Merin Cahaya, itu nama diberikan dari orang tua ketika dia lahir ke dunia. Bertandang di depan pintu, menghalau rasa gugup yang mendera. Rasanya, Merin mesti berbalik badan dan berjalan pulang ke tempat orang tuanya berada.
Kunci telah diputar meski samar-samar, menambah gugup. Merin takut apabila kehadirannya tak direstui. Akan tetapi, sebatas ingin bertemu, Merin membiarkan saja bila kedatangan ditolak.
Derit pintu terdengar, membukakan lebar-lebar. Menampilkan postur tinggi menjulang. Dengan kulit sawo matang, akibat terkena sinar matahari. Celana pendek membalut pinggang, menampakkan sepasang lengan kaki mempunyai bulu-bulu lebat di kulit.
Merin bisa menduga, orang sedang ada di ambang pintu, mengamatinya. Karena tak terlepas dari keterpukauan, Merin tahu orang dengan postur tinggi mempunyai badan atletis. Keasyikan olahraga. Baik renang, taekwondo maupun lari. Kesukaannya.
"Merin? Kaukah itu?"
Familier dan merindu. Merin sangat suka suara bariton kuat dan kencang. Suara yang sehari-hari membangunkan dirinya sewaktu telat bangun.
Kini, Merin mengangkat kepala. Pelan-pelan. Mengimbau jantungnya untuk segera berhenti berdentum. Kaus putih menutupi badan atletis-sedari tadi Merin mengkhayal-sekarang terlihat jelas.
Bingung, namun berubah semringah, sosok sedang berdiri, menarik Merin ke dalam dekapan kekaran. Merin sontak terjungkal, mati berdiri. Dengan kehangatan lengan kokoh, Merin membalasnya.
Kedua lengan terurai, menyentuh pundak Merin. "Astaga, Merin, kapan kau datang? Kenapa nggak bilang-bilang sama Kakak?"
Yep, orang di depannya merupakan kakak Merin, Ade Anugerah. Seperti hadiah terindah bagi kedua orang tua mereka. Panggilannya Ade. Atau Kak De.
Merin cengengesan. "Maaf, belum sempat mengabari kak De. Aku buru-buru cari usaha buat meyakinkan Papa dan Mama supaya diizinkan tinggal bareng kak De selama liburan."
"Coba Kakak menelepon Papa biar Kakak tahu jadwal kedatanganmu. Astaga, Merin, Kakak nggak tahu mesti bilang apa." Lagi, Ade menarik Merin ke pelukan hangat. "Kakak merindukanmu," ujarnya.
Tertawa lirih, Merin membalasnya sembari melingkari pinggang Ade. "Justru aku yang rindu Kak De. Kangen...."
Ciuman di pelipis, tanda sayang kepada adiknya. Ade merangkul Merin, membawanya masuk. Kebahagiaan mereka jelas-jelas terbuka. Dan tak ada yang bisa merusaknya.
***
"Rumah Kakak kecil. Apa adanya saja."
Merin diajak menelusuri ruangan demi ruangan. Bukan kost, penginapan, apartemen atau julukan lain. Tetapi, Ade membuktikan kepada keluarga bahwa dia bisa membeli satu rumah meski sangat kecil.
Merin tersenyum. "Nggak apa-apa kok, Kak De. Malah senang banget bisa tinggal bareng."
Ade mengacak-acak rambut Merin, merangkulnya. "Oke, deh. Kakak nggak bisa membantah. Di sana itu dapur dekat meja makan. Ruang tamu dan ruang istirahat dipisah. Di lantai dua, ada tiga kamar. Satu, untuk Kakak dekat dengan tangga. Satunya lagi, ruang kerja Kakak. Satunya, kamar tamu." Ade masih tersenyum. "Kamar kita dibatasi ruang kerja, lho."
Merasa tak mengerti, Merin mengerutkan kening. "Maksudnya apaan?"
Serba salah, Ade mengangkat bahu. Tak menjawab.
"Kalau begitu, kita naik sekalian bereskan isi koper-kopermu ke dalam lemari," saran Ade.
Merin mengacungi jempol. Itulah ditunggu-tunggu sedari tadi. Kelelahan dalam perjalanan membuat Merin ingin tidur di ranjang empuk.
"Kamar Kakak dan kamar tamu, masing-masing punya kamar mandi. Jadi, nggak ada namanya rebut-rebutan kamar mandi saat kecil dulu," kelakar Ade.
Merin manyun. "Baguslah. Aku bisa mandi lama-lama dan luluran," katanya menjulurkan lidah.
Ade terkekeh. "Ya sudah. Kakak tinggal dulu, ya. Mau mengecek apa ada bahan-bahan dibutuhkan di dapur."
"Kalau nggak ada, kita pergi beli!" Riang Merin melanjutkan.
Kedua adik-kakak terkekeh atas guyonan kalimat mereka. Kerinduan sebagai anak-anak terkenang semasa kecil. Saling memarahi, menasihati, menyarankan dan mengingatkan.
Tbc
***
07 Juni 2016