kalau gitu... aku juga mau bikin pengakuan, deh."
Perhatianku dan Alfa langsung terarah padanya, dan seperti ketika dia terpaksa melakukan tugas praktik pidato di hadapan orang banyak waktu kelas sembilan, Rayhan seolah berusaha menciutkan tubuhnya, namun suaranya tetap jelas meski gemetar. "Aku agnostik."
Aku mengedipkan mata sekali. Dua kali. Di atas kami, Alfa bertanya, "Agnostik ateis?"
Rayhan menggeleng. "Agnostik teis."
Rayhan menjilat bibirnya yang kering dan menelan ludah. Aku dan Alfa menatapnya tanpa mampu berkata-kata. "Wow... Han, gua gak nyangka..."
Rayhan tertawa lemah. "Ternyata selama ini kita nyembunyiin rahasia masing-masing."
Aku membalas tawa lemahnya dengan tawa lemahku sendiri. "Para anomali."
"Trio of misfits," tambahnya. Kami menatap Alfa, dan aku berusaha mengirimkan pesan telepati padanya agar memaafkan reaksi Rayhan sebelumnya. Ayolah ayolah ayolah.
Alfa hanya mengisap rokoknya dan menatap satu titik di kejauhan sementara aku dan Rayhan menunggunya berkata-kata. Setelah meniup asap rokok yang dibawa menjauh oleh angin, dia bergumam, "Gua udah tau pasti ada sesuatu yang gak bener dalam kelompok ini."
Tanpa melihat, Alfa mengangsurkan rokoknya pada Rayhan. "Nih."
Rayhan menatap rokok itu dan kembali pada Alfa, kemudian rokok itu lagi. Setelah ragu-ragu sesaat, Rayhan menerimanya. Alfa menyeringai miring. "Coba kita liat, lu masih bisa bikin cincin asap gak."
"Bisalah," ujar Rayhan sambil mengisap rokok. Dia membulatkan mulutnya dan mendorong asap keluar, membentuk lingkaran yang nyaris tidak tampak seperti lingkaran. "Anjir. Kalem, aku coba lagi."
Alfa tertawa mengejek. "Ngaku aja, lu gak bisa."
"Bisa--ow, anjing," umpat Rayhan saat sebuah bara jatuh ke kelingkingnya.
"Udah, sini," aku mengambil rokok itu dari tangannya. "Kalian gak ada yang mau nantang aku, gitu?"
"Emang lu bisa?"
"Gini ya, bikin cincin asap itu salah satu seni kehidupan, dan kita kan, seni. ART, gitu lho."
Aku mengisap rokok, berusaha tampak keren namun gagal dengan menyedihkan ketika asap itu menyerang langsung tenggorokanku yang terbuka dan membuatku terbatuk. "Aku nyerah," aku mengembalikan rokok itu pada Rayhan. "Kalian--uhuk--kalian berdua--uhuk uhuk--kalian berdua aja deh."
Rayhan mengisap sekali lagi dan berhasil meniupkan lingkaran asap yang sempurna sebelum dirusak oleh hembusan angin malam. "Tuh, liat, bisa, kan. ART gitu lho."
"Seni murahan," ujar Alfa, mengambil rokok dari tangan Rayhan. "Kapan mau pulang?"
"Sebentar lagi," pintaku, mencondongkan tubuh ke belakang dan menopangnya dengan kedua tanganku di atas lantai semen. "Lihat bulannya, cantik kan?"
"Cantik sih," gumam Rayhan. "Tapi lebih cantik kamu."
"Iya Han, aku tau."
Alfa ikut duduk di sampingku, kemudian merebahkan tubuhnya. Warung di lapangan parkir itu mulai ditutup kembali dan kami mengangguk sopan pada pasangan suami-istri pemiliknya ketika mereka berpamitan.
Tidak ada yang berbicara di antara kami. Tidak perlu.