"Kalau begitu sebaiknya kalian makan dulu, aku sudah menyiapkan makan siang untuk kalian." Ucap Kirito mendekat kearah kami dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya.
Mereka segera keluar dari kamarku, tapi aku masih ingin bicara dengan Guren, mungkin ini kesempatan bagus untuk bertanya padanya.
"Ah Ichinose-san, bisa kita bicara sebentar." pintaku membuatnya berhenti dan menoleh kearahku.
"Tapi ojouchan belum makan kan?." Tanya Kirito.
"Nanti saja, ada yang ingin aku tanyakan pada Ichinose-san, Kirito kamu keluar dulu ya." Jawabku yang hanya ditanggapi anggukan kepala oleh Kirito sebelum dirinya menutup pintu
"Jadi apa yang ingin kamu bicarakan?." Tanya Guren menatapku yang saat ini sedang melihat sketsa di papan yang aku pegang.
"Kamu pasti sudah tau arah pembicaraannya kan?, sebaiknya kamu jelaskan apa yang sebenarnya terjadi Ichinose-san." Jawabku, meletakan papan itu diatas kasur lalu menatapnya.
"Kamu bilang kalau kamu tidak tau apapun soal ONS, tapi kenapa kamu sampai memanfaatkan Yuu-kun?."
"Sudah kuduga kalau kamu akan menanyakan hal itu, tapi ini demi kebaikan manusia."
"Kebaikan manusia ya, bukankah ini semua karena dirinya." Ucapku mengambil sebuah file dari laci, membukanya, lalu menunjukan sebuah biodata beserta foto seorang wanita bersurai ungu panjang disana.
"Kekasihmu Hiiragi Mahiru yang sudah dinyatakan meninggal, dia terlibat dalam penelitihan ONS kan." Lanjutku dan bisa aku melihat ekspresi wajah kaget darinya.
"Darimana kamu tau?."
"Seperti yang dikatakan oleh Ferid bahwa ayahku yang menangani kasus ini, dan itu semua adalah data yang dicari oleh ayahku, dia menemukan fakta bahwa Mahiru-san ikut ambil dalam bagian eksperimen itu, dan lagi-." Aku mendekat kearah Guren lalu menarik pedangnya tanpa dia sadari.
"Hey apa yang-."
"Kamu mengubahnya menjadi pedang iblis kan karena dia bukan lagi manusia, aku tak menyangkah kalau kamu sampai dikendalikan oleh Mahiru-san." Lanjutku yang sepertinya membuatnya marah dan mendekat kearahku serta mengepungku dengan meletakan kedua tangannya di kursi rodaku.
"Aku tidak dikendalikan olehnya."
"Lalu kenapa kamu menjadikannya pedang iblis?, apa kamu berencana untuk memanfaatkannya, atau ada tujuan lain?." Tanyaku menatap datar padanya, menghela nafas dia mengambil pedang itu dari tanganku lalu kembali memasukannya kedalam sarung pedang.
"Aku tak ingin membicarakannya."
"Baiklah aku tak akan bertanya lagi, tapi ingatlah Ichinose-san, Mahiru-san itu hampir sama seperti Kureto-san, dia akan melakukan apapun untuk memenuhi keinginannya, bahkan termasuk mengendalikanmu Ichinose-san, karena itu berhati-hatilah."
"Huh, apa ini kamu mengkhawatirkanku?." Tanya Guren mendekatkan wajahnya padaku sambil menyeringai.
"Hanya peringatan dari asisten tercintamu." Jawabku menggerakan kursi rodaku kedekat laci.
"Dan ngomong-ngomong soal Kureto-san, aku menemukan ini dilaci mejanya." Ucapku mengambil sebuah map dan melemparnya kearah Guren yang segera dia tangkap, dia membuka map itu dan melebarkan matanya saat membaca apa yang ada didalamnya.
"I-ini, ba-bagaimana bisa?."
"Aku tidak tau, mungkin karena dia tidak bisa mendapatkan Yuu-kun dia berencana untuk membuat satu lagi, tapi aku rasa ini masih dalam tahap rencana."
"Darimana kamu mendapat map ini?."
"Kamu tidak perlu tau, yang jelas Kureto-san melakukannya secara diam-diam dibelakang paman Tenri, dan ini akan sangat berbahaya jika dilakukan." Jawabku mendekat kearahnya dan berhenti tepat didepannya.
"Itulah sebabnya aku selalu mengatakan padamu, jangan sampai kamu berubah menjadi Kureto-san yang sangat ambisius, karena orang itu akan melakukan segalanya untuk mencapai apa yang dia inginkan, bahkan walau harus mengambil nyawa orang lain, ini hampir sama seperti Mahiru-san, aku mengharapkan banyak hal padamu Ichinose-san, dan juga kamu sudah menganggap Yuu-kun sebagai anakmu sendiri kan?, karena itu tolong jaga Yuu-kun dan jangan sampai kamu menyakitinya." Lanjutku menggenggam tangan kirinya sambil tersenyum, dan tiba-tiba saja dia memelukku cukup erat dengan tubuh sedikit bergetar.
"Jangan mengatakan hal itu seolah kamu akan mati."
"Aku hanya ingin mengatakan apa yang aku pikirkan saja, lagian aku gak mungkin mati semudah itu." Jawabku begitu Guren melepas pelukannya dan menatapku.
"Kamu tidak berubah ya, dari kecil sampai sekarang kamu benar-benar tidak berubah." Ucapnya sambil tersenyum yang malah membuatku bingung, loh memangnya kita pernah bertemu sebelumnya?.
Menyadari kebingunganku barusan membuat Ichinose menghela nafas dan kembali memandangku dengan wajah yang sedikit memerah.
"Sepertinya kamu melupakannya ya, mungkin hal ini bisa mengingatkanmu." Guren pun mendekatkan wajahnya padaku dan saat itulah dia mencium bibirku, tentu hal itu membuatku syok, kaget, dan gak tau apa yang harus aku lakukan. Begitu dia melepasnya, Guren kembali mencium keningku membuatku teringat akan seorang pemuda bersurai hitam yang menolongku ditengah salju waktu itu, jangan-jangan pemuda yang waktu itu.
"...Ichinose-san, pemuda itu Ichinose-san?."
"Sepertinya kamu sudah ingat, tak kusangkah kamu melupakannya, padahal aku masih mengingatnya dengan jelas." Ucap Guren tersenyum kearahku yang wajahnya sudah memerah lantaran ciuman tadi.
"La-la-lalu kenapa kamu menciumku dasar bodoh." Omelku sembari memukul perutnya hingga membuatnya tersungkur sambil memegangi perutnya.
"Ukh aku tak menyangkah pukulanmu menyakitkan juga, aku hanya ingin membuatmu ingat itu saja, jangan bilang kalau itu ciuman pertamamu."
"K-k-ka-kamu..."
"Ternyata benar ya." Ucap Guren sambil menggaruk belakang kepalanya lalu menghela nafas. Seharusnya aku yang menghela nafas disini, sudah mencuri ciuman pertamaku gak mau minta maaf lagi.
"Maaf, aku hanya tidak tahan melihat senyumanmu barusan, aku seperti melihat kamu akan pergi selamanya dari dunia ini, karena itu aku tak bisa menahanya."
Flashback Guren Pov~
Saat pertama kali bertemu dengannya ketikah Rexa masih kecil, aku melihat wajah yang sangat polos sedang duduk sendirian di tengah salju sambil mengadahkan tangan menyambut salju yang jatuh dari langit. Aku berpikir apa ada malaikat yang meninggalkan anaknya disini, menatap sekeliling aku memutuskan untuk mendekat kearah gadis itu.
"Hey apa kamu sendirian disini?." Tanyaku pada gadis kecil bersurai biru panjang yang langsung menatapku dengan iris biru velvetnya, terlihat seperti warna langit saat pagi hari. Gadis itu hanya terdiam dengan wajah sedikit ketakutan lalu menundukan kepalanya.
"A-ano, okaa-sama bi-bilang kalau aku tidak boleh berbicara dengan orang asing." Jawabnya terkesan seperti bisikan tapi masih terdengar jelas ditelingaku, membuatku terkekeh dan memutuskan untuk duduk disampingnya.
"Kamu gadis yang pintar, tapi aku bukan orang jahat walau wajahku kurang meyakinkan sih, tapi sedang apa kamu malam-malam disini?, kamu bisa sakit kalau gak segera pulang."
"E-etto, aku sedang menunggu otou-sama menjemputku, tapi sepertinya dia sedikit terlambat jadi aku menunggunya."
"Sudah berapa lama?."
"Aku tidak tau, rasanya lama sekali, aku bahkan tak bisa merasakan jari-jariku." Jawabnya sambil menatap kearah tangannya yang baru aku sadari tak berbalut apapun, maksudku dia gak pakai sarung tangan dan tangannya terlihat sangat pucat juga gemetaran.
"Bodoh, kenapa kamu tak memakai sarung tangan?." Omelku menggenggam tangan gadis itu yang sudah dingin seperti es.
"Se-sepertinya okaa-sama lupa membawakannya." Menghela nafas, aku melepas mantel yang aku gunakan lalu berjongkok didepannya.
"Naiklah, aku akan mengantarmu pulang, sepertinya ayahmu tak akan menjemputmu karena ini sudah larut malam."
"Ta-tapi-."
"Sudah turuti saja, lagipula aku tak bisa meninggalkan gadis cantik sepertimu mati disini." Ucapku tersenyum kearahnya, bisa kulihat wajahnya bersemu merah dan menjawab dengan anggukan kepala, dia terlihat sangat imut.
Setelah dia naik dipunggungku, aku kembali memakai mantelku untuk menutupi tubuh gadis kecil itu lalu berjalan keluar dari area taman.
"Aku belum tau namamu?." Tanyaku mencoba mencari tau siapa gadis kecil ini.
"Apa tuan akan membawaku pulang jika aku mengatakannya?, karena okaa-sama bilang kalau aku mengatakan namaku pada orang asing, mereka akan melukaiku."
"Untuk apa aku melakukannya, katakan saja siapa namamu."
"Phantomhive."
"Huh?."
"Aku anak dari keluarga Phantomhive." Jawabnya mengeratkan pelukannya pada leherku, keluarga Phantomhive?, jadi anak ini adalah anak dari pasangan Arthur Phantomhive dan Haruka Phantomhive, tak heran kalau dia memiliki wajah seperti ayahnya.
"Begitu ya, jadi itu alasan kenapa kamu tak memberitauku namamu, kamu benar-benar pintar ya, aku berjanji akan membawamu kembali keayahmu." Ucapku menoleh kearahnya sambil tersenyum membuatnya menatapku terkejut sebelum digantikan senyuman diwajahnya.
"Terima kasih, kamu sangat baik padaku tuan." Jawabnya riang yang berhasil melelehkan hatiku, anak ini begitu imut dan manis, aku jadi...ah tidak Guren kendalikan dirimu, dia ini hanya anak-anak, gak mungkin kalau aku menyukainya.
"Ano tuan, kita sudah sampai." Ucap gadis itu membuatku segera tersadar dan menoleh kesebelah kiri dimana sebuah gedung pencakar langit bertuliskan 'Funtom Company' tertulis ditemboknya.
Segera saja aku melepas mantelku dan menurunkan anak itu dari punggungku, sementara anak itu segera mendekati seorang pria yang merupakan petugas disana, berbincang-bincang sebentar sebelum pandangannya beralih padaku. Dia mendekatiku dengan wajah riang lalu memelukku (lebih tepatnya memeluk kakiku).
"Paman petugas itu bilang kalau otou-sama ada didalam dan masih rapat, terima kasih oniichan karena sudah mengantarku." Ucapnya sambil tersenyum lebar membuatku juga ikut tersenyum lalu mengelus surainya.
"Syukurlah kalau begitu."
"Oniichan tidak mau masuk kedalam?."
"Tidak aku harus segera pulang, tapi sebelum itu." Entah apa yang merasukiku tapi tubuhku bergerak dengan sendirinya mencium kening gadis kecil yang nampak terkejut dengan aksiku barusan. Tapi aku langsung tersadar atas apa yang aku lakukan dan menarik wajahku yang sudah memerah lalu pergi meninggalkan gadis itu tanpa mengatakan apapun, ukh apa yang baru saja aku lakukan?, mencium seorang gadis berusia 5th?, aku pasti sudah gila.
'Tapi aku ingin bertemu lagi dengan anak itu.'