(PART II)
"Dia sama seperti Cody Banks, tapi tanpa selera humor". Yulla Atha menatap cowok tampan berwajah innocent itu. "Cody tanpa selera humor, berarti maksudmu...dia berbahaya?". Cowok itu tersenyum. "Yeah, so danger you know, seperti Cody, tapi berotak Kudou, bahkan sama misterius dengan Sherlock, tapi bukankah dia seperti malaikat?. Bahkan di hatimu yang paling dalam, kamu mengakui bahwa dia bukan cowok sembarangan bukan?".
Atha tahu, Aid memang berbahaya, dingin dan misterius, bahkan saudaranya pun sering terkecoh olehnya. Tapi cinta berkata lain.
Aidan...Aidan dan Aidan. Apa dan siapa dia. Entah kapan Atha berhasil menemukan kunci hatinya, apalagi berbagai kerumitan masa lalu membuat segalanya bertambah rumit. Dia harus berjuang, atau akan kehilangan selamanya. Bukan saja harga diri yang dipertaruhkan, tapi nyawa juga tak cukup untuk membuat seorang Aid menghargainya. Akankah dia tetap berjalan di semak berduri atau menyerah?. Kisah ini belum berakhir, atau bahkan takkan pernah berakhir. ]
Falling Leaves
Wanita itu setengah kalap, bayi yang ada dalam gendongannya memang diam bahkan tersenyum, seolah-olah tak tahu bahaya yang sedang mengancamnya, di belakang dua orang pria muda mengejarnya. "Berhenti", teriak pria yang berambut jabrik. Pria itu menodongkan pistolnya, tangannya gemetar dan wajahnya sangat tegang. "Jangan!. Nanti bayi itu yang kena", teriak pria yang berpenampilan rapi, rambutnya yang jabrik penuh peluh, keringat dingin, bagaimanapun kelengahannya lah yang membuat bayi kecil itu sekarang terancam bahaya.
"Sialan!. Harusnya aku nggak lalai!". "Sudahlah, ayo kita kejar saja perempuan gila itu, tak ada gunanya mengeluh sekarang". Kedua pria itu tetap berlari, tapi pria yang berrambut jabrik berhenti sejenak, menatap papan nama di depannya. "Sialan, kenapa...kenapa ini terjadi, seandainya aku tak pernah kemari, di tempat ini semua berawal, aku tak mau di tempat ini pula semua harus berakhir". "Sudahlah, sekarang yang kita bisa lakukan hanyalah berusaha, ayo!".
Mereka tergesa menelusuri lorong demi lorong. «Lihat itu Fae ! », pria berambut jabrik itu menatap arah yang ditunjuk temannya. "Alex! Itu lab Kimia...cepatlah, jangan-jangan...", pria Fae diikuti temannya bernama Alex, segera menuju lab. Benar saja, wanita itu tengah membawa bayi kecil itu ke pojok, Fae yang tahu bahan apa saja yang tersimpan di lemari pojok itu langsung pucat. "Tina, jangan, kumohon, akan kulakukan apapun, tapi lepaskan dia, dia nggak tahu apa-apa, please, hukum saja aku tapi jangan sentuh dia sedikitpun. Seolah tahu bahaya yang mengancam, bayi itu mulai menangis. "Memohonlah pada Tuhan, Fae".
"Kumohon, lepaskan dia, akan kulakukan apapun untukmu", pria itu berlutut. "Fae sayang, aku tahu, semua yang kau lakukan itu bukan untukku, tapi untuk bocah kotor ini, darahnya kotor, kau tahu?. Aku harus melenyapkannya!", wanita bernama Tina itu membuka lemari dan meraih salah satu botol. "Kau tahu Fae, kunci lab milik kita ini ternyata membawa keberuntungan untukku", Tina terkikik. Dia meletakkan bayi itu di meja lab dan membuka tutup botol. "Asam kuat, ya Tuhan, sedikit saja terpercik, bayi itu...", Alex menatap Fae. "Kumohon, kumohon, akan kulakukan apapun", kata Fae. "Benarkah?", wanita itu menyeringai. "Setelah semua penghianatan yang kau lakukan, Fae sayang, aku takkan tertipu lagi", wanita itu semakin histeris. "Semua sudah terjadi, kamu harus merelakanku, aku tak pernah mencintaimu, kamu tahu itu!", Fae menggertakkan gerahamnya. "Ya, gara-gara bocah berdarah kotor ini, kamu melupakan aku, menghianatiku", Tina meletakkan botol tepat di atas perut bayi itu.
"Jangan!", seorang gadis menyeruak masuk. "Destin, kenapa kamu kemari?", Alex mengenali adik perempuannya. "Untuk Fae, kalian perlu polisi dan aku datang bersama mereka, puluhan lagi mengepung sekolah ini", Destin mengalihkan pandangannya kepada Tina. "Ayolah Tina, lepaskan dia, kita barter gimana, seperti dulu, serahkan anak itu, kau boleh memiliki Fae", Tina memandang bingung. "Nah, Fae akan berjalan ke arahmu, aku akan mengambil bayi itu, bukankah adil?. Kau setuju kan Fae?", Destin memberi isyarat pada Fae. "Benar, aku juga tak menginginkan bayi berdarah kotor itu, ayo Tina..sa..sayang, kita pergi dan meninggalkanya di sini, kita akan bahagia", Fae memandang yakin ke arah Tina. Wanita itu ragu-ragu dan menimbang botol di tangannya, akhirnya dia setuju untuk maju. Fae pun ikut maju, setelah pada jarak aman dari bayi itu, Fae menembak botol di tangan Tina. Wanita itu menjerit kesakitan, tangannya melepuh, Fae segera maju dan memegangi Tina sementara Destin mengambil bayi yang tengah menangis.
Fae lega, tapi tidak lama, kelengahannya dimanfaatkan Tina, wanita yang histeris itu merebut pistol di tangan Fae dan bermaksud menembakkan seluruh pelurunya ke bayi yang ada di gendongan Destin. Dua buah peluru keluar dari moncong pistol sebelum Fae sempat mencegah, bukan bayi itu yang kena, Destin sempat berbalik untuk melindunginya. Alex segera memburu tubuh adiknya. Fae dengan marah meringkus Tina. Polisi yang berjaga di depan lab segera membantu memborgol wanita itu. Sambil menjerit marah, Tina meronta-ronta, empat polisi baru sanggup mengatasi wanita gila itu.
"Destin...Destin", Alex membalikkan tubuh adiknya. "Fae, dia tidak apa-apa kan?', tanya Destin sambil menyerahkan bayi yang bermandi darah itu. Alex mengambil si bayi dan Fae memeluk Destin, sahabatnya yang selalu menolongnya. "Dia tidak apa-apa, ini darahmu, kau harus bertahan Des, kamu pasti kuat", Alex menepuk pipi adiknya. "Sudahlah, aku tahu aku takkan kuat",Destin tersenyum. "Tidak, kamu tak pernah menyerah bukan?, kamu selalu mendapat yang kamu inginkan, ingat saat lomba yang mustahil kita menangkan?. Kita bahkan bisa menjuarai lomba itu sampai tingkat nasional!".
Destin tersenyum. "Tapi aku tak pernah mendapatkanmu, sudahlah Fae, jangan menipuku lagi. Kita cuma sahabat dan tak lebih bukan?. Itulah kesalahanmu, selalu ingin menghibur, itu yang menyebabkan Tina juga salah paham. Aku...aku mencintaimu Fae", Fae tak bisa menjawab, dia tahu itu. Dia sejak dulu tahu Destin mencintainya, tapi, cintanya pada Destin adalah cinta seorang sahabat. « Maaf... ». Destin membelai wajah Fae. « Hati-hati Fae, jaga anak itu, ketampananya bisa membuatnya celaka, se..la..mat ..ting..gal... ». Destin tersenyum, tapi air matanya mengalir. Fae menggigit bibirnya, dikuatkannya hatinya, perlahan ditutupnya mata Destin dengan tangannya. Lalu membawa gadis itu keluar. Darah membuat rambut ikalnya yang hitam dan indah lengket. Dengan sedih Fae membawa gadis itu. Dia teringat sesuatu saat melewati lapangan basket. Destin menjadi pemandu sorak, dia membuat Fae selalu bersemangat berlatih dan memenangkan kejuaraan nasional. "Lihat, kita pernah menang, bukan ? », gumamnya pada Destin yang tidur di pelukannya, sirine ambulance meraung di kejauhan. Rafae Effrayndra termenung, dan hujan mulai membasahinya, seolah ikut bersedih.W
---------------------------------------------------------
« Sudahlah Fae», Alex menepuk punggung sahabatnya itu. Wangi mawar dan melati, tanah merah yang basah...Ray menghela nafas panjang. "Apa semua sudah berakhir?", desahnya sambil membelai nisan Destin. "Belum Fae, kehidupanmu baru dimulai, ayo kita pulang, bayimu resah dalam gendonganku, dia rupanya kangen pada ibu dan saudaranya", Alex memindahkan bayi itu ke pelukan ayahnya. Ajaib, dia terdiam dan tidur, seolah merasa dirinya sudah aman. "Papa di sini nak, kamu aman", bisik Fae.
Rumah terasa sepi. Di sofa Fae melihat istrinya menunggu, rapuh dan lembut, terlebih lagi wajahnya pucat, Fae tak bisa lama-lama menahan airmatanya. Beberapa hari sudah dia mengejar Tina yang menculik bayinya. "Aira...", wanita itu tersentak, airmatanya tumpah kembali. Fae memeluk istri dan bayinya. "Kita harus pergi...", bisiknya. "Ke mana?', tanya istrinya. "Ke tempat yang aman, pokoknya kita harus pergi", tanpa dia duga, seseorang masuk dari pintu depan. "Kembali ke tempatmu seharusnya berada, Fae...", Fae menatap orang yang baru datang dengan tatapan bingung. "Ayah sudah mendengar semua, setelah semua ini, kamu harus kembali Fae". "Tidak, tanpa Istri dan anakku", gumam Fae. "Tentu saja bersama mereka, ayo kita pergi", Fae memandang ayah dan ibunya. Ai mengangguk saat Fae menatapnya. Dan Fae pun tahu kenapa dia bersedia berbuat apapun untuk istrinya, mengapa dia mencintai wanita itu...bahkan pengorbanan Destin dan kegilaan Tina padanya tak bisa membuat hatinya berpaling dari Ai. Ai, tak hanya wajahnya yang seperti Shinta, hatinya juga. Fae tersenyum dan menepuk pipi istrinya. "Ayo kita berkemas". "Yah. Berakhir sudah, kita mulai awal baru".
Valentina didakwa bersalah, tapi dia menderita kelainan jiwa, karenanya dia masuk Rumah sakit jiwa untuk waktu yang lama. Setelah pemakaman Destin, Fae kehilangan jejak Alex. Menurut info, dia terakhir bekerja untuk Interpol.=18 years latter.
Cowok yang rambutnya mirip Hideaki Takizawa itu asyik menyanyikan Like A Stone-nya Audioslave. Sambil sesekali mengetik di laptopnya. "Hari ini, 17 Agustus, dad memutuskan untuk pindah dari rumah eyang. Dia dipindahtugaskan ke kota kecil. Semoga di sana menyenangkan. Arie". Lalu dia menutup laptopnya dan melihat mamanya menuruni tangga dengan susah payah. Cowok itu menolong membawa koper-koper keluar. "Aiiiid, kamu lagi ngapain sih di atas?", teriak Arie. "Ribut aja kamu, aku di sini juga sibuk bantuin papa", teriak yang di atas. Mereka berempat lalu berkumpul di Van Biru yang akan membawa mereka. Nenek, kakek, seluruh saudara dan sepupu, mengantarkan kepindahan mereka.
"Semoga di sana asyik", gumam Arie saat mereka sekeluarga ada di mobil. "Pasti asyik,banyak tempat indah di sana, yang pasti udaranya masih bersih, nggak kayak di sini", papa nyengir. "Ya kan ma?". "Ih, papa sama mama kenalan di sana ya?"tanya Arie. "Nggak, tempat itu adalah tempat tinggal papa sama mama sehabis menikah", cerita papanya. "Lho?". "Panjang ceritanya,lagian secret, anak seumur kalian terlalu kecil untuk mendengarnya". Arie dan Aidan berpandangan lalu nyengir. "Duileee kalau kami kecil, yang besar tuh seberapa, kami kan dah kelas 3 SMU", kata Arie. "Ngomong-ngomong soal SMU, kalian ntar sekolah di SMU papa dulu, kayaknya sekolah itu sekarang sudah modern". Arie mengerang. "Semoga kami nggak ketemu geng brengsek, gara-gara kami harus pindah, Aid batal jadi ketua Osis,aku juga baru sebulan jadi Kapten Basket", gerutu Arie. "Lho, ya kalian harus berusaha lagi di sekolah yang baru, kalian harus jadi yang terbaik!", kata ayahnya.
Sejak berangkat, Arie lah yang meramaikan perjalanan, Aidan memang pendiam, tapi tidak pasif seperti sekarang. "Kenapa kamu Aid?. Sakit?", tanya mama. "Sedikit pusing mam, kemarin waktu perpisahan Aid nggak tidur semalaman", kata Aidan. Agak bohong memang, tapi dia kan nggak bisa bilang ke ortunya, sejak berangkat perasaanya nggak enak. Lagian De-Javu terjadi berkali-kali, dia merasakan pernah ke tempat ini. Sebelumnya.
« Pa... ? ». « What's Up Aid ? ». "Kok Aid ngerasa pernah ke sini ya?". Aid heran, wajah ceria ortunya tiba-tiba berubah, dari kaca depan dia bisa melihat mata ayahnya yang gelisah. "Nggg...kalau nggak salah, waktu kecil kamu pernah kami ajak kemari", kata ayahnya. "Oh...", lalu dia membaringkan diri di kursi dan mencoba tidur. Dia tak melihat ayahnya menatapnya di balik spion, tangan ayahnya menggenggam jemari ibunya, menenangkannya. Dia tak melihat betapa gelisah orangtuanya.
----------------
« Sampai juga akhirnya ! », Arie nyengir menatap rumahnya. Bagus besar dan indah. Saudara-saudaranya yang ada di mobil belakang dan para tukang yang membawa beberapa perabot segera memenuhi rumah. Sebagian besar memang sudah tertata rapi. Kata papa, dulu mereka pernah tinggal di sini, tapi karena papa pindah tugas, mereka numpang ke tempat kakek. Tampaknya rumah itu terrawat rapi, ada dua tukang kebun, seorang satpam dan empat pelayan. Arie dan Aidan melihat kamar masing-masing.
Baru beberapa hari, rumah itu tampak hidup. Papa memindahkan perkutut dan beonya di belakang, Mama mulai menata pot dan koleksi bunganya, tampaknya rumah kaca di samping kebun butuh beberapa perbaikan, Arie melepas Koi dan Cupangnya di kolam kecil samping rumah, di sana juga sudah ada dua kelinci, Arie ingin membaginya dengan Aid, tapi saudaranya cuman menggeleng. « Peliharaan gue gak bakal akur dengan kelinci Ar, lagian gue gak punya banyak waktu buat ngurus yang lain, Marcos aja lagi sakit-sakitan ». Arie nyengir, »Kali aja dia lagi adaptasi Dan, elang memang rada ngerepotin », Arie teringat Martina, elangnya, mati nabrak kaca, dianya juga sih, waktu elang itu menukik ke arahnya, dia menghindar, nggak seperti Aidan sama Marcos, langsung akrab dan Aid pun nggak takut sama Marcos. Dia selalu sigap saat Marcos menukik, nggak geli apalagi takut saat peliharaanya itu nangkring di bahu. Aid memang pemberani.
« Ya udah, kayaknya Kenshin dan Tomoe ini milik gue semua jadinya, jangan sampai Marcos memangsa mereka Aid !", Aidan menguap. « Yah...kalau gue nggak lupa memberi makan Marcos... ». « Aid ! ». « Oke, oke ». Arie menatap saudara kembarnya dengan kesal. Mereka kembar, tapi anehnya, rambut Aid agak ikal sedangkan rambut Arie lurus. Aid lebih kekar dan beladirinya setingkat di atas Arie, tapi dia dengan sikapnya yang dingin, bisa membuat siapapun takut. Arie butuh meninju lawan dulu baru lawan itu takut dan tunduk, Aidan hanya menatap orang itu dengan mata hitam-kelamnya yang kayak koral dan setajam silet, lawan akan takut sebelum dipukul. Itu sering terjadi saat pertandingan karate mereka. Meski sudah sama-sama Ban item, Aid selalu lebih unggul dalam kegiatan fisik. Tapi soal otak, Arie mewarisi kepintaran papanya yang dokter itu. Aid memang tak sepintar saudaranya dalam matematik atau hitungan apapun, tapi soal intelegen dan memecahkan persoalan dia jagonya, mungkin dia mewarisi otak detektif mama yang seorang penulis cerita misteri. Dan sikapnya yang dingin kayak es itu semakin membuatnya tampak seperti Sherlock saja. Di sekolah yang dulu saja, entah berapa banyak cewek yang patah hati, tapi mungkin Aid berkaca dari pengalaman, pengalaman waktu SMP dulu, Arie nggak tahu apakah waktu itu Aid jatuh cinta atau tidak, yang pasti pengalaman itu membuatnya nggak percaya pada apa atau siapapun.
Waktu itu mereka baru kelas dua SMP. Meski masih berusia 13, wajah mereka sudah menarik. Apalagi Aid, bodynya yang kekar dan senyumnya yang langka membuat cewek makin penasaran. Lain dengan saudaranya yang jelas-jelas Playboy, Aid menunjukkan sikap tenang dan tidak tertarik sama cewek, meski dia lebih sopan dari Arie dalam hal bicara atau bertindak. Kelas dua itu, dia dipilih jadi kandidat ketua OSIS. Aid punya sahabat karib, Andre Yoan, cowok yang lumayan tampan, Aid benar-benar menganggapnya sahabat, tapi dia tahu, Andre mempunyai sedikit benci dan iri padanya. Aid tahu tapi tidak benar-benar merasakan kebencian Andre. Mereka bersaing dalam berbagai hal, mungkin kebetulan, Aid lah yang menang, termasuk jabatan ketua OSIS itu. Aid nggak pernah tahu, Andre memang baik di depannya, tapi ...
Siang itu waktu berlatih basket dengan saudara dan teman-temannya, Proxy Gank, Aid melihat seorang cewek lagi kesulitan, motornya mogok. Aid menolongnya. Mendorong motor itu ke pinggir, memperbaiki kerusakannya dan mengantar cewek itu pulang. Gina, teman sekelas Arie. Arie dan Aid nggak menyangka, itu awal permainan Andre.
Gina cantik, menarik, seksi, tapi itu belum membuat Aid meliriknya. Dengan mengarang kesedihan dan mendramantisir perceraian orang tuanya, Gina membuat Aid bersimpati. Mereka sering jalan bareng, makan bareng dan hal itu membuat Aid seolah mencair. Dia memang nggak terlalu tertutup lagi, sorot matanya mulai cerah, tapi itu nggak lama. Sepulang latihan Karate, Aid mampir dulu ke rumah Andre, ada beberapa PRnya yang dipinjam temannya itu. Arie malam itu tidak menunggunya seperti biasa karena Aid ingin pulang sendiri. Jadi Arie pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu.
Di tengah jalan, dia melihat seorang cewek diganggu para berandalan, gak tanggung-tanggung, delapan orang anak SMU !. Tapi Aid nggak takut dan tak pernah takut. Pakaian cewek itu sobek-sobek, Aid segera mengenali si cewek, Gina. Bukan hal yang mengherankan, seorang anak SMP berhasil mengalahkan delapan orang anak SMU yang kurus-kurus dan tak memiliki ilmu beladiri. Juara Nasional Kempo, juara umum Karate tingkat daerah dan juara dua Jijutsu di sekolah itu dengan mudah mengalahkan lawannya meski bibirnya sempat berdarah karena keroyokan lawan.
Aid membuka jacket dan memakaikannya pada Gina, dia nggak tahu, semua itu sudah diatur, semua hal yang dilakukannya terekam kamera. Otak SMP nya nggak bisa berpikir buruk. Sampai keesokan harinya, di madding terpampang, fotonya saat melepas jacket di depan Gina yang ekspresi wajahnya ketakutan dan menutupi dada dengan tangannya. Foto besar dilengkapi tulisan "Perbuatan kotor sang ketua OSIS". Pantaskah ketua OSIS kita yang kita kenal sangat alim berbuat kotor pada salah satu siswi sekolah?. Pantaskah kita punya ketua seperti itu?. Aid nggak merobek poster ataupun membantah isi poster itu. Dia cuman diam, matanya berubah gelap. Apalagi setelah tahu, Gina adalah pacar Andre, fitnah itu tak terbantahkan lagi. Dia menceritakan yang sebenarnya pada Kepala Sekolah, tapi ucapannya tidak dipercaya, dia pun diam dan membiarkkan semua itu. Arie jadi sedih, Aid dipecat dari OSIS, Andre yang jadi wakilnya menggantikannya. Tapi itu tidak lama, Arie yang cerdik mengikuti Andre dan Gina, merekam keduanya saat mereka berdebat di gedung olahraga. "Bukankah kita agak keterlaluan, kata kamu cuman Joke dikit, tapi masalah ini jadi berlarut-larut, nyata-nyata Aid menolongku saat itu", kata Gina. "Ah, sudahlah, sebenarnya aku merencanakan poster itu memang untuk membuatku jadi ketua OSIS, aku nggak mau Aid terus yang jadi nomor satu, nggak di kelas, karate maupun PA, dia selalu jadi nomor satu, tapi kali ini aku harus yang nomor satu, dan karena bantuanmu, inilah aku, ketua OSIS!". "Kamu kejam". "Kamu juga menghianatinya, akuilah, itu semua demi aku kan?". "Nggak lagi, aku pengen ngaku semuanya, aku nggak tahan lagi, Aid menolongku waktu itu, seandainya nggak ada dia...". "Ah, teman-temanku yang mengeroyoknya kan cuman main-main sama kamu". "Nggak juga...mereka sangat kurang ajar, nggak sesuai sekenario!". "Terserah, tapi kalau kamu buka mulut, kamu juga bakal dikeluarin dari sekolah".
Dan memang, seminggu kemudian mereka dikeluarkan dari sekolah, karena rekaman pembicaraan mereka disiarkan oleh Arie yang juga ketua radio sekolah, saat makan siang. Semua anak jadi tahu kebenarannya, meskipun demikian, Aid nggak bisa seperti dulu, kejadian itu memukulnya begitu dahsyat, dihianati sahabat dan orang yang hampir disayanginya. Dia enggan kembali ke kursi OSIS seandainya ayahnya dan kepala sekolah nggak memaksanya. Setelah berpikir seminggu penuh, baru Aid bersedia kembali ke organisasi. Dengan hati luka. Arie tahu, Aid terluka parah.
Di SMU, sampai pindah sekarang pun, belum ada cewek yang bisa memenangkan hatinya, mungkin nggak ada cewek yang bisa membuatnya tersenyum kecuali ibu, tante dan neneknya. Em, ada sih cewek yang bisa membuatnya ketawa, Tantri, sepupunya, itupun karena cewek itu bener-bener konyol dan tomboy habis. Aid dan Arie nggak pernah menganggap Tantri itu cewek, karena meskipun dari luar kelihatan lembut seperti bunga, Aid dan Arie pernah merasakan bantingan Tantri, hal itulah yang membuat Aid ketawa, dibanting!. Lain dengan Adhitama, saudara kembar Tantri, dia cowok tapiiii lembutnya minta ampun, salah ortunya juga sih, dinamai Anak Agung Rama Adhitama, sifatnya kayak Rama. Arie kadang nggak sabar kalau bicara dengan Adhitama, dia lebih senang jalan bareng Jendra, adik Tantri dan Adhi itu baru normal. Selain ganteng luarbiasa, dia tegas dan menarik, makanya dia jadi saudara sepupu paling favorit bagi Aid dan Arie.
Pagi pertama sangat kacau, Papa bahkan tidak sempat menghabiskan sandwichnya. Arie mengenakan dasi agak miring, bahkan Aid yang selalu rapi lupa dimana letak kaoskakinya. "Cepat!cepat! ntar kita telat!", teriak Arie. Dia sudah siap di civicnya. Aid segera keluar dan mereka berdua segera berangkat ke sekolah, sekolah papa dulu. How you remind me-nya Nickeback mewarnai mobil biru itu. Arie asyik bernyanyi, sementara kembarannya asyik menghabiskan roti bakarnya dan meneguk Milk Shake dengan sekali minum. "Aid!". "Hmm?". "Aku ragu, apa kamu dah mandi atau...". "Pikir aja dasimu, kalau kau masuk kelas seperti itu, oh ya...kayaknya kita lupa dikasih uang saku nih, lu masih punya berapa Ar?". "Sial, limapuluh doang, lu?". "Gue gak bawa, ah, sudahlah, toh kita bawa Civic, soal makan sih ntar gue utang dulu". "Nggak, ntar lu ke kelas gue, IPA 2, ah, brengsek!. Kita telat nih, salah papa juga, Cody Banks semalam lumayan asyik, jadinya kita sekeluarga telat!". "Ah, santai dikit kenapa, toh upacara kan?". "Iya juga". Setelah memarkir Silvia, mereka cepat-cepat ke lapangan, untung upacara belum dimulai.
Aidan belum tahu persis letak kelompok kelasnya, seperti biasa, anak yang nggak perdulian itu menarik tangan seorang cewek tuk nanya dimana kelompok IPS 3. "Hei!", seorang cewek berjilbab terpekik kaget saat tangannya ditarik keluar barisan. "Sorry, but, kamu tahu nggak kelompok IPS 3". Cewek itu menatap Aid kaget.
Cowok itu...tampan banget, bodynya kekar, saat bicara giginya yang putih dan rapi sangat menarik, rahangnya kokoh, hidungnya mancung, bulumatanya lentik, rambutnya ikal dan matanya itu...ya ampun, tajam kayak sinar laser, hitam kayak koral. "Hei!, IPS 3, di mana kelompok IPS 3?", Aid mendekatkan wajahnya. Terang aja cewek itu kaget. "Eh...di pojok sendiri, kamu anak baru ya?". Belum lagi cewek itu selesai ngomong, Aid dah ilang, menuju kelompok IPS 3. Bahkan tanpa ucapan terimakasih. "Wow, siapa tuh?. Ryan Phillipe dari mana tuh?". "Is, kenalan kamu ya?". Para cewek tiba-tiba saja mengerumuni Isha. "Nggak tahu, paling anak baru,". "Siapa namanya?", tanya Reni yang paling genit. "Nggak tau, gue baru mo nanya dia dah kabur". "Kelas berapa tuh cowok, Is, kasih bocoran dong, jangan diembat sendiri!", Anita mendesak Isha. "Yee, enak aja nuduh, em, kalo gak salah tadi dia nanya kelompok IPS 3, eh, pak Roni datang tuh, cepet baris lagi yang rapi!". Anak-anak cewek pun langsung berbaris lagi, meskipun sambil bisik-bisik mengintrogasi Isha.
"Aidan?", tanya seorang cowok yang memimpin kelompok IPS. "Yeah, Aidan...", kata Aid sambil menatap cowok itu. "Gue wakil kelas, Faiz Raizal, selamat bergabung". "Thanks", jawab Aid singkat dan bergabung ke kelompok itu tanpa basa-basi, matanya menatap lurus ke depan, nggak perduli para cewek melirik dan berbisik-bisik.
Hari pertama bisa dibilang cukup menyenangkan bagi Arie, lain dengan Aid, dia merasa resah, kepalanya pusing. Apalagi saat sekretaris kelas, Kana, mengantarnya berkeliling, cewek itu cantik, sangat cantik malah, setiap cowok normal pasti memperhatikan kata-kata Kana, tapi Aid tidak, pikirannya sedang kacau. Sesampainya di suatu tempat, Aid berhenti, menatap ruang itu. Kana melihat perubahan sikap Aid, mata Aid yang kelam berkerjap pelan, wajahnya memucat. "Ini...". "Ruang Lab. Kimianya anak IPA, kenapa?". "Nggak, kayaknya,ada sesuatu yang aneh...", Aid menatap ruangan itu. Botol-botol...cairan kimia, tiba-tiba De-Javu merasuki pikirannya lagi. Kana terpekik pelan lalu menyeret Aidan keluar. "Hiii, kata-kata kamu mengingatkan aku kalau..". "Apa?". "Tau nggak, di sana angker lho, dulu pernah ada pembunuhan di sini, pergi yuk, mending kita ke perpus...".
"Gimana dia?", tanya Farida. Kana menggeleng. "Cool sih cool, tapi dinginnya keterlaluan". "Berarti lu gak minat nih?", tanya Diah. "Eh, siapa bilang, tipe kayak gini yang gue suka...", kata Kana sambil melirik Aid, yang dilirik lagi asyik memandang ke lapangan basket. Tiba-tiba seorang cowok menghampiri Aidan. "Wow, wah...lihat tuh, mata gue yang rabun atau Aidan ada dua?", teriak Farida. Yang lain terperangah. "Wow...yang ini lebih cerah nih, lihat senyumnya...kayak Vic Zhou", teriak Diah.
"Gimana?. Lu lapar?. Nih gue bawain pizza, gue tau lu paling gak tahan lapar", goda Arie pada Aid, saudaranya langsung menggigit Pizza di tangannya. "Tangan gue Aid!. Awas kalo lu gigit", belum selesai Arie bilang, Aid menggodanya dengan menggigit jarinya. "Kutu kupret!. Awas Lu!", Aid lari sambil nyengir, Arie pontang-panting mengejarnya.
"Wah, Dewa Es bisa nyengir juga, kalo gitu kan ganteng, tapi yang satunya kayaknya lebih manis ya?", Farida menyenggol lengan Kana. "Nggak juga, Aidan lebih cool deh, tapi cowok manis itu juga nggak bisa diabaikan, anak mana dia?". "Anak IPA 2, kata Faiz, dia saudaranya Aidan, kembar lho, cuman rambutnya yang beda", Susi, si biang gossip tiba-tiba sudah ada di belakang para cewek.
Seperti biasa, mereka keluar bareng dan masuk ke civic. "Sialan lu Aid, gara-gara rekomendasi dari Oom Kepsek yang dulu, lu bisa dicalonin jadi ketua OSIS, padahal lu kan masih baru, trus ketua kelas lu pindah sekolah lagi!. Trus lu punya peluang jadi ketua kelas, beruntung amat lu!". Aid nyengir. "Alaa...kamu juga bakal jadi ketua basket kan?". "Itu kan lain, ekstra sama kegiatan dalam, gue iri deh ». « Jangan gitu, lu tau, gue rela nyerahin jabatan apapun, supaya gue gak kehilangan persaudaraan, lu masih ingat kan, gara-gara jabatan, gue dihianati teman ». « Becandaaa...gue bangga Aid, lu brother terhebat bagi gue ». « Terang aja, brother lu kan gue doang !". "Tau aja lu!".
"Dan, menggantikan Dewangga yang pindah ke Bali, atas catatan prestasi dan rekomendasi kepala sekolah, Aidan menggantikan ketua kelas lama kalian, nah, Faiz, ibu harap kalian bisa bekerjasama dengan baik..."kata bu Esye, wali kelasnya. Faiz tersenyum ramah, dan menyalami Aidan, kayaknya pemuda yang mempunyai mata kelam itu enak diajak kerjasama. Pelajaran pertama hari itu matematika, meski tidak serumit matematika anak IPA, tapi anak-anak cukup memeras otak. "Coba Aidan, kerjakan nomor satu ". Dengan santai, tanpa membawa buku, dengan cepat Aidan menyelesaikan soalnya. "Bagus, Rio nomor dua...". "Sial...". "Ada apa Rio?". Bu Diana melotot galak. "Nggak apa-apa bu, saya belum selesai...". "Baiklah, Rian...kamu nomor tiga, setelah selesai kamu tetap maju Rio". Rio menoleh ke belakang. "Oi, anak baru, ajarin dong...", Aidan meminjamkan bukunya. Sepuluh soal sudah diselesaikannya. "Gila, kenapa lu kagak masuk IPA aja sih...". Aidan malah tiduran di bangkunya.
Saat istirahat, Rio dan Faiz mengajaknya ke kantin. "Seharusnya lu yang traktir, tapi, berhubung elu udah nolong gue, nggak apa-apa, untuk kali ini gue traktir lu...", kata Rio. "Sekalian kita bicarakan agenda acara kelas, bulan depaan ada lomba olahraga antar kelas, kita harus memilih anak-anak IPS 3 yang kita ajuin maju". Ketiganya menuju kantin diiringi tatapan banyak cewek, Rio cengar-cengir. "Nggak biasanya Ita senyum sama gue...". Faiz menggeleng. "Bukan sama lu, dodol, itu tuh, ketua kelas baru...". "Yah...kirain...".
Sepulang makan di kantin, mereka melewati laboratorium IPA, di depan ruang kimia, ada seorang gadis cantik berambut panjang meletakkan setangkai mawar di depan ruang laborat. "Hallo Atha...". Sapa Faiz sambil mendekati gadis yang tengah termenung itu. "Eh, Faiz...". "Aid, kenalin nih, wakil ketua Osis, Yulla Atha, sejak kepindahan Dewangga, dia sebagai wakil ketua OSIS yang mengurus semua keperluan OSIS, Dewa, selain ketua kelas IPS 3 juga jadi ketua OSIS...kita bakal berurusan dengan Atha untuk masalah kelas. Atha, ini Aidan, ketua kelas kami yang baru, jadi dia akan hadir saat rapat pembagian tugas besok...". Atha mengamati Aid, benar-benar cool. Diulurkan tangannya, Aid menyambutnya. "Senang bekerjasama denganmu". "Sama-sama".
"Kenapa dia meletakkan mawar di sana?", tanya Aidan saat mereka bertiga menuju ruang kelas. "Tujuh belas tahun yang lalu, pernah terjadi pembunuhan di ruang kimia, kami nggak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi, yang aku tahu, yang meninggal di sana adalah tante Atha". "Oh". Aidan merasakan suatu keanehaan, lagi-lagi de Javu, seolah dia pernah menelusuri lorong ini, suara sepatu berderak, terdengar jelas di telinganya, langit-langit lorong itu juga serasa dikenalnya. "Aid...hei...", Faiz menyenggol lengannya. "Kamu kok diem aja, ada apa?". "Nggak...cuman sedikit pusing".
Pelajaran bahasa Indonesia adalah pelajaran yang paling dibenci Aidan, dia sama sekali tidak pernah bisa membuat puisi, dalam hati dia berdoa agar tidak disuruh maju ke depan kelas. "Aidan Ivanova...coba kamu maju, bacakan puisi yang kamu buat di depan...!". "Mampus gue...", batinnya. "Sebentar pak...". Lalu disenggolnya bangku Rio di depan. "Udah selesai belum lu?". "Boro-boro, coba lu minta bantuan Faiz, dia cukup romantis...". Aidan melirik ke belakang. Faiz menatapnya nggak ngerti. "Apa?". "Pinjem puisi lu!". Cowok itu menggeleng. "Pelit amat sih...", bisiknya. "Aidan...sudah selesai belum?". Aidan menyambar buku Faiz dengan cepat, tanpa memperdulikan gerakan tangan Faiz yang menyuruhnya jangan membaca puisi itu.
"Gadis pujaan?", Aidan melongo, Faiz menepuk kepalanya. "Wah, cukup romantis itu, bagus Aidan, coba kamu bacakan...", kata Pak Biyan sambil menatapnya. "Aduh, pak, belum selesai...". "Alaaa, sudahlah, nggak usah malu-malu gitu, kita butuh keluarkan perasaan kita, hayati puisi itu sepenuh hati kamu...keluarkan ekspresimu, pelajaran kita ini memang unik, ayo Aidan, lepaskan emosimu, anggap gadis pujaan kamu itu tepat berada di hadapanmu...". Aidan merasakan perutnya mual. "Ra...rambutmu yang hitam...panjang bagai...su...sutra...membuat aku terpana, pada pandangan pertama...gadis tercantik yang selalu ada dalam mimpi-mimpiku". Aidan merasa hampir muntah. "Wahai dewi rem...rembulan. Tataplah ke...kedalam mataku, ada cin...cinta di...". "Jangan sungkan Aidan, luapkan emosimu...tatap ke depan, bayangkan gadis itu di depanmu dan tersenyum". "Ada cinta di mataku...yang terpagut dalam indahnya tatap matamu yang kecoklatan, membuat aku...aku...", Aidan merasa tidak sanggup lagi, apalagi dilihatnya wajah Faiz yang merah padam. "Ingin memberikan kecupan hangat di bibirmu yang indah". Mampus!
Seluruh kelas bersorak, anak-anak lagi bersuit-suit. "Wah, pasti si Atha tuh yang di maksud...", celetuk Rio. Cewek-cewek memandang kagum ke arah Aidan. "Wuih, romantis bangeeeeeeet". Pak Biyan tersenyum dan menyuruh Aidan duduk. "Maaf...",kata Aidan, Faiz merebut bukunya dengan kesal. "Wah, boleh juga selera lu, wakil OSIS...", teriak Koko dari bangku belakang. Suit-suit pun reda saat pak Biyan menenangkan kelas. "Sudah...sekarang giliran yang tadi teriak, Koko, bapak ingin dengar puisi kamu...". Koko terduduk lemas. "Ya pak".
"I'm so sorry...", Aidan menepuk bahu Faiz di ruang ganti, pelajaran terakhir adalah renang, anak-anak yang lain sudah menuju kolam renang. "Nggak apa-apa...". "Aku, nggak bisa bikin puisi, dan aku tidak mengira puisi kamu itu puisi cinta...". "Nggak papa...sudahlah, toh semua sudah terjadi...", mereka berdua menuju kolam renang, Aidan melihat saudara kembarnya asyik berbicara dengan beberapa gadis. "Rie, ngapain lu?". "Ah, Aidan, wow...aku nggak nyangka kamu romantis juga". "Apa maksudmu...?!". "Ehm ehm...kata temenmu, kamu tadi bacain puisi untuk itu tuh...", Arie menunjuk seorang cewek ada di kolam renang. "Kamu beruntung, pelajaran renang kita bareng...Atha tuh ketua kelas IPA 2...". "Berisik, kejadiannya nggak seperti yang kamu pikir...". Arie menepuk bahu Aidan. "Jatuh cinta itu baik...". "A...aku nggak...", Aidan sekilas melihat gadis yang berenang itu perlahan tenggelam. Tangannya melambai panik ke arah teman-temannya, tapi serombongan anak perempuan di dekat kolam malah asyik mengobrol, Aidan tidak tahu apa yang merasukinya, tiba-tiba dia sudah terjun ke kolam renang dan menemukan Atha di dasar kolam, tampaknya kaki gadis itu kram. Dipeluknya tubuh Atha dan di angkatnya naik ke atas, rambut panjang gadis itu melingkupi pundak Aidan. Beberapa orang yang berada di atas kolam membantunya membaringkan tubuh Atha. Gadis itu terbatuk dan memuntahkan air. Samar-samar dilihatnya Aidan...tapi kepalanya pusing. "Bawa ke UKS saja..", kata pak Piter, guru olahraga mereka. Aidan menatap gurunya yang tengah memandangnya. "Tunggu apa lagi, bawa gadis itu ke ruang kesehatan!". Aidan membopong Atha, cukup ringan juga, wajahnya tertutup rambutnya yang panjang. Dia masih shock. Faiz mendekati mereka. "UKS nya dimana?". "Ikut aku!". Mereka melewati lorong, Aidan melihat papan nama, UKS. Mereka masuk, seorang perawat menyiapkan tempat tidur. "Kenapa dia?". "Tenggelam, kakinya mungkin kram", Aidan membaringkan tubuh Atha. Mata gadis itu masih terpejam. "Dia hanya pusing, kalian keluarlah...", kata suster.
Aidan dan Faiz kembali ke kolam renang. "Gimana, udah ngasih ciuman belum...", ejek Koko. "...aku ingin memberikan ciuman hangat, wuih...", Rio nyengir. "Ejekan kalian salah alamat tau...", Aidan melakukan pemanasan dan menuju kolam renang. "Apa maksudnya...?", tanya Koko. Faiz mengerdikkan bahu.
---
"Hei...", Arie menepuk bahu Aidan yang asyik mendengarkan lagu lewat I-Pod. "Are you okey?. Sejak pulang sekolah, wajah kamu masam, what's wrong?". Aidan melepas headsetnya dan menceritakan kejadian yang sebenarnya. "Puisi itu milik Faiz, aku hanya membacakan saja...". "Hmm, begitu ya, padahal aku tadi sudah senang". "Apa maksudmu?". "Aku kira kau benar-benar jatuh cinta, apalagi kau menolong Atha...". "Itu cuman kebetulan...ah, sudahlah, kau malah tambah membuatku pusing", Aidan kembali memakai headsetnya dan mendengarkan lagu Ne Yo.
"Wajahmu kacau, pasti semalam nggak tidur mikirin Atha, mau kusalami sama dia?". Aidan melotot. "Arie! Ngomong sekali lagi, kuhajar kamu, aku semalam tamatin game FF X2 ku, brisik banget sih, aku kan udah bilang, nothing happen...". "Iya, iya...cepetan sarapannya, nanti kita telat". Mama mereka cuma menggeleng melihat ulah keduanya. "Bye ma, kita berangkat dulu...". "Ati-ati".
Civic biru itu memasuki gerbang sekolah, nggak lama keduanya turun, setengah ngantuk Aidan berjalan menuju ruangannya sambil mendengarkan I-Podnya. Rio sudah menanti di depan kelas. "Pinjem Pe Er nya dong...". Aidan melempar tasnya, ambil saja sendiri, taruh di bangku ya!". "Lho, kamu mau ke mana?". "Ambil spidol sama penghapus, ke ruang OSIS...hari ini giliranku piket kan, atau kamu mau menggantikan aku?". "Enak saja, Pe Er ku gimana?. Tinggal sepuluh menit, lagian pacarmu kan ada di sana, selamat berciuman ya!". Aidan mengacungkan kepalan tangannya. "Sialan...". Dia lupa, ada cewek itu. Dengan enggan dia menuju ruang OSIS, anak-anak sedang asyik menyalin Pe Er, nggak ada yang bisa dimintai tolong. Dibukanya pintu ruang OSIS, benar saja, Atha ada di sana, sedang menyusun berkas. Gadis itu tak kalah kaget, melihat siapa yang masuk. "Aku mau ambil jatah alat IPS 3", suara tenor pemuda itu memecah kesunyian. Dengan gugup Atha mengambil alat yang dimaksud Aid dan menyerahkan kepada Aidan. "Ini...". Aidan mengambilnya dan berlalu. "Tunggu...". "Ya?". "Aku hanya ingin bilang terimakasih untuk kemarin...". "Sudahlah, sesama teman memang harus saling menolong, bukan?". "Eh...A...Aidan...", gadis itu mendekat. "Ini undangan untuk rapat OSIS, nanti sepulang sekolah". Aidan mengambilnya dan pergi tanpa menoleh lagi.
"Gimana?", Rio memandang Aidan. "Apanya?". "Ciumannya...". "Ngomong sekali lagi, jangan harap aku mau ngasih jawaban Pe Er ku". "Ampun bang, jangan marah...". Aidan duduk di bangkunya dan menyandarkan kepalanya di bangku. Dia merasa sangat kesal. Belum seminggu di sini, keadaannya sudah mulai menyebalkan. Tak lama Bu Esye, wali kelas masuk, katanya pak Bakri yang mengajar Pancasila nggak masuk karena sakit, lalu beliau menyuruh Kana, sekretaris kelas untuk mencatat di papan tulis. Sepeninggal bu Esye suasana kelas jadi seperti pasar, ada yang asyik ngobrol, sebagian anak laki-laki bergerombol bermain kartu, ada yang keluar kelas ke kantin, sementara para cewek asyik bergosip. Aidan malah tertidur di bangkunya.
Hari itu nggak ada kejadian yang terlalu mengusiknya. Aidan menyukai ketenangan, dan itu bisa didapatnya di atap sekolah, di sini nggak ada yang bisa mengganggunya. Sambil meminum colanya, cowok itu menatap langit biru dan pesawat yang terkadang melesat jauh. Dia sangat berminat menjadi pilot, cita-citanya sejak kecil, lain dengan Arie yang lebih memilih untuk meneruskan ayah mereka, jadi dokter. Dia ingin mengarungi langit yang seolah tak terbatas, waktu kecil, dia suka sekali menonton gundam, seandainya robot luar angkasa seperti itu benar-benar ada, dia ingin mendekati langit dan memandang bintang dari bulan, ingin lebih dekat pada cahaya yang mengagumkan itu. Bel tanda masuk berdentang, setelah melewati dua mata pelajaran lagi, dia harus mengikuti rapat OSIS. Dengan ringan Aidan melompat pagar pembatas dan menuju tangga, menuruninya dan menutup pintu darurat.
Kebanyakan anak sudah tidak berkonsentrasi saat bu Mei menjelaskan geografi. Aidan memandang keluar jendela dengan bosan. Tak sengaja matanya menatap gadis berambut panjang yang sedang membawa setumpuk buku ke ruang IPA 2. Aidan menyunggingkan senyum tipis. Jangan mempercayai manusia, jangan mempercayai wanita. Percayalah hanya pada dirimu...meski terkadang, sangat sulit percaya pada dirimu sendiri. Manusia itu makhluk menyebalkan. Dan cinta hanyalah sumber bencana, berbagai kasus pembunuhan, penghianatan, dan banyak kasus lagi, selalu mengatasnamakan cinta sebagai pelaku utamanya.
"Aku mencintaimu", bisik gadis itu. Tapi apa yang dilakukannya?. Apa yang Aidan dapatkan dari cinta?. Penghianatan, kesedihan, dan kepercayaannya hancur sudah. Dan saat ditatapnya wajah itu di cermin, dia melihat seorang pemuda yang angkuh dan tegar, kokoh tak terkalahkan, selalu bisa mengatasi masalah yang menerpanya. Dia tidak lemah seperti Arie yang gampang terharu dan lemah oleh air mata wanita.
"Innocent...", Aidan menatap saudara kembarnya yang asyik bermain basket. Wajah yang lembut dan tampan itu sangat menipu. Senyum lembut yang selalu dikembangkan Arie dan membuatnya seolah lemah, membuat cowok-cowok kekar yang mengepungnya tertipu. Tenaga Arie sangat kuat, beberapa kali dia bisa lolos dari kepungan lawan dan membuat kejutan dengan slam dunk dan three point tak terduga. Grup Arie unggul 12 point dari lawan. "Halo Aid, kukira kau sudah pulang"Arie menghampirinya dan meneguk minuman yang disodorkan Aidan. "Aku ada rapat OSIS". "Wow...". Aidan menoleh ke arah pandang Arie. "Goodluck bung...". Atha mendekati Aidan. "Mana Faiz?". "Dia nggak enak badan, jadi hanya aku yang mewakili kelasku".
Aidan memberikan daftar nama anak IPS 3 yang ikut perlombaan olahraga, dia sendiri ikut dalam tim The Tiger's, tim sepakbola IPS 3. masing-masing ketua kelas melakukan hal yang sama. "Satu bulan dari sekarang, kita akan melakukan pemilihan ketua OSIS menggantikan posisi Dewangga, beberapa kandidat yang ingin mencalonkan diri, mohon berkasnya serahkan pada saya tiga hari lagi, ada pertanyaan?", Atha melihat ke sekeliling ruangan. Tidak ada. Gadis itu mengakhiri rapat dan mempersilahkan anggota rapat untuk pulang.
Sambil memainkan bola di tangannya, Aidan menunggu bus di halte. Arie sudah pulang duluan. Karena kegiatan yang selalu berbeda, dia putuskan, besok dia akan membawa Archilles, motor balapnya, jenis Yamaha YZF 600 berwarna biru metalik. Sekarang, nggak ada alasan lagi ayahnya melarangnya memakai motor. Sekilas dilihatnya Atha menuju ke arahnya. "Lho, kok kamu di sini?". Gadis itu menyibakkan rambutnya yang panjang. "Saudaraku sudah pulang duluan". Tak lama bis jalur 44 berhenti di depan mereka, keduanya naik dan pintu otomatis tertutup. Tinggal dua buah kursi di belakang sopir, terpaksa keduanya duduk berjejer. Aidan memasang headset I-Podnya. Dia sedang nggak ingin bicara. Gadis di sampingnya pun dengan kalem membuka-buka majalah cewek yang dibawanya. Atha belum pernah diperlakukan sedingin itu sama cowok, biasanya para cowok selalu mengajaknya ngobrol, sekedar basa-basi atau berkenalan, tapi yang satu ini, ekspresinya datar dan sulit ditebak. Setiap kali berbicara dengan Aidan, mata elang itu selalu membuatnya takluk, tak bisa dilawan, seolah mampu menyedotnya ke kedalaman hitam koralnya. Bibirnya selalu menyungging angkuh dan kata-katanya pun hanya seperlunya, nadanya agak kasar dan acuh, seolah tidak perduli sekitarnya. Seolah dia adalah penguasa dan pemuda itu memiliki kharisma penguasa. Dia jadi paham mengapa kepala sekolah merekomendasikan anak baru itu menjadi kandidat ketua OSIS. Meski anak IPS, nilainya sangat tinggi, sebenarnya dia bisa masuk IPA, tapi entah kenapa Aidan lebih memilih IPS. Lain dengan saudara kembarnya yang sekelas dengannya, Arie sangat ramah dan baik. Mereka kembar, tapi sangat berbeda. Dan dingin sikap Aidan yang seangkuh Himalaya membuatnya semakin penasaran, apalagi setelah dia mendengar gosip tentang puisi yang dibacakan Aidan di kelas, apakah benar puisi itu untuknya?. Tapi, dengan acuhnya sikap Aidan, Atha tak melihat kemungkinan Aidan menyukainya. Saat Aid menolongnya dari tenggelam tempo hari, cowok itu hanya menanggapi dingin ucapan terimakasihnya. Atha merasa, Aidan sangat misterius, tetapi di sisi lain, sangat menawan.
Layar di depan bis menunjukkan sebentar lagi mereka sampai di Green Garden, Halte nomor 12 sudah terlihat. "Permisi...", Atha melewati Aidan, tapi tak disangka, saat itu bus berhenti mendadak, ada anak kecil yang tiba-tiba lewat, Atha terpekik, tapi dengan sigap Aidan menangkapnya, dan dia terduduk di pangkuan cowok itu. Tanpa sengaja Aidan memeluknya dan kepalanya bersandar di dada Aidan. Beberapa saat mereka saling menatap, tapi Atha tak tahu apa yang ada di kedalaman mata itu, ekspresinya tetap datar. "Maaf...", Atha berdiri dan turun, detak jantungnya bertambah cepat. Setelah memasukkan karcis di kotaknya, dia turun di halte 12 dan menuju rumahnya. Dari balik jendela bis, Aidan melihat gadis itu memasuki sebuah rumah besar bergaya Victoria, rumah kuno, sepintas seram, tapi antik. Halamannya luas dan banyak rumpun mawar mewarnai halaman depan, sedang berbunga, mengembangkan keindahannya. Seperti rumah di buku cerita bergambar.
Aidan turun dari bis sambil memainkan bolanya. Arie melambaikan tangan dari lantai dua. "Sori kutinggal...". Aidan melangkah masuk, sambil melepas sepatunya, lalu dia letakkan di rak. Sepatu ayah terlihat di rak, tumben beliau sudah pulang, biasanya larut malam baru pulang?. Di ruang tengah, tercium bau harum masakan ibunya. Ayahnya asyik membaca koran sore, ibunya mungkin sedang di dapur, Arie terlihat menuruni tangga, sudah rapi dan wangi sehabis mandi. "Cepatlah mandi, lalu sholat, aduh, kamu bau sekali Aid...". "Sialan, kamu tuh yang masih bau, keringatmu sehabis main basket masih menempel...". Aidan beranjak ke kamarnya, tiba-tiba Arie menariknya. "Wuih, ketahuan deh sekarang...kamu habis kencan ya?". Aidan mengernyit. "Kencan apanya?. Aku baru rapat OSIS tau, jangan ngomong yang aneh aneh!". Arie menarik kemeja Aidan. "Suit...suit...ada lipstick pink di kemejamu, kalau nggak salah, ketua kelasku pakai lipstick sewarna ini deh...", Aidan menunduk melihat kemeja putih yang dipakainya, benar, ada bekas lipstick di sana, tapi mau ngejelasin ke Arie percuma. Dia segera menuju ke kamarnya di lantai dua.
Lagi-lagi malam itu dia sulit memejamkan mata, bayangan gadis itu membuatnya merasa kesal. Dimainkannya bola kesayangannya dan diputar-putarnya, lagi-lagi wajah Atha membayanginya. Aidan menghela nafas panjang. Waktu menunjuk pukul dua belas malam, suasana rumah terasa sepi, mungkin semua sudah tidur. Lalu dipasangnya player, lagu lembut Utada Hikaru membuatnya sedikit tenang dan matanya mulai mengantuk. Melupakan pandangan lembut gadis itu dan dia membantah hatinya, hampir saja tadi dia mencium Atha di dalam bis!.
---
"Ya Tuhan!", Aidan melirik jam di dinding kamarnya. Sudah jam enam, kalau papa tahu dia telat sholat subuh, bisa ribut lagi nih. Ayahnya memang sangat keras mendidik mereka, tapi terkadang, jiwa muda mereka masih belum menyadari betapa pentingnya memahami kewajiban kepada Tuhan. Dengan cepat dia menuju kamar mandi dan sholat, setelah itu dia mandi dan mendinginkan kepalanya. Kalau ayahnya yang terkenal alim dan disiplin itu tahu apa yang dia pikirkan kemarin, wah, jangan harap keluar hidup-hidup dari rumah ini. Dia masih ingat betapa marah ayahnya saat memergoki Arie memeluk pinggang seorang cewek, hampir tiga jam Arie diceramahi, belum lagi kata-kata pedas soal moralitas dan dosa. "Itu zina!. Kalian masih muda, jalan kalian masih panjang, papa tidak mau kalian menjadi pria yang tidak memiliki tanggung jawab. Daripada berbuat seperti itu, papa lebih memilih menikahkan kalian. Kalau ada gadis yang kalian sukai, ajak ke rumah, perkenalkan pada papa, mama, jangan diam-diam kencan di jalan". "Perkenalkan pada papa?. Benarkah itu?", Arie nyengir. "Setelah itu papa akan bicara pada orangtuanya dan kalian menikah". Arie langsung pucat. Menikah?. Dia tak pernah membayangkan itu. Selintas dalam pikirannya pun tak pernah. Apalagi menikah muda, amit-amit. Dia masih ingin kuliah sampai menjadi dokter, kalau perlu spesialis jantung seperti ayahnya. Paling tidak, sehabis lulus S1 seperti ayah dulu menikah dengan ibunya. Bahkan, kata ayah, mereka nggak pernah pacaran, langsung saja memutuskan menikah. Pacarannya setelah menikah.
Dan sekarang, meski Arie dekat dengan beberapa gadis, dia selalu menjaga jarak, tidak pernah memiliki hubungan yang terlalu serius, seperti pacaran. Baginya sekolahnya yang utama untuk mencapai cita-citanya. Aidan jadi tersenyum saat melihat saudaranya asyik membaca textbook anatomi sambil melahap rotinya. Sekarang Arie sudah tidak playboy lagi, dia lebih serius dalam menata hidupnya. "Pagi". Sapa Aidan, Arie menoleh. "Tumben pagi-pagi kamu senyum-senyum gitu...inget kejadian kemarin sore ya...", Aidan menendang kaki Arie sambil melirik ayahnya yang memandangnya dari balik kacamatanya. "Kejadian kemarin apa Aid?", tanya papa. "Oh, cuma pengangkatan Aid jadi anggota Tim Tiger's". "Oh", lalu tubuh jangkung papa kembali tenggelam dalam koran yang dibacanya, Aidan menghembuskan nafas lega. "Jangan kamu pikir kamu sudah selamat, kamu punya utang sama aku traktir di kantin untuk syarat tutup mulut...ngomong-ngomong, kemeja putihmu tadi dibawa pembantu ke ruang cuci, berdoa saja mama nggak melihatnya". Aidan menepuk kepalanya dan menuju ruang cuci...Arie tertawa. "Hufff!", untung saja mama belum melihat, dimasukannya baju itu cepat-cepat ke mesin cuci lalu kembali ke ruang makan.
Ya Tuhan, berikan aku ketabahan hati. Aidan melangkah menuju kelasnya. Pukul tujuh kurang lima menit. Dia masuk kelas bersamaan dengan pak Roni, paling tidak, pelajaran sejarah lebih menarik daripada Bahasa Indonesia. Dia sudah muak dengan puisi. Suasana kelas semarak karena pak Romi jago bercerita, saat membahas Romawi dan Yunani, tentang para Dewa, Zeus, Hera, Athena, lalu perang Troya. Aidan menatap gambar reruntuhan romawi dari slide yang ditayangkan pak Romi. Patung para Dewa, Zeus yang perkasa, Athena yang merupakan lambang keadilan, dan Afrodite...dibuangnya jauh-jauh sosok Afrodite yang cantik dan berambut panjang. Dia merasa kesal pada dirinya sendiri. Saat pak Romi membahas atlantik dan buku karangan Plato, Aidan setengah tertidur.
Pemilihan kandidat ketua OSIS makin dekat. Aidan, Gilang, Bram dan satu-satunya kandidat cewek, Atha. Semuanya menyiapkan visi dan misi masing-masing, setelah wawancara terbuka dengan kepala sekolah dan menjawab pertanyaan dari juri yang terdiri dari para guru, akhirnya para siswa secara voting memilih ketua dan wakil yang mereka anggap sesuai dilihat dari cara masing-masing kandidat menjawab pertanyaan juri. Akhirnya seminggu kemudian, keputusan sudah tercantum di papan pengumuman dan mading setiap kelas. Aidan Ivanova 312 point, Yulla Atha 234 point, Gilang Rindra 144 point dan Bramastha Ajidharma 128 point. Masing-masing menduduki posisi Ketua, Wakil, Sekretaris dan Bendahara. Ketiga rival menjabat tangan Aidan saat upacara penyerahan jabatan pada hari Senin. Aidan merasa ketiganya menerima dengan baik keputusan itu, tak ada sorot mata iri ataupun permusuhan. Bram dan Gilang sangat sportif dan menyenangkan. "Coba kalau di sekolah ini mayoritas cowok, Atha pasti menang...", kata Bram. "Kenapa?". Aidan menatap cowok itu. "Dulu juga, waktu Dewa jadi ketua OSIS, para cewek milih dia karena cakep. Dan kamu pun menang karena hal yang sama...". Bram menunjuk segerombol cewek kelas satu yang asyik berteriak memekikkan kemenangan Aidan, beberapa bahkan memberikan ciuman jarak jauh dan spanduk "Will you marry me, Aid?", terpampang jelas. Aidan menggelengkan kepalanya. "Ada-ada saja...". Dia sendiri nggak menyangka kalau dia lumayan populer.
Jadi ketua OSIS berarti juga harus sering berinteraksi dengan Wakil ketua. Aidan merapikan kemejanya dan memakai jasnya. Dasi pun dipasangnya rapi, biasanya dia tak pernah serapi itu. Simbol sekolah dikancingnya ke kerah jas. Dipandangnya wajah itu di cermin. "Not Bad". Lalu dia merasa perutnya mulas, kenapa dia berdandan serapi ini?. Virus cinta benar-benar mirip Avian Influenza, bahkan lebih parah!. Menyebar secara diam-diam, tak terasa, cepat dan mematikan. Arie sedang memanasi mesin Sylvia. Aidan mengeluarkan Archilles dari garasi dan memanaskannya. "Lho, nggak bareng?", tanya Arie. "Ntar sepulang sekolah ngurus OSIS". "Selamat bersenang-senang, jangan sampai kemejamu kotor lagi ya...", Aidan mengumpat dalam hati.
---
"Nah, kamu boleh jalan-jalan, tapi jangan terlalu jauh ya...di halaman saja", wanita tua itu menepuk bahu wanita separuh baya yang memandang halaman itu dengan tatapan kosong. Wajah cantiknya terlihat pucat dan sayu, seolah tak pernah tersiram sinar matahari pagi. "Jalan-jalan...", wanita itu bergumam tak jelas. Lalu dia berdiri menjauhi halaman, membuka gerbang dan menuju ke trotoar. Ditelusurinya trotoar yang terlindungi pepohonan besar yang merapat, sehingga jalan itu terasa sejuk, tapi sedikit gelap. Dia terus berjalan, menunduk, tanpa memperhatikan lalu lintas yang mulai ramai.
---
Aidan melirik arlojinya, seperempat jam lagi. Dia harus bergegas. Saat membelok, tiba-tiba seorang wanita menyebrang tanpa memperhatikan jalan. Aidan dengan cepat menghindar, karena terlalu mendadak, dia dan motornya terjatuh karena sedikit menyerempet trotoar. "Sial...",Aidan mendirikan motornya dan memarkirnya di dekat trotoar, dilepasnya helm yang dipakainya, sedikit lecet, untung mukanya tidak lecet. Dilihatnya wanita itu malah masih berdiri di tengah jalan. "Maaf bu, anda tidak luka kan?", dipegangnya bahu wanita itu. Saat pandangan mereka beradu, Aidan sekilas melihat tatapan yang aneh. "Kamukah itu?", wanita itu meraba wajah Aidan. "Aku merindukanmu, kenapa kamu tinggalin aku?. Jangan pergi lagi, jangan bohong lagi padaku, kita akan selalu bersama kan?", Aidan tercengang. "Tante..eh..Bu...saya...", Aidan melepas pelukan wanita itu. "Jangan pergi...jangan pergi...", cengkeramannya makin kuat, Aidan nggak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba seorang wanita tua menghampiri mereka. "Tina, kamu bikin mama cemas, ayo pulang nak". Wanita bernama Tina tak memperdulikan ucapan ibunya. "Lihat bu, dia datang, benar kan, dia datang...untuk menjemputku bu...". "Iya...iya...", wanita yang merupakan ibu Tina memandang pemuda gagah yang dipeluk Tina, matanya terbelalak tak percaya, bagaimana mungkin...pemuda itu benar-benar nyata. Wajahnya sama persis dengan pemuda yangduapuluh tahun lalu diperkenalkan Tina padanya. Aidan melongo, tidak mengerti. "Maaf Nek, Ibu ini tadi hampir terserempet motor saya, saya nggak tahu dia ngomongin apa...saya...". Wanita tua itu mendesah panjang, lalu dibujuknya Tina. "Ayo, kemarilah, dia akan mengambil motornya, kamu di sini dulu...sama ibu, nanti dia akan memboncengmu ke sekolah...", lalu dikedipkan mata pada Aidan. Aidan tanggap, wanita tua itu ingin dia bersandiwara, mungkin wanita yang bernama Tina itu gila. Pasti begitu. "I..iya..tan..eh...Tina...aku ambil motor dulu ya?". "Tapi kamu janji jangan ninggalin aku?". "Iya...iya...". Tina melepas pegangan tangannya dan Aidan menuju motornya, setelah memakai helm, dia menaiki motornya dan melaju. "Maaf ya nek..", katanya sambil mengangguk ke arah wanita tua itu. Tina menjerit, mengejar Aidan, tapi motor itu melacu cepat. "Jangan pergi...". Tina terduduk di aspal. Nenek tua itu meraih anaknya sedih. "Dia bukan Rafae...Tina, ayo kita pulang". Tina masih menangis sambil memanggil nama Rafae. "...jangan pergi...", bisiknya pilu. Wanita tua itu hanya bisa mendesah sedih. "Siapa pemuda itu?. Kenapa dia sangat mirip Rafae?. Apa dia salah satu dari si kembar...yang hampir dibunuh olehmu?", dipeluknya Tina. Cinta, apakah cinta sangat mengerikan, hingga membuat manusia hilang akal dan larut dalam kepedihannya?. Tangan Tina menggapai dengan sia-sia.
---
"Masa ketua kelas terlambat?. Lain kali kamu harus datang lebih pagi lagi, sekarang pergilah ke belakang, rapikan seragam kamu. Ibu nggak mau tahu, tidak ada lain kali untuk terlambat, mengerti?", Bu Esye menatap Aidan. Pandangan mata anak itu sangat dalam dan kelam, lalu dialihkannya pandangan matanya, kalah. Aidan menuju keluar kelas dan Bu Esye memulai pelajaran hari itu. Sudah berurusan dengan wanita gila, ditambah dengan wanita galak, sekarang apa?. Saat memasuki ruang ganti, dilihatnya sesosok tubuh ramping sedang melepas kemeja dan mengganti dengan seragam Olahraga. Saat gadis itu menyadari kehadiran Aidan, sontak dia menjerit kaget. Aidan keluar dan menatap pintu yang dimasukinya tadi. "Ruang ganti cewek", gerutunya, bagaimana bisa dia sampai salah masuk, dan gadis itu...tak berapa lama keluar. Aidan melihat kemarahan di mata Atha, kenapa pagi ini dia sangat sial?. "I'm so sorry...". Lalu pemuda itu masuk ke kamar ganti cowok sebelum Atha sempat mengucapakan kata-kata.
Saat rapat OSIS, masih dilihatnya sisa kemarahan di wajah gadis itu. Aidan berusaha tak memperdulikannya. Dilihatnya laporan keuangan yang diajukan untuk kegiatan Wisata Sekolah anak kelas dua yang akan ke Bali. Anak kelas tiga yang sebentar lagi persiapan ujian akhir tidak boleh ikut, kecuali para anggota OSIS yang jadi panitia. Setelah diskusi sebentar dan mengadakan beberapa perubahan, Aidan menutup rapat. Lalu anak-anak bubar dan bersiap pulang. Ruangan hampir kosong, tinggal mereka berdua. "Apa minta maaf saja belum cukup?", Aidan menatap Atha yang sedang membereskan berkas. Gadis itu menoleh, menatapnya, ada kemarahan di sana. Aidan melihatnya dengan jelas. "Minta maaf?. Apakah pernyataan maaf seperti itu? Seolah olah kamu terpaksa melakukannya...". Aidan mendekat. "Baiklah, bagaimana cara meminta maaf yang benar menurutmu?", pemuda itu menatap Atha, kesal, setelah kesialannya tadi pagi, ditambah sikap menyebalkan gadis ini, Aidan merasa gusar. Mereka saling berpandangan, wajah mereka hanya berjarak beberapa centi, tak ada yang mau mengalah. "Cari tahu saja sendiri...",balas Atha tak kalah gusar. Dia nggak mau diremehkan, dan pemuda ini selalu meremehkannya, tak pernah menganggapnya ada. Dan mata yang menyorot tajam plus angkuh itu dirasakannya semakin mendekat, tiba-tiba saja Aidan meraih dagu Atha dan mencium bibir gadis itu. Puisi Faiz menjadi kenyataan, seolah membaca puisi itu seperti membaca mantra kutukan. "Plakk!", tamparan telak menerpa pipi Aidan. Atha mendorong tubuh Aid lalu meraih tasnya, keluar ruangan. Aidan seolah baru tersadar dari sebuah kutukan. Ya Tuhan, apa yang kulakukan?. Apa yang terjadi denganku?
"Dasar...cowok nyebelin...", Atha tak bisa mencegah airmatanya turun. Belum pernah dia dihina seperti itu. Dia tak menyangka Aidan mampu melakukannya. "Ciuman pertamaku...kenapa harus dengan orang seperti itu?", gerutunya sambil menunggu bis di halte. Diusapnya bibirnya dengan kesal.
Pemuda itu menatap sosok Atha yang menaiki bis dari kejauhan. Setelah bis melaju, dia menyalakan motornya dan melaju menelusuri jalan raya. "Otakku pasti sudah rusak", gerutunya. Atha sekarang pasti tambah marah padanya. "Apa perduliku, mau marah kek, enggak kek, terserah...". Lalu digasnya Archie dan mengebut merajai jalan. Seandainya ayahnya tahu, pasti motor itu disita.
---
Atha menunggu reaksi Aidan saat pertemuan OSIS berikutnya, tapi cowok itu bahkan tak menatap matanya. Hanya menggumamkan perintah seperlunya. Seolah di ruangan itu tak pernah terjadi sesuatu. Saat Aidan menginstrusikan rapat usai, Atha segera kabur. "Halo...", Atha terpekik kaget saat dilihatnya wajah itu tiba-tiba menghadang langkahnya. "Hei, jangan kaget seperti itu...", wajah itu tersenyum ramah, Atha baru menyadari, itu bukan Aidan. "Kakakku masih di dalam?", Arie memandang Atha yang terlihat gugup. "Yah...dia masih mengurus sesuatu, mungkin sebentar lagi keluar...". "Oh, akhir-akhir ini sepertinya dia memikirkan sesuatu yang sangat mengganggu pikirannya, apakah tugas di OSIS begitu berat?. Kemarin sore wajahnya sangat kusut". Atha menghela nafas. "Mungkin...". Arie menatap gadis itu penuh perhatian. "Aidan...mungkin sedikit kasar, tapi sebenarnya dia lebih rapuh dari aku, sangat rapuh...". "Apa maksudmu?". "Sayapnya sudah patah, tapi dia tetap memaksa terbang melintasi lautan, yah, seperti itulah gambarannya, aku harap, kamu mengerti yang kumaksud...", lalu Arie beranjak menuju ruang OSIS, menimbulkan pertanyaan di benak Atha.
Aidan mengira Atha kembali untuk mengambil barangnya. Handphone gadis itu tertinggal. Tapi ternyata Arie yang masuk. "Ada apa?". "Nanti malam akan ada acara di rumah, biasalah, relasi papa, kita diminta mengungsi dulu ke rumah kakek. Kamu mau bareng tidak?". "Kamu duluan aja, oh ya, handphone ketua kelasmu tertinggal, bisakah kau menyusulnya dan mengembalikannya?". Arie berdehem, lalu menuju ke pintu. "Maaf, aku banyak urusan, kau susulkan saja sendiri...handphone kekasihmu itu...".
Aidan cepat-cepat membereskan kerjaannya, diliriknya jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Setelah memasukkan berkas ke tasnya dan semua dirasa cukup, dia mematikan lampu ruangan, saat dilihatnya meja Atha, dia mengumpat pelan. Lalu diambilnya HP berwarna pink itu dan dimasukkannya ke saku. Mungkin gadis itu masih di halte. Benar saja, Atha masih berdiri di halte, tapi tiba-tiba bus berhenti dan gadis itu naik. Aidan berdecak kesal, lalu distarternya Archie dan menyusul bis itu.
Atha memasuki gerbang rumahnya. Aidan memarkir motornya di trotoar depan dan melepas helmnya, menyusul masuk. Atha tengah memencet bel, dan saat dilihatnya Aidan berada di sampingnya, gadis itu terlihat sangat terkejut, seolah baru melihat hantu. Tanpa suara, tanpa pesan. Apakah ini benar Aidan atau dia hanya melihat ilusi?. "Mau apa kau kemari?". Aidan merogoh saku jacketnya dan mengangsurkan HP berwarna pink itu. "Tertinggal". Saat dia bermaksud pergi, seraut wajah ramah muncul dari balik pintu. "Atha, baru pulang nak, oh, sama temanmu?". Ditatapnya pemuda itu dan wanita itu terlihat sangat kaget. "Kau...", lalu wanita itu mendekat sambil memandangnya aneh. Aidan heran, kenapa hari ini banyak tante-tante aneh yang memandangnya seperti itu?. "Ibu kenapa?", Atha menarik lengan ibunya. "Dia...", ibu Atha menunjuk Aidan. "Teman sekolah, kenapa bu?". "Oh, tidak papa. Ibu hanya pernah merasa melihatnya". "Dia baru pertama kali ke sini, Aidan mengembalikan HP ku yang tertinggal di sekolah". Wanita itu masih menatap Aidan dengan tatapan menyelidik. "Baiklah, kalian masuklah, kebetulan ibu memasak cumi panggang kesukaanmu, ajak temanmu makan sekalian". Atha bengong. "Ah, saya...saya langsung pulang saja tante...". Ibu Atha tersenyum. "Oh, tidak, sebagai ucapan terimakasih, kamu harus makan di sini, bagaimana...jangan menolak dong, masakan tante terkenal enak lho, ayo Atha, ajak temanmu...". Dengan enggan Atha mengajak Aidan. Entah apa yang mendorong Aidan ikut masuk. Rumah itu sangat besar, khas rumah kuno. Pajangannya dan tirai yang menghiasi ruang tamu juga kuno. Warna pastel menambah kesan lembut pada ruangan. Saat melewati ruang tengah, Aidan melihat lukisan seorang gadis cantik yang tersenyum sedih, seperti Monalisa saja. Tiba-tiba seperti Dejavu, dia merasa pernah melihat gadis itu sebelumnya. "Ini...lukisan siapa?". Atha menoleh, dilihatnya Aidan meraba wajah lukisan itu. "Cantik bukan? Itu bibiku, yang tewas di lab kimia sekolah". Aidan mengernyit. "Kenapa?", Atha merasa heran Aidan masih terpaku memandangi lukisan bibinya. "Entahlah, sepertinya aku pernah bertemu dengannya...".
Saat mereka menikmati masakan , ibu Atha, terdengar suara mobil memasuki halaman. "Ayah datang...". Atha langsung berlari ke halaman. "Ada tamu ya?", suara berat seorang pria terdengar. Sesosok pria separuh baya bercambang lebat memasuki ruang makan. "Well, siapa dia?". "Temanku". "Hmm, teman, jadi ayah tidak perlu mengintrogasinya?". "Ayah, jangan begitu, nanti pemuda ini takut datang ke sini lagi", ibu Atha membantu suaminya melepas jacket. Saat lelaki itu mendekat dan melihat wajah Aidan secara langsung, bibirnya langsung kelu. "Rafae...?".
"Oh, jadi kalian satu sekolah...", pria bernama Alex itu tertawa. "Dunia memang sempit, dulu ayahmu sekelas denganku di Westside High School. Kami teman baik, wah, kukira setelah kejadian itu, dia tidak akan kembali ke kota ini lagi...". "Kejadian apa?", Aidan memandang pria itu. Alex menatap pemuda di hadapannya.
"Coba kulihat lenganmu...", Alex membuka lipatan jacket Aidan, benar, ada luka bakar di sana. "Kalau tidak salah, kamu punya saudara kembar?". "Iya...oom, kejadian apa yang membuat papa pindah?". "Oh, bukan hal penting...sudahlah, sebaiknya kita lupakan saja. Ayo, makannya diteruskan, aku ganti baju dulu...", Alex beranjak meninggalkan ketiga orang itu. "Rafae pasti belum memberitahunya, apa yang menyebabkan tangannya terluka, anak yang malang...".
Aidan berpamitan pulang. Alex menyalaminya. "Ini nomor telponku, katakan pada ayahmu untuk menghubungiku segera". Pemuda itu menerima secarik kertas yang disodorkan dan menyelipkan di sakunya. Dia pun melangkah menuju motornya tanpa menoleh lagi. "Benar-benar mirip...keangkuhannya pun sama", gumam Alex. Atha hanya memandang sosok itu menjauh. Bahkan menatapnya untuk sekedar berpamitan pun tidak, dengan kesal gadis itu masuk ke dalam rumah. Alex menghela nafas. Masih diingatnya kejadian waktu itu. "Jaga anak itu Fae...". "Ketampanannya bisa membuatnya celaka...", tanpa sadar Alex menggumankan kata yang pernah Destin ucapkan.
"Kukira setelah kejadian itu, dia takkan kembali ke sini lagi...", kata-kata Alex membuat Aidan terus memikirkannya. Apa yang terjadi waktu itu. Kedua orangtuanya menutupi sesuatu dan dia tahu itu, tapi apa?. Apa yang menyebabkan mereka pindah dari sini?. Pembunuhan di laboratorium kimia, luka di tangannya, dan wanita yang mati itu...terus, perempuan gila yang tadi pagi bertemu dengannya, begitu banyak kejadian aneh yang tak bisa terangkai. Membentuk pertanyaan yang tak terjawab.
----
Atha memeluk boneka beruangnya erat. Dipandangnya wajahnya di cermin. Hatinya terasa sakit. Kenapa ada rasa yang sesakit ini?. Perlahan air matanya mengalir. "Aku mencintainya...", tapi dia merasakan jurang yang dalam, yang dibuat Aidan. Keangkuhannya, yang terpancar dari sorot matanya yang tajam. Bibir yang selalu sinis dan tak pernah tersenyum. Atha merasa mustahil melalui semua jarak yang diciptakan pemuda itu. "Cukup sudah!". Dia berbaring menatap langit-langit kamarnya. Terbayang lagi ciuman itu, dia ingin melupakannya, tapi entah kenapa, ingatan tentang itu justru semakin kuat. Saat itu, seluruh tubuhnya serasa dingin, seolah dingin yang berada di tubuh Aid mengalir padanya. Tubuhnya terasa beku. Seperti di Himalaya. Dengan kesal, ditutupnya wajahnya dengan bantal. "Lupakan Atha, lupakan!".
Beberapa kilometer dari sana, Aidan juga tengah resah. Langit yang terang oleh purnama tak bisa mengusir kegalauannya. Padahal biasanya dia bisa tenang jika menatap langit yang berbintang. Arie dan kakek sedang asyik bermain catur di beranda, neneknya yang masih terlihat cantik, asyik membaca buku di samping kakeknya. Sungguh senang melihat mereka berdua, di usia senja, masih awet dan seolah mereka masih muda saja. Senyum tak pernah lepas dari bibir keduanya saat cucu-cucunya datang dan menengok mereka. Kakeknya dulu wartawan, cerita-cerita menarik yang disampaikannya membuat Arie dan Aidan merasa betah mendengarnya bercerita tentang petualangannya saat muda. Nenek, meski terlihat galak, hatinya sangat lembut. Beliau sangat disiplin, sangat suka kerapian dan selalu cermat. Ayah sangat mencintainya, bagi ayah, nenek adalah wanita yang sangat hebat, dan Aidan setuju mengenai itu.
"Dia kenapa?. Dari tadi diam dan terus memandangi langit, hari ini ada berita bakal ada gerhana bulan atau apa?", tanya kakeknya. "Oh, dia sedang memandangi seraut wajah, bidadari cantik, berambut panjang...pacarnya tuh...", Arie mengeraskan suaranya, sengaja, supaya Aidan mendengar. "Kalian itu, masih bau kencur, sudah main pacar-pacaran, apa itu...lebih baik kalian belajar yang benar dan cita-cita kalian tercapai...", kata nenek. "Namanya juga anak muda, hehe, biarkan sajalah...", kakeknya ikut nimbrung. "Halah, kakek kok ngomongnya gitu sih?. Kan banyak tuh kasus anak sekolah yang berbuat tidak benar, hamil di luar nikah...kakek harusnya nasehatin cucu itu yang bagus...". "Aidan kan nggak mungkin hamil nek...", kata Arie, neneknya melotot. "Kamu ini, gaya bicaramu ceplas-ceplos kayak ibumu saja. Kalau ngomong itu ya dipikir dulu...", Arie nyengir. "Lho...Arie benar kan Kek?". "Iya iya...skak mat tuh...".
Terdengar dering telpon, nenek yang mengangkat. Ternyata ibu si kembar, menanyakan apakah kedua putranya ada di sana. "Iya...mereka sudah di sini". "Maaf ya bu, merepotkan". "Ah, merepotkan apa, aku justru senang, mereka main kemari, suasana jadi ramai. Bagaimana acaranya?". "Oh, lancar, mas Rafae sedang menemui para tamu, sebentar lagi juga selesai, titip anak-anak ya bu, salam untuk ayah...". "Ya...". Nenek kembali ke beranda, masih saja dilihatnya Aidan termenung. "Sudah le, masuklah, nanti kamu sakit lho...". "Percuma nek, dia lagi sakit cinta, di dunia kedokteran belum ada obat penawarnya...", kata Arie. "Ealah, kamu ini ada-ada saja". Arie menyudahi permainan caturnya. 1-2. kakek yang menang. Lalu dihampirinya Aidan. "Sudahlah...besok kan kamu ketemu dia lagi, atau...kusalamkan padanya...dia kan sekelas sama aku...", "Apaan sih?". Aidan berdiri dan masuk ke dalam. "Ye, gitu aja marah...". Arie tertawa.
----
Arie menghela nafas. Kita lahir bersama ke dunia ini. Apa yang kamu rasakan aku juga rasakan. Kamu sakit, aku juga sakit. Kenapa kamu menutup hatimu, padahal cinta tak selamanya salah. Arie sangat menyayangi Aidan, mengaguminya dan Aidan adalah panutannya. Dia ingin Aidan bahagia, kapan terakhir melihatnya tertawa lepas?. Waktu SMP, saat Aid menang lomba Kendo tingkat nasional. Setelah itu, wajah datar tanpa senyum yang selalu dia lihat. Padahal, senyumnya sangat indah. Aidan...
---
"Aryan Evanjendra!", Arie tersentak. Bu Neni. Guru kimianya memandang Arie kesal. "Jangan melamun, ini di laboratorium, salah takar sedikit, sangat berbahaya!". "Ya bu...". Lalu dengan hati-hati ditimbangnya bahan –bahan yang tertulis di papan. Harus cermat setiap gramnya. Dimasukkannya bahan tertentu ke tabung berisi air. Beberapa mulai berubah warna. Dia sangat menyukai eksperimen seperti ini, Aidan tidak. Sejak kecil dia enggan bermain-main dengan alat laboratorium milik papa. Dia lebih suka membongkar pasang mainan mereka. Saat praktikum selesai, dibantunya ketua kelas meraapikan alat-alat itu. "Hai...". Atha memandangnya tak acuh. "Jangan gitu dong kakak ipar...". Atha menyenggol beberapa tabung, dengan sigap Arie menangkap tabung yang hampir jatuh. "Jangan gugup seperti itu...". Atha menghela nafas kesal. "Apa mau kamu sih Rie...". "Senyum Aidan...".
Arie menceritakan kisah yang membuat Aidan bersikap dingin terhadap cewek. "Dia tak bisa mempercayai siapapun setelah kejadian itu...mungkin karena hal itu juga, dia terkesan kasar kepadamu. Dia ingin menyangkal hatinya, karena dia tak ingin jatuh cinta. Tapi dia malah merasa sakit sendiri. Dia membuat tembok pembatas, dia terkurung sendirian dalam kesunyiannya. Kuharap kau jangan menilai dirinya hanya dari apa yang kau lihat. Jangan membencinya...".
"Aku tak pernah membencinya, sebenarnya akupun...", Atha tak meneruskan kata-katanya, airmatanya mengalir. "Kau menyukainya?". Atha mengangguk. "Tapi, aku takkan pernah mengatakannya, sebesar apapun rasa sukaku ini, aku takkan pernah mengatakan padanya, karena aku seorang gadis. Bukan tempatku untuk mengatakan perasaan yang ada di hatiku...jadi, tolong, biarkan dia menilainya sendiri. Kau jangan mengatakan apapun padanya...". Arie menatap Atha takjub. "Aku suka prinsipmu, baiklah, aku harap ini berakhir dengan baik, aku akan selalu mendukungmu...". Mereka bersalaman dan saling tersenyum.
---
Pada pelajaran bahasa Indonesia, setiap kelas diwajibkan untuk mengadakan pementasan drama. Kelas Aidan menyiapkan drama Helen of Troy, IPA 2 Romeo Juliet, IPA 1 Hamlet, dan masih banyak tema lagi dari kelas lain. Giliran pertama menurut undian jatuh pada kelas IPS 3. Aidan memerankan Archilles, anak dewa yang angkuh dan sombong. Wajahnya sangat sesuai dengan perannya. Lagi pula dia tidak memainkan adegan berarti. Pemeran utamanya Faiz sebagai Paris dan Kana menjadi Helen. Anehnya, saat kedua pemeran utama tampil, penonton kurang bersemangat. Tapi, saat Archilles yang angkuh muncul dengan baju besinya, anak-anak cewek yang menonton jadi hilang kendali, berteriak-teriak memanggil nama Aidan. "I love you Aid!". "Keren abis!". "Lihat sini dong Aid...". Sampai-sampai guru pembimbing merasa kewalahan menenangkan mereka. Apalagi saat adegan perang Troya, meski pada akhirnya Archilles terbunuh, tetap tak mengurangi jerit histeris para cewek. Beberapa malah menangis, padahal, seharusnya mereka mensyukuri kematian dewa yang sombong dan semena-mena itu. Guru pembimbing sampai pusing.
Hari kedua, Hamlet, karena kurang persiapan, adegannya jadi kurang menarik. Para penonton kecewa. Pemeran utamanya beberapa kali salah dialog. Berbagai macam sampah, dari kertas sampai kaleng minuman menghiasi panggung.
Hari ketiga, Ande-ande lumut oleh kelas IPS 1, lumayan mengocok perut, karena kleting merah, hijau dan ibu tiri diperankan anak laki-laki. Mana kleting merahnya bergigi tonggos, belum lagi kleting hijau yang kayak tiang listrik saking kurusnya, beberapa kali hampir terjatuh dari panggung kesenggol ibu tiri yang super gemuk. Yang asli cewek hanya kleting kuning. Dengan gaya banci cukup unik, drama itu sukses membuat perut sakit saat keluar gedung pementasan.
Hari keempat. Cinderella Boy oleh IPA 3. Uniknya, bukan pangeran tampan yang menolong putri cinderella dengan sepatu kacanya. Tapi putri tomboi yang menyelamatkan pangeran cengeng. Sang pangeran punya dua kakak perempuan yang sangat suka menyiksa dan menyuruh-nyuruh Cinde mengerjakan pekerjaan rumah. Dari ngerjain PR sampai ngepel lantai. Akhirnya bisa ditebak, datang putri gagah berani yang menolong cinderella kabur dari rumah. Akhirnya mereka hidup bahagia.
---
Aidan menatap Arie cemas. Demamnya masih tinggi, tapi dia nekat mau berangkat sekolah. "Ini kan hari pementasan, aku nggak dapat nilai kalau aku nggak datang...". Arie setengah terhuyung sampai hampir menabrak lemari. "Peran kamu apa?", tanya Aidan. "Mauritio, itu tuh, temen Romeo...yang mati dibunuh sepupunya Juliet...". Aidan menghela nafas. "Baiklah, akan kugantikan...kau tenang saja istirahat di rumah...". Arie lega, dia tahu, Aid cerdas, skenario bisa dia hafal dalam lima menit, karena anak itu jenius dalam hal mengutip. Dia pernah mempelajari tekhnik hacker dalam tiga hari, menghafal mesin MIG di luar kepala dan banyak hal yang mencenggangkan lain. Aidan meminjam pelurus rambut milik ibunya dan memakai tas milik Arie. Sekarang mereka bagai pinang di belah dua."Sip! Nggak ada yang tahu kamu bukan Aryan. Goodluck Aid!".
Arie terkikik saat melihat motor Yamaha itu meluncur meninggalkan halaman. Dilepasnya pemanas badan yang sejak tadi menempel di perutnya, membuat suhu tubuhnya seolah naik dan wajahnya memerah seperti kena demam. "Mauritio?. I'm Romeo!", katanya sarat kemenangan.
"Kamu gimana sih, udah ditunggu dari tadi...", Stella yang jadi penata acara menyeret pemuda yang dia kira Arie. "Lho, bukannya aku muncul setelah adegan ketiga?". "Kamu gila?. Romeo selalu muncul di adegan pertama". "Romeo?". "Udah, jangan cerewet, ganti bajumu, sepuluh menit lagi acara kita mulai!". Beberapa cowok mendandani Aidan, sementara dia menghafal skenario. "Brengsek...dia menipuku...", gerutunya kesal. Dipandanginya wajah itu di cermin. Semula dia mengira akan memakai baju Mauritio yang tak terlalu mencolok, ternyata kostum Romeo, yang berwarna putih dan elegan. Dia benci menatap bayangannya di cermin. Seperti boneka saja, dia lebih menyukai Archilles yang kasar dan sombong. Romeo bukan karakternya, tapi karakter saudara kembarnya yang kelewat lemah lembut. Belum lagi dialog Romeo yang terkesan bertele-tele, lain dengan ketegasan Archilles.
Saat tirai terbuka, dia tidak kaget lagi saat melihat siapa yang menjadi Juliet. Dia bersumpah akan menceburkan Arie ke kolam saat pulang nanti. Dialog adegan pertama lumayan lancar meski agak kaku, seperti baru dihafal, tapi penonton terlanjur jatuh hati pada sosok Romeo yang berada di atas panggung. "Apalah arti sebuah nama...walau namanya bukan mawar, bunga itu tetap harum...apakah itu Capullet, apa itu Montaque...". Sejauh ini sudah cukup baik.
Atha mengakhiri adegan dan menuju balik panggung. Pemeran lain sudah bersiap. Gadis itu merasa aneh. Kenapa si Arie?. Hari ini tampak kaku, padahal saat mereka berlatih, pemuda itu selalu terlihat lucu dan tersenyum. Romeo yang suka mengumbar kata romantis, Romeo bermata jenaka, sehingga saat dia memerankan Juliet, dia merasa tak punya beban. Tapi, kenapa dia tak melihat senyum itu di wajah Arie?. Kemarin Arie memang mengeluh pusing, apa dia sakit?. Lalu dia memandang adegan saat Romeo kehilangan Mauritio...
Kenapa di setiap adegan mereka berdua, Romeo enggan menatapnya?. Tapi dialog yang diucapkan Arie tetap lancar. Dan ini adegan terakhir saat Juliet meminum racun. Dan Romeo menangis di hadapan jasadnya. "Lihatlah, lihatlah...dia sedang tertidur. Dia hanya tertidur karena pipinya masih semerah kelopak mawar...oh Juliet, aku akan menemanimu, tunggu aku...". Lalu dia meminum racun yang dibawanya. Juliet terbangun dan mendapati Romeo terbaring di sampingnya. Melihat wajah yang tenang dengan mata terkatup itu, Atha menyadari ada sesuatu yang salah. Arie tidak memakai kacamatanya, padahal saat mereka gladi resik, cowok itu sempat kehilangan kacamatanya dan sangat panik, katanya dia nggak bisa melihat dengan jelas tanpa kacamatanya itu. Tiba-tiba disadarinya, orang ini bukanlah Arie. "Ssttt...Atha, jangan bengong...", Stella memberi kode untuk meneruskan dialog. "Romeo, apa yang terjadi padamu?. Saat kubuka mata, seharusnya yang kulihat adalah senyummu. Tapi kenapa kematianmu...", tanpa sadar air matanya mengalir, dia benar-benar menangis, untuk cinta yang tak terkatakan dan takkan pernah terungkapkan. Dielusnya lembut wajah yang terpejam itu, airmatanya menetes di wajah Aidan. Lalu diminumnya racun yang berada di tangan Romeo, Julietpun terbaring sambil memeluk Romeo.
Saat tirai turun, dan Stella memberi aba-aba adegan sudah selesai, Atha cepat-cepat berdiri dan mengusap air matanya. Tepuk tangan terdengar bergemuruh di depan panggung. Dilihatnya cowok yang memerankan Romeo sudah lenyap. Ke mana dia pergi?
Aidan menuju ruang ganti dan dengan cepat memakai seragamnya lagi. Teman-teman Arie yang mengira dia Arie yang memerankan Romeo, menyalaminya. "Lumayan Rie, kukira pertunjukan bakal ancur, kamu kan nggak lancar setiap latihan adegan terakhir...", kata Fiki yang berperan jadi ayah Romeo. "Semalam pasti berlatih keras ya...", tanya Anton. "Begitulah...". Lalu Aidan menutup tas Arie dan pergi keluar ruang ganti. "Eh, Rie...katanya kamu nggak bisa lihat kalau tanpa kacamata, dari tadi kamu kan nggak pakai kacamata, nyatanya kamu bisa...kemarin bikin panik kami saja, saat kacamata kamu ilang...". "Aku pakai lensa kontak", jawab Aidan sambil berlalu. "Duh, ketahuan nggak ya kalau aku ini bukan Arie?".
---
"Dasar penipu...", Aidan melempar bantal tepat di kepala Arie. "Hahaha...maaf. Habis, kalau aku bilang yang sebenarnya, kamu pasti nggak mau gantiin aku, padahal aku kan sakit dan butuh nilai itu...". Aidan meraba kening Arie. "Sakit kepalamu! Sakit beneran baru tahu rasa...". Arie megusap kepalanya. "Gimana adegan terakhirnya? Aku selalu gagal melakukannya karena aku merasa di sana bukan tempatku, yang menangis di samping Juliet seharusnya bukan aku...". "Bodoh, Romeo ya Romeo, bukan aku ataupun kamu...". "Tapi yang dicintai Atha kamu, bukan aku". Arie menatap mata Aid. "Jangan menghindar lagi Aid, jangan sampai kisah ini berakhir seperti Romeo dan Juliet!". Aidan mengabaikan kata-kata Arie.
-------
Bukan hanya Aidan yang marah, Atha meminta penjelasan dari Arie pagi itu. "Kemarin kamu digantikan Aidan,kan?". "Wow, kok kamu tahu...". "Jangan berlagak innocent Rie, kenapa kamu lakukan itu?". "Aku nggak pernah bisa selesaikan adegan terakhir, itu saja...", lalu cowok itu tersenyum dan berlalu.
Atha mengantar ibunya berbelanja beberapa peralatan di Old Square. Hypermarket termegah di Westside. "Aku mau beli baterai HP dulu bu, punyaku rusak...". "Aduh, ibu nggak bisa tunggu kamu nih, ibu harus siap-siap untuk arisan, kamu bisa sendiri, kan?". "Iya...sampai nanti bu...". "Hati-hati...". Di ruang bawah tanah Square yang remang-remang memang dikenal sebagai Black Market. Kamu bisa membeli apapun yang kamu perlukan, kualitas bagus dan harga miring. Meski tempatnya seram, tapi Atha tetap memilih pergi ke sana. Banyak barang menarik di sana. Software bajakan dengan mudah bisa ditemukan, kualitasnya nggak kalah sama yang asli. Dia juga ingin menambah program di HPnya.
Dia memasuki sebuah toko yang menjual berbagai macam alat elektronik. "Hei...aku butuh baterai CRX yang bagus...", katanya pada pelayan toko. Pemuda itu memakai baju yang menarik, celana hitam gombrongnya seolah terbakar karena dihiasi benang perak, kaosnya hitam bergambar pedang yang juga seolah terlihat nyata di kegelapan toko, dan jacket hitamnya...sangat keren! Belum lagi kacamatanya yang unik. Atha terpaku memandang siapa pemuda itu sebenarnya. "Aidan?". "Ada yang bisa kubantu?", pemuda itu memandang layar komputer yang menunjukkan data barang. "CRX dan aku ingin mengubah program di HP ku". "Memory berapa?". "Satu Giga". "Tiga puluh dollar termasuk program?". "Deal".
Diserahkannya HP berwarna pink itu. Aidan dengan cepat menangani. Digantinya baterai dan dimasukkannya MMC. "Kamu mau program apa saja?". "Yang standar...kalau bisa ditambah kamus bahasa inggris dan aku ingin akses ke internetnya dipercepat...". Aidan dengan cepat bekerja dengan komputernya. Tak sampai seperempat jam sudah jadi. "Ini...". Atha menerima HP nya dan mencoba di depan Aidan. "Bagaimana?". "Bagus...". Aidan kembali asyik dengan komputernya sambil mendengar musik dari headset i-pod. Atha tidak diberinya kesempatan untuk bertanya lagi. Gadis itu dengan kesal menuju kasir yang dijaga gadis cantik yang pakaiannya sama gothicnya dengan Aid.
"Hallo cantik, main yuk...", beberapa pemuda tiba-tiba sudah mengerumuninya. Atha menerobos mereka tak perduli. "Hei, sombong banget sih...", salah satu dari mereka yang mungkin pemimpinnya mencekal lengan Atha. "Lepasin!", lalu ditendangnya kaki orang itu. "Aduduh...nakal juga gadis ini, aku marah nih, paling tidak kamu harus bayar dengan satu ciuman...". Atha berontak, dipukulnya lengan pemuda itu. "Wow...jangan begitu sayang...". Saat wajah pemuda itu semakin dekat, tiba-tiba sebuah pukulan membuat pemuda itu terjatuh. Atha mengenali sosok hitam di belakangnya. "Wah..wah, CoreSnik...kenapa kamu ikut campur?". Pemuda itu berdiri dan berhadapan dengan Aidan, sambil menyeka darah dari bibirnya. Ditatapnya Aidan dengan marah. "Dia pacarmu ya?", tanya pemuda itu sambil menunjuk Atha. "Bukan urusanmu Jura!". "Well, tuan sok hebat, jangan mengganggu kesenanganku donk", Jura memukul Aidan, tapi tidak kena, dengan gerakan halus pemuda itu mundur. Jura membabi-buta tapi Aidan cukup menghindar. Jura mencabut belati di sakunya. Atha terpekik. "Jangan...jangan...!". Dia mendekat ke arah kedua orang itu. "Minggir!", Aidan membuat gerakan tangan menyuruh Atha tetap di tempatnya. Saat Jura maju menyerang, dengan ringan ditepisnya tangan Jura dan belati terjatuh. Dengan cepat ditendangnya belati itu menjauh dan kaki satunya melayang membentur keras kepala Jura. Pemuda itu terhuyung ke belakang. Anak buahnya menghampirinya dan membantunya berdiri. "Ini belum selesai Snik". Lalu gerombolan itu pergi meninggalkan Atha dan Aidan di tempat parkir yang gelap. "Ayo! Di sini berbahaya kalau sendirian, kau tahu...lain kali ajak seseorang". Aidan mendahului melangkah, Atha masih gemetar. Mereka keluar, cahaya matahari membuat mata Atha silau, Aidan masih memakai kacamata uniknya. Pemuda itu seperti Vampir di film horor. "Aid...", Aidan memandang datar Atha. "Terimakasih...". Aidan tidak menjawab, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Aid...".
"Dengar...untuk beberapa hari ini, sepulang sekolah kita harus pulang bareng". Aidan menatap Atha. "Kenapa?". "Aku punya sedikit masalah dengan Jura, dia...pengedar...dan dia punya dendam pribadi padaku, dan...sekarang dia mengira kita punya hubungan khusus, dia orang yang sangat licik dan berbahaya...ayo, kuantar kau pulang...". Atha membonceng Aidan, motor Yamaha itu meluncur tenang di jalan. "Apa aku membuat masalah untukmu Aid?". "Justru kamu membuat masalah untuk dirimu, setelah aman, jangan dekat-dekat lagi denganku, kamu bisa terluka". Atha menghela nafas. "Jadi itu sebabnya...". "Apa?". "Kamu nggak ingin seorangpun berada di sampingmu, kamu takut melukai...karena itu kamu selalu sendirian?". Aidan menghentikan laju motornya. Dia berhenti di sebuah jembatan dan mereka berbicara.
"Sangat berbahaya berada di dekatku, dan kamu nggak tahu itu...", mata kelam itu memandangnya tajam. Tapi Atha melihat kerapuhan di sana. "Siapa kamu sebenarnya?". "Sebaiknya kamu nggak perlu tahu...jangan melibatkan diri". "Apa ayahmu tahu? Keluargamu tahu, kau Hacker?". Aidan menatap Atha sambil mengumpat pelan. "Hanya Arie...dan sekarang kau...sudah kubilang...". Tiba-tiba gadis itu mencium bibirnya, Aidan merasa asin, Atha menangis, Aidan memeluknya. "Aku nggak takut berada di sampingmu, aku takut kamu terluka, selagi kau bisa, hentikanlah semua ini Aid". "Aku nggak bisa". "Kenapa?". "Jangan terlalu jauh tahu...kamu bisa terluka!". "Aku mencintaimu...", akhirnya terucap juga kata-kata itu. "Jangan mencintaiku!". Aidan melepas pelukannya. "Aid...". "Kumohon Atha, mencintai aku bisa berarti kematian buatmu!". "Apa separah itu?". "Lebih parah dari itu, naiklah!". Motor itu kembali melaju. Aidan mengambil alih kembali hatinya. Jangan sampai Atha tahu, dia juga sangat menyayangi gadis itu.
Seandainya dr. Rafae tahu putranya termasuk penjahat hebat di dunia maya, apa reaksinya?. Meski Aidan membongkar informasi demi kebaikan banyak pihak, tapi cara kerjanya illegal. Bagaimanapun, Aidan tetaplah Hacker. Tapi kenapa? Apa alasan dia melakukan pekerjaan itu?. Ayahnya cukup kaya, dan Aidan bukan tipe manusia yang gila uang.
Sampai saat ini Aidan bahkan belum menghubunginya ataupun datang ke kelasnya. "Oi, ketua kelas....", Zevan, wakil kelas menyerahkan setumpuk buku. "Kata bu Rini, lu disuruh nyerahin ini ke ruang guru, sekalian ngumpulin absensi...oh ya, jadwal piket sekalian...". lalu Zevan ngeloyor pergi, anak-anak sudah pada pulang. Dengan malas Atha meraih tasnya dan membawa setumpuk buku itu ke ruang guru. Di sana, dia bertemu Aidan, rupanya dia juga mengumpulkan tugas. Mereka keluar ruangan bersama dan Aidan menyuruhnya menunggu di parkiran.
Tak lama Aidan muncul, sambil membawa tasnya. "Ayo...", lalu pemuda itu menghubungi seseorang lewat HP. "Snik di WHS, jalan ke Green Garden gimana?". "Clear Snik". "Positive?". "Positive!". Lalu Aidan menyalakan motornya dan mereka menuju rumah Atha. "Aku sudah pasang radar, selama Ex, temanku mengawasi kita, tampaknya semua aman". Lalu dipasangnya headset. "Apa maksudmu dengan radar?". "Radar lokal, kamu tahu kan, yang biasa kita gunakan di Wikipediamap, tapi ini khusus sekitar sekolah dan rumahmu". "Jadi kau juga mengawasi rumahku?". "Begitulah". "Eh....nggak termasuk dalamnya kan...". "Tentu saja tidak, hanya atap rumahmu yang terlihat, itu saja jaraknya terbatas". "Syukurlah, kukira sampai ke setiap tempat, aku jadi takut mandi". "Hmm, ide bagus, dengan sedikit modifikasi mungkin aku bisa mengawasi kamarmu, kamar mandi, lalu...". Atha memukul helm Aidan. "Bodoh!". Aidan hanya tertawa. Atha merasa sayang, tidak bisa melihat bentuk wajah Aidan saat tertawa seperti itu. Dia merasa senang, paling tidak, dia berada di dekat Aidan sekarang.
Di perempatan, motor mereka hampir menabrak seorang wanita yang tiba-tiba menyebrang jalan, belanjaan wanita itu berceceran. Saat motor berhenti, Atha turun dan bermaksud membantu wanita itu memunguti belanjaannya. Tiba-tiba wanita itu mencekal lengannya dan menempelkan belati ke lehernya. Jura keluar dari balik tembok dan bertepuk tangan. "Bagus Sarah...sekarang aku selesaikan urusanku dengan bocah sok tahu itu...". Aidan mendekat. "Lepaskan dia...". Jura mengernyit,"Apa? Lepaskan katamu?. Enak saja, setelah kau hancurkan transaksiku...melukai wajahku...apa layak kamu meminta sesuatu padaku?". "Apa maksudmu?". Jura mendekati Aidan sambil mengacungkan revolver. "Jangan berlagak tak tahu, susah payah aku mengakses West Bank, banyak uang kukeluarkan untuk memancing passwordnya, seenaknya saja kau gagalkan transaksi pemindahan uangnya. Kau bekerjasama dengan White Hacker itu kan?. Selama ini kau mengawasi gerak gerik kami. Saluran LAN tempatmu bekerja sudah kuperiksa, kau buat terhubung dengan tempatku, ternyata benar, bocah tengik seperti kau, ternyata sampah busuk kaki tangan White!", Jura menembak, tapi Aidan cukup gesit untuk mengelak. "Hmm, mati begitu saja nggak asyik, kamu harus menangis darah dahulu...bawa pacarnya kemari...".
Sebuah mobil Ferrari merah berdesing dan berhenti di dekat mereka. Seorang pria berambut perak, kontras dengan bajunya yang hitam, melangkah keluar. "Ex...". "Tenang Aid...".lalu pria itu menghadap Jura. "Mereka hanya anak-anak, sebaiknya kamu lepaskan anak itu, kalau Alexis Reinhart tahu kau menyentuh putri kesayangannya, dia pasti memburumu sampai neraka". Jura tertawa. "Kau kira aku nggak tahu siapa bocah ini?", lalu dipegangnya dagu Atha. "Ayahnya memenjarakan ayahku, berton-ton obat yang kami hasilkan, pabrik kami yang terbesar, dihancurkan oleh Alex. Dan nyawa si cantik ini belum cukup untuk membayar darah ayahku...". Atha mencoba berontak, tapi sia-sia. Beberapa anak buah Jura mengepung mereka.
Jura Killian, wajahnya sangat klasik karena kakeknya adalah oreng italia, dia bisa dibilang berwajah menawan. Tampan tak cukup untuk menggambarkan pahatan wajahnya. Tapi juga terlihat cantik, istilah kerennya bishounen. Sayangnya, pancaran matanya yang licik dan kejam, membuat setiap hal yang ada padanya terlihat menakutkan. Dan kejam tak cukup untuk mengukur sifatnya. Usia tujuh tahun dia sudah mampu membunuh. Apa yang dia inginkan akan selalu dia dapatkan, begitu ayahnya mengajarinya. Seorang pemain saham yang handal, sekaligus hacker brilian, sayangnya kemampuan otaknya dia gunakan untuk hal yang mengerikan. Sebenarnya dia cukup hebat, Aidan bahkan sebenarnya bisa dia kalahkan dengan mudah, tapi, tubuhnya yang terlihat atletis, sudah teracuni kokain, kerja otaknya jadi lambat. Dua kali dia melawan Aidan, selalu kalah, dan dia tidak ingin hancur untuk yang ketiga kalinya. Kali ini dia harus menang. Dia selalu mengendalikan keadaan, dia pemimpin. Tanpa dia sadari, diapun dikendalikan oleh seseorang. Caesar.
Sarah mendorong Atha dan Jura mengambil alih. "So?. What do you want?",tanya Ex. Penampilan pria berambut perak itu masih tetap kalem. "Aku ajukan sebuah tawaran bagus, hei bocah, kemari kau!", diacungkannya revolver tepat di dahi Aidan. "Kita buat kesepakatan!". "Kami tak bisa membuat kesepakatan, monster!", Aidan memandang pistol di tangan Jura dengan waspada. "Oh ya, bocah sok pintar...", sekali lagi revolver menyalak, mengarah tepat ke jantung Aidan, tapi Jura tahu, bocah bermata angkuh itu tak semudah itu mati. Peluru hanya menggores lengannya. "Diam, dan turuti apa saja yang kukatakan, kalau tidak, kepala gadis ini kuledakkan! Kau masuk ke mobil...", katanya sambil menyuruh Aidan memasuki mobil hitam besar yang tiba-tiba muncul dari belokan. "Dan kau juga...!",lalu didorongnya Atha masuk.
"Kuambil mereka Ex, ayah mereka pasti nggak ingin melihat mayat mereka, kalau kau lakukan yang Caesar inginkan, nggak mustahil melihat mereka kembali hidup-hidup! Bye! Kuhubungi kau nanti!". Exhibit memaki pelan.
Selama perjalanan, mata mereka ditutup. Perjalanan terasa sangat panjang. Akhirnya mobil berhenti dan Jura menyuruh anak buahnya melepas penutup mata keduanya. Cahaya sangat terang menyapa mereka, tempat itu sangat luas, showroom. Banyak sekali mobil mewah illegal selundupan terpajang di sana. Berbagai merek terkenal! Belum lagi yang sudah dimodifikasi. Berapa miliar dollar untuk semua ini?. Dan kenapa pemilik barang ini masih merasa kurang?. Segila apakah Caesar?.
---
"Apa yang mereka inginkan?", pria berjas hitam itu terlihat lelah, umurnya mungkin baru tigapuluhan, tapi seolah-olah beban seluruh dunia berada di pundaknya. "Phissing Bank of Neocity". "Mustahil, transaksi terlalu mahal!". "Tapi, apakah kau akan membiarkan kedua bocah itu mati?". "Kita bisa apa lagi?". "But White...setelah semua yang Aidan lakukan, apa dia pantas menerima semua ini?". "Dia pejuang, dia layak mengorbankan dirinya". Pria itu menghela nafas panjang. "Sayang sekali, padahal dia brillian". Ex menekan speed dial. "Bagaimana?", kata suara di seberang sana. "Negative". "Benarkah?. Sudah kuduga...transaksi tetap akan dijalankan, kita tukar kedua bocah itu dengan Hyde, suruh si brengsek White menghubungi Alex dan Rafae. Kalau mereka nggak ingin potongan tubuh anak kesayangannya sampai di depan pintu rumah mereka!".
dr. Rafae tak habis pikir, bagaimana mungkin Aidan diculik, bukannya meminta uang tebusan, malah penculiknya ingin menukar anaknya dengan pengedar narkoba yang baru tertangkap sebulan lalu. "Hyde Araki?. Apa maksud semua ini? Kenapa Aidan harus ditukar dengannya?". White mempersilahkan tamu yang satu lagi masuk. "Tuan Alex...welcome...". Alex menatap White gusar. "Aku nggak punya urusan denganmu White Connor...". lalu dilihatnya sahabat lamanya duduk di kursi seberang. "Hei, Fae, ada apa ini?". "Aidan juga diculik, aku nggak tahu kalau gadis yang bersamanya anakmu". "Brengsek, bagaimana mungkin bocah-bocah itu terlibat permainanmu White?". "Permainan kita, kau yang menjebloskan Hyde ke penjara, tuan Alex, kau anggota Badan Intelegen Negara, bukan?. Aku sudah tahu semuanya, kau tentu sangat kenal Caesar Osbourne. Dan kau dokter...kau pernah menolak mengoperasi Jonah Red, dan penjahat itu akhirnya ditangani rekanmu, tapi karena teknik operasinya tak sebaik kau, Jonah mati di meja operasi, dia salah satu anak buah Caesar yang terbaik, Aidan dan putri Alex adalah sasaran balas dendam yang tepat kalau kita bertiga tidak bekerja sama".
"Aku menolak menolong orang yang semena-mena merenggut nyawa orang lain, Jonah Red adalah penjahat. Dia juga tersangka pengeboman Neo Hilton, bukan?. Ratusan orang mati, dan manusia seperti itu...aku merasa dia tak pantas hidup. Jadi aku menolak mengoperasinya, aku melanggar kode etik dokter untuk menolong siapa saja". "Sudahlah, kalau aku di posisimu, aku mungkin melakukan hal yang sama, sudah banyak orang mati karena Red, saat dia kabur dari penjara, aku yang memberi perintah tembak di tempat. Dunia begitu sempit,atasanku merekomendasikan Operasi Red ke Eastside Hospital, ternyata dokter yang menanganinya kau...dan kau menolak...well, tidakkah kau lihat, sebenarnya ada benang-benang nasib yang mengikat kita, bro?. Ayo kita lakukan yang terbaik, kau masih punya satu putra, tapi aku hanya punya seorang putri". "Kalau terjadi sesuatu pada Aidan, ibu dan adiknya bisa mati. Bocah itu, sejak lahir, kenapa selalu terlibat masalah seperti ini?. Aku nggak ingin pengorbanan Destin sia-sia". White tersenyum di seberang ruangan. "Jadi, kita sepakat? Kedua anak itu pantas untuk ditukar dengan Hyde?". "Lebih dari pantas!", kata Alex.
Mereka berdua dikurung di suatu ruangan seperti kamar. Aidan memeriksa setiap sudutnya. Tak ada celah untuk kabur. Dihelanya nafas panjang, kesal. Hanya pintu masuk itulah satu satunya akses keluar, terkunci dari luar. "Kita coba buka saja pintu itu.."..Atha meraih jepit rambutnya. Aidan melompat dan menarik tubuh Atha mundur. "Jangan!". Lalu ditatapnya mata Atha. "Kalau bisa, sudah kulakukan sejak tadi. Lubang pintu itu sudah dialiri arus listrik, kalau kau masukkan jepit rambutmu...ah, bagaimana ini bisa terjadi?. Bagaimana mungkin Ex membuat kesalahan?". Tiba-tiba pintu terbuka, wajah sinis Jura terlihat menantang. "Sedang bertanya-tanya bocah?. Kenapa seorang Exhibit gagal?". Lalu pria itu mendekatkan HPnya dan berbicara..."Positive...Snik...", suaranya sama persis dengan Ex. "Si rambut perak itu dengan cepat menyadari kami mengalihkan panggilan...lalu dia mengejarmu untuk memberi peringatan, tapi, kami lebih cepat...sekarang dia pasti menyadari kalau dia hanyalah sampah bodoh. Bagaimana menurutmu Snik...". "Kaulah sampah itu, dasar licik...". Jura meletakkan sebuah TV flat, lalu dengan tenang dipencetnya remote. Wajah White terpampang jelas. "Kami bersedia, tapi sandera jangan dilukai". Di samping White terlihat ayah mereka. "Wah,wah, semua keluarga sudah berkumpul rupanya...". diarahkannya pistol ke arah Aidan. "Kalian berdua, maju...".
Alex dan Rafae lega melihat kedua anak itu masih hidup. "Bagaimana tuan-tuan, kondisi barang masih bagus, bukan... tapi, kalau rencana ini gagal, kami tetap akan memulangkan bocah-bocah ini, dalam potongan kecil...hahahaaa...", kata-kata Jura membuat Alex berdiri, marah. "Kalau sampai terjadi sesuatu dengan putriku, kukejar kau sampai neraka sekalipun!". "Hmm, menarik, kita lihat saja nanti". Lalu layar di depan mereka kembali hitam.
Jura dan anak buahnya meninggalkan ruangan dan kembali menguncinya. Aidan terduduk di ranjang dan menutupi wajahnya dengan tangan. "My God...". Dia tadinya mengira Jura hanya pengedar biasa, ternyata berurusan dengan orang itu jauh lebih berbahaya dari yang dia pikir. "Aidan...", Atha menatap pemuda itu cemas. "Maaf, ini semua gara-gara aku...",kata Aidan. Atha tersenyum. "Bukan, kita hanya dipermainkan nasib, orang yang akan ditukar dengan kita, ayahkulah yang menangkapnya...". Aidan memandang Atha. ":Ayahmu?". "Dia anggota BIN...yang mengepalai penangkapan Hyde Araki...". Aidan menggaruk kepalanya, dia nggak menyangka Oom yang ramah itu detektif pemerintah. "Jadi, bersemangatlah, jangan pernah merasa bersalah lagi, lagipula aku tidak menyesal, asalkan bersama kamu, itu sudah cukup", katanya sambil memeluk Aidan.
Mereka tak tahu, sudah berapa lama mereka dikurung. Mungkin hari sudah malam. Tak lama pintu terbuka dan anak buah Jura meletakkan dua bungkus makanan lalu kembali menutup pintu. Tapi keduanya tak bisa menelan makanan itu. Atha teringat sesuatu, di sakunya masih ada sebatang coklat yang dia beli di kantin, dia membaginya jadi dua dan menyerahkan sepotong pada Aidan. Pemuda itu menolak. "Makanlah, kau lebih membutuhkannya...". Atha memakan bagiannya. "Apa perlu kusuapi?". Aidan tersenyum. "Kamu lebih tampan kalau tersenyum...", lalu disodorkan coklat itu di bibir Aidan. Pemuda itu menggigitnya. "Terlalu manis, aku nggak suka makanan yang manis...". "Tapi mineral dan gula yang terkandung di dalamnya bagus untuk tubuh...". lalu dipaksanya Aidan menghabiskan bagiannya.
"Kau tidurlah...", Aidan berdiri dari tempat tidur. Berdua saja di kamar ini, membuat hatinya tidak karuan. "Aku tidur dibawah...". katanya sambil duduk di lantai. Atha memandangnya. "Manisnya...di saat seperti ini kau masih saja patuh pada aturan ya?". "Yah, tapi kalau kau berkehendak lain...akan kulayani...". Aidan melepas jacketnya. "A...apa maksudmu?". Aidan menggulung jacketnya dan menjadikannya bantal. "Jangan takut, aku nggak akan berbuat-macam-macam, di samping lemari terdapat kamera pengawas. Aku nggak mau bikin video panas untuk para penjahat itu...tapi kalau sekedar ciuman selamat malam gimana?". Atha merasa wajahnya panas dan memerah. "Sialan kau!", gerutunya. Aidan berbaring di lantai. "Selamat malam, Atha, maaf, kau melewatkan malam pertama denganku dalam keadaan seperti ini".
Aidan tertidur, Atha membaringkan tubuhnya di ranjang. Tidak ada selimut untuk menutupi tubuhnya, padahal dia hanya memakai rok sekolah yang pendek, kalau tidur, posisinya bisa berubah-ubah, sementara kamera itu mengawasinya dan mungkin dia terlihat jelas di tempat tidur ini. "Aid...". "Mmm?". "Aku saja yang tidur di bawah, kau di sini, aku nggak mau gaya tidurku terekam kamera sialan itu". "Baiklah, kau boleh tidur di sampingku kalau kau mau, aku nggak biasa tidur di atas". Atha nekat, paling tidak, di bawah sana, pandangan kamera terhalang tempat tidur. Lalu dibaringkannya tubuh di dekat Aidan. "Geser dikit, kepalaku sakit nih kena lantai...". Aidan mepet ke dinding. Mereka berbantal jacket Aid. "Aid...". "Maaf Atha, aku nggak bisa melakukan lebih dari ini, kita belum resmi menikah". Atha menghela nafas kesal. "Ternyata isi otakmu sama kayak cowok lain ya....". "Aku kan manusia juga...gimana? kau merasa dingin? Mau kupeluk?". "Peluk kepalamu! Kubunuh kalau kau berani melakukannya!". "Bagus, jangan cerewet lagi, tidurlah dengan tenang". "Aku hanya ingin tahu, siapa pria yang bersama Ayah kita?". "White Connor". "Siapa dia?". "Lebih sedikit kau tahu tentangnya, itu lebih baik, jangan bicara lagi, mungkin pembicaraan kita juga mereka rekam". Lalu Atha mencoba memejamkan mata, tertidur di samping Aidan.
Aidan melirik jamnya. Sudah jam delapan pagi. Atha masih tidur, mungkin capek. Wajah yang cantik, jangan sampai dia menderita lagi, Aidan benar-benar merasa kacau. Seandainya terjadi sesuatu pada Atha, dia nggak bisa memaafkan dirinya. Ruangan tempat mereka disekap kemungkinan besar berada di bawah tanah. Atapnya tak ada celah, kerena dicor semen. Benar-benar bentuk kubus tak bercelah sempurna, hanya ada satu pintu masuk. Tiba-tiba pintu terbuka, beberapa orang masuk, Aidan menyentuh bahu Atha. Gadis itu bangun dan Aidan melindungi posisinya. "Keluar kalian, Tuan Jura ingin bicara!". Mereka digiring ke sebuah ruangan luas, ruang makan. Jura duduk di sebelah kiri meja, di tengahnya, seorang pria jangkung asyik mengelus ular yang melilit lehernya. "Well, apa itu tamu kehormatan kita?". "Iya tuan Caesar, mereka akan kita barter dengan Hyde". Pria bernama Caesar itu mengamati Aidan dan Atha. "Duduklah, mari kita nikmati sarapan bersama".
Aidan dan Atha tak menyentuh makanan yang diberikan. "Tenanglah, makanan itu aman...". "Kapan transaksi akan berlangsung?", tanya Aidan. "Hmm, tuan muda ini tak sabar rupanya, kalian masih punya waktu dua hari menginap di sini, bagaimana, semalam cukup menyenangkan bukan?", pria itu dengan tenang meletakkan ularnya di meja. "Boleh pinjam kamar mandi?. Kami berdua semalam belum ke belakang". "Silahkan, hei...tunjukkan tempatnya pada mereka". Aidan dan Atha berdiri, mengikuti orang yang ditunjuk Caesar.
"Berdua?", tanya pengawal itu heran. "Memang kenapa?. Semalam juga kami berduaan di kamar". Aidan menggandeng Atha masuk dan menutup pintu kamar mandi. Cukup luas, bahkan ada jacuzzi di sana. Aidan memandang sekeliling. "Kayaknya clear, nggak ada kamera pengawas. Kamu mau mandi?". "Mandi?. Mandi saja sendiri, enak saja kau ngomong, memangnya aku cewek apaan?. Bintang iklan sabun porno?. Tapi aku pengen pipis...", lalu Atha menutup gorden yang membatasi jacuzzi dan kloset. "Jangan melihat ke sini Aid, atau kubunuh kau!". "Baiklah, baiklah...". setelah keduanya selesai bergiliran ke WC, Aidan masih memeriksa kalau di sana ada celah untuk kabur, ternyata tidak ada, dengan kecewa dia membuka pintu kamar mandi, dilihatnya pengawal itu nyengir ke arahnya. "Ngapain aja di dalam, lama banget?". Aidan mendengus kesal lalu menarik Atha kembali ke ruang makan.
---
Aira hampir pingsan saat Rafae dengan hati-hati menceritakan penculikan Aidan, Arie memapah ibunya menuju sofa. "Tenang mam, Aidan bakal pulang dengan selamat...". "Anak itu, kenapa dia selalu dapat masalah seperti ini?. Apa dia akan selamat kali ini?". Arie memandang ibunya. "Kali ini?, memang Aidan pernah mengalami hal kayak gini?". Bergantian dipandanginya orangtuanya. "Yah, waktu bayi dia pernah diculik...", Rafae menceritakan kejadiannya pada Arie, mungkin ini saat yang tepat, dan dia merasa Arie sudah cukup dewasa. "Jadi, kejadian di ruang kimia dan terbunuhnya seorang wanita di sana karena penculikan itu?". "Begitulah". "Sekarang, siapa yang menculik Aid, apa motifnya?". Rafae menceritakan semuanya. Arie merasa kaget, tapi ayahnya tidak menyinggung tentang keterlibatan Aid, mungkin ayahnya belum tahu kalau Aid seorang hacker.
---
Helikopter yang membawa mereka, terbang rendah, di lapangan yang dikelilingi pohon pinus itu mereka mendarat. "Transaksi tiga jam lagi". Kata seorang pria bertubuh besar pada Caesar. "Bagus...bawa mereka berdua kemari....", Caesar menyuruh para pengawalnya membawa Aidan dan Atha mendekat. Mereka menunggu kedatangan para polisi yang membawa Hyde Araki untuk ditukar dengan kedua bocah itu.
Caesar sempat menikmati bistik yang disajikan pelayannya. Aidan melihat sekelilingnya. Di mana mereka berada? Di tengah hutan seperti ini kenapa ada sebuah tanah lapang? Apa ini tempat mereka bertransaksi narkoba dan senjata?. Dia memang banyak tahu tentang Caesar, di dunia hacker yang gelap, nama itu pernah merajai kejahatan software. Caesar banyak memperkerjakan para hacker hitam yang tangguh, mencuri informasi dan dokumen resmi perusahaan, bahkan perusahaan pemerintah, mencuru password beberapa bank besar dan mencuri informasi penting lain, konon dia bekerja dengan pejabat tinggi negara, sehingga dia kebal akan hukum, selama ini BIN tidak punya bukti untuk menjebloskannya ke penjara, hanya kasus kecil soal narkoba dan senjata ilegal yang memberatkannya sekarang, itupun belum cukup bukti.
Helikopter milik kepolisian pusat yang berwarna biru abu-abu terlihat dari kejauhan. Tak lama heli itu mendarat dan beberapa polisi bersenjata turun membawa seorang pria jepang berwajah tampan tapi sorot matanya sangat kejam. "Aku bawakan Araki, sekarang serahkan kedua bocah itu...", seorang polisi menyeret Araki mendekat. "Hei, rileks bung, kita lakukan secara baik-baik, okey?", Caesar berdiri dan memberi tanda anak buahnya mendekatkan Aidan dan Atha.
Mereka melangkah menuju para polisi sementara Araki melangkah ke arah Caesar. Tiba-tiba susut mata Aidan menagkap gerakan yang tak beres. Benar saja, Caesar mengarahkan senjata ke arah mereka. "Dor!", dengan sigap Aidan meraih Atha dan berguling menjauh. Dia membawa gadis itu lari ke arah para polisi. Suasana menjadi kacau karena tiba-tiba terjadi baku tembak, Aidan membawa Atha lari ke arah helikopter polisi, tak disangka Caesar sudah merencanakan sesuatu yang mengerikan. Sebuah roket kecil melesat dan meledakkan Heli. Di tengah kekacauan itu, Aidan membawa Atha lari ke arah hutan. Pokoknya mereka harus lari sejauh mungkin dari Caesar dan anak buahnya, masalah lain dipikir belakangan.
Anak buah Caesar yang melihat sekilas Aidan kabur, segera mengikuti kedua bocah itu. "Kejar mereka, bunuh di tempat!", perintah Caesar. Para polisi mulai terdesak, anak buah Caesar ternyata sudah menunggu dengan senjata yang canggih. Seorang polisi meminta bantuan ke pusat, melaporkan kegagalan transaksinya.
Aidan menyeret Atha lari...pokoknya mereka harus lari sejauh mungkin. "Aidan...kakiku sakit...". "Bertahanlah, mereka masih mengejar kita", tiba-tiba di depan mereka membentang sebuah jurang. Aidan berdecak kesal, anak buah Caesar sudah terlihat di depan mata. "Akhirnya, tertangkap juga kalian....", tapi sekilas Aidan melihat sesuatu di jurang yang membuatnya berharap. Jurang ini memang kurang-lebih tujuh meter, tapi air di sungai itu terlihat tenang, semoga kedalamannya mampu menyelamatkan kami....saat anak buah Caesar menembak, diraihnya tubuh Atha dan terjun bersama gadis itu ke jurang.
Anak buah Caesar berdiri di tepi jurang, memperhatikan air yang bergolak. Ditembaknya beberapa kali permukaan air, tak ada reaksi. Mereka melongok beberapa lama tapi Aidan dan Atha tak terlihat. "Mereka pasti mati...sudahlah, sebaiknya kita kembali sebelum polisi itu membawa bantuan...".
---
Sekuat tenaga Aidan melawan arus sungai dan menuju ke tepi, tangannya dengan kuat mencengkeram lengan Atha, bagaimanapun caranya dia tak ingin melepaskan gadis itu. Beberapa saat diaturnya nafasnya saat tubuhnya terhalang sebuah kayu besar, lalu dicobanya lagi menuju ke tepi, Atha kemungkinan pingsan, Aidan tak tahu apakah gadis itu terluka atau tidak.
Akhirnya dia berhasil mencapai tepi, dengan sisa tenaganya diangkatnya tubuh Atha ke tanah dan tubuhnya sendiri. "Ahhh..." di baringkannya tubuhnya di tanah berumput tebal itu. "oh Tuhan...terimakasih....", rasanya seluruh tenaga di tubuhnya sudah habis. Dia mengatur nafasnya dan berharap Atha baik-baik saja.
Pertama diperiksanya kepala Atha, syukurlah, tak ada tanda benturan atau semacamnya, lalu perlahan dibelainya rambut gadis itu dan ditepuknya pipi Atha. "Atha...please, bangunlah...Atha...", lalu Aidan menghela nafas, terpaksa dia melakukan pertolongan pertama, nafas buatan...
"Ugh....", Atha memuntahkan air yang memenuhi perutnya. Perlahan nafasnya mulai tertata. Tubuhnya terasa sangat lemah, Aidan tengah memeluknya dan menepuk punggungnya. "Muntahkan semuanya Atha...setelah itu kau akan merasa lebih baik...". Aidan melepas jacketnya yang basah. "Kita di mana?", tanya Atha. "Nggak tahu...yang pasti di hutan lindung Westside...ayo Atha...kita tak boleh terlihat di tempat yang mencolok, aku khawatir anak buah Caesar menyusuri sungai ini dengan Heli. Dipapahnya Atha masuk ke dalam hutan di pinggir sungai. Mereka duduk di pohon yang cukup rindang. Aidan mengeringkan kemeja sekolah dan jacketnya di pohon, sekarang dia hanya bertelanjang dada, mereka beristirahat cukup lama lalu Aidan sibuk melakukan sesuatu.
"Kau mau apa?", tanya Atha. "Memangnya kau tidak lapar?", dipatahkannya sebuah ranting panjang dan diurainya sabuknya yang ternyata merupakan jalinan dari benang-benang berwarna perak. Lalu dia menghampiri Atha. "Boleh kuminta pinmu?", katanya seraya menunjuk pin berbentuk hati yang menjadi hiasan seragam Atha. Gadis itu menyerahkan pin itu nggak ngerti akan apa yang akan dilakukan Aidan. Aidan mencongkel kancing pin dan peniti di dalamnya dia bengkokan, setelah beberapa waktu mengasah pinggiran peniti, dia melepas cincin perak di jarinya dan dibuatnya pemberat, lalu sentuhan terakhirnya adalah mengikat peniti itu di ujung benang sebagai kail. "Kita sekarang hanya bisa berharap agar Tuhan berbaik hati pada kita", lalu dicongkelnya kayu lapuk yang tadi didudukinya, Atha terpekik saat melihat beberapa ulat gemuk berwarna putih menggeliat, Aidan mengambil salah satunya dan dikaitkannya pada pancing. Dia melihat keadaan sejenak dan menancapkan kayu pancingnya di pinggir sungai yang terlihat tenang, dipilihnya lubuk itu dan berharap ada ikan bodoh yang terkait di mata pancingnya.
Akhirnya mereka memperoleh beberapa ikan. Aidan yang tak membawa pisau atau apapun, memukul kepala ikan itu sampai mati dengan batu, dia menyuruh Atha mencari daun yang lebar, setelah mencuci ikan-ikan itu, dia meletakkannya di atas daun. "Kau mau memakannya mentah-mentah?", Atha merasa putus asa. Aidan tersenyum. "Yah, kita memang kembali ke zaman batu Atha, tapi aku akan berusaha...", lalu dilepaskannya jam tangannya. "Atha...kau memakai jam tangan bukan?". "Iya...", Atha memeriksa jam tangannya. "Kayaknya tidak rusak...memangnya kenapa?", Aidan tak menjawab, tangannya dengan hati-hati mencongkel jamnya. Dilepaskannya kaca jam dan diarahkannya ke dedaunan kering, tak cukup berhasil. Lalu dia menuju ke tepi sungai yang terkena cahaya matahari. Akhirnya berhasil juga dia menyalakan api. Atha takjub. "Kau benar-benar hebat Aid...". mereka mengumpulkan banyak daun kering dan membakarnya, setelah api membesar baru mereka membakar ikan.
Meski rasanya tak enak, karena lapar mereka menghabiskan ikan bakar itu. Lalu mereka menuju tepi sungai yang terlindung. Aidan memeriksa jacketnya, sudah lumayan kering, diperiksanya kantong jacketnya satu per satu, siapa tahu ada yang bisa digunakan. Ternyata dompetnya masih ada. Dibukanya dompet itu, basah kuyup. Dengan kesal dijajarnya satu per satu isi dompetnya di kayu lapuk tempat dia duduk. Lumayan, uangnya masih tersisa tigaratus ribu, kartu-kartu ATM dan credit card itu dia tidak tahu apakah masih bisa digunakan atau tidak. Lalu dia teringat ponselnya yang disita Caesar. Andai ponsel kedap air itu terbawa, mungkin dia bisa menghubungi Arie atau Ex...atau siapa saja. "Atha...please awasi barang-barang ini ya, kalau kita bisa menemukan jalan raya, uang ini mungkin masih bisa berguna untuk ongkos jalan...", lalu diserahkannya dompetnya. Atha melihat isi dompet cowok itu, selain uang tunai, kartu kredit dan kartu Osis, nggak ada barang lain, misalkan foto cewek atau apa, tapi di lihatnya sebuah foto kecil, foto Arie dan Aidan yang tertawa, dia tak bisa membedakan mereka berdua andai tak melihat rambut Aidan yang ikal dan Arie yang memiliki rambut agak gondrong. Aidan menelusuri jacketnya. Dirabanya lagi satu per satu kantong jacketnya. Syukurlah, pematik apinya masih ada!. Dia memang tak merokok, tapi dia selalu membawa pematik itu untuk hal lain. Sekarang sedikit terkena air, tapi dia yakin, setelah kering pasti bisa digunakan.
"Kenapa tidak dari tadi kau bongkar isi sakumu...tahu gitu nggak usah susah payah menyalakan api, kan?". Tanya Atha. "Ini basah...lagipula aku ingin menghemat, selagi ada matahari, kita gunakan kaca arloji, kalau malam tiba, kita baru gunakan ini, aku ingin menghemat, kita kan nggak tahu sampai kapan kita di hutan ini. "lalu apa rencanamu?'". "Kita ikuti aliran sungai, aku yakin kita pasti menemukan pemukiman penduduk di bawah sana...kita harus bertahan, Atha...", Aidan mencoba tersenyum. "Untung kau bukan gadis yang cerewet, aku salut kamu masih bisa makan ikan bakar tadi...", Atha tertawa. "Aku ini ketua pramuka juga lho....sebelum menjabat jadi wakil OSIS. Jadinya sedikit banyak aku pernah menderita...".
Hari mulai sore, Aidan meraba jacketnya yang sudah kering. "Atha, sebaiknya kau...bukannya aku mau bersikap tidak sopan, tapi aku yakin baju dalammu belum kering, sebaiknya kau ganti kemejamu dan lepas...eh...bra kamu dan pakai jacketku, aku nggak mau kau terkena penyakit paru-paru...", Atha tertawa. "Yah, aku memang sudah mulai merasa dingin...".
Saat malam tiba,. Aidan menyalakan api dan mereka duduk di tanah sambil menghangatkan diri, mereka mengeringkan sepatu dan kaos kaki mereka. Aidan sudah memakai kaos dalamnya, kemejanya dan jacketnya dipakai Atha, giliran kemeja Atha yang disampirkan di ranting pohon, menutupi branya. Untung di dekat sungai banyak ranting dan daun kering, mereka tidak membawa pisau atau apapun yang bisa membantu mereka memotong kayu. Suara hewan malam mulai mewarnai suasana, Atha merasa takut, dia merapatkan duduknya pada Aidan dan bersandar pada kayu lapuk di belakangnya. "Maaf Aid, aku takut nih...". Aidan menepuk lengan Atha, dipeluknya gadis itu. "Tenanglah...ada aku, sebaiknya kau tidur saja...besok kita harus berjalan jauh...". hangat tubuh Aidan membuat Atha nyaman, dia menghembuskan nafas lega, selama Aidan di sampingnya, dia merasa tenang.
Paginya, saat membuka mata, Atha terkejut, mereka sudah tak lagi bersandar pada kayu tapi tertidur di tanah dan Aidan memeluknya. Semalam mungkin mereka merasa dingin, wajahnya jadi memerah saat dirasakannya hembusan nafas Aidan di wajahnya. "Aidan...bangun...sudah pagi. Matahari sudah terlihat...", Aidan membuka matanya, dilepaskannya pelukannya. "Sorry Atha...aku nggak bermaksud...". "Sudahlah...sekarang aku lapar, kita harus memancing lagi, bukan?". Aidan memandang langit yang cerah. "Untung sekarang bukan musim hujan, aku nggak tahu gimana nasib kita seandainya semalam hujan turun...", lalu diambilnya kail yang berada di dekat kayu mereka bersandar. "Ayo memancing...wah, ternyata apinya masih menyala, Atha, kau cari daun kering agar api tetap hidup ya...akan kucarikan sarapan pagi untukmu...".
Setelah sarapan ikan bakar...dan Atha berusaha keras memasukkan daging yang tak terlalu matang itu ke perutnya...lalu memunum air sungai banyak-banyak, mereka menelusuri sungai itu menuju ke bawah. Mereka tak bisa jauh dari sungai yang merupakan sumber makanan dan minuman untuk mereka. Aidan menggandeng Atha dan mengatur jalannya agar gadis itu tak terlalu lelah. Saat siang tiba, mereka membuka bekal berupa ikan bakar sisa tadi pagi yang mereka bungkus dengan kain. Aidan memegang pancing mereka seolah-olah itu benda paling berharga dan menggandeng tangan Atha di tangannya yang lain.
"Kau mendengar suara sesuatu?', tanya Aidan. Atha menajamkan pendengarannya. "Suara Adzan...benar...kita sudah dekat di perkampungan...", tak terasa air matanya meleleh. "Kita selamat Aid...". mereka berjalan menelusuri arah suara itu, benar saja, di bawah sana terlihat sebuah desa. Aidan memeluk pundak Atha. "Semoga petualangan ini cepat berakhir...".
Aidan meminta bantuan penduduk pertama yang ditemuinya untuk mengantarkan mereka ke rumah kepala desa, di sana dia menceritakan peristiwa yang menimpa mereka. "Saya mohon bantuan bapak untuk menolong kami menghubungi polisi...". pak kepala desa mengangguk-angguk. "Di sini desa terpencil, tak ada sinyal TV apalagi ponsel...listrik saja belum ada...kalian harus menunggu tiga hari lagi, biasanya ada truk yang menuju kemari untuk mengambil hasil bumi penduduk dan menjualnya ke pasar kecamatan. Saya tak bisa berbuat apa-apa, karena kondisi kalian yang lemah, saya rasa kalian tak bisa berjalan lebih jauh lagi, karena menuju ke jalan besar butuh setengah hari, itu saja belum tentu ada alat angkut yang bisa digunakan. Karena truk besar yang biasanya mengangkut kayu tak lagi beroperasi setelah pemerintah melarang penebangan kayu di hutan ini".
"Bersabarlah Atha...satu-satunya jalan kita memang harus menunggu", kata Aidan sambil menepuk lengan Atha, dia mengira gadis itu sedih karena tak bisa segera pulang ke rumah. Tapi Atha malah tersenyum. Diam-diam dia gembira, masih ada tiga hari bisa bersama cowok yang disayanginya. Ibu kepala desa memberikan mereka baju dan makanan. Atha tertawa saat melihaat Aidan memakai baju tenun khas desa itu dan memakai sarung. "Kamu seperti anak desa...". "Kamu juga jadi lucu...tapi kamu cocok memakai kebaya itu...seperti nenek-nenek...". dipandangnya Atha yang terlihat lain, gadis itu sudah mandi dan berkebaya. Cantik, anggun... Aidan menghela nafas lalu dia melihat ke arah lain sebelum jantungnya kembali tak terkendali.
---
Kepala desa menyuruh dua orang penduduk menemani mereka berdua menuju kota, ibu kepala desa memberikan baju yang mereka pakai untuk kenang-kenangan, tak hanya itu, dia membekali Atha dengan kue-kue buatannya sendiri. Mereka menyalami kepala desa dan istrinya dengan haru, truk ditata sedemikian rupa sehingga keempat orang itu menempati ruang diantara sayur mayur yang akan diantarkan ke kota. Setelah menyelubungi atap dengan terpal, truk melaju. Aidan merencanakan semua itu karena takut kalau anak buah Caesar mencari mereka dan menghadang mereka di jalan besar. Atha, Aidan dan dua orang penduduk desa berbincang hangat di dalam truk. "Jadi aden dikejar penjahat?". "Begitulah pak, makanya kita harus hati-hati, semoga di tengah perjalanan mereka tak menghadang kita".
Truk menempuh perjalanan sehari semalam, keesokan paginya mereka baru sampai di kota kecamatan. Setelah mengantar Aidan dan Atha di pos polisi tak jauh dari pasar, keduanya berpamitan. Aidan menyalami mereka dan tak hentinya mengucapkan terimakasih. "Kalau ada waktu dan keadaan aman, aden main lagi di desa kami ya...". "Tentu saja pak...pak Karim... pak Dadang, terimakasih atas bantuannya tolong sampaikan terimakasih kami pada pak kepala desa".
Aira tak juga menyentuh makanannya, sudah seminggu tak ada kabar akan Aidan. Rafae dan Arie tak hentinya membujuk Aira. "makanlah...paling tidak, minumlah sedikit susu hangat ini Ai...". "Iya bu...ibu nggak boleh sakit...", Arie memeluk ibunya dengan sedih. Aira membalas pelukan putranya sambil menangis. "Kenapa Aidan harus mengalami hal seperti ini...dimana dia sekarang, kenapa polisi itu belum menemukannya juga? Apakah dia baik-baik saja...", lalu mereka dikejutkan oleh suara telpon.
Rafae mengangkat telpon, wajahnya yang semula tegang menjadi cerah. "Benarkah Alex?. Mereka dimana?". Arie memandang wajah ayahnya, hatinya merasa dipenuhi harapan untuk bisa bertemu dengan kakaknya.
--------
Polisi mengantarkan mereka berdua sampai di markas besar kepolisian di Westside city. Saat dimintai keterangan oleh kepala polisi, tiba-tiba pintu ruang introgasi terbuka. Alex dan Rafae menyerbu masuk. Atha langsung memeluk ayahnya dan menangis. Alex heran melihat Atha yang memakai kebaya dan Aidan yang terlihat aneh dengan sarungnya. "Sudah...jangan menangis, ayah sudah di sini...", diciumnya lembut dahi putrinya tersayang lalu dipandangnya Aidan penuh terimakasih. "Terimakasih nak, kau bawa Atha pulang, ibunya hampir mati saat mendengar berita kalian menghilang...nah, Atha, sekarang kita pulang dan menemui ibumu...". Aidan harus memberikan keterangan selama beberapa jam lagi sebelum kepala polisi melepaskannya. Ayahnya mendampinginya dan mendengarkan penuturan Aidan dengan haru. "Terus bagaimana Caesar sendiri, apakah kita bisa menangkapnya?', tanya Rafae. "Untuk sementara kasus penculikan dan kaburnya Araki, tapi penjahat itu saat transaksi... tewas terkena tembakan, yang setelah diselidiki ternyata peluru berasal dari anak buah Caesar, mungkin penjahat itu memang menginginkan kematian araki, supaya rahasia terbesarnya tidak terbongkar karena Araki merupakan kunci dari banyak kasusnya. Tapi caesar tidak tahu, Araki diam-diam telah menyembunyikan dokumen bukti kejahatan Caesar, dia menyimapan dokumen itu di bank Swiss, jika dia mati, dokumen itu akan otomatis terkirim pada kepolisian pusat, ternyata Araki sudah memperkirakan semuanya. Keluarganya terancam dihabisi Caesar, karena itu, sebagai jaminan dokumen yang lain, dia meminta perlindungan atas keluarganya sebagai penukar dokumen itu".
Aira menyambut Aidan dengan haru, dipeluknya putra yang telah menghilang beberapa hari itu. Kakek dan nenek juga tak hentinya memeluk cucu mereka tersayang. Arie menunju lengan Aidan dan matanya berkaca-kaca. "Kau ini memang jagonya membikin khawatir orang lain ya...jangan tinggalin aku lagi ya...rumah jadi aneh kalau kamu nggak ada Bro!", lalu dipeluknya Aidan, kembalinya saudara kembarnya membuat rumah ini kembali bercahaya. Saat menonton TV Aidan melihat berita yang mengejutkan, polisi berhasil menangkap Caesar yang berusaha meloloskan diri ke luar negeri. Dia menghempaskan tubuhnya yang lelah dengan lega. Saat ibunya menawarkan makanan dia hanya menggeleng. "Aidan hanya ingin melihat kamar Aidan dan tidur, ma...Aidan merasa sangat lelah beberapa hari ini...", lalu dia menuju kamarnya dan tidur entah sampai berapa lama, karena dia dibangunkan cahaya matahari yang mulai memanas, masuk melalui jendela kamarnya yang besar.
Ayahnya memperbolehkan dia tak bersekolah dahulu dan memulihkan kondisinya. Aidan menonton TV di kamarnya sambil memeluk bantal besarnya. Tangannya meraih makanan ringan di meja samping tempat tidurnya. Dari dulu kamarnya memang selalu berantakan, lain dengan kamar Arie yang selalu rapi dan bersih. Kaset PS berserakan di lantai kamar dan buku pelajarannya pun tak kalah berantakan di meja, belum lagi CD yang berserakan di dekat komputer hitamnya. Aidan meraih laptopnya dan sambil tiduran mencari berita terbaru di internet. Caesar sudah tertangkap dan memasuki masa sidang, di vilanya ditemukan banyak senjata dan obat terlarang, dia diancam hukuman mati.
"Dia dikamarnya, masuk saja...", terdengar suara ibunya berseru dari bawah. Tak lama pintu kamarnya terbuka, Aidan menatap Atha yang memasuki kamarnya, gadis itu memakai T-shirt dan jeans, berarti dia tidak sekolah juga. "Wah...masa wakil OSIS membolos?", kata Aidan. "Kan ketuanya juga membolos...", balas Atha. Lalu dilihatnya kamar Aidan. "Berantakan banget...". "Kalau mau lihat kamar yang rapi...tuh di sebelah...kamar si Arie. Ngapain kamu ke sini?". Aidan tetap memandangi laptopnya, padahal hatinya sudah mulai berdetak tak wajar, entah kenapa sejak berada di hutan itu, hatinya tak bisa terkendali saat melihat Atha. Apa aku jatuh cinta...pikirnya kesal. "Yaa...aku kan pengen nengok kamu, kata ayahmu kamu sakit...", lalu Atha menyingkirkan kaset PS yang berada di bawah kakinya. "Ternyata ketua OSIS maniak game juga ya?", lalu dia mengelilingi kamar. "Wah...koleksi kaset film kamu banyak banget...eh, ada novel juga...kamu ternyata gemar membaca juga...", lalu saat berhenti di dekat meja komputer dia memeriksa bertumpuk-tumpuk CD yang terangkum di wadahnya. "Benar-benar hacker...kamu belajar ini secara otodidak ya?". Aidan menghela nafas. "Bukan urusanmu...udah deh, keluar saja sana...". Atha memandang Aidan tak mengerti, kenapa dalam hitungan hari, Aidan yangbaik itu berubah lagi menjadi kasar.
"Aid, aku hanya ingin mengembalikan jacketmu...sudah kuberikan pada mamamu dan ini...", dia mengambil sesuatu di saku celananya. Dompet Aidan. "Taruh saja di meja...setelah itu keluarlah...aku mau tidur...". Atha malah duduk di tepi tempat tidur Aidan. "Kok kamu kasar gitu sih...mana Aidan yang selalu baik dan melindungiku beberapa hari yang lalu...Aid...kumohon, jangan kembali menjadi Aidan yang menyebalkan dan kasar...aku....", ditatapnya sekilas mata Aidan, airmatanya mulai jatuh. Aidan menghela nafas, panjang, tanpa sadar diulurkannya tangan dan membelai pipi Atha lalu diraihnya Atha dalam pelukannya. "Aidan yang selalu melindungimu...juga Aidan yang membuatmu hampir celaka, kalau kau tak bersamaku, tentu kau tak mengalami kejadian penculikan itu, bersamaku berarti menantang bahaya, Atha...mengertilah...aku hanya membuat masalah dalam kehidupanmu...".
Atha terisak di dada Aidan. Lama mereka saling berpelukan. Lalu gadis itu melepas pelukannya dan memandang mata Aidan. "Kau tahu, petualangan yang kau berikan padaku tidak membuatku menyesal telah bertemu denganmu, saat kita berada di hutan, kau selalu melindungiku, saat kita bersama waktu itu, akan menjadi kenangan yang indah bagiku...itu kuanggap sebagai petualangan yang menarik, jadi kau tak usah merasa bersalah seperti itu...aku...mencintaimu....kalau kau menyuruhku pergi dari hidupmu, aku bisa mati...". melihat sorot mata Atha yang penuh kesungguhan, Aidan tersenyum.
"Kau tahu...aku juga mencintaimu...", dipandangnya mata Atha lekat-lekat. Mata mereka saling bertatapan dan menyelami kedalaman hati masing-masing. Atha merasa mata kelam itu semakin dekat, Aidan mengelus bibir Atha yang merah. Tiba-tiba terdengar suara Arie dari bawah. "Sini...masuk saja...", tak lama terdengar suara gedubrakan di tangga. Ternyata Arie membawa sekompi teman sekelas Aidan yang ingin menengok Aidan. "Wah...ternyata ibu wakil OSIS juga sudah di sini...ayo...masuk saja, toh kamar Aidan sudah seperti kapal pecah...". Aidan melongo melihat teman-teman sekelasnya. Faiz, Rio dan Koko mulai berulah, bukannya menanyakan keadaan Aidan, mereka malah melihat kaset PS dan tanpa persetujuan Aidan memainkannya dengan semangat. Toni, Dimas dan Galih asyik melihat koleksi buku komik dan mengacak-acak lemarinya, hanya beberapa teman cewek yang menanyakan kabar Aidan, Aidan menjawab seperlunya dan melirik teman-teman cowoknya. "Eh, Riko...mau ngapain lu...keluarin tuh kaset...", Aidan melotot pada Riko yang nyengir, lalu mengeluarkan kaset PS dari balik bajunya. "Yah, ketahuan padahal mau gue embat...kan ini Limited Edition FF 12, gue nyari setengah mati belum dapet juga...", Aidan berdecak kesal. "Itu gue pesen sama oom gue yang sekarang berada di Jepang, kalau lu mau, lu Burn sendiri dong, tapi kaset aslinya balikin ke gue...". lalu Aidan sibuk mengajari Koko dan Faiz memainkan PS 3 nya. Atha hanya memandang kelakuan Aidan dan teman-temannya dengan kesal. "Dasar cowok...!!!".
Tak lama nyonya rumah menyuruh mereka semua turun dan menikmati makanan plus minuman ringan. Aidan menjitak kepala Arie. "Kamar gue jadi hancur neh...". "Ye...emang sudah dari sananya hancur gitu...eh, tadi ngapain hayo, berduaan sama Atha di kamar...". "Bukan urusan lu, dasar anak kecil pikirannya ngeres melulu". "Siapa yang anak kecil, eh, begini-begini juga kita seumur, cuman selisih sepuluh menitan...". "Iya juga ya...", lalu dipandangnya Atha yang asyik berbicara dengan Diah dan Rere. Yah, ciuman itu bisa lain waktu. Dia bergabung dengan teman-temannya yang asyik menikmati makanan dan mengobrol. Bagaimanapun juga Aidan masih SMU, dia ingin menikmati masa-masa itu dan sejenak melupakan kehidupan lainnya sebagai Hacker. Dipandangnya Arie yang juga tengah menatapnya, Aidan tersenyum jahil dan mengacak rambut gondrong Arie yang tertata rapi. "Eh, apa-apapn sih Aid...". "Udah seminggu ini nggak ada yang ngajak kamu bertengkar khan...aku jadi gemes lihat kamu...", Arie kabur menuju ibunya yang berada di dapur. "Mama....Aidan kumat nih gilanya...mamaaa!!!". Ibu mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat ulah kedua putranya. Tapi dalam hati dia merasa bersyukur Aidan telah kembali. Rumah ini menjadi ceria lagi. Arie dan Aidan adalah permata hatinya yang menerangi kehidupannya dan Rafae.
------End...