Hi all readers..
Semoga masih ada yang ingat kisah yang satu ini ya..
Part ini meskipun bukan part yang mengharu biru tetap harus saya munculkan untuk menjembatani beberapa hal yang memperjelas alur. Jadi nikmati dulu aja ya…
Tetap ditunggu vote dan komentnya ya..makasih…
Mei 2013
POV Vika
Akhirnya setelah rembug keluarga aku diijinkan untuk melanjutkan kuliahku di Malaysia. Ayah dan mama menjejaliku dengan berbagai nasihat yang tentu saja aku terima dengan ceria. Aku yakin betul dengan pilihanku kali ini. Beasiswa sepenuhnya untuk tinggal di sana dari salah satu lembaga yang berhasil aku peroleh karena berhasil mengisikan segala aplikasi yang diperlukan. Awalnya ayah mengkuatirkan kemandirianku. Namun, aku berusaha meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Aku toh sudah melewati 19 tahunku.
Satu hal yang ingin kubicarakan dengan mama sebelum keberangkatanku. Aku berharap mama memiliki sudut pandang yang sama denganku atau minimal mama akan memperlancar misiku. Semua ini berkaitan dengan dua orang yang kusayangi. Kakakku dan abangku.
Hal ini sudah lama mengendap dalam pikiranku namun aku menunggu moment yang tepat untuk membagi apa yang ada dalam benakku. Aku benar-benar yakin setelah mengevaluasi berbagai sikap yang mereka tunjukkan selama ini.
“Jadi..gimana kalau menurut mama?”tanyaku setelah kuungkapkan pendapat yang berkali-kali melintas di benakku selama ini.
Mama menghela nafas pelan.
“Awalnya mama hanya mengira abangmu merasa tersisih dengan keberadaan Lian aja tuh de..”sahut mama pelan. Tangannya mengusap matanya yang mungkin agak pedas karena kelamaan di depan komputer. Saat ini aku sedang berada di ruang kerja mama. Sengaja mengambil kesempatan siang-siang saat aku yakin tidak akan ada Haikal ataupun Lian. Sebelumnya aku sudah cek Lian, dia ada di lokasi salah satu acara yang dimenangkan event organizer milik mama. Awalnya mama sering diminta untuk merancang dan menjadi pelaksana pernikahan beberapa orang temannya. Lama-lama merembet ke acara lain, bahkan hingga ke acara workshop dan training.
“Sama ma. Vika pikir juga begitu. Baru beberapa bulan lalu Vika temukan apa yang tadi sudah Vika sampaikan ke mama. Vika yakin, sebenarnya mama pasti juga bisa melihat itu kan ma?”tanyaku. Mama tidak langsung menjawab. Setelah mendesah perlahan akhirnya muncul juga kata-katanya.
“Kalaupun iya..mungkin mama lihat lebih kepada Haikal yang mempunyai perasaan itu dek. Mama nggak yakin kakakmu juga punya perasaan yang sama..”ujar mama pelan namun cukup membuat aku berjengit.
“Masak sih ma? Aku kok merasanya Kak Lian juga punya perasaan itu deh ma..dan aku yakin kalau mama ijinkan mereka untuk secara terbuka mengungkapkan itu, semua akan menjadi lebih baik ma..”ujarku masih berusaha memaksakan pemikiranku. Aku hanya kuatir mama tidak akan bisa merestui hubungan itu. Padahal menurutku, selagi hal itu sah di mata agama dan hukum, kami semua tidak ada yang berhak menghalangi.
Mama menggeleng pelan. Dari matanya aku tahu mama kalut. Aku merasa harus meyakinkan bahwa semua ini akan jadi indah jika mama memberikan restunya. Aku merasa masih punya satu lagi alasan yang akan membuat mama bisa memberikan restunya.
“Ma...aku tahu mama begitu menyayangi kak Lian. Aku juga sangat bersyukur dia hadir memberikan semua keindahan dalam keluarga kita. Namun, di mata hukum tetap saja Kak Lian bukan anak kandung mama. Bukankah akan lebih kekal ikatan itu kalau akhirnya Abang menikahi kak Lian ma?”
Mama kembali menggeleng. Saat ini wajahnya benar-benar memperlihatkan kejengkelan terhadapku.
“Vika!!…tolong pikirkan dari sisi Lian. Kalau pemikiranmu benar, mungkin semuanya akan terasa menyenangkan, kalau ternyata salah?, Mama nggak mau Lian merasa tidak nyaman lagi bersama kita hanya karena dia merasa kita semuanya menganggapnya bukan lagi bagian dari keluarga kita. Mama nggak mau kehilangan anak-anak mama. Semuanya. Ngerti nggak sih?”ujar mama sengit. Aku benar-benar terhenyak sekarang. Pemikiran yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiranku sebelumnya.
Aku menunduk lesu. Di satu sisi, aku merasa justru kebahagiaan itu ada di depan mata ketika mereka akhirnya mendapat restu mama namun di sisi lain aku juga takut jika kekuatiran mama terbukti. Owh..ini tak semudah cerita di novel-novel romantis ternyata...
Aku sama sekali tidak pernah cengeng sebelumnya namun melihat permasalahan ini begitu dilematis, aku rasanya sangat kepengen menangis. Tuhanku…aku hanya menginginkan kebahagiaan keluarga kami kukuh dan abadi. Semoga jika memang semua ini akan berakhir bahagia Engkau cukupkan hingga tak ada lagi yang perlu terluka.
Mama seperti menyadari kalau aku begitu kecewa dengan dilemma ini. Beliau mengusap punggungku perlahan dan menarikku dalam pelukannya.
“Vika..mama tahu, kamu sangat menyayangi keduanya. Kamu pasti juga tahu kalau mama jauh lebih menyayangi mereka kan?, Tolong…biarkan semuanya berjalan secara alami. Jika memang mereka berjodoh, pasti ada jalan keluar yang terbaik. Mama pikir, lebih bijak jika kita menahan diri untuk tidak memberikan intervensi. Vika setuju nak?” bisiknya pelan di telingaku. Aku hanya sanggup mengangguk. Aku memilih kebahagiaan mama. Memastikan mama merasa nyaman dengan berjanji aku tidak akan melangkah terlalu jauh mengintervensi interaksi kedua kakakku. Biarkan semua mengalir secara alami.
Aku hanya punya satu pemikiran. Dan aku berharap bahwa dengan apa yang akan aku lakukan nanti, meskipun sama sekali jauh dari tindakan intervensi, akan membuat suasana rumah tetap cerah. Aku tahu selama ini aku banyak berperan sebagai komunikator dan pencerah suasana di rumah. Aku harus memastikan bahwa rumah tetap ceria meski tanpa keberadaanku.
***\
POV Haikal
Aku baru saja menyelesaikan tumpukan data lapangan yang harus dianalisa ketika sms dari Vika masuk. Beberapa hari ini, dia memang sedang sangat sibuk mempersiapkan kepergiannya ke Malaysia. Benar-benar tekad yang kuat untuk mandiri di usianya yang masih sangat muda. Dan itu berarti, di rumah hanya akan ada aku, Lian dan Asya sebagai anak-anak di keluarga ayah.
Asya sebenarnya lucu dan ramai, tapi usianya terpaut terlalu jauh denganku sehingga tetap saja tidak bisa sedekat Vika. Dia juga sedang dalam taraf yang sangat aktif berafiliasi atau berteman dengan sebayanya. Hal itu sedikit banyak mengurangi interaksi kami di rumah.
“Jd bisa keluar jam isitrahat kan?, Vika tunggu ya.”
Sms Vika kembali mengingatkanku kalau pagi tadi Vika minta makan siang bareng. Ada yang mau dia bicarakan terkait kepergiannya. Kutengok jam yang tertera di sudut kanan komputerku. Masih 10 menit kurang dari jam 12 tapi aku rasa aku sudah bisa mulai siap-siap keluar.
Tempat makan yang dipilih Vika tidak begitu jauh dari kantorku. Bisa ditempuh tidak lebih dari 15 menit dari kampus Vika. Bukan di pinggir jalan besar sehingga suasananya terasa nyaman. Ada beberapa pengunjung lain di beberapa sudut.
Aku tiba saat Vika juga baru saja turun dari sepeda motornya. Kami masuk dan langsung menuju meja tempat segala makanan khas Sunda disajikan. Konon, pemilik resto ini salah seorang artis pria kenamaan yang wajahnya sering sekali muncul di berbagai sinetron beberapa tahun silam.
“Sudah selesai semua persiapannya ya?”tanyaku membuka pembicaraan setelah kami sama-sama duduk. Seorang gadis muda mengantarkan pesanan minuman dan dua mangkuk kecil berisi air bersih untuk cuci tangan. Dia beranjak pergi setelah kami sama-sama mengucapkan terima kasih.
“Alhamdulillah 90% siap, cuma ada beberapa hal yang harus aku bereskan termasuk kenapa aku merasa perlu ketemu abang siang ini.” sahutnya sambil menyesap es jeruknya. Aku hanya menaikkan alisku sekejap, memilih tak berkomentar meski di hati sempat bertanya-tanya kenapa Vika merasa perlu bertemu secara khusus. Di luar rumah pula.
++++\
Hari yang ditunggu-tunggu dengan harap harap cemas akhirnya tiba juga. Vika benar-benar akan pergi ke Malaysia. Kami semua mengantarnya ke bandara. Meski cukup dekat dari Indonesia tapi kami semua –kecuali ayah- belum ada yang pernah ke sana. Satu-satunya tempat di luar negeri yang pernah kami datangi adalah tanah Arab. Mekah-Madinah dan sekitarnya tepatnya, karena ayah punya prinsip bahwa pergi beribadah ke tanah suci adalah satu-satunya kewajiban ayah dalam kaitannya memfasilitasi keluarganya untuk berkunjung ke luar negeri. Luar negeri yang lain bisa kapan saja katanya.
Mama nampak berlama-lama memeluk Vika. Tidak. Mama tidak menangis sama sekali tapi aku yakin di dalam hatinya, beliau melantunkan sebanyak-banyaknya do’a-do’a karena ini untuk pertama kalinya salah seorang anaknya akan pergi untuk tinggal dalam waktu relatif lama di sebuah tempat yang bahkan mama belum pernah ke sana.
Meski demikian, kami semua bersyukur karena untuk kepergian kali ini salah seorang sepupu jauh ayah ada yang kebetulan sedang dalam perjalanan ke sana. Tante Irma. Paling tidak, beliau akan membersamai Vika dalam episode awal kehidupan kemandiriannya di negeri orang.
“Bang…inget pesen Vika ya. Tolong jaga hati mama dan ayah..”bisiknya pelan ketika aku memeluknya. Aku tahu dia mengucapkan itu namun ada yang tersirat di balik kata-katanya. Permintaan khususnya saat makan siang beberapa hari yang lalu. Dia bersungguh-sungguh ingin aku berjanji bahwa selama dia pergi aku tidak lagi membuat keributan dengan Lian.
Saat itu aku hanya tertawa tapi Vika benar-benar serius dengan pernyataannya. Dia berkali-kali memastikan bahwa aku siap memenuhi permintaannya.
“Bukannya aku narsis atau sok PD bang, tapi kenyataan bahwa selama ini Vika cenderung menjadi penengah saat kalian berseteru pasti abang sadar kan?, betapa sering Vika lihat mama sedih melihat berbagai ketidakakuran kalianlah yang seringkali membuat Vika merasa perlu melucu, sok manja atau apapun biar suasana rumah kembali riang. Abang pasti sadar itu kan?. Vika mau abang janji rumah tetap cerah, ceria bahagia dan menyenangkan tanpa Vika dan Vika yakin kuncinya ada sama abang.”
Vika menegaskan kata-katanya dengan bersungguh-sungguh. Vika yang memang biasanya menjadi bunga ceria di antara kami semua justru saat ini memperlihatkan wajah yang benar-benar tanpa senyum.
Aku segan untuk kembali tertawa, meski aku tak yakin apakah aku bisa memenuhi permintaannya. Vika tidak lagi berkomentar banyak selepas ucapannya yang terakhir membuatku sadar bahwa hal itu benar-benar dirasanya penting sebagai inti dari pertemuan kami siang ini.
“Bang..”katanya sambil mengguncang lenganku pelan. Dia memastikan aku memandang ke arah matanya. Aku hanya sanggup mengangguk. Di dalam hati aku berjanji aku akan berusaha memenuhi permintaannya. Semoga tak sesulit sebelumnya.
Vika pergi sambil tetap memasang wajah ceria. Tidak ada yang boleh menangis karena hanya akan membuatnya sedih. Lian berkali-kali meneguk ludah dengan susah payah. Aku tahu, dia pasti akan merasa kehilangan. Di berbagai perseteruan kami, kadang Vika memang menjadi jauh lebih dewasa daripada aku dan kakaknya.
Aku tertawa dalam hati. Kenapa Vika jadi kelihatan superbaik begini ya?,
+++\
Perjalanan pulang ke rumah setelah mengantar Vika ke bandara terasa sepi. Mama dan ayah duduk di tengah beserta Asya namun sepertinya masing-masing masih sibuk dengan kenangan akan Vika. Seolah Vika hendak pergi yang sangat jauh. Mungkin ini karena sebelumnya kami tak pernah berpisah dalam jangka waktu yang lama.
“Oh ya, mumpung semua ngumpul nih. Ayah mau bilang, lusa nanti ayah ada kunker ke Palangkaraya. Ada undangan yang sepenuhnya dibiayai oleh Pemda di sana. Khusus ayah, ada beberapa yang harus ayah kerjakan tapi butuh pertolongan mama. Terkait dengan beberapa kegiatan pemberdayaan perempuan, karenanya ayah pamitkan mama pada kalian ya. Baik-baik di rumah. Lian bisa tolong take beberapa pekerjaan mama kan?”
Lian yang duduk di sampingku di depan menengok ke belakang dan mengiyakan. Rupanya hal ini sudah direncanakan ayah beberapa hari yang lalu dan mamapun sudah menyatakan bersedia. Menjadi salah satu sarana untuk kedekatan hati beliau berdua juga.
Ada yang pernah bertanya kepadaku kenapa panggilanku pada beliau berdua bisa ayah dan mama. Biasanya panggilan ayah berjodoh dengan bunda atau ibu sedangkan panggilan “mama” berjodoh dengan panggilan “papa”. Tidak ada hal khusus sebenarnya hanya saja ayah lebih nyaman dipanggil begitu dan bukannya papa. That’s it.
“Aku gimana ma?” tanya Asya setelah sesaat kami semua terdiam. Mama tersenyum sambil mengusap pelan rambut Asya.
“Bukannya selama ini juga adek nggak pernah lagi ke mana-mana ikut mama ya?” goda ayah. Asya terkekeh lucu.
“Yaa, tapinya kan kalau adek pengen sesuatu mama ada deket yah…”
“Sesuatu itu apa misalnya? Bisa diwakili kak Lian atau Abang kan?” tanya ayah lagi. Asya cuma tersenyum simpul tanpa jawaban. Itu berarti tidak masalah. Sejak dulu hingga sekarang keberadaan Mbok Harini dan Mas Endy selalu jadi tim back up mama yang handal.
Lian POV
Hari ini aku kembali disibukkan dengan urusan di kantor mama. Aku sudah merasa cukup beristirahat setelah prosesi wisuda selesai beberapa hari yang lalu. Aku kembali bertugas menemui beberapa rekanan yang sudah ada janji sebelumnya. Salah satunya adalah Pandu yang sekaligus teman masa kecilku. Kejutan yang menyenangkan ketika hampir tiga bulan lalu untuk pertama kalinya bertemu setelah lebih dari 10 tahun kami berpisah.
“Maaf..saya sepertinya mengenali nama njenengan sebagai salah satu nama teman saya waktu SD. Tapi barangkali bisa juga salah karena dulu teman saya itu tinggalnya di Cilacap sana...”tanyanya setelah beberapa saat kupersilahkan dia duduk di seberang meja di dalam ruang tamu mama. Sebuah ruangan di lantai atas mini market milik keluarga yang konon sejak jaman eyang sudah mulai dikembangkan.
Aku mengamati wajahnya sesaat sebelum akhirnya benar-benar bisa menerka wajahnya di masa lalu. Pandu pindah tugas ikut mamanya ke Ambon saat kami sama-sama kelas IV dan sejak itu pula kami tidak pernah bertemu lagi. Menurut ceritanya, dia sempat bertanya-tanya apakah nama yang disebutkan untuk bertemu dengannya untuk bekerja sama menyelenggarakan workshop Jaminan Kesehatan Sosial ini benar-benar namaku. Nama yang menurutnya unik untuk nama seorang anak perempuan.
Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk kembali akrab. Apalagi, meskipun lama tinggal di luar Jawa, Pandu benar-benar masih fasih menggunakan bahasa Jawa lengkap dengan logat Cilacap yang khas. Hal itu menyenangkan karena menghadirkan banyak memori lucu dan yang terutama menghibur. Bersamanya, aku benar-benar bisa menjadi diriku sendiri. Aku bahkan tidak perlu merasa malu untuk ikut-ikutan melafalkan bahasa Jawa khas Cilacap.
Hari ini untuk kesekian kalinya perusahaan mama bekerja sama dengan usahanya. Dia yang punya beberapa staf selalu tetap lebih senang bertemu sendiri denganku karena katanya dia juga menikmati mengingat kenangan masa kecil kami. Entahlah, padahal kami sekelas hanya selama 4 tahun tapi rasanya banyak sekali cerita yang bisa kami gali bersama-sama dan kemudian menimbulkan derai tawa yang tidak habis-habisnya.
Bukan berarti setiap kali bertemu kami selalu bercanda karena bagaimanapun ada urusan pekerjaan yang harus diselesaikan namun tetap saja bertemu dengannya terasa menyenangkan.
“Yo wis Li, itu dulu aja. Aku pamit ya...ketemu sama kamu pasti aku jadi lupa kalau punya tanggungan utang yang banyak. Wis..aku makaryo maning yo…”ujarnya sambil berdiri dan meraup beberapa berkas di meja masih sambil menyisakan senyum lebarnya. Tentu saja kami bisa sama-sama lupa beban hidup karena yang muncul adalah memori sekitar teman sekelas, bandelnya kami menjahili guru baru atau kenangan dihukum menyelenggarakan upacara bendera sekelas gara-gara ada yang kentut di antara kami dan menyebabkan kami tertawa riuh saat yang lain sedang mengheningkan cipta.
Tepat saat Pandu membuka pintu kami sama-sama tertegun melihat ada yang berdiri di depan pintu. Haikal dengan muka masam yang langsung berubah menjadi senyum.
TBC