Lucy terkesiap kaget dan mendongakkan kepalanya saat melihat Lily yang tiba-tiba datang ke kamarnya.
"Ada apa, Li?" Tanya Lucy heran dan menutup laptopnya.
"Err.. ini, tadi Tante Rosa nitip undangan kita. Ini, punya Mbak." Jawab Lily kikuk.
"Oh," kata Lucy. Gadis itu mengedikkan bahunya.
"Letakkan saja di meja,"
Lily meletakkan undangan bernuansa warna merah dan emas itu di meja kerja Lucy.
"Mbak, err.. aku minta maaf atas kata-kataku waktu itu. Harusnya aku tidak berlagak sok tau akan semua urusan Mbak." Sahut Lily gugup dan mengusap belakang lehernya.
Lucy terdiam. Perlahan, senyum manis terukir di wajah gadis itu.
"It's okay. Aku juga minta maaf telah membentakmu hari itu,"
Lucy dan Lily terdiam. Lucy bangkit dari ranjangnya, dan berjalan mendekati Lily.
"Err, Twins hug?"
Lily menatap Lucy dengan penuh haru dan langsung memeluk kakak kembarnya itu.
Lucy tersenyum dan membalas pelukan adik kembarnya itu. Lalu mereka saling melepaskan pelukan masing-masing dan menatap satu sama lain dengan perasaan sayang.
Sesaat, entah kenapa mereka berdua saling canggung untuk memulai pembicaraan.
"Mbak, aku pergi dulu ya. Ada beberapa file dari rumah sakit belum kubaca," pamit Lily dan tersenyum gugup.
Lucy menganggukkan kepalanya.
"Oh ya, bagaimana kabar Zack?"
Lily menaikkan sebelah alisnya.
"Zack?"
"Yap. Zack, salah satu pasien anak itu,"
"Oh!" Seru Lily semangat.
"Ya, seperti biasa, keadaanya semakin buruk dari hari ke hari. Tapi semangat hidupnya terus meningkat. Aku salut dengan Zack"
Lucy menganggukkan kepalanya.
"Aku juga kagum terhadap anak itu. Maksudku, masih percaya bahwa Ia memiliki kesempatan sembuh disaat menjelang hari-hari kematiannya."
Lily tersenyum mengiyakan.
"Ah, iya. Foto prewed kalian sangat romantis ya,Mbak. Kalian terlihat seperti couple."
Senyum di wajah Lucy memudar.
"Darimana kamu tahu?" Katanya penasaran.
Bagi Lucy, foto prewed itu seperti aib baginya.
"Dari tante Rosalina." Jawab Lily pendek.
Lucy merengut kesal dalam hati.
Mulut tante Rosa kok jeber banget sih?!, gerutunya dalam hati.
Namun, siapa sangka Rosalina memberitahukan foto itu ke seluruh keluarganya.
satu nama yang muncul di kepala Lucy.
Alex.
Bagaimana kalau pria itu tau?
Semua ini gara-gara si keparat Lucian! Seru Lucy dalam hati.
Lily yang heran melihat raut wajah kakaknya hanya menatap kakaknya dengan geli.
Mungkin, Mbak malu, foto romantisnya ketahuan,pikirnya dan terkikik dalam hati.
Lucy yang sadar bahwa dari tadi ditatap oleh Lily ,hanya berdeham ringan, berusaha bersikap datar.
"Mbak, aku pergi ke kamar dulu ya,ada file dari rumah sakit yang belum kubaca," Kata Lily dan tersenyum.
Lucy hanya menganggukkan kepalanya dan memaksakan seulas senyum.
Perlahan, Lucy membaringkan tubuhnya diatas ranjang. Seluruh otot tubuhnya terasa lelah. Lama-lama, Ia menutup matanya, mengharapkan hari esok lebih baik.
***********
Memandang bintang-bintang di langit malam adalah kegiatan favorit Lucian sebelum tidur. Ia suka mengamati bentuk-bentuk rasi bintang yang tersebar di angkasa.
Lucian mulai menggerakkan telunjuknya, mencoba menghitung bintang-bintang. Awalnya, Ia menganggap bodoh hal ini. Maksudnya, tidak mungkin bisa menghitung bintang-bintang? Tapi, lagi-lagi, Gabriella mengubah pandangannya akan hal itu.
Melihat bintang-bintang di langit malam, mengingatkan Lucian tentang gadis itu.
"Wah, bintangnya bagus banget," puji Gabriella saat Lucian membawanya ke taman dimana khusus hanya untuk mengamati bintang-bintang. Gabriella dapat melihat betapa banyaknya orang yang berada di taman itu sambil membawa teropong masing-masing.
"Coba tebak. Menurutmu,itu rasi apa namanya?" Tanya Lucian dan menggenggam hangat tangan Gabriella.
Gadis itu mengamati rasi yang ditunjukkan Lucian dengan tajam.
Rasi apa ya?, pikirnya bingung.
"Err.., Andromeda?"
Lucian tertawa.
"Bukan. Ayo tebak lagi,"
Kali ini, Gabriella berpikir keras.
"Err.. Rasi Scorpio?"
Lucian tersenyum dan mengusap lembut rambut Gabriella.
"Hm.. mendekati. Tapi bukan itu. Ayo,coba tebak lagi,"
Gabriella mencebikkan bibirnya, tanda gadis itu sangat kesal.
"Aku tidak tahu, Lucian."
"Oke,oke. Aku akan beritahu. Jangan cemberut oke? Rasi itu adalah Rasi Pisces."
"Rasi Pisces?"
"Yap. Rasi Pisces adalah rasi dari zodiak yang kau miliki,Gab. Nah, setiap melihat Rasi bintang ini, aku selalu teringat dirimu. Maksudku, kau kan berzodiak Pisces."
Entah kenapa, Gabriella merasa tersentuh dengan perkataan Lucian.
Gabriella sangat tau, bahwa Lucian bukanlah pria yang bisa mengumbar kata-kata romantis ataupun menjelaskan perasaannya.
"Terimakasih sudah mengingatku,Lucian. Jika saja, kau tidak ada,maka aku--"
'"--Ssh. Tidak,Gabriella. Seharusnya, aku yang berterima kasih. Kau telah membawa cahaya lagi di hidupku. Jika saja kau tidak datang menyelamatkanku dari usahaku untuk membunuh diriku sendiri, aku takkan ada disini."
Keduanya diam, berusaha menyelami pikiran masing-masing. Hingga akhirnya, Gabriella membuka mulutnya untuk berbicara.
"Besok pagi, mereka akan mengoperasiku. Aku..aku takut,Lucian. Mereka bilang jika aku memilih untuk operasi, persentase kemungkinanku untuk hidup hanya 10% saja,Lucian. Tapi aku akan tetap berjuang, biarpun hanya 10% saja." Katanya pelan. Ada terselip nada penuh keberanian di perkataanya.
Lucian mematung.
Ia tahu betapa beresikonya, operasi yang akan dijalankan Gabriella. Awalnya pria itu ingin gadis itu menolaknya. Lucian berusaha bersikap realistis. Kemungkinan hidup sebanyak 10% hanyalah harapan semu belaka. Tapi melihat Gabriella yang begitu semangat, mau tidak mau Ia menyetujuinya. Demi Gabriella-nya, Ia rela mengorbankan apapun.
"Apa yang lo lakukan disini, Lucian?"
********
"Apa yang lo lakukan disini Lucian?" Tanya Alex heran, saat melihat Lucian berdiri di depan balkon dengan tatapan menerawang.
Alex dapat melihat betapa kagetnya Lucian saat melihat dirinya.
"Bukan urusan lo,Alex. Ngapain lo disini?" Balas Lucian dingin.
Alex mengepalkan tangannya. Niatnya semula hanya mengatakan agar kakakknya itu segera tidur, tapi batal melihat sikap ketus Lucian.
"Terserah gue dong. Bukan urusan lo juga kan?" Balas Alex sengit.
Lucian hanya menatap Alex datar lalu berjalan meninggalkan balkon.
"Apa lo mencintai Lucy?" Tanya Alex tiba-tiba.
Sesaat, Alex merutuki kebodohannya.
Ia sendiri bingung. Dari ribuan topik, kenapa Ia harus membicarakan Lucy pada kakaknya ini. Tapi bagaimanapun, Ia harus tau. Karena ini menyangkut Lucy-nya.
"Kenapa lo bertanya begitu?" Tanya Lucian sinis.
"Gue rasa apa gue mencintai Lucy,tidak ada hubungannya dengan lo," balas Lucian dengan nada semakin sinis.
Alex menatap Lucian semakin tajam.
Brengsek!, pikir Alex geram. Ini menyangkut Lucy! Jelas ini urusan gue! Makinya dalam hati.
Sementara, Lucian merasa aneh dengan Alex. Tidak seperti biasanya adiknya itu ingin tahu akan semua hal.
Sesaat, Lucian tertegun
Apakah,Alex..Jangan-jangan..
Ketika mereka masih kecil, Alex merenggut kebahagiaanya. Baik perhatian Rosalina, Phillip dan lain-lain. Semua orang terpesona dengan Alex. Alex yang tampan, jenius dalam menggambar dan matematika, sopan serta ramah dan hangat. Siapapun akan jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Alex.
Berbeda dengan Lucian. Lucian memang lebih tampan daripada Alex. Namun karena kepribadian Lucian, membuat semua orang jauh lebih terpesona kepada Alex.
Lucian dikenal sebagai pribadi yang dingin,kaku, serta kejam.
Membuat semua orang menjaga jarak dengannya.
Entah kenapa ada api dendam yang membara di hati kelam milik Lucian. Lucian yakin, bahwa Alex pasti mencintai Lucy.
Mungkin juga, Alex adalah lelaki pertama yang merenggut keperawanan Lucy,pikir Lucian.
Senyum licik nan misterius terukir di bibir Lucian.
Memanfaatkan Lucy sebagai alat balas dendamnya pada Alex.
"Gue mencintai Lucy,Alex." Kata Lucian tenang dan menunggu respon Alex.
Alex merasakan tubuhnya menegang.
Sesaat, Ia menatap Lucian tajam, tepat di mata cokelatnya. Berusaha mencari kebenaran.
Tidak mungkin,batin Alex. Ia sangat tahu bahwa Lucian bukanlah tipe orang yang percaya akan cinta. Apalagi sampai jatuh cinta.
"Oh," gumam Alex dan terkekeh pahit.
"Berarti, lo benar-benar menyetujui perjodohan lo karena lo mencintai Lucy ya?" Pancing Alex.
Lucian tersenyum tenang dan menganggukkan kepalanya.
"Exactly. Gue dan Lucy pernah bertemu sebelum kami dijodohkan. Gue langsung jatuh cinta saat pertama kali kita bertemu. Gue senang, takdir membawa Lucy menjadi milik gue seutuhnya." Katanya dengan nada yang sangat menyakinkan.
Dalam hati, Lucian tertawa puas melihat raut wajah Alex yang sangat speechless dengan perkataanya.
Lucy pernah bertemu dengan Lucian? Kenapa Ia tak pernah memberitahuku? , pikir Alex tidak percaya.
Entah kenapa rasanya Alex ingin meninju Lucian, bahwa Ia-lah yang akan memiliki Lucy.
Alex menghembuskan nafasnya kesal.
Besok pagi,Ia akan mengajak Lucy berbicara mengenai hal ini.
"Anyway, besok pagi gue harus ke kantor. Gue duluan ya." Kata Alex pura-pura menguap dan berjalan cepat meninggalkan Lucian di balkon.
Lucian tersenyum puas.
Ia sangat puas melihat Alex menderita seperti itu.
**********
Pagi ini, Alex harus berbicara pada Lucy. Kenapa gadis itu tidak pernah memberitahu padanya bahwa Ia mengenal sosok Lucian?
Alex serasa dipermainkan.
Apa benar, Lucy mencintainya? Atau gadis itu sengaja menerima cintanya hanya untuk menyakitinya?
Alex melirik arlojinya. Pagi-pagi sekali, Ia sudah berangkat dari rumah. Alex berencana untuk mendatangi kantor Lucy. Bagaimanapun, Ia dan gadis itu harus berbicara. Karena ini menyangkut kejelasan akan status hubungan mereka serta bagaimana mereka ke depannya.
*******
"Saya ingin bertemu dengan Nona Luciana." Kata Alex dingin pada resepsionis di depannya.
Resepsionis itu terkesiap melihat Alex di depannya.
"Er.. Maaf,Tuan Alexander. Tapi, Nona Luciana belum tiba di kantor." Katanya gugup.
Resepsionis itu benar-benar merasa terintimidasi dengan pesona yang penuh intimidasi milik Alex.
"Ya sudah, kalau begitu, saya akan menunggu di ruangan Nona Luciana. Jika dia sudah datang, beritahukan padanya bahwa saya berada di ruangannya." Kata Alex tegas dan tajam.
"Ba-baik, Tuan." Kata Resepsionis itu penuh kegugupan.
Tanpa menoleh kearah Resepsionis itu lagi, Alex segera berjalan kearah lift, dan memasukinya.
********
Lucy sangat benci kenapa pagi hari harus tiba secepat ini. Rasanya seperti; barusan saja Ia meringkuk dalam selimutnya, eh, tau-tau pagi sudah datang.
Sambil menenteng beberapa undangan, Lucy memasuki kantornya. Sesekali, Ia menyapa satpam dan karyawan yang melemparkan senyum padanya.
Lucy berencana akan mengundang Paula-resepsionis kantornya, Ollia-sekretaris pribadinya, serta para karyawan dan dewan direksi di perusahaanya.
"Selamat pagi, Nona Luciana." Sapa Paula-sang resepsionis dan tersenyum sopan.
"Oh, selamat pagi juga, Paula. Apa Ollia sudah datang?" Tanyanya.
Paula menggelengakan kepalanya.
Lucy mengambil sebuah undangan dari segepok undangan yang Ia bawa dan menyerahkannya ke depan Paula.
"Aku akan menikah. Aku akan sangat berkenan jika semua karyawanku dapat hadir di pernikahanku." Jelas Lucy.
Ya, meski pernikahan ini bukan yang kuinginkan,batin Lucy dan tersenyum muram.
Paula terkesiap dan langsung tersenyum lebar.
"Terimakasih, Nona. Saya dan karyawan lainnya pasti akan datang."
Lucy hanya mengangguk dan balas tersenyum.
Ah! Batin Paula. Ia lupa mengatakan pada Lucy bahwa Alex sedang menunggunya.
"Err, Nona, tadi Tuan Alexander datang. Ia ingin membicarakan sesuatu dengan anda. Karena tadi anda tidak ada, Ia memutuskan untuk menunggu anda di ruangan anda."
Lucy mengernyitkan keningnya.
Alex? Untuk apa dia kemari? Pikir Lucy.
Seingatnya, Ia tak ada masalah dengan pria itu. Justru mereka saling meluruskan masalah dan menjadi bersatu lagi.
Pipi Lucy memerah setiap kali mengingat kejadian di cafè saat itu.
"Baiklah, aku akan segera menemuinya. Sampai jumpa,Paula."
*******
"Ada apa, Alex? Kenapa kau kemari?" Tanya Lucy heran.
Ada yang aneh dengan Alex,pikir Lucy. Entah kenapa Lucy merasa Alex di depannya bukanlah sosok Alex yang dikenalnya.
Lucy meletakkan tas dan tumpukan undangan diatas mejanya, dan duduk di sofa depan Alex.
Lucy mencoba menyelami tatapan mata Alex padanya.
Biasanya, Lucy menemukan tatapan kehangatan, ketulusan dan penuh cinta di mata coklat pria itu. Kini? Entah kenapa, Lucy melihat tatapan Alex padanya sarat dengan kemarahan, dingin dan sinis.
Ada apa dengan Alex,batin Lucy heran.
Namun Ia segera mengenyahkan pikiran negatif di kepalanya dan mencoba tersenyum hangat di depan Alex.
Senyum memuakkan,pikir Alex. Sebenarnya, ketika Lucy tiba tadi, ingin rasanya Ia segera memarahi gadis itu. Namun, Ia mengurungkan niatnya. Ia masih ingin liat sejauh mana Lucy sanggup berakting di depannya bahwa gadis itu mencintainya.
Karena melihat Alex yang diam saja, Lucy memutuskan untuk berusaha bersikap ceria. Setidaknya, Ia berusaha menghibur Alex. Mungkin pria itu ada masalah dengan keluarganya atau berantam dengan Lucian.
"Apa kau sudah sarapan? Aku mempunyai roti untuk kita berdua," Kata Lucy dan bangkit berdiri. Seketika, Alex langsung menahan pergelangan tangan gadis itu dan membuat gadis itu duduk kembali.
"Bukan ini tujuan gue kemari,Lu." Sahut Alex dingin.
Lucy mengernyitkan keningnya dan bergumam heran. "Lalu apa?"
"Tell me, Lucy. Kenapa lo gak pernah ngasitau gue kalau sebenarnya lo mengenal Lucian?"
Hah? Pikir Lucy bingung.
Aku memang tidak mengenal Lucian,sama sekali,gumamnya dalam hati.
"Gue tidak pernah mengenal Lucian,Alex."
"Bohong," dengus Alex kesal.
"Lo memang seorang pembohong ulung, Lucy. Tell me, lo pasti menerima gue di cafè saat itu karna lo ingin menyakitin gue balik kan Lu?"
"What kind of bullshit that you're talking about,Alex?! Gue sama sekali tidak pernah mengenal Lucian. Dan apa lo bilang tadi?! Gue menerima lo karena gue mencintai lo,Alex! Gue sayang sama lo! Semalam, gue menunggu telepon dari elo! Kenapa sih, elo gak pernah bisa mempercayai gue,Alex?"
Alex terdiam.
Kenapa Ia tidak mempercayai Lucy?
Lucian,pikir Alex dan menggertakkan giginya. Pria itu benar-benar hampir menghancurkan hubungannya dengan Lucy.
"Maafin gue, karena gak percaya sama sekali pada lo,Lu. Harusnya gue tidak---ah!" Seru Alex penuh putus asa.
"Harusnya gue tidak mendengar omongan bajingan itu." Tambahnya tajam.
Lucy hanya menatap Alex nanar.
Bajingan? Apa maksud Alex? Apakah ada orang yang membuat kesalah pahaman antara Alex denganku?, pikir Lucy kalut.
"Lucy. Maafkan aku, membentakmu seperti tadi. Dan juga tidak mempercayaimu. Maafkan aku,Lu." Kata Alex sedih.
Lucy hanya menatap Alex dan tersenyum kecut.
"Aku benar-benar kecewa,Alex. Kenapa kau tidak pernah mempercayaiku? Satu hal yang harus kau tahu. Biarpun aku akan menikah dengan Lucian. Aku sama sekali tidak memiliki perasaan apapun padanya. Aku terpaksa menikah dengannya,Alex. Percayalah kalau hanya kau yang kucintai." Jelasnya.
"Maaf telah membuatmu kecewa padaku,Lu. Aku benar-benar bodoh telah meragukan perasaanmu padaku." Sahut Alex sedih.
"Baiklah. Aku memaafkanmu. Aku mohon jangan bersikap gegabah lagi." Kata Lucy dan tersenyum hangat.
Bukankah, cinta begitu? Rela memaafkan meski kemarahan sudah menguasai?
Alex langsung mendekap Lucy dengan erat.
Lucy yang agak terkejut dengan sikap tiba-tiba Alex, hanya tersenyum hangat dan membalas pelukan Alex.
"Terimakasih sudah memaafkanku,Lu. Aku berjanji tidak akan bersikap seperti ini,lagi." Bisik Alex dan mengecup singkat pipi samping gadis itu.
Untuk sesaat, mereka saling berpelukan lalu melepaskan diri masing-masing.
Alex dapat melihat betapa merahnya pipi Lucy karena kecupan singkatnya.
Dalam hati, pria itu terkekeh geli.
Betapa manisnya Lucy-nya dengan pipi memerah seperti itu.
**********
Geez. Ini panjang banget.
huwee.. Lucy-Alex romantis amat..
#edisi-penulis-gila
Kalau aku boleh tahu nih, kalian prefer nya kemana nih?
Lucy-Alex atau Lucy-Lucian atau Lily-Alex?
See you in the next chap,guys!
-lea