Tsuraiya Aghni

By SusanArisanti

1.2M 91.7K 10.7K

Sepulang berwisata, Tsuraiya Aghni menjumpai kakaknya mati bunuh diri. Dia melihat ada testpack dengan dua ga... More

Bab 1 Bintang Api
Bab 2 Anggrek yang Patah
Bab 3 Api yang Dipantik Saat Gelap
Bab 4 Akal yang Mendendam Hati yang Merindu
Bab 5 Janji Sebingkai Peraduan
Bab 6 Hujan, Tahu dan Rakryan
Bab 7 Rindu yang (Tak) Tersesat
Bab 8 Melukis Dendam A
Bab 8 Melukis Dendam B
Bab 9 Perempuan Gerhana 1
Bab 9 Perempuan Gerhana 2
Bab 9 Perempuan Gerhana 3
Bab 9 Perempuan Gerhana 4
Bab 10 Badai Akhir November 1
Bab 10 Badai Akhir November 2
Bab 10 Badai Akhir November 3
Bab 11 Pengantin Pelangi 1
Bab 11 Pengantin Pelangi 2
Bab 12 Monolog Mimpi
Bab 13 Detak, Napas dan Pupus 1
Bab 13 Detak, Napas dan Pupus 3
Bab 14 Menenun Api 1
Bab 14 Menenun Api 2

Bab 13 Detak, Napas dan Pupus 2

32.1K 3.5K 522
By SusanArisanti


Rakryan POV

Ponselku sudah bergetar 40 kali dan tanpa melihat layar, aku sudah tahu siapa yang menelponku sebanyak ini. Tidak mungkin kuangkat panggilannya. Aku sedang berbicara dengan Darusman Sidik, ayah Manora, sekaligus ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Persatuan Rakyat Provinsi Lampung. Rumail menyarankan untuk menekan Tidar-agar meralat keputusannya untuk seluruh kader partainya-yang telah menggoyang kesolidan tim kampanye melalui pria dewasa satu ini.

Sebagai ketua partai di tingkat provinsi, dia pasti punya legitimasi. Jika aku berhasil mempengaruhinya, kekuatan Tidar tidak akan berarti apa-apa. Tidar pasti berpikir dua kali jika tidak patuh. Pertama, loyalitas pada partai adalah harga mutlak yang harus dibayar oleh kader. Kedua, siapa saja yang membangkang pasti tidak akan selamat karena menyalahi kode etik.

Lalu setelah berbincang-bincang soal keluarga-kebetulan, ibuku akrab dengannya sebab pernah mencetuskan ide gila untuk menjodohkan aku dan Manora, meski berakhir gagal-mengalirlah cerita mengenai usaha Albar mendeskriditkan posisiku dengan bantuan Tidar. Semua didasari fakta yang baru kutemukan beberapa hari lalu. Bahwa Albar membunuh Ayana. Bahkan sebagian misteri terkuak atas bantuan Manora. Aku juga menyampaikan bahwa Albar pernah mempraktikkan politik uang ketika menemani ayahnya berkampanye tanpa sepengetahuan Rumail, tentunya. Dan soal bukti, aku cukup cerdas dengan menunjukkannya.

Rumail tidak tinggal diam. Dia memperkuat alasan dan bukti yang kusodorkan. Sekalipun Albar adalah anaknya-tepatnya anak tiri-Rumail tidak mau ambisi berkuasa membutakan ruh berpolitik. Hakikatnya politik adalah untuk membangun bangsa, membangun peradaban, bukan menghilangkan nyawa. Ini membuatku cukup bangga memilihnya menjadi wakilku. Kami memiliki beberapa kesamaan.

"Baik, aku mengerti apa yang kalian inginkan." Darusman menatapku. Dari caranya melihat, aku merasa ada yang janggal. "Kalau aku menekan Tidar sesuai keinginan kalian, apa imbalan untukku?"

Barter apa yang dia inginkan?

"Heheheh, akan kuperjelas. Aku ingin kamu menikah dengan putriku." Dan suaranya menyublim di antara hawa kering yang diam-diam mengisi obrolan kami. Aku tidak yakin mampu mendengarnya sampai akhir. "Pikirkan masak-masak."

"Aku sudah-"

"Menikah? Masa bodoh untuk yang satu itu. Bukankah yang tahu pernikahanmu hanya beberapa orang? Setahuku, belum ada resepsi dan belum terdaftar di KUA, kan?" Dengan senyum lebar, dijelaskan kondisi pernikahanku.

Hah, aku lupa. Kesibukanku akhir-akhir ini membuatku lupa bahwa Tsuraiyya belum mendapatkan haknya untuk mendapat buku nikah.

"Kamu sudah mengenal Manora. Kalian dekat dan saling membutuhkan satu sama lain. Keluargamu pasti setuju. Dan aku tidak keberatan dengan posisi istri pertamamu asal putriku yang menjadi istri sahmu. Asal Manora yang akan menemanimu di even-even sosial-masyarakat. Nah, pikirkan masak-masak. Aku tunggu jawabanmu sampai besok siang. Kalau kamu setuju, kita akan langsung menyelenggarakan akad nikah pada malamnya." Darusman tidak main-main. Aku tidak tahu apa motifnya merendahkan harga diri, menghalalkan segala cara, agar aku dan Manora menikah.

"Manora sudah punya calon. Dan setahuku mereka saling mencintai." Aku mencoba melunakkan permintaannya. Pria itu menyipitkan mata kemudian tertawa kuat-kuat.

"Cinta tidak pernah penting dalam politik, Rakryan. Apa yang bisa diandalkan dari pria yang belum menyelesaikan pendidikan, suka keluyuran dan urakan? Pria yang kamu maksud itu tidak memenuhi kualifikasiku. Jadi, tidak ada masalah kalau Manora meninggalkannya. Untukmu." Darusman menepuk bahuku kemudian melempar senyum pada Rumail. "Dengan menikahi Manora, aku akan membantu memperkuat integritas kader partaiku yang mulai tidak solid karena pengaruh Tidar. Dengan menikahi putriku, aku bisa mewujudkan peluang yang besar untuk menang. Nah, kurasa itu imbalan yang cukup adil." Pria itu tersenyum hangat. Sudah lama bergaul dengan berbagai macam karakter, membuatku sangat yakin senyum itu hanya topeng basa-basi yang memuakkan. Saat itu juga aku baru tahu bahwa jalan buntu sudah terbentang di depan mata.

"Apa yang akan kamu lakukan? Jujur, aku tidak bisa membantu untuk yang satu ini." Rumail menatap iba, dahinya semakin keriput karena berpikir keras.

"Apa yang akan kulakukan?" aku membeo. Tidak ada tanda-tanda otakku menemukan solusi. Semua seperti udara yang luput dari genggaman. Tidak ada yang bisa kutangkap. Logikaku benar-benar sekarat.

"Kita pulang, jernihkan pikiranmu." Usul Rumail kebapakan.

"Tidak. Kita punya waktu yang sedikit. Aku tidak mau menyia-nyiakan waktu dan energi yang sudah dikeluarkan sejak beberapa bulan lalu. Dan mungkin..., ini adalah titik baliknya. Pilihan seperti apa yang akan kita ambil; mundur atau tetap berjalan untuk mencapai puncak. Jika aku menikah dengan Manora, bagaimana menurutmu?" Aku tidak bisa berbohong, bahwa ada duri yang menusuk benakku. Bayangan Tsuraiyya saat menangis dalam pelukanku pada malam pertama menciptakan rasa bersalah. Semakin aku memikirkan untuk menikahi Manora, semakin sesak pula dadaku. Aku pernah jatuh cinta, beberapa kali selama SMA dan memutuskan untuk tidak pacaran sejak masuk kuliah, namun tidak sekali saja aku memprediksi akan jatuh cinta sedalam ini.

"Aku tidak mau ikut campur untuk hal privasi seperti itu. Semua keputusan ada padamu. Jika aku menyarankan, aku takut di masa depan, kamu menyalahkanku. Jadi, jernihkan pikiranmu." Rumail tahu betul batasan antara profesi dan pribadi. Di satu sisi, dia memang benar. Di sisi lain, aku butuh saran karena otakku menolak untuk memproses informasi dan memilah-milah mana yang lebih baik untuk diambil.

"Aku akan menikahi Manora." Aku sendiri ragu bisa menikahi wanita lain, kecuali Tsuraiyya. "Aku akan menikahi Manora." Ulangku, tapi tetap tidak yakin pada keputusanku ini.

Rumail menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu sedang tidak dalam kondisi psikis yang bagus."

"Aku sadar sepenuhnya." Tatapan mata kami bertemu pada satu garis lurus. Rumail mengedip singkat, menungguku melanjutkan omongan. "Aku akan menikah dengan Manora?"

Itu bukan pernyataan, melainkan pertanyaan besar pada diri, pada Tsuraiyya dan pada Allah.

Poligami, pikirku sejurus kemudian. Salah satu ujian terbesar menjadi pria muslim adalah terdapat ayat-ayat yang mengatur poligami dalam kitab suci Al-Qur'an. Banyak orang gagal memahami ayat tersebut. Beberapa di antara mereka tidak mengerti bahwa ayat itu bukanlah sebuah privilege untuk sewenang-wenang, juga bukan kartu bebas diskriminasi gender terhadap lawan jenis. Sebaliknya, ayat tersebut adalah ujian integritas; apakah dia bisa menjadi muslim sejati atau malah tergoda untuk menyalahgunakan dalil poligami; apakah ia mampu menerapkannya sesuai nilai-nilai keafdolan penafsiran atau malah melenceng dari pesan moral yang seharusnya dimaknai karena ayat-ayat poligami itu, juga mengandung gugatan dan peringatan agar tidak disalah-gunakan. Pada prinsipnya, poligami memang tidak dilarang apabila memenuhi seluruh persyaratan rasa adil bagi perempuan.

Dan aku tahu bagaimana seorang perempuan menyikapi sebuah masalah. Bibir mereka selalu tersenyum meski harus menelan pil pahit berumah tangga. Ibuku adalah contoh mutlaknya. Aku pernah dibesarkan dalam keluarga yang jauh dari harmonis. Rumah yang didongengkan indah laksana surga, tak ubahnya jatuhan-jatuhan granat dari hilangnya nalar dan merebaknya emosi. Ayahku menyadari perubahan psikologis ibu sehingga memutuskan untuk menceraikan istri mudanya. Terlebih, ketika tahu sang istri muda itu berselingkuh.

Begitulah, dinamika rumah tangga yang kupelajari. Dan aku benar-benar tidak berniat akan mengulangi kesalahan ayahku. Karena sejatinya, manusia dilahirkan dengan keegoisan dalam 'naluri berpasangan'. Mereka tidak akan pernah rela berbagi pasangan dengan yang lainnya. Ini adalah insting paling dasar seorang wanita yang tidak bisa serta merta dibunuh oleh dalih kewajiban taat pada suami dan dalil poligami dengan jaminan surga. Bagaimana seseorang bisa masuk dalam surga dengan hati yang penuh iri, dengki dan sakit hati? Bagiku, inilah esensi dari kandungan ayat poligami.

Tetapi, agar tim kampanye kembali solid, aku dihadapkan pada dua pilihan sulit. Pertama, jika aku menarik laporan tindakan kriminal Albar, aku akan mencabik-cabik nilai kebenaran, mengkhianati Ayana, juga menyakiti istriku sendiri yang menginginkan keadilan dari kematian kakaknya. Kedua, jika menikahi Manora, aku tidak bisa melihat airmata Tsuraiyya. Juga Manora, karena aku sangat yakin, gadis itu sangat mencintai Adnan. Perihal mereka putus, aku tidak tahu apa alasan Manora.

Yang jelas, aku harus menemui Manora sekarang untuk meminta pendapatnya. Barangkali, dia bisa kuajak bekerja sama.

***

Setiap pilihan selalu memiliki resiko. Ada sebagian yang menuntut pengorbanan yang cukup besar. Dari semua hal yang terampas dariku untuk memperoleh mimpi, aku sudah menggadaikan kebahagiaan. Setelah ini, aku pasti dihantui ketakutan. Yang kuucapkan bukanlah omong kosong karena sekarang aku sudah berubah menjadi pengecut. Sejak pulang dari rumah Darusman Sidik tadi malam, aku menghindar bertemu Tsuraiyya. Menginap di sekretariat pemenangan dengan alasan ada yang harus kuselesaikan.

Sudah berkali-kali aku shalat istikharah agar menemukan jawaban. Yang masuk dalam mimpiku hanya Tsuraiyya. Kami berada dalam sebuah rumah kardus tapi ada bintang yang terang menaungi kami. Juga kulihat bulan dalam genggamanku. Tidak ada satupun visual tentang Manora. Benar-benar tidak ada.

Ponselku berdering, menjeda lamunan yang terlalu dipenuhi oleh hal-hal mengasihi diri. "Ya?"

"Apa ayahku mengancammu, Ky? Kamu bercanda kan mau menikah denganku?" Dia memberondongku dengan banyak pertanyaan. "Kamu tahu, aku tidak bisa menikah denganmu. Aku tidak mau merebut kebahagiaan istrimu yang sekarang dan asal kamu tahu, aku tidak mencintaimu. Sama sekali. Semua bantuan yang kuberikan padamu, bukan agar kamu tertarik dan membuatmu berhutang kebaikan."

Aku mendengar semua ledakan amarah Manora.

"Aku memang sudah memutuskan Adnan dengan alasan menerima lamaran pria lain." Gadis itu terbata-bata. "Tapi, semua kulakukan untuk mematuhi permintaan Ayah. Selain itu, hidupku tidak akan lama lagi. Aku tidak mau Adnan bersedih karenaku. Dengan menyakitinya, akan memudahkannya untuk melupakanku. Aku tidak mau masuk dalam hidupmu. Aku pernah naksir kamu saat kuliah dulu, tapi itu masa lalu. Semua sudah berubah. Lagipula, kulihat kamu mencintai Tsuraiyya, rela melakukan apa saja untuknya. Jadi, apapun ancaman ayahku, kita berhak mengkonfrontasinya." Manora berbicara dengan sangat cepat. Sebagai orang yang lama mengenalnya, aku tidak keberatan jika cerewetnya kambuh.

"Mano, dengarkan aku. Aku berada dalam posisi pelik."

"Aku akan kabur saat akad nikah!" ancamnya serius. Dia pikir aku sangat berharap bisa menikah dengannya? Gadis ini perlu dipukul sampai kepalanya benjol agar sadar. Terlalu lama bergaul dengan Adnan membuat otaknya sedikit sinting. Untung mereka putus, jadi ada kemungkinan dia bisa normal kembali.

"Silakan. Aku tidak akan mundur, tapi jika kamu yang mundur, kesalahan bukan padaku. Aku senang mendengar keputusanmu." Jawabku tidak kalah egois. Kupikir, kami akan berbicara dengan kepala dingin dan cara-cara yang dewasa. Sayang sekali, dia kekanakan.

Manora akhirnya mengumpat. "Kamu brengsek! Aku akan mengadukan ini pada istrimu. Aku sangat berharap bisa melihatmu menangis darah dan mengemis cintanya karena kamu sia-siakan."

Panggilan dimatikan. Kugeletakkan gadget di meja lagi. Kepalaku rasanya mau meledak. Tiba-tiba aku sangat bersyukur karena menolak dijodohkan dengan Manora dan menikahi Tsuraiyya. Di awal pertemuan, Bee-begitu aku memanggilnya-memang anti padaku, judes dan galak. Tetapi, semua bisa berubah setelah dia nyaman denganku. Dia lebih banyak grogi saat berdekatan, merayu kalau moodnya bagus dan tidak ada tanda-tanda akan cerewet mematikan seperti Manora. Ini berkah tiada tara seumur hidup.

Ketukan di pintu terdengar. Aku tidak suka diinterupsi begini.

"Galih, sudah kubilang aku tidak mau diganggu." Kataku, masih memejamkan mata.

"Aku bukan Galih. Apa kamu keberatan kalau aku datang?" Senyumnya perpaduan gulali dan sakarin. Tidak menolak jika bisa melihatnya seumur hidup. Aku berdiri dengan tergesa-gesa. Begitu berhasil mencapainya, kami saling pandang tapi ketika ingatanku memutar kembali keputusan untuk menikahinya, kebahagianku langsung lenyap. Kualihkan pandanganku darinya, tidak sanggup melihat mata bening Tsuraiyya.

Orang yang membuatku gila sepertinya tidak menyadari kegelisahanku. Tsuraiyya malah berdiri sambil terus memandangiku. Kuputuskan untuk mendekat, meletakkan keningku di pundaknya. Aroma bunga-bunga yang wangi dan segar langsung masuk ke penciumanku. Sempat juga kudengar detakan dari jantungnya. Pelan tapi pasti, keegoisan untuk memilikinya memenuhi diriku. Tidak pernah kubayangkan jika dia menolak poligami lalu meminta cerai setelah tahu rahasiaku. Sungguh, aku tidak akan pernah mengabulkannya. Dia harus kumiliki, sepenuhnya, seutuhnya. Apapun yang terjadi. Walau aku poligami.

Poligami? Hah, semoga Manora benar-benar minggat sebelum akad nikah. Ide sinting ayahnya tidak bisa dinalar. Sudah tahu kami menolak, masih tetap keukeuh pada pendiriannya. Apa aku harus bicara pada Tsuraiyya tentang rencana akad nikah nanti malam? Kupejamkan mata, merasa tidak mampu lagi untuk berpikir.

"Aku lelah." Bisikku, tidak bisa berpura-pura seolah tidak ada masalah.

"Aku tahu." Disentuhnya pinggangku dengan jari-jari gemetar. Setelah menghela satu napas panjang, dia memelukku. Tsuraiyya menelusurkan jemarinya di sepanjang tulang punggungku, mengusap ringan dan lembut. Hal sederhana ini membuatku berangsur-angsur rileks. "Sekarang bagaimana? Sudah cukup tenang?"

Kubalas saja dengan pelukan yang lebih posesif. Berharap dia tahu isi hatiku yang sesungguhnya. Juga berdoa semoga dia tidak meninggalkanku apapun yang terjadi. Ketika aku menikmati setiap sentuhannya, dia menyeretku di kursi, tanpa melepas pelukan. Kami duduk bertindihan. Ralat, tepatnya, aku yang ditindihnya.

"Kamu sudah makan siang?" Tanyaku ketika jemarinya melingkari leher. Kemudian jarinya menyentuh pangkal leher, menekan sedikit kuat. Aku mengerang karenanya.

"Kamu sendiri?" ia balas menanyaiku.

"Bee, jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan pula. Kamu hanya perlu menjawab jujur dan aku akan mendengarnya. Jawaban apapun akan kuhargai." Semua nasehatku itu dibalas dengan mata memutar. Meski diam, aku tahu, Tsuraiyya sedang membangkangku.

"Kalau aku jawab pakai ciuman bagaimana?" Triknya menurunkan emosiku benar-benar manjur. Aku langsung membayangkan rasanya bibir itu di bibirku. Namun, kalau aku terlalu cepat tergoda, dia akan besar kepala. Aku hanya diam tanpa ekspresi. "Aku kan kangen." Lanjutnya penuh tipu daya.

Tahan. Tempat ini tidak aman. "Pasti ada maunya." Kuputuskan untuk mengalihkan perhatian.

"Mau dicium?" Ulangnya sembari duduk merapat padaku. Aku tidak boleh menatapnya sekarang. Kalau sampai itu terjadi, aku tidak bisa menjamin apa yang akan kami lakukan sekarang, di atas sofa, di ruang kerja. Besar kemungkinan bisa didengar beberapa orang yang lalu lalang di luar ruangan. Ini tidak bagus untuknya.

"Yang Mulia-"

Aku mengedip. Ketukan dari pintu membuatnya mangap. Seharusnya itu adalah ekspresi yang "nggak banget" namun, di mataku, itu adalah mimik wajah paling indah. Bukan saatnya berada dalam situasi cheesy seperti ini. Aku mengembalikan fokus pada dunia nyata.

"Masuk."

"Pak Rumail sudah datang." Reno muncul di pintu.

Oh ya, Rumail berencana mengantarku untuk akad nikah malam nanti.

"Suruh beliau langsung ke sini." Intruksiku kemudian. Reno mengangguk lalu menutup pintu.

"Aku pergi dulu kalau begitu." Tsuraiyya bangkit dari pangkuanku.

Apa kutahan dia sekarang? Aku ingin bercerita mengenai poligami padanya. Oh, tidak. Aku tidak sanggup melihatnya menangis, kehilangannya. Mengatasi emosi yang kacau, kucium keningnya lalu menggumamkan pesan. "Hati-hati."

Tsuraiyya mengulurkan tangan. "Nanti pulang kan?" Aku menyambut tangannya sambil mengulum senyum. Pulang? Nanti malam? Andai dia tahu bahwa aku akan menikahi gadis lain, kira-kira bagaimana responsnya?

"Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan, Yang Mulia. Tetapi, menurutku, seburuk apapun kondisimu, sekarang bukan saat yang tepat untuk menyerah." Dia berkata penuh semangat. Tahu apa dia tentang menyerah? Gadis ini-oppss, dia bukan gadis lagi, aku sudah mengambilnya-wanita ini begitu polos. "Dan...," diciumnya punggung tanganku. "Kamu harus tahu, kalau masalah-masalah itu mau meledakkan kepala, ingat-ingat saja aku mendoakanmu. Jangan remehkan kekuatan sebuah doa kalau tidak ingin digantung oleh embun."

Aku berjengit.

"Hahahaa. Wah, aku salah omong. Aku mau menasehatimu, tetapi kurasa itu adalah pilihan yang salah. Salah banget. Aku yakin kamu akan mengambil keputusan yang paling adil dan bertanggungjawab, karena itu jangan pernah berpikir bahwa aku akan membencimu. Jika seluruh manusia di muka bumi ini menyalahkan keputusanmu atau meragukan kemampuanmu, aku akan menjadi orang pertama berdiri di sebelahmu, untuk mendukungmu, untuk mempercayaimu." Lanjutnya tanpa beban.

"Bee. Yang Mulia-mu ini bilang bahwa dia sayang sekali padamu." Aku ingin memeluknya, meminta maaf untuk ketidakterusteranganku, tetapi yang kulakukan hanya diam pada posisi dudukku, memandanginya.

"Jangan membuatku ingin menciummu sampai remuk, Yang Mulia." Dia kabur sambil tertawa-tawa. Tawa yang ingin kudengar seumur hidup. Tawa yang ingin kujadikan alasan untuk selalu bahagia. Dan juga tawa yang ingin kujaga dengan segala hal yang kumiliki, dengan darahku kalau perlu.

****

Yuhuuu, selamat datang poligami. Bhaks.

Yang sedang cengengesan,
Susan Arisanti.
Tabik~~~

Continue Reading

You'll Also Like

586K 8.7K 40
Narumi tidak pernah menyangka akan terlibat perasaan dengan mertuanya sendiri. *Cover bikinan temenku @dewandaru Banyak adegan 1821-nya. Bocil jauh...
1.4M 82.5K 57
Story Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...
170K 11.9K 46
Kehidupan setelah menikah itu benar-benar tidak bisa ditebak. Bahkan pasangan suami istri yang sebelumnya telah menjalin hubungan lama pun, bisa saja...
2M 114K 57
*Biar sama sama enak jangan lupa follow author ya ♥️ MOHON MAAF INI MAH YA DILARANG COPAS CERITA INI, SEBAGIAN APALAGI SEMUA NYA, hargai otak ini yan...