NOTE: This chapter contains explicit mature scene. Please be wise.
CHAPTER 10
FLASHBACK FEW HOURS EARLIER...
NATHAN menghisap rokoknya dalam-dalam. Kaki kanannya berjegang. Matanya melirik ke seluruh penjuru klub sambil sesekali mengepulkan asap dari mulutnya. Beberapa hari ini, dia lelah sekali. Ayahnya sendiri sepertinya begitu tidak mempercayainya sampai-sampai dia harus menjadi babysitter untuk seorang perempuan antik yang... benar-benar antik. Duh, dia tidak lagi dapat menemukan kata yang lebih tepat untuk menggambarkan perempuan itu.
Sekilas pandang, dia melihat beberapa penari melirik sepintas ke arahnya, seolah mereka sedang berbicara tentang dia. Sebuah seringai terbentuk di bibirnya. Dia sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Gerombolan perempuan menoleh ke arahnya sambil berbisik dan tertawa kecil. Pelayan perempuan juga terus saja mendatanginya, menawarinya untuk tambah minum. Dia mengiyakan saja. Sekarang ini dia memang sedang ingin membuang pikiran-pikiran yang memberatkan kepalanya.
Dia meneguk segelas bir yang diantarkan di mejanya. Bibirnya terlihat kembali menyunggingkan seringai. Satu lagi perempuan tertangkap basah sedang mengamatinya. Satu lagi, dua, tiga. Lama kelamaan pikirannya justru semakin berputar. Dia terus meneguk gelas yang ada di tangannya. Pandangannya perlahan memudar. Nathan mengguncang kepalanya, mencoba membuat semuanya menjadi lebih jelas. Tapi tanpa dia sadari, sebuah tangan secara ringan menepuk pundaknya. Membuat Nathan secara spontan menolehkan wajahnya.
Hugo.
"Hey yo, Nate!" Nathan membalasnya dengan sebuah senyuman.
"Sendirian saja?"
Nathan menuangkan botol bir pada gelasnya.
"Jim tidak ikut. Dia tidak pernah suka tempat seperti ini."
Kebingungan terlihat muncul pada wajah Hugo. Maka dengan setengah tersenyum, dia kembali melempar pertanyaan kepada Nathan. "Jim?"
Nathan tertawa lepas. Dia selalu saja tertawa setiap kali orang-orang tidak tahu nama saudaranya. Memang, tidak ada yang lucu dari itu. Tapi selalu saja dia tidak bisa menahan hasratnya untuk tertawa lebar-lebar ketika melihat kebingungan perlahan muncul di wajah mereka.
"Jeb. Saudaraku. Namanya panjang."
Hugo mengangguk paham. Tentu saja dia paham. Sebagai seorang keturunan Spanyol sendiri, dia pasti juga memiliki nama yang panjang. Jadi hal seperti ini pasti tidak asing untuknya.
"Anyway, kita punya barang baru. Fresh. Dari Tijuana. Kau mau coba, hermano?"
"Bagaimana orang yang kusarankan? Dia bisa bekerja bagus?" Nathan terlihat mengalihkan pembicaraan. Dia memang tidak pernah berminat dengan benda-benda seperti ini. Semua tentu saja karena dia telah mengamati dengan mata kepalanya sendiri bagaimana barang-barang seperti ini sudah menghancurkan hidup saudaranya sendiri, Guy.
"Sí. Dia membuat barang bagus. 99%."
Nathan menganggukkan kepalanya. "Kedengarannya bagus."
"Bagaimana, Bro? Kau mau mencoba sedikit?"
"Nah, aku tidak tertarik dengan crystal. Thanks tho."
Hugo kembali menepuk pundak Nathan untuk yang kedua kalinya. "Kalau kau mau mencoba. You know where to call me. Lagipula kau sudah sangat banyak membantu kami, Nate."
Nathan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Hugo berbicara sebentar sebelum akhirnya pergi.
Laki-laki itu kembali tersenyum sambil menghisap rokoknya. Dia tidak pernah menduga berbisnis dengan orang-orang seperti mereka ternyata semudah ini. Nathan sekarang sudah dengan mudah mengambil kepercayaan dari Hugo. Kingpin London yang terkenal. Lagi-lagi dia tersenyum membayangkan keuntungan yang akan dia dapat dari ini.
"Kau sebaiknya tidak banyak bergaul dengan mereka, Johnny." Nathan menghela nafas ketika melihat saudara perempuannya, Brooklyn tiba-tiba saja berdiri di hadapannya.
"Apa maumu, Brooke?"
"Tidak ada. Aku hanya kebetulan saja sedang ada di sini. Dan kau tahu apa Jonathan? Aku melihatmu berbicara dengan laki-laki tadi."
"So what then? Aku bisa berbicara dengan siapa saja, girl."
"Benahi dirimu, Johnny. Bantu ayah mengurus urusan-urusan ini."
Nathan kembali meneguk segelas bir yang ada di tangannya.
"Ada Jeb. Aldrich. Marco. Dan ada kau Brooke. Ayah tidak akan pernah memerlukan bantuan dariku-," Nathan menghela nafas pelan. "-aku hanyalah sebuah kegagalan. Sama seperti Guy."
"Oh c'mon!" Brooklyn menepuk keras pundak Nathan.
"Otakku ini terlalu dangkal untuk mengurus urusan mafia seperti ini." Jawab Nathan singkat.
Brooklyn tertawa keras. "Mafia? Yang benar saja."
"Aku lebih suka dengan sebutan mafia. Lagipula kau tidak melihat semua berita di TV? Internet? Mereka kadang memanggil kita mafia. Mafia dengan tanda petik."
"Mereka selalu menyebut keluarga pengusaha seperti kita ini sebagai mafia."
Nathan hanya tersenyum.
Kesunyian kemudian terjadi cukup panjang di antara mereka. Brooklyn sibuk menatap layar ponselnya sedangkan Nathan tidak henti-hentinya menghisap rokok dan meneguk bir yang ada di tangannya. Matanya kembali bergulir, menengok ke seluruh penjuru ruangan. Hari semakin sore. Dari pengamatannya, pengunjung yang berdatangan pun juga makin bertambah. Musik berdentum semakin kencang. Di tempat seperti ini, suasana justru semakin hidup apabila hari makin bertambah malam.
Pandangannya beralih ke arah pintu depan. Sambil mendengarkan musik yang sedang diputar, Nathan mengamati segerombolan perempuan yang baru saja masuk. Satu persatu wajah asing melewati pintu, diikuti dengan gelak tawa yang terdengar riang. Beberapa dari mereka yang menyadari pandangan Nathan seketika tersipu. Seperti wanita pada umumnya, mereka akan berbisik dan tertawa kecil. Sebagian menundukkan kepala dan tersipu malu.
"Johnny.." Nathan masih mengepulkan asap dari mulutnya. Dia sepertinya tidak mendengar suara saudara perempuan yang memanggilnya itu.
"Jonathan." Brooklyn mengguncang tubuhnya pelan, membuat Nathan seketika memalingkan wajahnya.
"Hmm?"
"Aku pulang." Karena musik yang diputar terlalu keras, perempuan itu mengangkat tangannya, seolah memberi isyarat kepada saudaranya kalau dia akan pulang sebentar lagi.
"Oh, ya. Tentu." Nathan mengangguk.
Brooklyn mendekatkan wajahnya ke arah Nathan untuk mendaratkan sebuah kecupan di pipinya. "Jangan minum terlalu banyak. Ok?"
Nathan sebenarnya tidak dapat mendengar apa yang diucapkan saudarinya itu. Tapi meskipun begitu, dia tetap menganggukkan kepalanya.
"Take care." Dan dengan begitu, Brooklyn berlalu.
Lagi-lagi Nathan duduk seorang diri. Pandangannya kembali bergulir. Matanya beralih ke segela arah, mencoba mengamati hal-hal kecil yang ada di sekelilingnya. Hingga kemudian dia melihatnya: seorang perempuan berambut kecoklatan sedang tersenyum ke arahnya.
Nathan tidak bereaksi. Dia kembali menghisap batang rokok di tangannya yang hampir habis. Nathan mengalihkan pandangannya dari perempuan itu ketika seorang pelayan tiba-tiba saja berdiri di depannya.
"Mau tambah minum, Sir?"
"Ya."
Pelayan itu berlalu. Dan di saat itulah, dari sudut matanya, dia melihat perempuan tadi berjalan menuju ke arahnya. Rambutnya yang berwana coklat tua terlihat berkilauan di bawah sorot lampu. Matanya berbinar. Dan tanpa diduga, senyuman lebar terlihat menghiasi bibirnya.
Begitu berada beberapa langkah di depan Nathan, perempuan itu segera membuka pembicaraan.
"Sendirian saja?" tanyanya dengan penuh basa-basi.
Laki-laki itu hanya tersenyum tipis. Pada saat ini, Nathan tidak sedang berminat untuk segala macam omong kosong seperti ini. Dia terus saja terdiam, sambil berharap perempuan ini akan segera pergi begitu mengetahui dia tidak tertarik dengan ini.
"Kau yang namanya Jonathan Godfrey itu kan?" tanya perempuan itu dengan nada menggoda. Tidak seperti yang Nathan harapkan, perempuan itu justru meletakkan tasnya dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Nathan.
"YaP." Nathan memberi tekanan pada huruf terakhirnya.
"Apa benar Godfreys membeli klub dari Manchester itu?"
"Sebaiknya kau tanya sendiri pada ayahku. Aku tidak begitu tahu hal semacam itu." Jawab Nathan singkat.
"Oh benarkah? Kukira kau sendiri yang melakukan penawarannya...." Perempuan itu terlihat menggigit bibir bawahnya.
"Tidak jummh," Sebelum Nathan mampu untuk menyelesaikan kalimatnya, wanita itu mendekat dan segera melumat bibir Nathan.
Nathan yang merasa berputar-putar karena sedikit mabuk hanya bisa terdiam. Perempuan itu menicum bibirnya dengan penuh hasrat. Setiap pagutan yang dia berikan pada bibir Nathan terasa begitu intens. Kedua tangannya menjelajahi setiap lekuk wajah Nathan, hingga kemudian mulai turun ke arah leher dan bahunya.
Tanpa terasa, perempuan itu semakin mendekatkan tubuhnya pada Nathan. Ciuman mereka terasa semakin panas dan sentuhan tangannya pun semakin tidak terkontrol. Tangan mungil itu perlahan turun dan semakin turun ke bawah, hingga kemudian secara tiba-tiba Nathan seolah tersentak. Entah apa yang terjadi pada dirinya, tapi yang jelas pada saat ini, dia merasa tidak terkendali.
Nafasnya berpacu beriringan dengan detak jantungnya. Semakin lama, tubuh Nathan semakin menghangat. Dia bisa merasakan bahwa di bawah sana, dia sudah mengeras dan berdenyut. Seluruh peredaran darahnya seolah mengalir dan berpusar di sana.
Nathan harus menyelesaikan perempuan ini di saat ini juga. Tidak ada waktu untuk merasa tidak yakin.
Perempuan itu memperdalam ciumannya. Tangannya terus saja menjelajahi setiap inchi kulit yang ada di wajah Nathan. Semua sentuhan yang diberikan perempuan itu membuat Nathan merasa semakin ingin menidurinya.
It has to be done!
Nathan mulai kesulitan untuk bisa menahan dirinya. Kedua tangannya merengkuh tubuh gadis itu. Berawal dari dadanya, turun di perut, hingga kemudian Nathan mencoba untuk melucuti pakaian yang dikenakan oleh perempuan itu di saat itu juga.
"Kita tentu tidak akan melakukannya di sini kan..?" tanyanya sambil mengecup bibir Nathan sekilas.
Laki-laki itu menatap tajam ke arah perempuan yang tidak dia ketahui namanya itu. Sambil berusaha menahan dirinya, dia menganggukkan kepalanya, menjawab pertanyaan yang ditanyakan kepadanya tadi.
"Bagaimana kalau kita menyewa kamar?"
Gairahnya memuncak. Nathan yang tidak bisa lagi menahan dirinya lebih lama kembali menciumi perempuan itu. Di tengah ciuman mereka yang begitu panas, Nathan berbisik pelan.
"Ya. Itu ide yang bagus."
***
SAMBIL terus menciumi Nathan, perempuan itu melucuti satu persatu pakaiannya. Tangannya tidak henti-hentinya menggerayangi wajah laki-laki itu, seolah tidak ingin melepaskannya. Tanpa tergesa-gesa, dia membaringkan tubuhnya. Tidak lupa dia menuntun Nathan untuk terus mendekat ke arahnya, sepertinya dia tidak ingin menghentikan ciuman mereka. Sentuhan perempuan itu perlahan turun ke leher, kemudian naik lagi di bagian rambutnya. Dia menarik rambut Nathan sekilas, seolah meminta lebih.
Desahan pelan yang dikeluarkan perempuan itu membuat Nathan semakin panas. Semakin lama, Nathan seolah semakin bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang membara di dalam dirinya. Tanpa dia sadari, Nathan mulai melucuti celananya sendiri. Tangan perempuan itu itu mencoba membuka satu demi satu kancing baju yang Nathan gunakan, tapi sebelum dia bisa melakukannya, Nathan menghentikannya.
Wanita itu mengangkat wajahnya, untuk melihat Nathan memasang tatapan tajam ke arahnya. "Tidak."
Nathan belum pernah menanggalkan bajunya setiap kali dia berhubungan badan dengan seseorang. Belum pernah dan mungkin tidak akan pernah. Dia tidak pernah ingin orang lain melihat luka yang bersarang di sekujur tubuhnya.
Laki-laki itu kembali menciuminya. Di tengah semua ciuman itu, tangan kanan Nathan perlahan mengarahkan kejantanannya pada mulut kewanitaan milik perempuan itu. Saat ujungnya bersentuhan, dia bisa merasakan seberapa basahnya partner bercintanya malam itu. Pada saat itu juga, dia tahu bahwa mereka berdua sudah sama-sama siap.
Perempuan itu tidak henti-hentinya mengamati Nathan. Laki-laki itu mengatur posisinya, hingga tidak berapa lama, mereka menyatu. Sebuah desahan pelan tanpa terasa keluar dari mulutnya. Perempuan ini terasa rapat, benar-benar rapat. Membuat gelombang kenikmatan seketika mengguyur tubuh Nathan. Selama beberapa saat, Nathan hanya menutup matanya, mencoba menikmati semua perasaan yang hinggap padanya itu. Lalu tibalah saatnya dia ingin yang lebih. Dia ingin lebih dari sekedar penetrasi. Dia ingin lagi. Dan di saat itulah dia mulai bergerak. Pada setiap gesekan yang dibuatnya, dia bisa merasakan kenikmatan seolah datang dan terus berpacu di dalam dirinya.
"Lebih cepat, Jonathan lebih cepat." Wanita itu memekik keras.
Nama Jonathan terdengar begitu janggal ketika diucapkan oleh orang lain selain Brooklyn, dia menyadarinya. Tapi dengan cepat, dia menghiraukan semua itu. Tanpa membuang waktu, Nathan pun mempercepat gerakannya. Masih menutup matanya, Nathan terus berusaha untuk mempertahankan kecepatannya. Hingga setelah tidak seberapa lama, perempuan itu memekik panjang. Dia telah mencapai puncak kenikmatannya. Nathan menyusul beberapa menit kemudian.
Tubuhnya yang menghangat terjatuh di samping perempuan itu. Nafasnya berat dan tidak terkontrol. Matanya yang sayu menatap langit-langit kamar. Dia masih setengah sadar. Sebagian dari dirinya seolah masih tertinggal di suatu tempat, membuatnya harus menunggu beberapa saat supaya dia bisa benar-benar memengang kendali atas tubuhnya.
"Itu tadi sungguh menyenangkan." Ucap perempuan itu.
Nathan masih mengatur nafasnya.
"Namaku Melissa."
Sunyi. Tidak ada satupun dari mereka yang melanjutkan percakapan. Masing-masing dari mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri: mengatur nafas, menenangkan diri. Mereka berdua baru saja terbang di atas awan dan sepertinya inilah saat yang tepat bagi mereka untuk kembali memijakkan kaki di tanah.
Kesunyian masih berlanjut selama beberapa menit kemudian. Hingga pada akhirnya, perempuan itu beranjak dari tempat tidur. Tanpa diduga, dia mulai mengenakan satu persatu pakaian yang dia lucuti sambil dengan nakal mengarahkan pandangannya kepada Nathan.
"Kalau kau mau kita bertemu lagi.. kau bisa menghubungiku." Dia meraih sesuatu dari tas kecilnya dan meletakkannya di atas meja.
"It's nice to meet you, Jonathan Godfrey." Wanita itu meraih tasnya dan tidak lama kemudian, tubuhnya berlalu melewati pintu.
Nathan yang setengah telanjang masih berbaring di atas tempat tidur. Sepertinya dia memerlukan waktu yang lebih lama untuk menenangkan dirinya. Well, itu sepertinya sudah pasti. Perempuan itu terasa begitu rapat. Dia seperti belum pernah merasakan yang serapat itu sebelumnya.
Begitu dia sudah mulai mendapatkan kesadaran, kedua matanya menengok ke arah botol bir yang ada di atas meja. Dia sudah sedikit mabuk saat ini, ya, dia menyadari itu. Tapi entah mengapa, dia masih ingin minum.
Laki-laki itu beranjak untuk mengenakan celana yang dia tanggalkan tadi. Dengan langkah gontai, dia berjalan mendekati meja. Diraihnya sebotol bir dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Satu tegukan, dua tegukan, tiga.
Dia menjadi semakin mabuk.
Pandangannya kini mengarah pada jam digital yang ada beberapa di depannya. Matanya yang buram membuatnya sesekali memicingkan matanya, berusaha untuk dapat membaca waktu dengan lebih jelas. Tapi dia tidak bisa berbohong, semakin dia berusaha, semakin kabur tulisan yang dia baca.
"8.30. Setengah sembilan." Dia meraih jaketnya dan segera bersiap untuk pulang. Dia sudah terlalu lama disini.
Kecuali ternyata sekarang jam sebenarnya menunjukkan pukul 6.30: dia salah baca.
Nathan berjalan keluar dari kamarnya. Tidak lupa dia meninggalkan 10 pounds di atas meja, untuk membayar bir yang sudah di antar ke kamarnya. Tapi ternyata dia lupa, bahwa dia sudah mengeluarkan 10 pounds tepat sebelum masuk ke dalam kamar.
Menjadi mabuk selain membuatnya menjadi pusing tapi ternyata juga membuat dia menjadi lebih boros.
Nathan berusaha berjalan hingga keluar dari klub. Angin dingin menerpa wajahnya. Jaket tebal yang dia gunakan seolah tidak dapat menangkal dinginnya malam. Lalu lintas terlihat padat. Banyak kendaraan berlalu-lalang di depannya. Nathan berjalan maju hingga tidak berapa lama kemudian, dia mendengar suara laki-laki dari dalam black cab berseru ke arahnya.
"Kau butuh taksi, Sir?"
Nathan mengangguk. Tidak banyak membuang waktu, Nathan segera masuk ke dalam.
"Mau kemana, Sir?" supir taksi mengalihkan pandangannya ke arah Nathan.
Dia terdiam sejenak. Pikirannya terasa berputar. Seketika di saat itu juga, dia tidak dapat mengingat apapun. Di mana rumahnya, berapa usianya, semua informasi dasar itu seolah lenyap dari kepalanya.
"Sir?
Nathan masih mencoba mengingat. Satu demi satu informasi, dia mencoba untuk segera mengetahuinya. Tapi sesuatu seketika muncul dari balik pikirannya. Dari banyak hal penting yang seharusnya dia ingat, dia justru mengingat perempuan antik itu. Matanya yang kecoklatan, bibirnya yang lembut...
"Sir? Kau baik-baik saja?"
"Be- belgrave Court, 36 Westferry Cir - cus." Alamat itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya.
Itu adalah rumah Lydia.
Mungkin ini hanyalah sebuah kebetulan. Tapi yang jelas, di sepanjang perjalanan, dia tidak henti-hentinya mempertanyakan dirinya sendiri: bagaimana bisa, satu-satunya hal yang saat ini dapat dia pikirkan hanyalah peremuan aneh itu?
***
unedited. first draft.