...

By winterinnight

1M 14.1K 562

More

[Letters from Me]
1. One Night with You
2. Not A Fairytale
4. Time Capsule
5. Love, huh?

3. Enemy and Love

59.6K 2.3K 124
By winterinnight

3. Marva & Vito

Aku sedang memasang perangkap tikus di bangku musuh bebuyutanku sejak dulu.

Di bangku cowok rese, Vito.

Kulirik kanan kiri, kelas masih sepi. Ya jelas, sekarang masih jam enam. Biasanya anak-anak mulai berdatangan jam enam lebih.

"Marva! Nagapain lagi lo?" suara Irina mengagetkanku. Sungguh.

"Astaga.. Kadal buntung! Lo ngapain ngagetin gue?"

Aku segera duduk di mejaku, tepat dibelakang Vito.

Biasanya si bodoh Vito akan langsung duduk, sambil bercanda dengan Revan.

"Apaan nih? Perangkap tikus?" ujar Irina sambil menahan tawanya.

"Lo pikir Vito sebego apa Mar? Dia pasti bakalan sadar lah kalo ada perangkap tikus dibangkunya.."

"Liat aja nanti.." seringaiku keluar.

Ada yang bilang Kenalilah orang itu dari musuhmu, karena musuh itu yang paling tau segalanya.

Yeah, that's right.

Gue tau semua tentang Vito jelek.

Dia selalu datang sekitar jam-aku melirik jam tanganku- sekarang, berangkulan dengan Revan.

Dan tadaa, dia datang dengan Revan. Berangkulan dan bercanda.

Seperti yang gue prediksi.

Kemudian tatapannya mengarah padaku, dan berkata.

"Heh kuntilanak kesambet pocong!"

Yah, kata itulah.

Aku tak tau makna dibalik perkataannya.

Kemudian dia berjalan dengan Revan menuju bangkunya.

Revan duduk di bagian luar, sedangkan Vito duduk di pojok. Begitupun aku.

Aku duduk di pojok dekat jendela, dan Irina di bagian luar.

"It's show time, Irina.."

Irina yang sedaritadi asik mengunyah permen karet langsung menatap kedatangan Vito.

Vito mulai masuk ke dalam sangkarnya dan..

Satu…

Dua…

"Anjrooot! Kampret! Pantat gue bengkak!!" teriakannya sungguh membuatku tertawa terpingkal.

Anak-anak kelas yang sudah terbiasa dengan tingkah kami yang selalu berantem malahan ikutan tertawa.

"Kunti! Pasti elo kan pelakunya?" tunjuk Vito padaku.

"Udah tau nanya.." kataku sambil tertawa.

"Vit! Pantat lo makin seksi aja!" ujar Revan sambil tertawa.

"Bener banget, Van!" timpal Irina.

Dan tawa kelaspun semakin meledak.

Aku sedang asik makan bakso di kantin ketika ada cicak gemuk lembek dan menjijikan muncul di depan wajahku.

"Aaaaaaa!! Cicak buntung genduuuut!!"

Teriakanku dihadiahi oleh tawaan dari Vito, siapa lagi.

Aku terjengkang dan jatuh ke bawah. Rok abuku menjadi kotor terkena kuah bakso.

Aku mundur ke belakang, "Jauhin ga Vit!!" teriakku kesal.

"Kenapa Marva? Cicak kan imut.. Embek kenyal gitu.." ujarnya sambil menyodorkan cicak sialan itu kepadaku.

"Emang dasar elo kakek buyutnya cicak!! Pantesan aja menurut lo tu cicak lucu! Menjijikkan begoooo!"

Aku berdiri, berusaha kabur.

Dengan kecepatan penuh aku berlari menuju lapangan basket, tempat terdekat yang bisa dijadikan markas untuk balas dendam.

"Marvaaaaa mau kemanaaaa?? Ini cicak lo kangen! Katanya dia pengen ketemu sama lo!"

"Najis! Lo aja sana pelukan sama cicak!" dengan gusar kuambil bola basket yang terdampar di tengah lapangan.

Kulempar bola itu, namun Vito berhasil berkelit.

"Vitooooo!! Lo berani mendekat gue tendang 'adek kecil' lo yang berhargaaa!!" teriakku sambil terus melemparnya dengan apapun yang ada di dekatku.

Vito mendekat, dan aku sudah terpojok di dinding lorong kelas.

Siswa dan siswi yang lain sibuk menonton acara gratis dengan pemeran cewek cantik dan cowoknya yang mukanya ga jelas.

"Kampret! Jauh-jauh ga dari gue?!!" ucapku ketika dia benar-benar mendekatkan cicak itu di muka gue.

Astagaaaa!! Jijik banget ih!!

Vito ketawa keras melihat tampangku yang ketakutan. "Makanya jangan macem-macem sama gue!"

"Gue ga macem-macem kok.." ujarku pelan, dia masih mengurungku dengan lengannya.

"Cuma satu macem!!" dengan keras kutendang 'adek kecil' miliknya, sehingga dia langsung ambruk fan meringis kesakitan.

Aku berlari dan sempat menoleh ke arahnya sambil melet. "Mampus lo!"

Akupun berlari dengan tawaan, tak melihat Vito yang mengacungkan jari tengahnya padaku.

"Mar, lo ga bosen apa berantem sama Vito mulu?" tanya Irina ketika dia menginap di rumahku.

Ake mendelik ke arahnya, yang sedang asik makan chitato.

"Gada kata bosan buat balas dendam sama setan kecil itu."

"Wahhaha. Dasar lo. Inget ga pas upacara  penerimaan murid baru dia masukin kecoak di baju lo?"

Yack. Aku mengingat kembali kejadian mengerikan itu.

Diantara murid baru lainnya yang sedang asik mendengarkan ocehan ibu kepala sekolah, aku berteriak histeris dan langsung terjatuh menggeliat di tanah, sangking gelinya karena hewan kecil itu sedang menggerayangi tubuhku.

Dan dengan tampang rese ajaib bin geblek si setan kecil itu, dia berteriak dengan lantang Bu, dia kena ayan!

Astaga Vito..

Gue ga ngerti kenapa dia begitu kejamnya melakukan itu.

"Iya, emang setan dia. Kejadian itu adalah salah satu dari penghinaan dia ke gue."

Irina yang sedang mendengarkan tertawa terbahak mengingat goyang dombret tanah ala Marva saat upacara itu.

"Udah ah, males gue ngomongin dia! Bikin enek tau ga!" ujarku sambil melempar bantal.

"Eh tapi katanya yah, benci bisa jadi cinta loh.." godanya.

"Ih! Ga bakal lah yaw! Mana mungkin gue jatuh cinta sama dia!"

"Eh gaboleh gitu! Kalo diperhatiin Vito itu ganteng loh.."

Irina pasti ngigo.

Vito ganteng darimana coba?

Pluk.

Aku diam menatap Irina.

"Suara apaan tuh?" tanyanya sambil menatapku ngeri.

Aku melirik jam dinding, sudah jam 1 dini hari.

Pluk.

Suara itu lagi.

Seperti kerikil yang dilempar ke kacaku.

Aku menoleh ke arah jendela besar kamarku yang langsung menghadap balkon.

Pluk.

"Irinaaaaa! Gue takuuuut!!" ujarku sambil memeluk erat Irina.

"Lephaas.. Ghuee Ghabishaa nafhaas.."

Ups, terlalu erat ternyata.

Aku terkekeh dan mendekat ke arahnya.

Dengan gagah berani Irina membuka gorden kamarku, dan mendapati sosok yang sukses membuatku dan Irina berteriak histeris.

Disana, ada se'orang' wanita dengan rambut menjutai panjang sedang memandang kami dengan seringaian yang menyeramkan.

Wajah pucat. Sekeliling matanya hitam. Melotot!!

Dengan ketakutan yang super aku dan Irina berlari turun ke bawah, berteriak dengan gila.

"Mamaaaa adaa setaaaaan!!!!"

"Sialan. Gue gamau lagi nginep di rumah lo Mar. Banyak setannya!!" ujar Irina ketika kami sampai di sekolah.

"Yaelah jahat banget lo. Itu juga setan nongol gara-gara ada elo di kamar gue!" semprotku.

"Enak aja kalo ngomong!" dia menoyor kepalaku.

"Apa karna kita ngomongin si setan itu ya?"

Irina menoleh ganas ke arahku.

Setan kecil..

Vito..

"Muahahahaha! Bisa jadi! Dia jelmaan setan kan ya?" ujar Irina sambil tertawa.

"Heh kuntilanak kesambet pocong!"

Nah, ini dia si setan kecil..

"Apa lo setan kecil!" ujarku sambil memberikan kepalan tanganku di depan wajahnya.

Dia tertawa lebar ketika melihatku.

"Gimana tadi malem pas ketemu sama sodara?"

Aku menyerit bingung.

Sodara?

Aku menoleh ke Irina yang menatapku dengan pandangan bingung.

"Iya! Lo ketemu sama kuntilanak kan tadi malem?"

Eh? Kok dia tau?

Jangan-jangan..

"ELO YAA PELAKUNYA!! DASAR GENDERUWO!!" teriakku sambil mengguncang lehernya.

Aku lupa..

Rumah kami bersebelahan..

Dan kamarku..

Tepat di sebelah kamarnya..

Kalau dia mau lompat ke balkonku juga gampang..

"TERNYATA ELO YAA! KAMPRET!"

Irina yang menjadi korban keisengan Vito menjambak habis-habisan rambutnya.

Aku yakin dia akan botak setelah ini.

"Eh buset! Temen gue diapain woy!" teriak Revan yang baru datang.

Tumben dia telat, ga bareng sama setan kecil ini.

"Tohlongin ghuuuee Vhaaan.." ujar Vito dengan tangannya menjulur ke arah Revan.

Revan berusaha menarik sahabatnya yang diambang kematian.

"Lo bantuin dia, gue cekek lo!" kataku ganas.

Dan Revan pun akhirnya pasrah, melihat temannya dibully.

"Udah siap semuanya, Mar?" tanya mama disela memasukkan baju dan peralatanku di tas ransel yang cukup besar.

"Udah kok ma.." ujarku, sembari duduk di tepi ranjang.

"Lagian kok udah kelas dua SMA masih aja ada acara persami di sekolah.."

Aku menghela napas.

"Wajar dong ma, masa anak SMP doang yang boleh persami?" tanyaku.

"Ya tapi kan mama gamau nanti kamu kenapa-napa, Mar." mama menggembuskan napas berat.

Aku ingat kegiatan persami yang kulakukan saat masih jaman SMP dulu. Aku hampir saja dirawat di rumah sakit karena kedinginan.

Saat persami itu aku memang berantem terus sama si setan kecil, menimbulkan kekacauan yang lumayan parah.

Akhirnya aku dan si setan kecil itu dihukum untuk menjaga tenda, sepanjang malam. Dan ketika paginya aku sudah menggigil dengan bibir membiru.

"Gapapa kok ma, kan Vito juga ikut."

Cyih. Cuih. Cuih.

Mamaku sangat menyukai Vito.

Dia bilang Vito anak yang sangat sopan.

Huaaa mamaa! Gatau aja aslinya dia gimana!

"Iya ya, mama jadi ga khawatir kalo ada Vito."

Ember mana ember~

Aku mau muntah!

Kenapa mama bisa cinta mati sama Vito? Kalo nama Vito disebut, langsung deh diizinin.

"Marvaaa! Berangkat nyoook!" suara Vito menggema di seantero rumahku.

Nah ini dia, tumben banget jemput gue.

"Mama nyuruh dia buat nemenin kamu Mar. Jangan jauh-jauh dari Vito ya." ujar mama sebelum aku beranjak pergi dari rumah.

Aduh, mama.

Masa nitipin anak semata wayangnya sama setan?

"Ngapain lo jemput gue?"

Kututup pintu gerbang dan segera melambai ke arah mama. Kulihat Vito tersenyum manis ke mama.

"Jangan sok imut deh lo." cibirku.

"Gue emang udah imut kali."

Najong!

Kuhirup napas dalam-dalam, merasakan udara pagi yang sejuk.

Sangat asik, minus Vito di sampingku.

Aku mendelik ke arahnya.

"Apa lo liat-liat?" kataku galak.

"Itu.."

"Ada.."

"Apaan sih?" ujarku tak sabar.

DUKK

Dengan cantik keningku mencium tiang listrik.

Dooh, sakit!

Aku meringis kesakitan

"Makanya kalo dikasihtau nurut.." ujarnya sambil bersiul dan berlalu.

Dia ga kasihtau gue!

"SETAN SIALAAAAN!!"

"Makanya kalo jalan yang bener dong.." ujar Irina sambil mentotol salep di keningku.

"Irina pelan-pelan dong! Ini mah bukannya sembuh malah makin parah!" ujarku kesal karena Irina memakaikan salep dengan kekuatan banteng.

"Salah sendiri lagian!" ujarnya sambil mendorong keningku. Hampir saja aku terjengkang kebelakang.

Tak lama kemudian sang pembina pramuka membimbing kami untuk mulai melakukan aktivitas persami pada umumnya.

Upacara dulu, tentu saja. Kemudian dilanjutkan dengan mengumpulkan batang kayu di sekitar sekolah tang akan digunakan untuk acara api unggun nanti malam.

Setelah itu kami makan siang, dilanjutkan dengan mendirikan tenda masing-masing di lapangan belakang yang langsung menghadap hutan.

Biar kesannya kita lagi di alam liar gitu. Sebenarnya bukan hutan juga sih, ini tuh perkebunan karet yang lumayan luas.

Suasana agak horor. Mengingtkanku akan kejadian tempo hari saat ditakut-takuti sama setan kecil.

"Gila, ternyata kalo udah sore gini suasananya horor abis ya." kata Irina sambil duduk di depan tenda kami.

Aku satu kelompok dengan Irina, Revan, dan tentunya Vito.

Ugh, ini pasti karena mama yang minta.

Pembina pramuka aku itu merupakan junior mama.

"Abis ini kita ngapain deh?" tanyaku, ikut duduk di saMpingnya.

"Nyari jejak."

"Hah? Sore menjelang magrib gini? Gila aja kali!" ujarku setengah berteriak.

"Lah lo tadi ga dengerin apa kata pembina?"

Iya sih, tadi gue lagi asik ngemil di belakang. Jadi ga kedengeran banget. Hahaha.

"Gue sama elo kan?" tanyaku dengan wajah memelas.

"Doooh, sorry yaw. Gue udah janjian sama Revan tuh!"

Sialan anak ini.

Aku tau dia lagi pedekate sama Revan.Tapi masa iya sahabatnya ditinggal sama Vito?

"Yah, masa lo tega ngebiarin gue sama Vito?" kataku memelas.

"Gapapa. Biar akur." katanya sambil berdiri dan berlari kecil ke arah Revan yang sudah siap untuk cari jejak ini.

Acara ini ga beda jauh sama jerit malem dan embel-embelnya. Intinya kita nyari jejak, kemudian di tengah jalan banyak setan boongan yang nongol.

Aaaaaargh!! Mikirinnya aja udah bikin gue stress!

Pluk.

Ada sesuatu jatuh ke pangkuanku.

Aku menunduk, dan…

"Vitoo sialaaan!!!"

Kubuang jauh-jaun cicak yang menggeliat disko di pahaku.

Disana, Vito tengah tertawa terbahak.

Aku lupa, Revan dan Vito.

Satu paket tak terkalahkan.

Mereka selalu bersama.

"Mau gue tendang lagi, hah?" tanyaku mengambil ancang-ancang.

"Enggak! Gue cuma mau ngajak lo, bentar lagi acara nau dimulai!"

Oh iya, aku kan sama dia..

Kuhela napas dan berjalan mengikutinya. Ikut bergabung dengan anak-anak kelas dua lainnya.

Persami biasanya dilakukan pada kelas dua SMA. Dan itu artinya hanya ada angkatanku. Tak ada junior dan senior disini.

"Bisa ga jauhin cicak dari hidup gue?" tanyaku ketika kami sudah mengantri untuk mendapat giliran.

Matahari terbenam. Cantik loh.

Tapi kenapa aku harus liat bareng sama setan kecil ini?

"Gabisa." ujarnya cengengesan.

Aku mendengus kesal dan membuang muka.

Tiba-tiba dia menunduk, dan mengikatkan sesuatu di tanganku.

Benang merah?

Aku mendongak menatapnya yang juga sedang mengikat ujung benang wol itu di tangannya.

"Buat apa?" tanyaku polos.

"Gue tau lo ga bakalan mau pegangan tangan sama gue. Biar lo ga ilang, mendingan lo gue iket." ujarnya enteng setelah menerima petunjuk dari salah satu panitia.

"Emangnya gue kebo apa?" ujarku kesal, menghentakkan kaki.

Dia tertawa. "Emang."

"Sialan!" ujarku memukul keras lengannya.

Sudah satu jam kami berputar mencari harta karun yang tersimpan di dalam hutan karet ini.

Sebenarnya bukan harta karun, tapi disebutnya gitu sih sama pembina.

Kita disuruh untuk memenuhi sepuluh kotak yang disediakan di kertas dengan stempel.

Sedangkan aku dan Vito baru mendapatkan tujuh.

Doooh, dimana tuh stempel?

"Gila dah Vit, ngumpetin stempelnya jago banget!" ujarku sambil bersandar pada batang pohon.

Sejauh ini tidak ada setan yang keluar

Untung untung…

"Vit, kenapa sih elo demen banget ngisengin gue?"

Aku tidak ingat awal mulanya bagaimana, namun Vito sering membuatku menangis saat TK dulu.

Suasananya gelap banget, tapi gue bisa liat Vito yang menatap gue dalem.

Dooh. Kenapa ni anak.

"Jalan lagi nyok." ujarku sambil menarik benang wol yang tadi dia ikat

Yes, sekarang elo yang jadi kebonya! Hahaha.

"Eh eh Mar tunggu deh. Ada stempel nih!" teriaknya, membuat aku menoleh kaget.

Dia menunjuk ke batang pohon yang cukup tinggi untuk dijangkau.

Vito melompat-lompat, tapi tidak sampai.

Padahal Vito cukup tinggi untuk anak SMA Gue aja sepundaknya dia.

Sepertinya sengaja diketakkan di ketinggian biar ada kerjasama antara tim.

"Yah gimana ngambilnya coba.." kataku berdecak kesal.

"Ngapain lo Vit?"

Kulihat Vito berjongkok membelakangiku.

"Naek Mar, nanti gue angkat elo." ujarnya menepuk kedua pundaknya.

"Eh? Gue injek gitu?"

"Serah dah!"

Gue injek kali ya? Itung-itung mau bales dendam. Ah tapi takut jatoh gue. Mendingan gue duduk aja deh disitu.

"Gue naik ya…"

Dengan perlahan aku menyelusupkan kedua kakiku diantara kepalanya, dan aku duduk di pundaknya.

"Udah nyaman?" tanyanya lembut, membuatku tertegun sebentar.

"Ud… udah." ujarku gugup sambil memegang kepalanya.

Dia mulai berdiri, dan aku terangkat ke atas. Kulihat disini pemandangannya lumayan keren.

Di ujung, ada kelap kelip lampu kota yang sangat cantik.

"Mar? Udah belom?" pertanyaannya membuatku tersentak.

"Eh iya, udah kok." kataku dengan cepat menstempel kartuku.

Udah delapan…

"Udah ya? Gue turunin elo ya." ujarnya berteriak.

"Eh tunggu. Kayanya ada satu lagi deh. Coba lo jalan ke arah sana." tunjukku ke arah kanan, sambil menunduk.

"Kemana?" dia mendongak, membuang jarak di antara wajah kami.

Posisi kami tetap seperti ini, aku yang setengah membungkuk dan dia yang mendongak.

Kulihat kedua matanya menatapku lembut,berbeda dengan hari-hari biasanya.

Membuat ada gelenyar aneh yang mampir di dadaku.

Deg. Deg. Deg.

Tanpa sadar aku memajukan wajahku dan mengecup keningnya singkat.

Eh?

Kulihat matanya melebar, dan mulutnya agak menganga.

Apa yang kulakukan?

Mungkin karena aku malu dan bingung akan apa yang baru aku lakukan, kubuang jauh-jauh wajahku. Hampir saja aku terjatuh ke belakang.

"Hei! Jaga keseimbangan lo!" teriak Vito.

"Sorry! Buruan ah jalan. Tempatnya tinggi juga tuh!"

Vito membawaku setengah berlari, membuatku harus memeluk kepalanya.

"Marvaaaaa! Gue gabisa liaat!!" teriaknya.

"Stop! Udah sampe kita!!"

Dengan cepat aku mengambil stempel yang tergantung di tempat yang sama, seperti pohon yang tadi.

Belum sempat aku turun dari pundak Vito, aku sesosok yang sangat aku takutkan.

"KYAAAAAAAAAAAAA!!!!!" aku berteriak kaget, dan akhirnya jatuh terjerembab ke tanah.

Menimbulkan suara gaduh.

Gue yakin sekarang gue ada di dalam mimpi. Karena sekarang gue liat badan gue yang lagi tidur di tenda, dan ada Vito lagi nungguin gue dengan wajah cemas.

Dia keliatan khawatir banget. Ga kaya Vito yang jahil.

Dengan mata terbelalak aku melihat Vito mencium--MENCIUM bibirku dengan lembut.

Apa dia gilaa?

Kemudian dia menjauhkan wajahnya dan menggenggam tanganku erat.

"Bangun dong Mar.. Gue gabisa kalo gada lo. Gue nyesel banget tadi udah bikin lo kecebur sungai, dan sekarang lo menggigil kaya gini. Gue sadar gue salah. Maafin gue Mar.."

Dengan jelas gue mendengar perkataan Vito.

Gue inget kejadian gue hampir masuk rumah sakit itu. Gue diceburin ke sungai, kena hukuman sama Vito. Dan paginya sakit.

Dan gue sadar ini tenda adalah tenda kesehatan pas gue persami SMP!

Ini mimpi kan?

Ga mungkin banget Vito nyium gue, minta maaf gue, dan genggam tangan gue kaya gitu.

Mana dia natap gue dalem banget lagi?!

Kusentuh bibir bawahku dengan lembut.

Ini beneran?

Kubuka mataku perlahan, dan mendapati Vito yang sedang memandangku dengan tatapan yang-- uh, dalam.

Aku langsung terkesiap dan duduk.

"Lo ga ngapa-ngapain gue kan?!" ujarku seraya menutup bibirku.

Vito tersentak kaget, dan wajahnya memerah serta dia menunduk.

Baru pertama kali aku melihat ekspresinya yang seperti ini.

"Jadi… Beneran… lo… nyium… bibir… gue?" ujarku terbata.

Dia menunduk dalam.

"Maaf Mar, gue udah gabisa nahan rasa sayang gue lagi ke elo. Rasanya gue pengeb jadiin lo milik gue seutuhnya."

JEGER.

Kaya kesamber petir gue mendengar pernyataan dia.

"Tapi… Lo ga harus nyium gue gitu kan?" ujarku, hampir menangis.

Ada raut kesedihan saat dia melihatku.

"Gue minta maaf." ujarnya pelan, kemudian berdiri dan meninggalkanku sendirian di tenda.

"Hayoo… tadi gue liat loh apa yang lo lakuin sama Vito disini…" goda Irina.

Aku yang sedang makan bubur hampir tersedak.

"Lo liat apa?"

"Kalian ciuman kan? Ah, akhirnya Vito mau nyatain perasaannya ke elo."

Deg.

Jadi Irina tau perasaan Vito ke gue?

"Sejak kapan lo tau?" tanyaku menyelidik.

"Udah lama… Gue tau dari cara dia natap lo. Gue tau di sayang banget sama lo." ujarnya sambil mengangguk.

Memang gue akuin, selama ini dia kadang suka natap gue dengan dalam, dan penuh denga ekspresi yang gabisa gue artiin.

"Lo sayang sama dia ga?" tanya Irina.

Aku terdiam.

"Gue gatau… Kadang kalo liat dia sama cewek lain, rasanya panas banget. Kalo dia ga masuk, gue ngerasa kehilangan banget, dan terkadang gue ngerasa lengkap banget kalo ada dia. Dan yang terakhir…"

"Apa?" Irina penasaran.

Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku.

"Pas nyari jejak tadi gue nyium kening dia…"

Irina tersentak kaget, kemudian tertawa.

"Gila! Itu mah fix lo udah suka dan mungkin cinta sama dia!"

Aku menggeleng keras.

Irina menarikku berdiri dan mendorongku untuk keluar dari tenda.

"Temuin cinta lo."

Ucapannya membuatku merinding.

Baru satu langkah aku keluar dari tenda, ada Vito tengah berdiri membawa bunga mawar merah.

"Eh?" ujarku gugup.

Dia memandangku dengan penuh senyuman. Senyum kelegaan, kebahagiaan.

"Jangan-jangan lo denger pembicaraan gue sama Irina?"

Dia hanya terkekeh.

Oh sial, dia mendengarnya.

Wajahku bersemu merah.

"Jadi… Kita pacaran?"

Aku mengangguk malu, menjawab pertanyaannya.

Sepersekian detik, Vito memelukku. Di bawah sinar bulan dan api unggun.

Ending!
……………
Note: Entah kenapa aku jadi pengen persami lagi. Kangen banget deh :')
okedeh, see you again! :*

Continue Reading

You'll Also Like

47.3M 1.3M 37
Zoe is a rogue who is forced to attend a school for werewolves for a year thanks to a new law. There she meets her mate, a certain Alpha who holds a...
4.1K 97 34
"I wanted to enjoy my first day of offline Junior College but guess who's here now.... no wait, where am I now?" A story where an atiny gets teleport...
55.3M 1.8M 66
Henley agrees to pretend to date millionaire Bennett Calloway for a fee, falling in love as she wonders - how is he involved in her brother's false c...
93.1K 11.7K 27
Bimo sadar sebagai cowok feminin dia akan selalu dianggap aneh. Tidak punya teman, tidak masalah. Dia bisa hidup sendirian. Sebagai cewek yang memenu...