The Lost Institute [COMPLETED]

By zendinashlee

3.5K 162 16

Semuanya berawal dari mimpi buruk. Kemudian kecelakaan yang disengaja itu terjadi, menyebabkan mereka terjeba... More

Bagian 1 - Intro
Bagian 2 - Trouble Comes
Bagian 4 - Village Life
Bagian 5 - He's Gone
Bagian 6 - You're the Choosen
Bagian 7 - Run
Bagian 8 - One by One
Bagian 9 - New Friend
Bagian 10 - Love
Bagian 11 - Rosie's Turn
Bagian 12 - The Plan
Bagian 13 - Save Axel
Bagian 14 - Jace or Jace?
Bagian 15 - Deathly Rituals
Bagian 16 - You Are Valuable
Bagian 17 - Shadow World

Bagian 3 - The Woods

206 10 0
By zendinashlee

Matahari sudah mulai berjalan ke arah barat, tak lama lagi ia akan turun. Kira-kira sekarang ini pukul empat sore. Sinarnya tak akan terlihat lagi tertutup awan hitam yang sudah menunggu datangnya malam. Kemudian Ia akan muncul lagi esok hari, dengan cahayanya yang mampu menyinari seluruh isi bumi itu. Udara di sekitar tempat itu terasa sangat dingin, itu karena letak geologisnya yang berada di perbukitan. Pohon-pohon pinus yang tumbuh menjulang sangat tinggi di seisi hutan itu membuat cahaya yang tersisa dari matahari sulit untuk masuk, menjadikan hutan itu penuh dengan kegelapan. Menakutkan sekali bukan?

Gadis berambut cokelat itu mulai menggerakan jari-jarinya. Keempat temannya yang lain masih tak sadarkan diri di dalam mobil yang telah hancur itu. Ia pun menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri, kemudian ke depan. Sepertinya Ia sedang mencari sesuatu yang seharusnya ada di samping tempat Ia duduk. Ia pun mengangkat tubuhnya, mengubah posisinya agar bisa duduk. Sedikit demi sedikit gadis itu membuka matanya.

Pandangannya masih sangat kabur, yang Ia lihat hanyalah kegelapan. Ia pun menutup dan membuka kedua matanya beberapa kali. Semakin lama pandangannya semakin jelas. Ia bisa melihat pohon besar tepat di depannya, kedua teman laki-lakinya yang berlumuran darah, dan keadaan sekelilingnya yang hanya ada pepohonan.

"Apa aku telah mati?" Batinnya berkata. Ia seperti orang linglung. Jantungnya mulai berdebar dengan kencang karena ketakutan yang menyelimuti hatinya. Gadis itu adalah Rosie Pearce.

Ia kemudian menoleh ke samping kanannya. Ia sangat terkejut melihat di sebelahnya kosong, tidak ada siapa-siapa. Kemana perginya Axel? Seharusnya Axel ada di samping Rosie, tetapi kini Ia menghilang. Rosie pun melihat pintu mobil sebelah kanan telah terbuka dengan sangat lebar. Ternyata daun pintunya terlepas dari engselnya. Mungkin karena benturan tadi, pikir Rosie.

Tanpa berpikir lebih panjang lagi, Rosie langsung keluar dari mobil itu dengan gerakan cepat. Ia pun berdiri tepat di samping mobil itu, kemudian mengengok kanan dan kiri mencari teman laki-lakinya itu. Namun yang Ia lihat hanyalah pohon dimana-mana, sepertinya memang tidak ada orang disana. Ia tak menyerah, kemudian Ia berlari memutari mobil menuju sisi kirinya. Dan ternyata hasilnya pun tak ada, memang tidak ada seorangpun di tempat itu kecuali dia dan ketiga temannya yang lain.

"AXEL—!!!"

Rosie beberapa kali meneriakkan nama Axel. Namun tak ada suara lain selain hewan-hewan malam. Suaranya yang sangat bising itu sedikit mengganggu pendengaran. Tetapi Rosie tak berhenti sampai disitu, Ia pun kembali meneriakkan nama Axel. Siapa tahu dia akan menunjukkan batang hidungnya.

Ternyata suara teriakkan Rosie tak hanya membuat hewan di sekitarnya ketakutan, Jace pun mulai tersadar.
Jace mengangkat kepalanya dari roda kemudi dan menghempaskan tubuhnya ke belakang, melemaskan otot-ototnya yang kaku. Kepalanya terasa sangat sakit karena benturan keras itu. Ia pun bisa merasakan keningnya perih karena terluka, bahkan darahnya hampir memenuhi pipi sebelah kanannya. Lalu Ia menoleh ke arah kirinya. Terlihat ada seorang gadis berdiri di sana, tentu saja itu Rosie. Jace pun langsung bergegas keluar dari mobil. Ia kemudian berlari menghampiri Rosie yang masih berteriak memanggil Axel.

"Rosie..." Ucap Jace dengan nada lemas.

Rosie pun menoleh ke belakang. "Axel hilang, Jace."

Jace sedikit terkejut mendengar hal itu. Tiba-tiba saja kepalanya menjadi sangat pusing, Ia pun memegang kepalanya dan menjambak rambutnya sendiri. "Mungkin Ia sedang buang air."

"Aku memanggilnya berpuluh-puluh kali, Jace. Jika Ia buang air, pasti Ia mendengar suaraku."

Rosie sedikit kesal dengan respon Jace yang hanya menganggap ini hal sepele. Tentu saja ini bukan masalah buang air. Bagaimana jika Axel tersesat? Bagaimana jika hal buruk terjadi padanya? Bagaimana jika binatang buas memakannya? Atau apapun! Masalahnya adalah, mereka ada di hutan, dan mereka tak tahu mana timur, mana barat, mana utara, maupun selatan. Apalagi untuk melarikan diri dari tempat itu. It's impossible. Mereka telah terperosot cukup dalam dan sangat jauh dari jalan raya. Akan sangat sulit untuk mendaki bukit tersebut sendirian.
Jace pun hanya diam. Memikirkan apa yang harus mereka lakukan.

Masalah awalnya adalah mereka kini berada di tengah hutan dan tak tahu arah kemanapun, sekarang ditambah lagi dengan masalah hilangnya Axel. Rencana camping itu pun gagal total, sekarang untuk memikirkan apa yang harus dilakukan pun tak bisa, apalagi menyempatkan membuat tenda? Sekarang Axel hilang, tak mungkin juga mereka akan tetap berada di tempat itu. Jace kemudian bergegas membangunkan Nat dan Diana, semoga saja mereka masih kuat. Ia pun mengguncang tubuh Nat yang tersungkur ke depan. Sedikit demi sedikit Nat membuka matanya dan bergerak, syukurlah. Lalu Jace berpindah ke bagian belakang, Ia pun melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya kepada Nat. Ia berusaha membangunkan Diana. Beberapa saat kemudian, Diana mulai terbangun, sesekali Ia merengek kesakitan akibat benturan tadi.

Setelah kedua temannya itu terbangun, Jace kembali mendekati Rosie yang masih saja berteriak memanggil Axel. Tapi tetap saja Axel tak menyahut, apalagi menunjukkan batang hidungnya.

"Dia itu pergi kemana?" Rosie berbalik badan, menyadari bahwa Jace sudah berdiri di belakangnya. Raut wajahnya menunjukkan jika Ia benar-benar khawatir dengan Axel.
Jace adalah orang yang paling tidak tegaan jika melihat temannya sedih. Melihat Rosie sedikit merengek, Ia pun langsung memeluk Rosie dan mencoba menenangkannya. Seperti biasa.

"Kita akan cari dia. Kau tak usah khawatir, kita akan pergi dari tempat ini secepatnya." Bisik Jace sambil mengelus kepala Rosie. "Aku janji, secepatnya, Rosie."

Beberapa detik kemudian, terdengar suara langkah kaki yang terbata-bata. Jace pun langsung melepas pelukannya dan menoleh ke belakang.
Oh, ternyata Nat. Ia sedang membantu Diana untuk berdiri dan berjalan mendekati Jace dan Rosie. Kaki Diana memang sedikit terdesak seat depan ketika benturan itu terjadi, pasti kakinya akan memar nantinya. Karena Diana kesulitan berjalan, Nat dengan sigap langsung menggendongnya di belakang lalu berjalan mendekati Jace. Padahal tubuhnya sendiri juga tak sekuat awalnya, tentu saja tubuhnya terasa sakit karena kecelakaan itu. Tapi tak apa, demi sahabat perempuannya.

"Apa yang terjadi?" Tanya Nat sambil menurunkan Diana dengan hati-hati. Diana pun duduk di atas rerumputan sambil meluruskan kakinya. Melihat itu, Rosie pun jongkok untuk sedikit memijit kaki Diana. Siapa tahu akan jadi lebih baik.

"Axel..." Ucap Jace. Ia pun menghela nafas lalu membuangnya lewat mulut. "Entah Ia pergi, atau diculik, atau apa. Yang jelas Ia menghilang."

"Kita tersesat dan sekarang Axel hilang? Sengsara sekali hidup ini?" Nat menggerutu. Ia jadi terbawa emosi karena hal ini.

"Hush! Kau tak boleh mengatakan hal seperti itu, Nat!" Rosie pun angkat bicara. Ia langsung berdiri dan berjalan menuju mobil untuk mengambil kotak kesehatan.

Ia kesal juga melihat Nat yang hanya bisa marah-marah. Bahkan ketika kecelakaan itu terjadi, dia lah yang paling ribut. Menyalahkan Jace, menyalahkan Axel juga. Sampai akhirnya mereka terlibat adu mulut dan mengeluarkan kata-kata kotor.

Rosie pun membuka kotak tersebut. Ia mengambil beberapa plester dan kain kasa, tak lupa alkohol untuk membersihkan luka tersebut agar tidak infeksi. Meskipun akan sangat perih jika memakai alkohol secara langsung, tetapi bagaimana lagi? Hanya ada cairan itu di dalam kotak.

Rosie membasahi kapas dengan cairan alkohol itu, kemudian Ia usapkan ke permukaan kulit Diana yang terluka. Sontak saja Ia langsung berteriak karena rasa perih yang teramat sangat. Rosie juga tahu bagaimana rasanya, tapi kini Ia berusaha untuk tega karena adanya luka itu dapat menghambat mereka mencari Axel dan jalan keluar dari hutan.

Nat sesekali merengek kesakitan, dengan berani Ia mengusap  lukanya sendiri dengan kapas yang dibasahi cairan alkohol, begitupun dengan Jace. Setelah Rosie selesai dengan Diana, kini giliran Ia sendiri yang membersihkan lukanya, untung saja lukanya tidak separah teman-temannya yang lain. Hanya beberapa luka karena gesekan di lengannya. Ia pun membuka jaketnya dan melihat luka-luka yang ada di tangannya. Ada satu luka yang cukup membuatnya heran. Luka itu seperti luka akibat benda tajam, atau bahkan cakaran kuku. Ia pun langsung mengambil jaketnya kemudian melihat bagian lengan kanannya. Benar saja, bagian lengan jaket tersebut sobek. Padahal jaket itu adalah jaket kulit, pasti benda yang menyangkut di jaketnya sangat tajam. Tapi benda semacam apa? Yang duduk di sebelahnya adalah Axel bukan?

Jace pun sudah selesai membersihkan lukanya. Tak mau lama-lama berada di tempat itu, Ia pun segera pergi menuju mobil. Ia membuka bagasi di bagian belakang. Kemudian diambilnya beberapa tas dari dalam bagasi tersebut. Ia hanya mengambil tas yang berukuran sedang, sengaja agar tas-tas tersebut mudah untuk dibawa karena bisa digendong dan tidak terlalu berat. Sedangkan tas-tas besar berisi tenda, alat-alat untuk memasak, dan lainnya ditinggal dalam bagasi tersebut.

Tak lupa, Jace juga membawa beberapa alat perlindungan untuk berjaga-jaga, kalau sewaktu-waktu ada binatang buas yang datang. Ini adalah hutan, apapun bisa saja terjadi di dalam hutan. Tetapi kebanyakan bukan hal yang baik, maka dari itu mereka harus berjaga-jaga. Jace membawa tas-tas milik temannya itu ke tempat mereka berdiri.

"Kita harus cepat. Hari sudah mulai gelap." Jace melemparkan tas-tas itu ke atas rerumputan. Sedikit kasar memang. Sebenarnya Ia sedang sangat marah dengan apa yang sedang dialaminya sekarang ini. Tapi Ia berusaha untuk meredakan emosinya itu, jika Ia meluapkannya maka keadaan mereka akan semakin sulit.

Warna orens telah menyelimuti langit, tanda hari mulai gelap. Melihat itu, mereka pun bergerak dengan cepat. Mereka segera menggendong tas mereka masing-masing. Diana pun sudah bisa berdiri, walaupun Ia masih kesulitan untuk berjalan. Nat dengan sigap membantu temannya itu, Ia memapahnya agar bisa berjalan dengan cepat. Kini mereka mulai melakukan perjalanan.

Awalnya mereka harus memutuskan untuk berjalan ke arah kanan atau ke arah kiri dengan melempar koin, karena mereka sama sekali tak tahu arah di hutan. Ternyata alat kecil seperti kompas begitu berarti ketika sedang berada dalam keadaan seperti ini. Tapi sayangnya mereka meremehkan hal itu. Dan pada akhirnya pun mereka berjalan ke arah kanan, karena yang sebelah kanan pasti baik.

Mereka terus berjalan lurus. Rosie dan Jace berjalan di depan, sedangkan Nat yang membantu Diana berjalan mengikuti di belakang. Rosie yang sangat khawatir itu tak henti-hentinya berteriak memanggil Axel. Namun tetap saja yang Ia dengar hanyalah suara hewan-hewan malam.

Jace masih diam, tak berkata apa-apa. Yang Ia lakukan hanya menengok ke kanan dan ke kiri, menyebar pandangannya ke seluruh penjuru hutan mencari batang hidung teman seperjuangannya itu. Entah kemana perginya Axel, bagaimana bisa Ia pergi sejauh ini padahal keadaannya sedang tak baik? Ia tentu saja mengalami benturan keras akibat kecelakaan itu, tetapi anehnya Ia bisa berlari sampai sejauh ini. Jika binatang buas yang menyerangnya ketika di mobil, kenapa binatang itu tidak menyerang yang lain juga? Atau jika Axel memang pergi buang air, pasti Ia pergi tak jauh dari mobil. Sedangkan jika ketika Axel buang air lalu ada binatang buas yang menerkamnya, pasti ada jejak di sekitar tempat itu.

Sekarang ini mereka mempunyai spekulasi yang berbeda-beda tentang hilangnya Axel. Ditambah lagi mereka tak tahu apa yang harus mereka lakukan setelah ini. Mereka benar-benar dalam keadaan yang sangat sulit, sampai-sampai otak mereka tak bisa berpikir dengan baik. Mereka berniat akan kembali ke mobil jika hari sudah gelap nanti. Tetapi tidak sebelum mereka menemukan Axel.

Akhirnya langit mulai menghitam. Sebentar lagi bulan akan muncul dan menerangi bumi, menggantikan matahari. Meskipun sinarnya tak seterang matahari, setidaknya bulan itu bisa menerangi perjalanan Jace dan kawan-kawan. Sudah satu jam lebih mereka berjalan, entah sudah seberapa jauh dari tempat kecelakaan itu. Mungkin lebih dari seribu langkah. Sepanjang perjalanan itu mereka tak mengobrol sama sekali. Mereka tak punya waktu untuk membicarakan hal-hal yang tak penting. Yang ada dipikiran mereka hanya Axel, Axel, Axel, dan Axel. Rosie masih saja sibuk memanggil-manggil nama Axel, sesekali Nat dan Jace juga membantunya. Diana masih diam, hanya bisa mendesah kesakitan karena kakinya yang terkilir.

"This is hopeless." Ucap Diana dengan suaranya yang sedikit bergetar.

Jace langsung menoleh ke belakang. "Stay positive, Diana. Kita akan menemukan Axel, bagaimanapun keadaannya."

Diana pun kembali mengunci mulutnya. Dia pasti telah menghabiskan seluruh kekuatannya untuk berjalan sejauh ini. Kakinya itu perlu pengobatan serius, tetapi hal itu tidak bisa dilakukan sekarang. Mana ada rumah sakit atau klinik di tengah hutan seperti ini? Sebuah desa pun tak terlihat sama sekali disini. Yang ada hanyalah pohon-pohon tinggi yang memenuhi hutan tersebut.

Suasana hutan itu sedikit menakutkan karena gelapnya malam. Jace pun menyalakan senter yang Ia bawa  untuk menerangi jalan, siapa tahu ada binatang buas yang menghadang mereka di depan. Kini mereka semua sama-sama diam. Mungkin Rosie mulai lelah berteriak, Ia hanya menengok kanan dan kiri saja.

Jace menggerakkan senter itu secara menyebar, mulai dari ujung kanan sampai ujung kiri. Tiba-tiba Ia menghentikan langkahnya. Ia menghentikan senternya pada sebuah pohon. Satu detik kemudian Rosie, Nat, dan Diana pun ikut berhenti seraya menanyakan ada apa. Mereka masih sama-sama diam, Jace seakan memberi isyarat agar yang lain melihat ke arah pohon yang ditunjuknya menggunakan senter. Rosie pun paham, Ia langsung melihat pohon itu.

Sedikit tercengang memang. Ia melihat ada seseorang sedang duduk di bawah pohon tersebut. Dari postur tubuhnya, sepertinya Ia seorang laki-laki. Orang itu sedang meluruskan kakinya, kepalanya bersandar pada badan pohon. Takut? Tentu saja.

Mereka berpikir sejenak untuk memutuskan menghampiri orang tersebut atau meninggalkannya. Orang itu tentu saja tahu jika Jace sedang menunjuknya menggunakan senter, tetapi Ia tak berkata apapun. Apa Ia sudah tak bernyawa? Apakah orang itu Axel? Atau orang jahat? Atau seorang pemburu? Atau makhluk lain yang bukan manusia?

Jika mereka menghampiri orang tersebut, mereka bisa menanyakan sesuatu jika, itupun jika ia masih hidup dan memang benar-benar manusia. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk menghampiri orang itu.

Dengan langkah yang pelan namun pasti, mereka bergerak mendekati orang tersebut. Diana tak berhenti mendesah ketakutan, sampai Nat harus menutupi wajah Diana agar rasa takutnya sedikit terobati. Rosie berjalan paling depan, diikuti Jace yang sudah bersiap-siap dengan sebuah batang pohon untuk memukul orang itu jika Ia bertindak yang tidak-tidak atau menyerang mereka.

Langkah mereka pun semakin dekat, kurang lebih tiga langkah lagi mereka sampai pada orang itu. Rosie pun menoleh ke belakang, meminta pendapat Jace untuk maju atau tidak. Jace menganggukkan kepala, seraya mengisyaratkan bahwa Ia akan maju ke sisi sebelahnya. Rosie kembali menghadap ke depan dan mulai melangkah. Di saat yang bersamaan, Rosie dan Jace berdiri tepat di depan orang itu. Mereka sangat terkejut.

"Axel?—!!!"

Mendengar itu Nat dan Diana mempercepat langkah mereka. Jace dan Rosie langsung menurunkan badan mereka dan berjongkok di depan laki-laki yang ternyata adalah Axel itu. Jace pun melempar kayu yang tadinya akan Ia gunakan untuk memukul orang tersebut.

Rosie merasa sangat lega telah menemukan Axel. Namun melihat keadaannya, Ia sedikit merasa sedih. Axel tampak sangat mengenaskan, tubuhnya penuh dengan darah, terutama bagian wajahnya, yaitu bagian mulut. Tubuhnya sangat lemas, nafasnya pun tak terkontrol dan mengeluarkan suara yang serak basah. Seperti habis berlari jauh. Jaket yang Ia pakai bahkan sudah tak berbentuk lagi, banyak robekkan dimana-mana. Namun Rosie masih bersyukur mereka bisa menemukan Axel dalam keadaan masih hidup. Meskipun awalnya mereka sempat kehabisan harapan.

"Apa yang terjadi?" Tanya Rosie sambil mengusap pipi Axel dengan lembut.

Axel pun tak menjawab. Untuk menopang tubuhnya sendiri saja Ia sangat kesulitan, ia begitu lemas. Nafasnya tak kuat untuk mengeluarkan suara. Rosie pun membuka isi tasnya dan mengambil sekotak tissue. Ia pun menarik beberapa lembar tissue tersebut kemudian diusapkannya ke wajah Axel. Entah apa yang telah terjadi dengan teman laki-lakinya itu. Begitu banyak darah di sekujur tubuhnya. Apa dia habis diserang binatang buas? Sepertinya memang begitu. Wajahnya menunjukkan ketakutan luar biasa yang menyelimuti hatinya.

Sayang sekali, Axel tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa mendesah kesakitan karena keadaannya yang sangat mengenaskan. Ia perlu dibawa ke rumah sakit secepatnya, jika menunggu sampai besok, Rosie tak yakin Axel bisa bertahan. Begitu juga dengan Jace, Nat, dan Diana.

Mereka mulai berpikir kembali. Bagaimana caranya agar Axel bisa mendapat pengobatan secepatnya. Itu memang hal yang mustahil mengingat mereka sedang berada di tengah hutan belantara. Jalan satu-satunya hanya menunggu sampai besok. Mereka akan mendaki tanah curam itu untuk sampai di jalan raya. Sepertinya memang itulah solusinya.

Beberapa saat kemudian, Jace berdiri. Ia pun berbalik badan dan maju beberapa langkah ke depan. Ia melihat ada asap putih yang terbang lurus ke atas, seperti berasal dari perapian. Jace pun maju beberapa langkah lagi. Ia sedikit memicingkan matanya untuk memperjelas apa yang Ia lihat. Sebenarnya Ia sedikit tak percaya, tapi yang Ia lihat adalah sebuah tempat dengan banyak rumah. Sepertinya itu sebuah desa.

"Sejak kapan ada sebuah desa disana?" Celetuk Jace beberapa detik kemudian. Mendengar itu, Nat bergegas menghampiri Jace. Ia pun berdiri di sebelahnya.

"Aku tak yakin." Ucap Nat sambil menaruh telapak tangannya tepat di atas kedua matanya. "Itu sebuah desa bukan? Kenapa kita tidak melihatnya sejak tadi?"

Jace menoleh, "Itulah kenapa aku bertanya padamu."

"Hey, kalian tak usah mempeributkan sejak kapan adanya desa itu. Lebih baik kita bawa Axel kesana, pasti disana ada sebuah tempat pengobatan." Rosie pun angkat bicara.

"Are you sure? Rosie, mungkin yang aku lihat itu hanya fatamorgana." Jawab Jace. Saat itu juga, Rosie berdiri. Ia begitu kesal dengan Jace yang sejak tadi terus menyepelekan masalah ini.

"Bukan, Jace. Itu memang sebuah desa." Sahut Nat seakan memojokkan posisi Jace.

"C'mon guys. Aku sedikit tak yakin dengan ini, mungkin itu adalah orang pedalaman hutan ini. Bagaimana jika mereka tidak bisa menerima kita? Kita bisa mati disana." Jace pun menjelaskan.

"Kita tak akan tahu jika kita tak mencoba, Jace. Kau perlu dipertanyakan, kau tega melihat temanmu ini sekarat?" Rosie mulai menggunakan nada tinggi, emosinya pun naik.

"Rosie, ini bukan masalah tega atau tidak. Rencana awalnya kita akan kembali setelah menemukan Axel bukan? Jadi lebih baik kita kembali ke mobil dan berteduh disana." Sanggah Jace tetap pada pendiriannya. "I think it's more safe."

"Memang, tapi jika menunggu sampai besok, aku tak yakin Axel bisa bertahan. Kau lihat? Keadaannya sangat tak wajar." Ucap Rosie.

"Rosie benar, Jace. Setidaknya di desa itu kita bisa minta bantuan." Diana mulai mengeluarkan suaranya. Ia masih sesekali merengek karena kakinya sakit. "Sekaligus mencari makanan. Ngomong-ngomong aku lapar."

Jace pun memutar kedua bola matanya. Tetapi kalau dipikir-pikir benar juga, tak disadari ternyata lambungnya mengisyaratkan untuk memasukkan makanan ke dalam perut. Ia pun menoleh, kembali melihat desa itu. Memastikan bahwa desa itu memang sebuah desa selayaknya desa lain. Maksudnya, desa itu bukan hanya ilusi, mengingat mereka sedang berada di hutan, apalagi desa itu tak pernah terlihat sejak awal mereka sampai di hutan tersebut. Kalau memang desa itu tidak tiba-tiba muncul, seharusnya mereka sudah melihat tempat itu sejak tadi karena mereka berjalan berada di perbukitan, sedangkan desa itu berada di tempat yang rendah dari tempat Jace dan kawan-kawan berdiri.

Melihat keempat temannya kesusahan, Jace tentu saja tak tega. Jika Ia memaksakan kehendaknya untuk kembali ke mobil, teman-temannya akan tambah kesulitan. Axel juga sangat membutuhkan pertolongan, di samping itu mereka juga lapar. Tidak mungkin mereka akan menahan lapar selama semalam, itu akan menyulitkan perjalanan pulang mereka besok.

"Baiklah." Ucap Jace kemudian. Ia tampak sangat lelah, nada bicaranya mulai turun. "Kita akan kesana."

Mengingat langit sudah gelap, mereka pun bergerak cepat. Mereka segera berdiri dan menggendong tas mereka masing-masing. Jace pun berjalan mendekati Axel yang masih terkulai lemas di atas rerumputan. Ia kemudian membantu Axel agar bisa berdiri. Ia menaruh tangan kanan Axel di bahunya untuk pegangan, sedangkan tangan kirinya dilingkarkan di bahu Rosie. Tubuh Axel benar-benar lemas, Ia tak mempunyai kekuatan untuk melakukan gerakan apapun. Bahkan untuk berdiri saja Ia sangat kesulitan, sampai Jace dan Rosie harus memapahnya di samping kanan dan kiri.

Begitupun dengan Diana. Ia masih saja kesulitan untuk berjalan, bahkan Nat harus memapahnya sejak awal mereka berjalan sampai di tempat ini. Dan sekarang Ia harus memapah Diana untuk berjalan kembali sampai ke desa itu. Tapi tak apa, itu semua demi sahabat perempuannya.

Mereka kini mulai berjalan. Langkah mereka tak bisa secepat tadi, mengingat Axel yang sama sekali tak bisa berjalan. Pelan-pelan namun pasti. Suasana di hutan itu sedikit menakutkan karena gelapnya malam. Entah sudah pukul berapa sekarang ini, jam tangan yang Jace pakai sudah tak berfungsi lagi. Bulan pun telah muncul bersama bintang-bintang kecil di sekitarnya dengan latar belakang warna hitamnya langit. Pemandangan itu begitu indah. Orang bilang jika ada banyak bintang di langit, itu tandanya akan ada udara dingin. Tapi itu memang benar, semakin lama udara di hutan tersebut semakin dingin. Untung saja mereka semua memakai jaket, sedikit bisa menghangatkan tubuh mereka yang masih dalam perjalanan menuju desa tersebut.

Langkah mereka semakin dekat dengan desa itu. Kurang lebih tinggal sepuluh meter lagi mereka akan sampai. Mereka pun mempercepat langkah agar bisa sampai disana dengan segera. Melihat keadaan sekitar mereka telah diselimuti oleh kegelapan. Mereka juga sudah sangat lelah, rasanya ingin cepat-cepat merebahkan tubuh di atas ranjang kemudian tidur dengan nyenyak. Oh, tapi nanti dulu! Mereka harus makan, perut mereka kosong dan itu tidak bisa dibiarkan. Tentu tak akan nyenyak jika tertidur dalam keadaan lapar bukan?

Dari jarak dekat, desa itu terlihat sangat megah. Sekeliling desa tersebut ditutupi oleh pagar yang sangat tinggi, sekitar lima sampai sepuluh meter tingginya. Kini Jace dan kawan-kawan telah berdiri tepat di depan pintu gerbang desa itu. Gerbangnya benar-benar besar dan tinggi, seperti di cerita-cerita masa kerajaan dahulu. Melihat itu mereka pun berhenti melangkah, terpukau dengan tampilan desa itu.

Tepat di atas gerbangnya, ada sebuah papan besar yang sudah usang. Papan itu bertuliskan, 'Aerest Palace' yang artinya kerajaan Aerest. Namanya terdengar sedikit aneh bukan? Karena yang ada disana adalah sebuah pedesaan kuno. Tidak ada yang spesial sama sekali, tidak seperti namanya yang menggunakan kata palace yang artinya kerajaan. Tetapi desain bangunan itu memang menarik karena kesannya yang klasik. Jace dan yang lainnya pun masih berdiri di depan gerbang raksasa itu.

"Hai anak-anak muda, kalian pasti tersesat ya?"

Suara itu terdengar sedikit bergetar, Jace, Rosie, dan Nat langsung menoleh ke arah sumber suara itu. Sedang Axel dan Diana tertunduk lemas. Tiba-tiba muncul seorang nenek tua dari balik semak-semak yang gelap itu. Kurang lebih usianya lebih dari setengah abad. Rambutnya hampir seluruhnya berwarna putih. Ia memakai pakaian kuno seperti pada tahun lima puluhan.

"Apa nenek adalah penduduk desa ini?" Tanya Jace. Sebenarnya Ia sedikit takut melihat penampilan nenek tersebut.

"Tentu. Kalian sepertinya sangat kesulitan." Nenek itu berkata, Ia melihat Diana dan Axel yang tertunduk lemas. "Kalian harus cepat membawa teman kalian itu ke desa agar bisa mendapatkan pengobatan."

Jace hanya diam. Ia kemudian menoleh ke arah Rosie dan Nat seraya menanyakan bagaimana menurut mereka. Rosie tentu saja mengangguk, begitu juga dengan Nat. Jace kembali menatap nenek tua itu, Ia masih tak yakin. Namun nenek tua itu tersenyum, meyakinkan Jace jika semua akan baik-baik saja.

"Baiklah, nek. Bisa antarkan kami untuk masuk ke desa?" Jace meminta. Dengan ramah, nenek itu tersenyum kemudian mengangguk. Ia mengiyakan permintaan Jace.

"Lewat sini, nak."

Nenek itu pun mengawali perjalanan. Ia berjalan di depan, sedangkan Jace dan yang lain mengikuti langkah nenek itu di belakang. Mereka pun berjalan memasuki desa yang berada di tengah hutan itu, melewati gerbang raksasanya.

Tepat saat mereka masuk, gerbang itu tertutup dengan rapat. Rosie sempat menoleh ketika mendengar suara khas gerbang itu bergerak menutup pintu masuk desa, sama juga dengan keempat temannya yang lain. Berbeda dengan anak-anak itu, si nenek malah terus berjalan menghadap depan tanpa sekalipun menoleh. Seperti semuanya biasa saja, tak ada yang terjadi. Padahal suara gerbang itu sangatlah keras, sepadan dengan ukurannya yang super besar. Mereka pun kembali berjalan menyusuri jalan desa.

Suasana di tempat itu sangat sepi, mungkin karena sudah malam. Semua pintu rumah di desa itu tertutup rapat, orang-orang pasti sedang menghangatkan tubuh di dalam karena udaranya memang dingin. Rumah-rumah itu hampir seluruhnya terbuat dari kayu, sangat menyatu dengan alam di sekitarnya. Rosie dan keempat temannya tentu tidak pernah merasakan tinggal di tempat seperti ini sebelumnya. Semuanya terkesan tradisional.

Tiba-tiba nenek itu pun berhenti tepat di depan sebuah rumah besar. Kelima anak muda itu pun ikut berhenti.

"Ini adalah rumah seorang tenaga medis di desa ini. Aku yakin teman kalian akan sembuh olehnya." Ucap nenek itu.

Dengan cepat, Jace membawa Axel untuk masuk ke dalam rumah itu. Nat pun mengikuti di belakang sambil memegangi Diana untuk menaiki tangga yang ada di depan rumah tersebut. Pintu rumah itu sepertinya memang sengaja dibuka karena pemilik rumah adalah seorang tenaga medis. Bisa dibilang rumah ini adalah klinik desa. Ya namanya juga manusia, pasti suatu saat akan mengalami sakit bukan? Itu sebabnya ada klinik disini. Untung saja, Axel dan Diana mendapatkan perawatan tepat malam itu juga. Bisa mengurangi beban mereka. Si nenek tua itu pun ikut masuk ke dalam.

Seorang perempuan paruh baya muncul dari dalam. Ia mempersilahkan Jace dan yang lain serta nenek itu untuk duduk di ruang yang berisi banyak kursi, sepertinya itu adalah ruang tunggu. Mereka berlima dan si nenek pun duduk di kursi-kursi yang tersedia itu. Mereka tak berbicara apapun, semuanya saling menutup mulut mereka sambil menunggu perawat itu datang. Tak lama kemudian, muncul seorang laki-laki dari lorong sebelah kursi tempat mereka duduk. Ia memakai kacamata minus, sedangkan pakaiannya adalah kemeja dan celana yang sangat kasual. Tidak seperti perawat pada layaknya.

"Ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya kemudian.

"Kedua teman saya ini mengalami kecelakaan. Kami harap mereka berdua bisa disembuhkan." Jawab Rosie penuh harap.

Perawat itu pun mengangkat tangan kanannya, mengisyaratkan agar pembantunya datang. Benar saja, dua orang laki-laki muda datang seraya bertanya apa yang bisa dibantu. Perawat itu pun menyuruh kedua pembantunya untuk membawa Diana dan Axel ke dalam. Jace, Rosie, dan Nat pun berdiri. Mereka tentu saja berniat untuk mengikuti kedua temannya masuk ke dalam rumah. Namun si perawat itu berdiri tepat di depan mereka, seperti sedang menghalangi mereka untuk ikut masuk ke dalam.

"Maaf, kalian tidak bisa ikut masuk." Gumam si perawat.

"Tapi kenapa?" Nat pun menjawal. "Kami hanya ingin melihat teman kami saja."

"Kami memang lapar, tapi kami tak akan mencuri makanan." Sahut Rosie dengan konyol. Sepertinya lapar membuatnya otaknya tak normal.

"Ini sudah aturannya. Kalian tidak boleh masuk. Silahkan menunggu disini, ini tidak akan lama." Perawat itu pun melangkah pergi.

Saat itu juga Rosie langsung menjatuhkan pantatnya ke atas kursi. Ia sedikit kesal dengan sikap perawat itu, bagaimana tidak? Ia bahkan menghalangi mereka untuk melihat keadaan Axel dan Diana. Tapi sudahlah, semua sudah terlanjur. Jace, Rosie, dan Nat kembali terlibat aksi saling diam. Rosie masih duduk sambil menunduk dan memainkan jari-jari tangannya. Sedangkan Nat berada di sebelahnya sedang menyandarkan tubuhnya ke belakang, melemaskan otot punggungnya. Jace masih berdiri. Ia kemudian berjalan mondar-mandir, ke kanan kemudian berbalik badan dan kembali pada posisi awalnya. Lalu mengulangnya entah sampai kapan.

Entah sudah berapa lama perawat itu tak muncul kembali. Hampir tiga puluh menit mungkin. Menunggu adalah hal yang paling tidak enak, rasanya bosan sekali apalagi tidak ada gadget sama sekali. Ya, karena ponsel mereka telah rusak dan hancur. Jadi yang bisa mereka lakukan adalah berdiam diri sambil menunggu perawat itu datang. Tak lama kemudian, perawat itu datang diikuti kedua pembantunya yang sedang memapah Axel dan Diana.

"Kaki gadis itu terkilir, pasti benturan yang dialaminya cukup besar. Saya sudah memberikan obat dan sedikit memijitnya tadi, semoga bisa membantu." Ucap si perawat itu. Pembantunya pun membantu Diana untuk duduk.

"Sedangkan laki-laki ini mengalami sedikit gangguan pada perutnya. Ini adalah obat yang harus Ia minum secara teratur." Perawat itu kemudian memberikan satu plastik kecil berisi obat untuk Axel. "Pastikan Ia banyak beristirahat."

"Baiklah. Terimakasih untuk bantuannya." Ucap Jace. Ia kemudian menarik dompetnya dari saku celana untuk mengambil uang sebagai upah perawat tersebut. "Jadi berapa biayanya?"

"Terserah kalian saja. Saya tidak mematok biaya untuk pengobatan di klinik ini." Jawab perawat itu dengan ringan. Ia pun tersenyum.

Sedikit aneh memang. Apakah Ia tidak menginginkan uang? Jace pun mengambil beberapa lembar uang. Kurang lebih ada lima puluh dollar yang Ia ambil dari dompetnya. Ia pun memberikan uang itu kepada si perawat. "Ini uangnya, aku tak tahu itu cukup atau tidak."

"Ini lebih dari cukup, nak. Semoga temanmu cepat sembuh, jika ada sesuatu kalian bisa kembali kesini." Jawab perawat tersebut.

"Terima kasih."

Rosie pun membantu Axel untuk berdiri. Mereka segera bergegas pergi dari tempat itu. Si nenek telah mengatakan akan mengantar mereka ke sebuah penginapan yang ada di desa. Jadi nenek itu kembali memimpin perjalanan. Ia berjalan paling depan, sedangkan Jace dan kawan-kawan mengikuti di belakang. Suasana desa itu bertambah sepi karena sekarang ini sudah larut malam. Mungkin sudah pukul sembilan. Nenek itu tak mengatakan apapun sepanjang perjalanan, Ia hanya berjalan dengan pelan dan menghadap depan. Bahkan sekalipun Ia tak menoleh ke belakang untuk melihat keadaan lima anak muda yang ditemukannya di depan gerbang desa itu. Setidaknya Ia menanyakan sesuatu tentang keadaan Axel atau Diana yang baru saja mendapat pengobatan. Tetapi Ia tetap saja diam.

"Nek, apa masih jauh?" Tanya Rosie membuka pembicaraan.

"Tidak." Jawab nenek itu dengan sangat singkat.

"Nek, kenapa desa ini dinamakan Aerest Palace?" Tanya Nat kemudian.

"Karena awalnya desa ini adalah kerajaan. Tetapi kerajaan itu hancur seiring perkembangan zaman." Nenek itu menjelaskan. Jawabannya sedikit aneh karena letak desa ini berada di tengah hutan, apakah mungkin kerajaan itu hancur karena perkembangan zaman? Entahlah.
Langkah mereka berhenti. Mereka pun sampai di depan sebuah bangunan yang berukuran cukup besar yang terdiri dari beberapa lantai. Sepertinya bangunan ini adalah bangunan yang tertinggi di antara bangunan lainnya. Cukup megah jika berada di desa itu.

"Ini adalah penginapan terbaik di desa. Semoga kalian nyaman berada disini." Ucap nenek itu tepat ketika mereka sampai di depan penginapan tersebut.

Rosie pun melepaskan Axel dan menyuruh Jace agar segera membawanya ke dalam untuk beristirahat. Nat juga bergegas membantu Diana masuk ke dalam penginapan. Rosie sengaja tinggal di depan sebentar, Ia berniat untuk mengucapkan terimakasih pada nenek itu. Ia pun menarik dompetnya kemudian mengambil sejumlah uang untuk diberikan kepada nenek tua itu. Kalau bukan karena dia, Axel dan Diana pasti tak akan bisa selamat. Ia juga telah mengantar Rosie ke sebuah tempat penginapan untuk berteduh malam ini. Rosie pun berbalik badan, berniat untuk memberikan uang tersebut kepada si nenek.

"Nek, ini ada sejumlah uang..." Rosie pun menghentikan kalimatnya, Ia menyadari bahwa tak melihat siapa-siapa disana. "Nek? Nenek?"

Rosie pun memanggil nenek itu beberapa kali, tetapi nenek itu tak kunjung muncul. Ia pun menengok ke kanan dan ke kiri mencari nenek tersebut, tapi yang Ia lihat semuanya gelap. Mungkin nenek itu sudah pergi. Secepat itukah?

Akhirnya, Rosie memutuskan untuk masuk ke dalam. Lama kelamaan bulu kuduknya berdiri jika ia terus berada di luar. Suasana di luar sedikit membuat Ia tak nyaman karena sepi dan gelap. Apalagi si nenek yang tiba-tiba menghilang, itu membuatnya ketakutan. Ia pun berlari masuk ke dalam penginapan itu kemudian menaiki anak tangga dengan langkah cepat menuju lantai dua, tempat mereka tidur nanti.

Sampai disana, Ia melihat Diana sedang duduk di atas sofa sambil meluruskan kakinya di atas meja. Rosie pun bergegas mencari Axel, Ia sangat khawatir dengan keadaan teman laki-lakinya itu. Ia pun masuk ke sebuah kamar yang berada di sebelahnya. Ia lihat Axel sedang terbaring lemas di atas ranjang dan Jace yang duduk di sebelahnya. Rosie pun menghampirinya. Ia kemudian duduk di sebelah Jace.

"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Rosie penuh perhatian.

"Seluruh tubuhku rasanya sakit, Rosie." Jawab Axel. Kini Ia mulai bisa berbicara lagi, nafasnya sudah berjalan dengan normal.

Mendengar itu Rosie hanya tersenyum kecil. Berusaha membuat Axel senang atau setidaknya ikut tersenyum. "Beristirahatlah dengan nyaman, semoga kau bisa sembuh besok."

Jace pun berdiri dan bergegas keluar dari kamar tersebut. Rosie hanya menatapnya sebentar, kemudian Ia juga berdiri. Ia pun mengambil selimut yang tersedia di ranjang itu lalu menutupi tubuh Axel agar tidak kedinginan. Setelah itu, Ia mengikuti langkah Jace keluar dari kamar.

Ada tiga kamar disana. Kamar depan sudah dipakai oleh Axel, tinggal sisa dua kamar. Nat memilih kamar belakang, sepertinya Jace juga akan tidur disana. Mau tak mau, Rosie dan Diana harus tidur di kamar tengah. Tapi untuk saat ini, Diana masih nyaman duduk di atas sofa. Rasanya sulit sekali untuk bangun, pantatnya mungkin sudah melekat dengan permukaan sofa yang empuk itu.

Rosie pun bergegas masuk ke kamarnya, Jace yang melihat itu langsung mengikuti di belakang. Tiba-tiba saja Rosie menghentikan langkahnya ketika sampai di ambang pintu. Tubuhnya terasa sangat lemas, bahkan tas yang Ia bawa Ia taruh di bawah. Sedangkan Jace langsung saja masuk ke dalam kamar tersebut. Ia menaruh tasnya di atas ranjang, seakan Ia ingin tidur disana.

"Jace," Ucap Rosie dengan suara yang sedikit bergetar. Ia pun maju beberapa langkah dari ambang pintu memasuki ruangan. "Aku takut."

Jace langsung menoleh dan tersenyum. Ia pun memeluk Rosie dengan erat. "Jangan pernah merasa takut selama aku masih ada disini. Aku akan selalu berada di sampingmu, apapun yang terjadi."

Ia kemudian mencium bagian samping kening Rosie dengan lembut. Seperti biasanya. Ia pun kembali memeluk Rosie dengan erat. Rosie pun membalas pelukan itu, rasanya sangat nyaman sekali berada disana. Tubuhnya menjadi terasa hangat di dalam pelukan Jace. Namun tak lama kemudian, Jace melepas pelukan itu. Ia tersenyum sambil mengacak-acak rambut Rosie. Kemudian Ia melepas jaket yang Ia pakai dan menaruhnya di ranjang bersama tasnya. Rosie pun berjalan mendekati ranjang itu dan berdiri di samping Jace yang sedang merapikan isi tasnya.

"Aku akan tidur bersama Nat." Celetuk Jace kemudian.

Jika Ia berniat tidur bersama Nat, kenapa Ia menaruh tasnya di kamar ini?

Tetapi Rosie tidak memikirkan hal itu. Ia hanya tersenyum pada Jace kemudian menganggukkan kepala. Jace pun keluar dari kamar itu, meninggalkan Rosie yang masih terdiam di posisinya. Ia sedang memikirkan apa yang kini tengah terjadi pada dirinya dan keempat temannya. Ia baru sadar ternyata bangkai kucing yang berlumuran darah itu dikirim untuk mengisyaratkan hal buruk. Tapi mereka tak mempercayai hal-hal seperti itu. Pada akhirnya Jace membuang bangkai kucing itu dan semuanya kembali beraktifitas secara normal, layaknya tak terjadi apapun.

Tanpa disadari kini mereka harus tertimpa masalah yang begitu sulit. Mereka harus terkurung di hutan belantara seperti ini, tanpa perlengkapan apapun. Untuk sampai di jalan raya pasti akan sulit karena mereka sudah terlanjur melangkah jauh, masuk ke dalam hutan. Dan sekarang mereka berada di sebuah desa yang dikelilingi oleh pagar raksasa.

Rosie benar-benar pusing memikirkan hal itu. Tak lama kemudian, Diana pun masuk ke kamar dengan langkah yang terbata-bata. Dengan cepat Rosie berjalan ke arahnya, Ia kemudian memapah Diana untuk sampai di ranjang.
Rosie pun membantu Diana untuk berbaring di atas tempat tidur dan meluruskan kakinya.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari luar. Secara spontan, Rosie pun berlari keluar kamar. Ia takut terjadi sesuatu disana. Ia berdiri di ambang pintu sambil melihat seisi ruangan tersebut. Yang Ia lihat adalah Jace yang sedang berdiri sambil menahan tawa, dan Nat yang sedang berada di dapur.

"Maaf, itu tadi aku." Celetuk Nat sambil nyeringis memperlihatkan giginya yang putih itu, bagaikan tak berdosa. Ternyata Ia sedang membuat segelas kopi, tetapi entah bagaimana gelas itu bisa terjatuh dan pecah. Tidak mungkin gelas itu berjalan sendiri bukan? Mungkin Nat membuat kopi sambil melakukan gerakan bridge dance. Ia pikir itu keren, astaga!

Tanpa mengatakan apapun Rosie langsung kembali ke kamar dan menutup pintu agar istirahatnya tak terganggu oleh kedua temannya yang gila itu.

Ia pun naik ke atas ranjang. Kemudian Ia merebahkan dirinya tepat di sebelah Diana yang sepertinya sudah bermimpi jalan-jalan ke Paris. Ia terlihat sangat nyenyak dan damai. Rosie juga mau seperti itu. Ia segera mengambil selimut dan menutupi sekujur tubuhnya untuk menghindari udara dingin di malam hari. Tak lupa, sebelum tidur, Ia berdoa agar besok semuanya berjalan baik-baik saja dan mereka bisa pergi dari desa itu secepatnya. Semoga.

Continue Reading

You'll Also Like

3.3K 282 14
"Hatiku sakit setiap kali ku mendengar namamu...." "Aku tak pernah tau, Kau akan menemukanku di saat aku terjerumus ke dalam kegelapan,." Hermione di...
1.4M 13.5K 33
Jatuh cinta dengan keponakan sendiri? Darren William jatuh cinta dengan Aura Wilson yang sebagai keponakan saat pertama kali bertemu. Aura Wilson ju...
34.7K 771 3
[Completed]โœ”๏ธ 16+ (RE-UPLOAD) Secret. Rahasia. Dia begitu banyak menyimpan rahasia dalam benaknya seorang diri sehingga banyak orang yang tak menger...
1.2M 72.8K 50
WARNING โš  (21+) ๐Ÿ”ž seorang Ceo perempuan yg masuk kedalam novel kerajaan. Semua unsur yg ada di cerita ini hanya karangan penulis, tidak berhubungan...