"Al, kemarin malam, Abdul datang kerumahku."
"Lalu?"
Kuletakan cangkir berisi kopi hitam yang sedari tadi hanya kuapit dengan kedua tangganku ke atas tatakan. Beginilah rutinitasku kala senja sepulang dari kantor. Menikmati secangkir kopi hitam di sebuah kafe sambil tertawa miris dalam hati--menyaksikan ratusan kuda besi yang saling berimpitan menjejali jalanan kota tempat tinggalku. Aku tak sendiri, sahabat karibku selalu menemani. Dia seorang kaum hawa bernama Fatma. Pertama kali berjumpa dengannya, ketika ayah mengajakku untuk berkunjung ke rumah seorang kawan lama. Saat itu, kira-kira usiaku menginjak angka tujuh tahun. Ayahku dan ayah Fatma telah berkawan jauh sebelum ayahku dan ayahnya membina rumah tangga masing-masing. Kami berdua seumuran. Aku terhempas ke dunia beberapa bulan lebih dulu dari Fatma. Kebetulan atau tidak, kami berdua belajar di SMA yang sama, kuliah di Universitas yang sama, pun sekarang kita bekerja di kantor yang sama.
Kulempar pandangan pada sosok gadis berambut hitam sedikit ikal yang kini tengah duduk di sampingku itu--sebagai tanda bahwa aku sedang menyimak kelanjutan dari ucapannya yang bagiku terasa sangat menggantung.
Tak langsung melanjutkan ucapannya, Fatma terlebih dahulu menyesap kopi hitamnya melalui pinggiran cangkir. Sejak lulus dari SMA, aku dan Fatma mendeklarasikan diri kami sebagai salah satu pecinta kopi. Kamipun sepakat bahwa kopi yang disajikan kafe ini adalah yang ternikmat di daerah ini. Apalagi jarak kafe ini tidaklah jauh dari kantor tempat kami mendulang rupiah.
"Dihadapanku dan Ayah, dia mengutarakan niatnya untuk memperistriku." Dengan tanpa menatapku, gadis itu menaruh cangkirnya perlahan.
Setiap jengkal bagian tubuhku terasa bagaikan tersengat sebuah aliran listrik bertegangan rendah. Terkejutlah diriku, namun sedapat mungkin aku mengendalikan diri agar tak sampai melukai harga diri. Jikalau ada perlombaan yang bertajuk 'lomba mengendalikan diri' atau 'lomba menyembunyikan perasaan', dapat dipastikan akulah yang akan keluar sebagai juaranya. Sering kudengar sebuah ungkapan klise bahwa tak ada persahabatan murni yang terjalin antara pria dan wanita, niscaya ada sebuah getaran yang dirasakan oleh salah satu pihak atau mungkin dirasakan oleh kedua belah pihak. Orang-orang menyebut getaran itu dengan istilah suka, sayang, dan cinta. Awalnya kupikir ungkapan tersebut hanyalah bualan semata, hingga pada titik tertentu--entah karma atau anugerah, entah kapan tepatnya, getaran itu mulai menggerogoti hatiku. Ingin sekali kuungkapkan perasaanku ini, namun apa daya aku tak bernyali.
"Lalu?" Sekali lagi kata itulah yang keluar dari bibirku—mewakili perasaan terkejut, penasaran dan kecewa dalam benak.
Meskipun tak terlalu akrab, akan tetapi kutahu benar siapa itu Abdul. Dia adalah rekan kerjaku dan Fatma di kantor. Sebenarnya, sebagai sesama pria dapat kulihat dengan jelas dari sorot mata Abdul, bahwa dia amat menyukai Fatma. Dimataku, Abdul adalah seorang yang baik, memiliki fisik yang lumayan, dan juga rajin beribadah. Bukan niatku untuk pamer atau menyombongkan diri. Hampir semua kelebihan yang ada dalam diri Abdul, bersemayam pula dalam diriku. Ngarai keberanianlah yang membuat diriku dan dirinya terlihat sangat bertolak belakang.
"Ayah menolak lamarannya," ucap Fatma ringan, seringan bulu ayam yang tertiup angin di kala senja.
Apa? Kunaikan sebelah alisku. Kelopak mataku tak hentinya mengerjap. Disana, di sudut hatiku--riuh dengan sorak-sorai bak pendukung Timnas sepak bola Indonesia yang sedang berlaga di stadion Gelora Bung Karno. Senyumku mengembang sempurna. Apakah hari ini adalah hari ulang tahunku? Aku rasa tidak. Tetapi mengapa hari ini aku mendapat banyak kejutan dari Fatma?.
"Apa kamu kecewa?" Betapapun gembiranya hatiku saat ini karena lamaran Abdul ditolak, alangkah baiknya kutanyakan keadaan hati sahabatku. Jujur, aku sangat mengkhawatirkannya.
"Kecewa?" Fatma menoleh sambil tersenyum miring. "Hey, Tenanglah, aku baik-baik saja. Lagipula, Abdul hanya kuanggap sebagai teman biasa." Dia tertawa renyah seraya menyenggol lenganku dengan sikutnya.
Tertawalah aku mengiringi tawa sahabatku. Huh, leganya hatiku. Meskipun masih terselip satu pertanyaan, kenapa lamaran Abdul bisa ditolak.
*
Sebulan telah berlalu sejak ditolaknya lamaran Abdul. Seperti biasa, aku dan Fatma memilih mampir ke kafe langganan kami daripada langsung pulang ke rumah.
"Al, kemarin malam, Pak Umar datang kerumahku."
Tunggu dulu, apa ini de javu? Di depan pelupuk mataku muncul sebuah kompas besar hasil imajinasiku, dengan jarum berwarna merahnya yang selalu menunjuk ke arah utara. Sebagai perumpamaan, jarum merah kompas adalah pikiranku dan arah utara adalah arah pembicaraan Fatma. Jadi, aku telah mengetahui kemana arah pembicaraan Fatma selanjutnya.
"Lalu." Lagi-lagi kuucap kata konyol itu untuk sekadar berbasa-basi menutupi kegelisahan di hati.
Pak umar adalah salah satu atasanku dan Fatma di kantor. Diusianya yang sudah berkepala tiga memang sudah sepantasnya ia berumah tangga. Kali ini sepertinya pilihan Pak Umar jatuh pada Fatma. Fatma memang bukan sosok primadona di kantor, tetapi dia memiliki aura yang tak bisa kujelaskan dengan kata. Aku yakin Pak Umar telah terhipnotis oleh pancaran aura Fatma, tak terkecuali diriku. Secara finansial, jelas Pak Umar masuk dalam kategori pria mapan. Sungguh berbanding terbalik dengan diriku yang hanya menjabat sebagai karyawan rendahan.
Telunjuk Fatma berputar menelusuri pinggiran cangkir. "Singkatnya, dia melamarku untuk menjadi istrinya."
Oh, beruntungnya diriku. Tebakanku seratus persen tepat, seharusnya aku mendapatkan sebuah bingkisan.
"Pak Umar bernasib sama seperti Abdul," lanjut Fatma.
Kedua alisku saling bertumbukan. "Maksudnya?"
"Ayah menolak lamaran Pak Umar." Fatma tersenyum simpul memandangi pantulan dirinya di atas cairan kopi.
Aku benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran Om Rahmat, bagaimana bisa dia melepaskan tangkapan besar yang dapat menjamin kemakmuran hidup putrinya kelak. Aku terus berpikir, sebenarnya menantu macam apa yang diidamkan Om Rahmat? Yang baik ditolak, yang kaya pun ditolak.
*
Langkahku gontai menyusuri jalanan menuju rumah Irul, tetangga sekaligus sahabatku sejak kecil. Kuketuk daun pintu rumahnya, berharap Irul segera membukakannya.
"Woy, Al, tumben main ke rumah. Aku pikir sudah lupa dengan sahabat tertampanmu ini." celetuk Irul dari balik pintu.
Mau tak mau aku tersenyum mendengar ucapan Irul. Dia mengajakku duduk di atas kursi rotan yang tersedia di teras rumahnya. Kurasakan angin menyapu lembut wajah senduku--menggoyangkan beberapa anak rambutku. Kutinjau pekatnya langit dan kudapati tak banyak bintang berkerlip, bulanpun masih tinggal sealis. Hanya orkestra jangkrik yang menyemarakan suasana malam ini.
"Rul, aku harus bagaimana?"
"Soal apa? Soal Fatma?"
"Memangnya apalagi?" Kulirik Irul malas. Sudah lama Irul mengetahui perasaanku pada Fatma, karena memang aku sering curhat padanya. "Start-ku telah dicuri oleh dua orang."
Tawa Irul pecah seketika. "Apa aku tak salah dengar? Berdiri di garis start saja kamu tak pernah."
Irul benar, aku masih terlalu jauh dari garis start. Bisa dibilang posisiku sekarang terpaku di barisan kursi penonton. Aku memang seorang pengecut yang tak berani berlari ke arah garis finish.
Kudengar helaan napas Irul. Ditepuknya pundakku cukup keras. "Al, setidaknya cobalah nyatakan perasaanmu. Ditolak, kemudian persahabatan kalian renggang sudah menjadi resikonya, daripada kamu terus terpuruk sepanjang hidup. Menyesali sikap 'tutup mulutmu' itu."
*
Berbekal sebongkah keberanian dan bermodalkan sekarung tekad--aku menjejakan kaki di depan kediaman Fatma. Kemarin, selepas memperoleh pencerahan dari Irul, semalaman kedua mataku enggan terpejam karena memikirkan ucapannya yang tak terbantahkan.
Kutarik napas sepanjang yang kumampu. Kurapalkan bismillah berkali-kali tanpa henti. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Berbagai macam pikiran memenuhi kapasitas otakku. Ragu-ragu kuketuk daun pintu berpelitur di hadapanku.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Sayup-sayup kudengar suara seorang gadis yang sangat kukenal. Bertambah guguplah diriku. Kedua tanganku mengepal kuat. Kepala Fatma menyembul begitu pintu dibuka. Dahinya berkerut, mungkin heran melihat wujudku. "Alif, kok tidak bilang aku dulu kalau mau ke rumah. Ayo masuk."
Aku hanya tersenyum kaku seraya mengekor di belakang Fatma menuju ruang tamu.
"Yah, ada Alif."
Di sofa ruang tamu, seorang pria berkacamata yang seusia dengan ayahku sedang membaca buku yang kutaksir ketebalannya lebih dari lima sentimeter. Ya, orang itu adalah Om Rahmat--ayahnya Fatma.
Om Rahmat membenarkan letak kacamatanya sambil melihatku. "Alif, lama tidak berkunjung kemari. Om sampai kangen, bagaimana kabarmu?"
Aku bergegas menghampiri Om Rahmat dan mencium punggung tangan kanannya. "Alhamdulillah, baik Om. Kabar Om sendiri bagaimana?"
"Seperti yang kamu lihat sekarang, Om juga baik-baik saja. Bagaimana kabar ayah dan ibumu?"
"Kabar mereka juga sama baiknya dengan saya, Om."
"Syukurlah. Ayo duduk jangan berdiri saja."
Aku mendudukan diriku di sofa berwarna krem yang berhadapan dengan sofa yang diduduki Om Rahmat. Meja berbentuk persegi panjang membentang memisahkanku dan Om Rahmat. Kulirik Fatma yang melenggang pergi menuju dapur. Kumulai bercerita pada Om Rahmat tentang keseharian ayah di rumah, setiap pagi ayah tak pernah luput memandikan si ucok--burung kesayangannya yang berjenis cucak rowo dan setiap menjelang petang ayah selalu memberi pelet pada ikan-ikan mas koi peliharaannya di kolam kecil belakang rumah.
Om Rahmat terkekeh begitu aku selesai bercerita. "Tahir memang tidak pernah berubah, dari dulu dia memang pecinta binatang."
"Om, ngomong-ngomong Tante Siti kemana? Kok saya tidak lihat."
"Ibu kalau jam segini sudah tidur, sudah kebiasaan. Mau aku bangunin?" seloroh Fatma dengan membawa nampan berisi secangkir kopi yang kemudian diletakannya di meja tepat di depanku. "Minum, Al. Tidak usah malu, biasanya juga malu-maluin."
Terbahaklah kami bertiga setelah mendengar celotehan Fatma.
Maaf, Fatma. Aku sedang tidak nafsu untuk minum ataupun makan sesuatu, karena yang ada dipikiranku hanyalah bagaimana caranya memintamu untuk menjadi istriku, sekarang juga di depanmu dan di depan ayahmu. Aku terus menyemangati diriku sendiri. Kupejamkan mata beberapa saat, satu detik, dua detik, tiga detik telah berlalu. Hingga terucaplah sebuah kalimat tulus nan suci dari bibirku.
"Om, saya ingin meminang Fatma menjadi istri saya." Kuucap kalimat tersebut dalam satu tarikan napas. Kutatap tajam Om Rahmat sebagai bukti kesungguhanku. Tak ayal, baik Om Rahmat maupun Fatma, keduanya sama-sama membelalakan mata.
Suasana berubah hening.
Om Rahmat mengayunkan pandangan ke arah Fatma yang duduk disampingnya. "Keputusannya ada di tangan Fatma, Al. Bila Fatma menerimamu, Om hanya bisa memberikan restu. Karena kebahagiaan Fatma adalah segalanya bagi Om." Tangan Om Rahmat bergerak membelai rambut di kepala putrinya yang tertunduk diam. "Apakah keputusanmu, Fatma?"
Aku menyadari sesuatu. Sebenarnya yang menolak lamaran Abdul dan Pak Umar bukanlah Om Rahmat, melainkan Fatma sendiri. Tetapi kenapa dia berbohong padaku? Katakanlah sesuatu Fatma, jangan hanya tertunduk dan membisu. aku telah menyiapkan hati dan diriku untuk jawaban terburuk sekalipun. Bahkan aku juga telah merelakan persahabatan kita yang tak akan sama lagi seperti sebelumnya. Aku hanya tak ingin menyesal karena terus-menerus memendam perasaanku, setidaknya tak ada beban di hatiku saat aku melihatmu bersanding di pelaminan dengan pria pilihanmu.
Om Rahmat beralih menatapku dengan lengkungan senyum diwajahnya. Diucapkannya kalimat yang bagiku sangat abu-abu.
"Selamat datang,Al."
Tak butuh waktu lama aku telah mengetahui maksud dibalik diamnya Fatma dan makna dibalik dua kata:
"Selamat datang."
||
Tamat
||
***
Jika ada diantara pembaca yang suka membaca kisah romansa muslim, sudah barang tentu mengenali kisah yang telah saya tulis di atas.
Ya, benar sekali, saya terinspirasi oleh kisah romansa yang Insya Alloh nyata, milik pasangan yang memiliki inisial nama A.B.A.T & F.A.B.M.
Bagi yang tidak berkenan saya mohon limpahan maaf yang sebanyak-banyaknya.
Terima kasih.
Wassalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
K.U.R.N