Akankah Kita

By Hannayastinika

20.4K 548 152

Pertemuan Shin dan Hasita di Kedai Pustaka bukan karena tidak disengaja. Bersepakat menjalin hubungan layakny... More

1 - MANDI MATAHARI
2 - DIA
3 - GERAK CEPAT
4 - HILANG
5 - MEMBAWA CINTA
6 - BOLA BASKET
7 - MASA LALU
8 - RIVAL
9 - PENJUAL KUE DAN PENGAMEN KECIL
10 - ANCAMAN
11 - KOPI DAN COKELAT PANAS
12 - BERPALING
14 - RIVAL ADALAH REKAN TERBAIK
15 - PERCAYALAH
16 - SIBUK
17 - DATANG DAN PERGI
18 - JANJI
19 - BERPISAH
20 - MELEPASKAN
21 - YANG BENAR-BENAR DIINGANKAN

13 - DI SISI

494 16 5
By Hannayastinika


Adit memencet bel di sebelah pintu dengan tidak sabar. Setelah menunggu beberapa lama, terdengar suara 'KLEK' dari balik pintu, pintu itu terbuka dan menampakkan sosok yang sangat ingin dia temui.

"Adit? Masuklah!" Irma tersenyum lebar dan menarik pergelangan tangan Adit untuk masuk ke dalam apartemennya. Irma mengunci pintunya, menggamit lengan Adit dan menggiringnya ke ruang tengah. "Aku senang sekali kau datang, aku mencemaskan kata-katamu saat terakhir kita bertemu. Kau mau minum apa? Akan aku ambilkan."

Irma melepas gamitannya, berniat melangkahkan kakinya menuju dapur. Adit meraih lengan Irma, menyeretnya dan menghempaskannya dengan kasar ke sofa. Seketika senyum Irma memudar, matanya membelalak kaget dengan perlakuan Adit yang tidak pernah kasar padanya sebelumnya.

"Adit! Apa yang kau..." Irma menatap mata Adit, terdapat kobaran api di sana.

"Apa yang ada di pikiranmu, Irma? Kau tega melakukan hal kotor demi obsesi konyolmu itu, huh?" teriak Adit.

"Apa yang kau bicarakan, Adit? Aku sama sekali tidak mengerti." Irma menatap Adit dengan tatapan bingung.

"Hentikan kepura-puraanmu!" bentak Adit kasar. "Aku tahu kau yang mengirim preman itu untuk menculik gadis itu. Entah apa yang akan mereka lakukan jika aku tidak datang. Setelah gagal dengan rencana jahatmu itu kau dengan keji mencoba membunuhnya. Setelah ini apa lagi?"

"Apa sih maksudmu? Kau selalu menyebut gadis itu, gadis itu siapa? Dan sekarang kau menuduhku yang bukan-bukan." Irma meninggikan suaranya.

Adit menarik napas panjang, menghembuskannya dengan kasar, mencoba menenangkan gejolak dalam dadanya. Adit Mengacak rambutnya frustrasi, kemudian berkacak pinggang, dia harus memikirkan kata-kata yang tepat untuk memancingnya. Tangan Irma mulai gemetar, dia meremas erat jemarinya, menahan sakit saat kuku-kuku panjangnya menancap pada telapak tangannya.

"Kau bisa saja menyangkal, Irma. Tapi tangan kananmu itu sudah tertangkap dan mengatakan semuanya. Dia menjadi pelayan kedai, hanya dua hari bekerja di sana dan dia melarikan diri saat gadis itu keracunan," ujar Adit dengan nada yang lebih tenang.

"Dia... bisa saja dia memfitnahku."

"Bagaimana dia bisa mengenalmu sementara kau masih seminggu di sini?" Adit mendengus sinis. "Kau memilih orang yang salah untuk menjalankan rencanamu itu, pria itu pintar, dia bahkan memiliki rekaman cctv saat bertransaksi denganmu."

"Ap-apa?" Bibir Irma bergetar.

"Kenapa? Kau tidak menyangka bukan?" Adit menyeringai, umpannya mulai dimakan. "Pria itu akan menunjukkan rekaman cctv itu, dia memiliki bukti yang kuat untuk menyeretmu dan dia bisa menggunakannya untuk mengurangi masa hukumannya atau bahkan jika gadis itu memaafkannya, mungkin saja dia bebas. Sementara kau..."

Irma mematung, dia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi sekarang. Adit telah tahu semuanya, pria itu tertangkap dan dia memiliki barang bukti. Kepala Irma terasa berat, sekuat tenaga dia menahan genangan air matanya agar tidak terjatuh, namun dengan satu kedipan mata, air matanya meleleh di pipinya. Irma menundukkan kepalanya.

"Hentikan semua ini, Irma! Ini adalah kriminal, hentikan atau aku tidak akan segan melaporkanmu."

"Apa kau mengancamku?" Irma mendongakkan kepalanya, Adit terlihat serius dan sangat marah. "Kau nggak bisa mengancamku," lanjutnya.

"Ya, aku bisa," ujar Adit penuh penekanan.

"Kau bilang, kau akan tetap berada di sisiku." Irma menundukkan kepalanya lagi, "aku... aku akui, itu semua rencanaku, aku hanya memberinya pelajaran, aku nggak menyangka akan menjadi seperti ini."

Adit memperhatikan Irma yang menunjukkan wajah penyesalan, entah tulus atau tidak, Adit tidak bisa meyakinkan dirinya karena gadis di depannya ini sangat pandai berpura-pura. Adit menarik napas panjang lagi dan menghembuskannya perlahan, dia berlutut agar bisa melihat wajah Irma, meraih kedua tangannya yang gemetar dan meremasnya lembut.

"Aku mencintaimu, Irma. Hentikan semua ini! Sekeras apapun kau mencoba mendapatkan Shin, dia tetap tidak bisa balas cintamu." Suara Adit melembut, menatap jauh ke dalam manik mata Irma, berharap dia mau melakukan sugestinya.

"Aku tahu... begitupun aku, aku juga nggak bisa membalas cintamu, Adit." Irma menatap nanar pada Adit. "tapi kau tetap berusaha di sisiku. Kita sama."

Bagaikan ada bola besar dari truk penghancur bangunan yang menghantamnya seketika itu juga. Tenggorokan Adit terasa tercekat, hatinya terasa dikoyak berkali-kali, dia sendiri heran, entah terbuat dari apa hati mereka. Mereka sama, mepertahankan hati mereka meskipun hati itu sudah hancur lebur. Adit mengalihkan matanya, memalingkan muka kemudian berdiri. Irma tetap menatap Adit, melihat semua perubahan sikap dan air mukanya.

"Maafkan aku, Adit. Aku akan berusaha berhenti menyerang gadis itu, tapi aku nggak bisa berhenti untuk mendapatkan Shin."

Adit memejamkan mata, sorot matanya menjadi dingin setelah dia membuka matanya. "Fine!" ucap Adit singkat kemudian pergi meninggalkan Irma. Pintu apartemen terbanting sangat keras di belakangnya.

(!)

"Hai, Kak," sapa seseorang yang menepuk bahu Karen dari belakang.

"Oh, hai Caraka." Karen menolehkan kepalanya ke sumber suara.

"Mau sampai kapan berdiri terus di depan pintu? Masuk yuk!"

"Nggak ah, Raka. Aku di sini saja."

"Kenapa Kak? Dari tadi pagi sampai hampir sore begini bengong saja. Nggak capek? Aku saja yang lihat Kak Karen berasa capek banget."

"Lah, kok?" Karen tertawa kecil, "hem... takut saja, waktu Hasita sadar nanti dan menemukan aku di sana, dia akan menyalahkanku dan membenciku."

"Memangnya Kak Karen melakukan sesuatu?" Caraka sedikit memicingkan matanya.

"Nggak..." Karen segera mengelak.

"Kalau Kak Karen bersikap seperti itu, pasti orang-orang akan berpikir yang nggak-nggak."

"Tapi tetap saja aku merasa bersalah banget."

"Aku yakin Kak Hasita nggak akan pernah menyalahkan Kak Karen."

"Aku harap begitu. Kapan ya Hasita sadar? Ini sudah hari ketiganya."

"Kata dokter, kondisi Kak Hasita sudah nggak seburuk kemarin. Kak Karen tenang saja!"

"Syukurlah kondisinya membaik."

"Kalau begitu, ayo masuk!"

Karen mengikuti langkah Caraka, berjalan ragu menuju sisi ranjang Hasita. Caraka menekan bahu Karen agar duduk pada sebuah kursi di samping ranjang, kemudian dia melangkahkan kakinya menuju sofa, mengambil majalah yang tergeletak di meja depan sofa dan membacanya.

"Haaah... Hasita," desah Karen dengan wajah prihatin, "kenapa kau tidur lama sekali? Aku kangen tahu. Kampus sepi banget kayak kuburan tanpamu. Nggak bisa konsen ke perkuliahan, aku jadi linglung, malas ke kantin sendirian, nggak ada deh yang bisa gantikan kecerewetanmu. Aku jadi mas Anang dan bang Cakra Khan nih..."

"Lah, kok mereka dibawa-bawa?" Sahut Caraka.

"Separuh jiwaku pergi... Aku tanpamu butiran debu..." jawab Karen sambil memainkan nada lagu.

"Mulai deh." Caraka terkekeh di balik majalahnya.

"Pokoknya kau harus tanggung jawab nanti! Aku jadi begini amat kan... sedih." Mata Karen mulai berkaca-kaca. "Botol racun itu ada di tasku, maafkan aku Hasita, aku merasa sangat bersalah, aku nggak bisa memaafkan diriku sendiri kalau kau sampai kenapa-kenapa. Kau harus segera bangun dari tidurmu!"

Karen mulai menceritakan hari-harinya di kampus tanpa Hasita, bahkan dia membolos hari ini. Caraka hanya tersenyum dan tergeleng-geleng saat Karen mulai melucu di sela-sela celotehnya.

(!)

Jalanan penuh lalu lalang kendaraan, waktu berputar sangat cepat, kini langit biru menyemburatkan warna jingganya. Hal itulah yang tertangkap mata Shin dari balik bangunan serba kaca gelap di lantai tiga. Dia berdiam diri, berdiri tegap, tangannya bersedekap, pandangan mata lurus menatap jalan raya, raganya di tempat namun pikirannya sedang melayang-layang saat ini.

Dari jarak beberapa meter di belakangnya sepasang bola mata memperhatikannya dengan gelisah. Derap sepatu terdengar samar kemudian semakin keras di belakangnya lagi, langkah itu milik seorang gadis bersepatu hitam dan berkaos kaki putih sepanjang betis, kemudian langkah itu berhenti dan menepuk punggung seorang pria.

"Kak!"

"Aw... sakit, Airin," ucapnya sedikit berbisik.

"Sorry, sorry... tepuknya agak keras ya?" Suara Airin ikut berbisik, "Kak Artha kenapa jauh-jauhan sama Kak Shin? Musuhan?"

"Ya nggak lah," jawab Artha masih berbisik.

"Ini kenapa jadi bisik-bisik?" bisik Airin.

"Sst... ada yang melamun dari tadi siang, sikapnya aneh dari kemarin." Artha menunjuk Shin dengan dagunya.

Airin menarik napas panjang, menghembuskannya dengan berat. Gadis yang masih memakai seragam putih abu-abunya itu melangkahkan kakinya untuk menghampiri kakaknya, menyentuh pundaknya dan sedikit meremasnya.

"Kakak jangan melamun terus, aku cemas dengan kondisimu saat ini."

"..." Tidak ada tanggapan dari Shin.

Artha yang sedari tadi tidak berani mendekat akhirnya berjalan mendekati Shin dan Airin.

"Kau terlihat sangat kacau, Kak. Aku nggak suka melihatmu seperti ini. Nggak ingin berbagi masalah?" ujar Airin sangat lembut.

Shin menarik napas panjang, seberkas binar menghiasi mata Airin karena Shin mulai meresponnya.

"Hasita... dia di rumah sakit dan belum sadar," gumam Shin terdengar serak.

"Hasita? Siapa Hasita?" tanya Artha penasaran.

"Aku tahu. Caraka mengatakannya padaku," ujar Airin lirih, dia mendesah dan ikut memandang jalan raya.

"Hei... kenapa jadi melamun semua?" tanya Artha bingung. Dia menoleh pada Shin dan Airin bergantian.

Shin dan Airin terdiam. Artha ikut menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya bersamaan dengan suara dari perutnya yang berbunyi nyaring. Airin dan Shin menoleh bersamaan pada Artha, beberapa detik kemudian suara yang sama menyahut dari perut Shin, kini giliran Artha dan Airin yang menoleh pada Shin.

"Baiklah, kita harus makan sekarang!" Airin terkekeh geli. "Kak Shin harus makan kalau nggak mau ikutan masuk rumah sakit. Kak Artha juga ikut makan ya, aku bawa bekal banyak dari rumah nih," ujar Airin sambil mengangkat rantang makanan yang dibawanya dari tadi.

"Wah... coba bilang dari tadi, pengertian banget si adik. Sini, Kakak bantu bawa."

"Ih... cuci tangan dulu!" Airin menepis tangan Artha yang masih kotor oleh hangus dan oli mesin.

"Oh, iya." Artha mengoleskan telunjuknya di hidung Airin.

"Ih... Kak Artha!" teriak Airin.

Artha tertawa lebar, dengan kesal Airin mengusap hidungnya dengan punggung tangannnya, kemudian menggamit lengan Shin dengan manja, menariknya menuju lift untuk pergi ke kantin. Shin tersenyum tipis, mengingat kembali alasannya termenung di tempat ini.

'Mereka menyuruhku pulang untuk istirahat dan makan, tapi lihatlah, aku hanya berdiam diri di sini. Aku menantimu, Hasita.'

(!)


Continue Reading

You'll Also Like

762K 69.5K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
2.3M 142K 46
"Di tempat ini, anggap kita bukan siapa-siapa. Jangan banyak tingkah." -Hilario Jarvis Zachary Jika Bumi ini adalah planet Mars, maka seluruh kepelik...
1.4M 154K 43
Yg gk sabar jangan baca. Slow up !!! Bagaimana jika laki-laki setenang Ndoro Karso harus menghadapi tingkah istrinya yang kadang bikin sakit kepala. ...
2.1M 332K 67
Angel's Secret S2⚠️ [cepat, masih lengkap bro] "Masalahnya tidak selesai begitu saja, bahkan kembali dengan kasus yang jauh lebih berat" -Setelah Ang...