Remember Me |√

By shellanvya

26.1K 2.9K 1.2K

Akan selalu ada saat, bahkan yang tidak berbatas waktu harus diakhiri. More

CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
Dilewatin? Jangan lah.
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
EPILOG
A Long Walk to Be Ending

CHAPTER 14

636 89 21
By shellanvya

Meski sudah condong ke arah barat, Sandra masih merasa kulitnya terpanggang ketika ditimpa sinar matahari. Entah untuk yang keberapa kali punggung tangannya mengusap peluh yang merembesi wajahnya. Sandra tidak pernah terbiasa berdiri dalam jangka waktu yang lama, tidak pernah terbiasa dengan keramaian, tidak pernah terbiasa menunggu antrian. Namun sekarang ia tengah melakukan ketiganya.

Sudah hampir dua puluh menit lamanya Sandra menjadi bagian dari barisan mengular di depan salah satu loket stadion GBK. Berpanas-panas ria bersama ratusan penggemar bola lainnya. Beringsut selangkah demi selangkah setiap kali satu orang di ujung depan memperoleh tiket. Sandra sendiri sepertinya masih lama karena tempatnya mengantri sekarang tergolong di belakang.

Sandra mengeluarkan iPodnya dari saku jogger pants yang ia kenakan. Memasangkan earbuds ke telinga sambil menyalakan lagu secara asal-asalan. Apapun itu, asal suara semrawut di sekelilingnya hilang. Supaya pikirannya bisa lebih jernih.

Sandra terkesiap ketika merasakan sebuah tepukan hinggap di bahunya. Sambil memejamkan mata ia menarik ke depan tas selempangnya. Mengamankan beberapa benda berharga disana. Ia bersumpah kalau tangan itu masih saja menempel di pundaknya lebih dari lima detik ia akan berteriak.

"Mbak."

Sandra tidak mendengar penggilan itu, tentu saja. Ia juga sudah berubah pikiran. Sandra tidak akan berteriak, justru kini ia membalikkan badan. Mengangkat tas selempangnya tinggi-tinggi. Bersiap memukuli siapapun yang tadi menyentuh pundaknya dan dicurigainya berniat jahat. Seperti menghipnotis atau lainnya.

"Mau apa lo?" Sandra mendaratkan pukulan bertubi-tubi. Tidak terlalu keras mengingat kondisinya yang lumayan kelelahan, namun rupanya cukup untuk membuatnya jadi bahan tontonan. "Lo mau niat jahat ya? Nih rasain nih!"

"Bukan, gue bukan orang jahat." Laki-laki yang kini digebuki Sandra berusaha membela diri. Ditangkisnya semua serangan Sandra dengan mudah. "Nih makanya dengerin dulu." Katanya sambil merenggut paksa salah satu earbuds di telinga Sandra sampai terlepas.

Dipaksanya cewek itu diam dengan memberinya kode bahwa detik itu juga mereka menjadi bahan tontonan. "Lo tuh jadi orang negatife thinking banget ya."

Sandra memandang berkeliling dan mendapati orang-orang telah terlebih dahulu memandangnya, kemudian ia kembali memindai laki-laki dihadapannya lekat-lekat. Tampak seumuran dengannya.

"Gue nggak punya niat jahat sama lo, gue cuma mau nawarin bantuan. Itu pun kalo lo mau."

Sandra masih menatap laki-laki itu curiga.

"Gue kasihan liat lo cewek berdiri disini dari tadi, panas-panasan kayak gini. Jujur deh, lo capek-kan? Kalo lo emang udah nggak kuat biar gue yang antriin." Laki-laki itu berdecak mendapati tatapan Sandra yang rasanya menusuk. "Nggak usah berpikir gue akan bawa kabur uang lo."

Sandra mulai percaya bahwa laki-laki itu itu tidak berniat jahat. Mungkin memang dia adalah orang baik yang punya niat baik, tapi tetap saja prinsip Sandra untuk tidak mudah percaya pada orang lain masih ia jalankan sama baiknya. "Nggak perlu, gue masih kuat."

Tepat setelah mengatakan itu Sandra hendak berbalik, namun yang ada adalah tubuhnya terhuyung ke depan. Hampir tersungkur ke tanah kalau laki-laki itu tidak menahan bahunya. "Ini yang katanya masih kuat?" tanyanya sarkastik. "Last offers, lo mau dibantu atau enggak?"

No choise. Sandra membuka resleting tasnya, mengambil dompet dan menarik keluar dua lembar lima puluhan. "Dua tiket ekonomi, kembaliannya balikin, gue tunggu disana."

Sandra duduk di bangku besi penjang lima meter di arah tenggara loket. Menunggu sekitar lima belas menit sampai laki-laki itu menghampirinya dan menyerahkan dua lembar tiket beserta uang kembalian.

"Makasih, sorry buat yang tadi. Gue bener bener nggak enak." Kata Sandra tulus.

Laki-laki itu mengembangkan seulas senyum. "It's okay. Gue seneng bisa bantu orang."

"Ren, buruan!"

Laki-laki itu menoleh ke arah sumber suara, seorang wanita di kejauhan sana tampak sedang menunggunya. "Ya udah, gue cabut dulu. Bye!"

Sandar menarik ujung kaos laki-laki itu, memaksanya menoleh lagi ke belakang. "Ren? Ren siapa?"

Laki-laki itu mengerutkan dahi. "Oh.. nama gue? Reno."

Tarikan Sandra di ujung kaos laki-laki bernama Reno itu terlepas. Tangannya jatuh melunglai di bangku besi. Lepas dari keterkejutan, Sandra mendapati laki-laki itu sudah menghilang. Senyumnya pun mengembang tak terelakkan. Mungkin semuanya tidak serumit yang ia kira. Mungkin lewat kebetulan kecil ini Tuhan ingin memberi tahu Sandra satu hal. Bahwa seperti apapun ceritanya, Reno akan selalu menjadi penyelamat Sandra. Meski kali ini terpaksa diwakilkan. Yang penting nama mereka sama.

Skip

"Begitu selesai pertandingan langsung antar Gita pulang." Kata bapak di teras depan. Dipandanginya Reno dari ujung ke ujung. Seolah masih belum merasa yakin meski tadi sore Reno sudah beliau introgasi habis-habisan. "Kalo ada apa-apa langsung telpon bapak." Kini, laki-laki berumur hampir setengah abad itu menatap Gita yang sudah siap dengan jaket Barcelona FC.

Mereka -Gita dan Reno- mengucap salam setelah sebelumnya mencium tangan bapak bergantian. Kalau saja kalian belum membaca tingkah ajaib Reno di bab sebelumnya, mungkin gelagat Reno kali ini akan membuat kalian berpikir bahwa seorang Reno adalah anak laki-laki idaman calon mertua.

"Jaket kamu kancingin Ta." Reno berkata sambil mengenakan helmnya.

Gita tidak mendengarkan, karena kali ini gadis itu tengah sibuk mengaitkan helmnya. Hal itu membuat Reno gemas, disejajarkan tubuhnya dengan Gita. Tanpa berkata-kata laki-laki itu mengaitkan ujung resleting jaket Gita, ditariknya ke atas sampai menutup. Percayalah, bahwa hal sederhana semacam itu membuat Gita membeku.

"Malah bengong, yuk naik!"

Gita memandang Reno yang tau-tau sudah berada di atas motor besarnya. Menunggu Gita supaya turut serta.

Gita belum pernah mendapati satu malam Jakarta yang seindah ini. Anginnya menghembus selembut beludru, bintangnya berserakan di langit membentuk rasi yang tidak ia pahami dengan baik, lampu-lampu kota berpendar seperti sekumpulan kunang-kunang raksasa. Ah.. mungkin ini hanya perasaannya saja, mungkin juga ini karena Reno ada di dekatnya.

Sepuluh menit kemudian, Gita merasakan laju motor Reno melambat. Memasuki pelataran Plaza. Tapi anehnya motor besar itu tidak kunjung berhenti, semakin ke dalam Gita justru dibuat bingung oleh kendaraan yang dibiarkan berserakan memenuhi lapangan parkir bahkan beserta penumpangnya. Alih-alih tertata dengan rapi seperti parkir kebanyakan. Di ujung sana, Gita melihat layar raksasa dibentangkan tinggi-tinggi. Dari situ juga, ia tahu bahwa pertandingan belum dimulai karena yang terlihat sekarang adalah dua komentator pertandingan yang masih berbincang-bincang.

"Turun yuk!"

Gita yang tengah asyik meneliti sekeliling tergagap. "Eh iya."

Buru-buru ia melompat turun, disusul Reno yang kemudian bersandar di tangki motor. "Nobar yang ini memang beda dari nobar kebanyakan." Celetuk Reno.

Gita mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Mengabaikan suara-suara lain di sekelilingnya yang tumpang tindih.

"Nobar kali ini mengangkat tema drive-in carnival yang sempat hitz pada tahun 60-an. Jadi ya konsepnya begini, penonton sekalian bawa kendaraannya kesini, duduk di mobil atau motornya masing-masing."

Gita mengangguk-angguk. "Kamu kok bisa tau?"

"Kok kesannya kaget gitu?" Reno memasang tampang seolah tersinggung.

Gita tersenyum, dipandangnya Reno tepat di mata. Dan di antara pendar lampu temaram, mata itu terlihat bersinar. "Kamu emang hebat, makasih udah bawa saya kesini."

"Tunggu sini bentar ya." Sedetik setelah mengatakan itu, Reno segera melesat ke arah tenggara, membaur dalam keramaian sampai kemudian tak terlihat.

Gita kembali melempar pandangan pada layar raksasa, pertandingan belum dimulai. Ia memandang berkeliling dan mendapati beberapa pasangan yang juga sedang menghabiskan malam di tempat ini. Kebanyakan dari mereka sih muda-mudi ber-couple jersey, tidak seperti ia dan Reno yang justru berlainan kostum, maklum tim favorit mereka juga beda.

"Is.." Gita meringis kepanasan ketika Reno menempelkan gelas kertas berisi kopi mengepul ke lengannya. Ia lantas mendorong bahu Reno secara reflek, membuat Reno justru terkekeh.

"Salah sendiri dipanggilin nggak nyaut-nyaut." Reno memaksakan satu gelas kopi ke tangan Gita. Kemudian menyesap miliknya sendiri. Di telusurinya jejak pandangan Gita tadi. "Liatin orang pacaran ya?"

Gita menggeleng serta merta, ditundukkan kepalanya pada cairan hitam pekat di gelas yang ia genggam. Sebagai bentuk pengalihan agar pipinya yang memanas dan diduganya memerah tidak terlihat.

Reno memindai profil pasangan yang berdiri tidak jauh dari mereka secara teliti tapi tetap tidak kentara. Dua-duanya duduk di atas motor matic keluaran terbaru. Tangan si cowok di lingkarkan ke pinggang ceweknya. Sementara yang cewek menyandarkan kepalanya di bahu si cowok.

"Ceweknya oke sih, tapi cowoknya tampangnya udah tua. Masih jauh lebih ganteng saya lah." Kata Reno ngaco. "Liat deh, malah genit banget lagi. Tuh matanya masih jelalatan. Ceweknya nggak nyadar apa?"

Gita menabok lengan Reno. "Kamu apaan sih? Kalo mereka denger gimana?"

"Ya baguslah." Reno mengangkat bahu. "Lagian di tempat umum kok kayak begitu. Berasa dunia milik berdua aja. Padahal yang lainkan punya mata, kasihan kan kalo harus liatin pemandangan nggak bergizi begitu."

"Tapi kalo udah begini, saya juga berasa lagi pacaran lho, Ta."

Gita mendapati wajah Reno cengengesan tapi matanya tidak. Gita menunduk lagi disipu malu. Kenapa sih Reno nggak sadar-sadar, bahwa celetukan kecilnya yang entah serius atau tidak seringkali membuat Gita kena serangan jantung.

"Diminum dong Ta, masa diliatin terus. Bohong banget deh, kalo suka nonton bola tapi nggak suka kopi." Kata Reno. Dan memang benar, Gita sering kali memanfaatkan zat kafein dalam kopi untuk membantunya terjaga sampai larut malam, untuk menjernihkan pikirannya di kala kusut.

Reno meremukkan gelas kertasnya yang isinya telah berganti udara. Di genggamnya erat di samping tubuh. Dengan sok tenang cowok itu berkata. "Taruhan yuk."

-bersambung-

Line: @ShellaNovanda_

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 5.1K 20
[SUDAH DITERBITKAN SECARA SELF PUBLISH] [SEMUA PART SUDAH DIUNPUBLISH] #1 The Tied Series "Sejak awal melihatmu, aku tahu kamu bentuk nyata dari benc...
273 76 7
Bagaskara, remaja laki-laki yang mulai menapaki jalan menuju kedewasaan. Seharusnya masa remajanya penuh dengan keceriaan dan tawa, namun takdir berk...
Ephemera By siGit

Mystery / Thriller

123K 4K 9
Tersedia di toko buku terdekat. [Winner of Wattys 2018: The Change Makers] Rumah di tepi rawa itu menyimpan bahaya. Suatu hari Venus, anak perempuan...
331 76 9
Zoraya, makhluk abadi, terjebak dalam siklus kematian dan kelahiran kembali yang tak berujung. Kamu bagaikan parasit yang menumpang hidup. Keberadaan...