Suasana di pagi menjelang siang ini berbeda dari sebelumnya. Tak biasanya hujan turun di waktu istirahat siswa-siswi sekolah yang memiliki gerbang hitam tinggi itu yang membuat rasa lapar melanda beberapa dari mereka.
Berbeda dari yang lain, udara yang dingin itu justru membuat tiga pemuda yang memakai sweater marun, biru tua, dan abu-abu itu memilih untuk menetap di ruang kelas mereka. Berhubung kelas mereka kosong, ketiganya berkumpul dibagian belakang kelas mereka.
Ketiganya sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Gabriel, pemuda ber-sweater biru tua itu sibuk dengan laptopnya. Berbincang melalui dunia maya dengan gadisnya yang berada di gedung sekolah lainnya.
Alvin, pemuda ber-sweater marun itu tengah sibuk mengutarakan suara hatinya melalui sebuah gitar. Diikuti oleh Cakka, pemuda ber-sweater abu-abu itu yang turut bernyanyi seraya berbaring di lantai dengan memakai tas Alvin, pemuda ber-sweater marun tadi sebagai pengganjal di kepalanya.
"Don't deny me. This pain I'm going through. Please forgive me. I need you like I do"
Petikan gitar mengakhiri lagu yang baru saja kedua pemuda itu nyanyikan. Gabriel terkekeh pelan mendengar lagu yang kedua sahabatnya itu bawakan.
"Galau amat lo berdua" sindirnya.
Cakka terkekeh pelan. "Ya gue mah ngikutin gitar aja"
"Vin request dong. Lagu yang ceria" pinta Gabriel.
Alvin mencibir pelan. "Enak aja. Ini gitar spesial edisi hati gue"
Cakka tertawa terbahak. "Kenapa lo?"
Alvin menghela napas pelan. Masih memikirkan kalimat gadis itu. Sungguh ia hanya ingin hubungannya dengan sahabat 'sehidup semati'nya itu kembali seperti sedia kala. Entah butuh berapa kata maaf untuk mengembalikan keadaan seperti semula.
"Gapap-"
"VIN"
Ketiga pemuda itu sontak menghentikan kegiatan mereka. Menatap aneh pemuda yang mengenakan sweater berwarna putih yang menghampiri mereka.
Alvin mengerutkan keningnya. "Kenapa sih Yo?"
Rio, pemuda ber-sweater putih tadi menatap Alvin serius. "Lo putus sama Via?" Ujarnya dengan volume tinggi.
Alvin menghela napas berat. Masih saja membahas kejadian itu. Sesungguhnya Alvin sudah muak mendengar nama gadis itu. Menyesal pernah mengenal Via dalam hidupnya.
"Lebay lo. Udah dari kemaren kali" ujarnya.
Cakka dan Gabriel membelalakkan mata mereka. "Serius lo?"
"Iya"
Cakka mengangguk mengerti. "Pantesan galau" ujarnya.
Alvin menepuk pelan kepala Cakka. "Sotau lo"
Cakka menggeleng seraya berdecak pelan. "Kan udah gue bilang. Dia itu ga baik buat lo Alvin sayang" ujarnya disambut oleh Alvin yang bergidik ngeri.
Rio menghela napas berat. "Gue udah denger semuanya dari Ify" ujarnya.
Alvin memalingkan wajahnya. Terlalu malas membahas gadis itu. Gadis polos yang menyimpan ribuan siluman di dalam hatinya. Bagaimana tidak? Apa yang gadis itu dan Ify bahas kemarin cukup jelas. Bahkan sangat amat jelas.
Cakka mendelik kearah Rio. "Lebay lo ah. Alvin aja biasa aja"
"Masalahnya lo gatau Kka"
Gabriel menautkan kedua alisnya. "Emang ada apa sih?"
Rio menatap ketiga sahabatnya bergantian. Menceritakan tentang apa yang gadisnya jelaskan padanya mengenai apa yang terjadi antara Alvin dan Via. Tak lupa dengan kesalahpahaman yang selama ini terjadi antara mereka dengan gadis yang masih terbaring lemah ruangan bernuansa serba putih itu.
Cakka menatap Rio tak percaya. Sejak awal pemuda itu telah melihat sesuatu yang mengganjal pada gadis itu. Namun Cakka tak menyangka bahwa Via seburuk itu.
Berbeda dengan Cakka, Gabriel tersenyum remeh. Terlambat. Ya. Hanya itu yang dapat Gabriel simpulkan dari apa yang Rio sampaikan.
"Udah telat kali Yo. Shilla ga butuh lagi pengakuan ga bersalah atau kata maaf. Udah ga guna " ujarnya emosi mengingat apa yang Shilla lalui setelah gadis itu dijadikan 'tersangka' oleh seluruh penghuni sekolah.
Perkataan pemuda itu seakan menampar Alvin tepat di wajahnya. Kata maaf itu sesungguhnya sudah terlambat. Dan penyesalan memang selalu datang terlambat.
Cakka mengheka napas pelan. "Ya emang udah telat sih"
Gabriel tersenyum miring. "Kita temenan sama Shilla ga sebentar. Apalagi lo Vin. Masa iya seumur hidup lo ga cukup buat kenal dia lebih jauh?"
Alvin memeluk gitar yang sedari tadi berada dipangkuannya. Benar saja. Seumur hidup Alvin mengenal Shilla namun masih saja ia salah menilai gadis itu.
"Maaf gue ga guna ya Yel?" Ujarnya.
Gabriel menghela napas pelan. Tak tega juga melihat sahabatnya itu. Terlebih mengingat bagaimana kondisi pemuda itu sebelum Gabriel memberi tahu dimana Shilla berada. Gabriel dapat merasakan penyesalan di hati pemuda itu.
"Kan Shilla udah maafin lo Vin" ujar Cakka.
Alvin menghela napas pelan. "Gue tau. Tapi gue tau semua gabakal sama persis kaya dulu lagi"
Gabriel tersenyum seraya menepuk bahu pemuda itu. "Dia cuma butuh waktu. Dan lo tunjukin kalo lo ga omong doang"
**
Alvin memarkirkan motornya di halaman parkir rumah sakit. Sedikit mendapat pencerahan dari sahabatnya itu. Benar apa yang Gabriel katakan. Yang harus Alvin lakukan adalah menunjukkan pada gadis itu bahwa ia tak akan mengulang hal yang sama.
Pemuda itu berjalan menuju pintu masuk rumah sakit. Bertekad untuk selalu meluangkan waktunya untuk menemani gadis itu. Menebus kesalahannya yang pernah meninggalkan Shilla di masa-masa sulit gadis itu.
"Alvin tunggu"
Langkah pemuda itu terhenti saat seorang gadis menarik pergelangan tangannya. Alvin menatap sinis gadis itu. Untuk apa lagi gadis itu menghampirinya? Pemuda itu berdecak kesal.
Alvin melepas genggaman tangan gadis itu. "Apa lagi sih? Lo masih berani muncul di depan gue?"
Gadis itu meneteskan airmatanya. Entah ini hanya bagian dari permainan gadis itu atau tidak. Namun Alvin yakin airmata itu adalah airmata buaya.
"Gausah nangis. Bilang aja tujuan lo kesini apa" ujar Alvin.
Gadis itu kembali menarik lengan kanan Alvin. "Vin please kamu dengerin aku dulu. Apa yang aku sama Ify bahas itu ga bener"
Alvin mengangkat sebelah ujung bibirnya. Lucu sekali gadis itu. Sudah jelas bahwa bahkan Ify, sahabat terdekat gadis itu pun mengakui kebusukan sahabatnya itu. Mengapa masih terus mengelak?
"Vi stop. Mau kaya gimana lo bela diri lo, tetep aja lo salah. Mending sekarang lo pergi" ujar Alvin.
Via memeluk lengan pemuda itu. "Vin aku sayang sama kamu. Jangan kaya gini dong. Kamu putusin aku tiba-tiba. Kamu jahat"
Alvin melepas pelukan gadis itu di lengannya. Benar-benar keras kepala! Apa gadis itu tak punya rasa malu setelah apa yang ia perbuat?
"Vin. Aku udah putusin semua mantan aku itu. Udah. Sekarang tinggal kamu satu satunya di hati aku"
Alvin berdecak kesal. "Gue udah liat di jalan itu banyak lobang. Menurut lo gue bakal tetep milih lewat jalan itu?" Ujarnya.
"Vin aku sayang kamu jangan tinggalin aku. Aku minta maaf karena udah bikin kamu sakit hati" ujar Via.
Alvin tertawa remeh. "Lo salah kalo lo pikir gue sedih karena ini semua udah berakhir"
Via menangis sejadinya. Gadis itu terus memeluk lengan Alvin seraya mengulang kalimat itu. Masih tetap berusaha agar Alvin mau kembali padanya.
Alvin berdecak kesal. Mau tidak mau kali ini pemuda itu harus menggunakan cara yang sedikit kasar. Bukan Alvin yang menginginkannya namun gadis itu yang memintanya. Pemuda itu menghempas keras lengannya yang membuat gadis itu tersentak.
"Udah ya Vi. Cukup. Gausah ganggu gue lagi"
Via menatap kesal kepergian Alvin seraya menghapus air matanya. Sial. Ini semua pasti karena gadis yang tengah dirawat di rumah sakit itu. Via mengacak kasar rambutnya. Alvin dan Ray. Keduanya sama saja!
Dari kejauhan diam-diam seorang pemuda memperhatikan gadis itu sedari tadi. Sesungguhnya hatinya miris melihat kondisi gadis itu. Gadis yang sangat ia sayangi. Gadis yang selalu berada di hatinya apapun yang terjadi.
Ray, pemuda itu berdecak kesal. Berani-beraninya Alvin membuat gadisnya terpuruk seperti itu. Namun disisi lain pemuda itu menghela napas berat. Sesungguhnya kesalahan sepenuhnya memang berada pada gadis itu.
Ray diam-diam mengikuti gadis yang kini tengah duduk di salah satu kursi di taman rumah sakit itu. Masih dengan wajah murungnya, gadis itu menghentakkan kakinya. Meluapkan emosi yang ada padanya.
Via meremas tali tas yang dipakainya. Masih kesal dengan apa yang terjadi padanya saat ini. Sungguh ini cobaan terberat dalam hidupnya. Mengapa kedua pemuda yang ia inginkan pergi meninggalkannya?
Gadis itu menghela napas berat. Entah mengapa merindukan sosok Ray yang selalu ada untuknya. Walau pemuda itu telah memutuskan hubungan mereka, namun pemuda itu telah membuat hidupnya lebih berwarna. Lagipula, semua itu salahnya. Salahnya yang telah menyakiti hati pemuda itu.
Hanya Ray. Hanya pemuda itu yang masih tetap bertahan bahkan disaat pemuda itu tahu bahwa hatinya telah dipermainkan. Bahkan Alvin, pemuda yang sangat baik dimata Via, tak dapat bertahan seperti apa yang Ray lakukan.
Via menghela napas pelan. Hanya karena keegoisan dan dendamnya, yang terus ingin menunjukkan bahwa dirinya lah yang terbaik dan terhebat, ia baru saja kehilangan dua pemuda yang sangat mendekati kata sempurna.
"Gue sadar. Lo emang yang terbaik Ray" ujarnya.
Diam diam Ray tersenyum lebar. Dapat mendengar jelas apa yang baru saja gadis itu ucapkan. Pemuda itu menghela napas berat. Ingin sekali menghampiri gadis itu untuk menenangkannya. Namun ini adalah saat yang tepat. Ini saatnya pemuda itu menunjukkan bahwa apa yang gadis itu lakukan selama ini salah. Dengan harapan, gadis itu akan berubah.
**
Seperti hari-hari kemarin, dan sesuai dengan janji pemuda itu, Gabriel kini tengah berada di dalam ruang rawat gadis itu. Kembali menemani gadis yang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit itu seraya menunggu kekasihnya yang akan datang.
"Shill kenapa lo mau move on dari Alvin sih? Padahal kayanya dia udah balik lagi tuh jadi Alvin yang dulu" ujar pemuda itu.
Shilla menautkan kedua alisnya. "Kenapa lo tiba-tiba jadi bahas Alvin?"
Gabriel menghela napas pelan. "Dia tadi galau di kelas. Masih ngerasa bersalah gitu sama lo"
Shilla menghela napas pelan. Bisakah pemuda disampingnya itu diam dan tak membahas apapun tentang Alvin? Bukankah pemuda itu tahu bahwa Shilla tengah berusaha melupakan Alvin?
"Gue tau lo kecewa. Tapi gue juga tau kalo hati lo cuma buat Alvin. Dan lo ga bakal bisa lupain dia" lanjut pemuda itu.
Shilla mendengus kesal. "Lo tuh harusnya dukung gue"
"Tapi percaya sama gue. Percuma" ujarnya.
Shilla menghela napas berat. Semua telah menemukan kebahagiaan mereka. Seperti Agni yang bertemu Cakka dan Rio yang bertemu Ify. Bahkan Gabriel, yang telah terpisah bertahun-tahun lamanya dengan Pricilla akhirnya dapat bersatu kembali.
Sementara Shilla? Bertahun-tahun ia menunggu Alvin. Dan apa yang ia dapat? Memang. Shilla akui bukan salah Alvin jika ia memilih gadis lain. Karena hati tak dapat dipaksakan. Dan itulah yang disebut takdir. Yang artinya, takdir Shilla bukanlah bersama Alvin. Jadi, untuk apa gadis itu menekan perasaan pada pemuda yang bukan takdirnya?
"Yel lo gabakal ngerti. Makanya lo bantuin gue ya" ujarnya.
Gabriel menautkan kedua alisnya. "Bantuin apa?"
"Shillaaaaa"
Shilla tersentak saat seorang gadis memasuki kamar rawatnya. Ya. Shilla sangat mengenal gadis yang baru saja datang itu. Pricilla. Kekasih pemuda yang bersamanya sejak tadi. Benar saja. Tak mungkin Shilla meminta Gabriel untuk terus berada bersamanya agar ia dapat melupakan Alvin secara perlahan. Pemuda itu memiliki hidupnya sendiri. Ya Shilla. Usaha dengan dirimu sendiri!
"Hai Priss" ujarnya.
Pricilla menghambur dalam pelukan Shilla. Telah mendengar segala yang terjadi pada sahabatnya itu dari Gabriel. Gadis itu menghela napas berat. Tak menyangka sahabatnya itu akan berujung seperti ini.
"Shill gue gatau lagi mau ngomong apa" ujarnya.
Shilla terkekeh pelan. "Gausah ngomong kalo gitu"
Pricilla mencibir sejadinya. "Lo tuh ya. Eh iya by the way lo dicariin Ray. Katanya handphone lo ga aktif"
Benar saja. Shilla baru ingat. Benda kecil itu ia tinggalkan di dalam kamarnya saat Gabriel ingin mengantarnya ke rumah sakit. Shilla terkekeh pelan. Ada apa pemuda itu mencarinya?
"Ketawa lagi lo. Awas jadian beneran" goda Pricilla.
Gabriel terkekeh pelan. "Bener tuh Shill. Sama Ray aja" ujarnya.
Shilla mencibir sejadinya. "Seenak jidat lo"
Pricilla dan Gabriel sontak menoleh kearah pintu yang tiba-tiba saja terbuka. Keduanya tersenyum kearah pemuda yang datang dengan sebuah kotak bernuansa merah muda ditangannya. Pemuda itu melangkah hati-hati mendekati ranjang Shilla.
Shilla menautkan kedua alisnya. "Siapa Priss, Yel?"
Ray, pemuda yang datang tadi menatap gadis itu miris. "Shill gue sedih ah liat lo kaya gini" ujarnya.
Shilla mengerutkan keningnya. "Siapa sih?"
Ray mendengus pelan. "Masa ga kenal sama suara cowo sendiri" ujarnya.
Shilla mencibir sejadinya. Ternyata kekasih pura-pura nya itu benar-benar mencari jejaknya yang menghilang secara tiba-tiba.
Ray duduk di kursi yang sejak tadi Pricilla tempati sementara Pricilla dan Gabriel duduk di sofa diujung ruangan. Pemuda itu memberi kotak bernuansa merah muda yang dibawanya.
"Hadiah buat lo. Sebagai pacar ya walaupun pura pura" ujarnya.
Shilla terkekeh pelan. "Thanks ya"
Shilla dapat mendengar Gabriel dan Pricilla yang tengah bercanda di sofa yang mereka duduki. Gadis itu menghela napas pelan. Tak tega juga melihat pasangan baru yang baru saja bertemu kembali harus berkencan di ruang rawat seperti itu. Lagipula, Gabriel telah banyak sekali membantunya. Kali ini, Shilla yang harus mengerti pemuda itu.
"Yel" panggilnya.
Gabriel menautkan kedua alisnya seraya menghampiri Shilla. "Kenapa Shill?"
Shilla tersenyum pelan. "Sekali sekali jalan jalan gih sama Pricilla. Lo kan baru ketemu lagi sama dia" ujarnya.
Gabriel dan Pricilla saling tatap. "Gapapa Shill kita nemenin lo aja" ujar Pricilla.
Ray mengangguk pelan mendengar ucapan Shilla. Benar juga. Sepasang kekasih baru itu butuh waktu untuk berdua. Ya. Hanya mereka berdua.
"Udah Shilla biar gue yang jagain" ujar Ray.
"Yel lo udah banyak banget bagi waktu lo buat gue. Sekarang lo juga butuh waktu buat diri lo sendiri" ujarnya.
Gabriel mengangguk pelan. Mengisyaratkan Pricilla untuk setuju dengan saran dari gadis itu. Pricilla turut menghampiri Gabriel yang berdiri disamping kursi yang Ray tempati.
Gabriel tersenyum lebar. "Yaudah. Kalo gitu gue sama Prissy jalan dulu ya. Baik baik lo berdua" ujarnya yang disambut oleh anggukan Shilla.
Ray menepuk bahu Gabriel. "Hati-hati Yel, Cil. Yel jaga Pricilla yang bener" ujarnya.
Kini tinggal pemuda itu dan Shilla yang tersisa di ruangan itu. Pemuda itu menghela napas berat. Ingin meluapkan apa yang hatinya rasakan pada gadis dihadapannya itu.
"Shill gimana dong?" Ujarnya.
Shilla menautkan kedua alisnya. "Kenapa?"
"Gue sama Via"
Shilla tersenyum pelan. "Gue personally sih ga mau lo balikan sama dia lagi. Tapi gue tau hati ga bisa dipaksain. Jadi ikutin aja hati lo"
Ray tersenyum lebar. "Jadi menurut lo kalo gue balikan sama Via gapapa?"
"Enak aja. Tunggu dia putus dulu sama Alvin. Itu juga kalo"
Ray menautkan kedua alisnya. "Lah? Mereka kan udah putus. Emang lo gatau?"
"Serius lo?"
Pemuda itu mengangguk pelan. "Tadi gue liat Via mohon-mohon minta balikan"
Shilla membelalak dalam hati. Terselip sedikit rasa terkejut. Namun hatinya lebih didominasi oleh perasaan lega. Ya. Akhirnya Alvin lepas dari gadis itu. Kali ini, Shilla tak berharap untuk dapat mengisi kosongnya hati pemuda itu. Hanya ingin pemuda itu menemukan seseorang lainnya yang terbaik untuk pemuda itu.
"Hati lo bebal. Gue harus gimana lagi dong? Tapi lo pastiin dulu kalo dia udah bener-bener berubah. Inget Ray. Cinta sendiri itu bukan cinta namanya"
Ray mengangguk pelan. Gadis itu memang sangat dapat diandalkan. Andai saja hatinya tak memilih Via. Namun benar juga apa kata gadis itu. Hati dan perasaan memang tak akan pernah dapat dipaksakan.
Keduanya kembali larut dalam obrolan dan candaan mereka. Seperti sahabat lama yang baru saja dipertemukan. Ditemani oleh coklat yang Ray bawa sebagai hadiah untuk Shilla.
Dari kejauhan, melalui kaca bagian luar pintu ruang rawat itu seorang pemuda tengah menatap keduanya miris. Entah mengapa seakan ada monster dihatinya yang siap menerkam pemuda yang tengah membuka bungkus coklat untuk gadis itu.
Alvin, pemuda tadi pergi menjauhi ruang rawat itu. Mencoba mendamaikan monster yang tiba-tiba hadir dihatinya. Seakan ingin mencabik pemuda yang berada dengan gadis itu.
Alvin sadar. Ya. Memang seharusnya pemuda itu sadar. Bahwa kini gadis itu telah memiliki hidupnya sendiri. Ya. Telah banyak yang siap menjaga gadis itu. Hey! Bukankah pemuda itu yang meminta Shilla untuk pergi mencari hidupnya sendiri? Dan kini gadis itu telah mendapatkannya. Lalu siapa yang patut disalahkan? Ya. Tentu saja diri pemuda itu sendiri.