Theo mencoba sekeras mungkin untuk dekat dengan Ryu. Orang yang benar-benar jahat tidak akan mengatakan seperti itu. Ryu memberikan peringatan yang harus Theo patuhi, meski itu artinya Theo tidak suka dengan cara lelaki itu menolak. Ryu selalu menjadikan alasan profesi terhadapnya. Theo iri dengan Taiga, yang bebas berteman dengan Ryu meski tahu kalau lelaki itu dari kalangan yang berbahaya. Theo ingin sekali menjadi teman Ryu dalam arti yang sebenarnya. Jadi teman ngobrol, bercerita, dan berbagi.
Untuk pertama kalinya Theo merasa seperti ini.
Dulu dia tidak terlalu mengidamkan sebuah pertemanan. Sekarang berbeda. Tidak pernah dia bertemu dengan orang yang senasib dengannya. Sama-sama kesepian. Sendirian. Lelah. Hampir menyerah.
"Pulanglah!" Ryu memijat ujung hidungnya. Theo masih mencengkeram baju Ryu, enggan melepaskan lelaki yang baru saja pulang dari rumah sakit itu.
"Ryu-sama... saya akan membuatkan Anda kopi setiap pagi." Theo tahu betapa mencandunya Ryu terhadap kopi buatannya. Ryu menggeleng pelan.
"Tidak."
"Saya ingin sekali berteman dengan Anda."
"Aku tidak butuh teman, Theo. Aku hanya butuh uang, kekuasaan, kesetiaan..."
"Saya bisa setia ketika jadi teman Anda."
Lagi-lagi Ryu menggeleng. Beberapa anak buahnya sudah berbaris rapi di belakangnya. Ryu tersenyum penuh misteri, menepuk bahu Theo sejenak. Ia benci dengan tatapan Ryu yang sekarang.
Ryu pun sama.
Dia benci dengan cara Theo menatapnya. Theo seperti sedang mengasihaninya. Ryu benci sekali dengan perlakuan serupa. Lagipula, tidak ada keuntungan yang Theo dapatkan kalau berteman dengan Ryu. Mungkin orang lain bisa menjadi penjilat bagi Ryu, tetapi Theo tidak. Dia tidak memiliki niat untuk itu. Ryu tahu kalau Theo hanya terlalu naif. Dia mengandaikan persamaan nasib hingga ingin bekerja sama untuk menciptakan sebuah perlawanan hidup. Ryu tidak suka cara Theo meresponnya.
"Katakan, kenapa kau ingin jadi temanku? Semua rayuanmu klise sekali, Theo!" Ryu berdecih meremehkan. Theo menelan ludah bingung. Dia sendiri tidak tahu apa yang seharusnya dia ucapkan sekarang. Rasa itu muncul begitu saja.
Theo ingin jadi teman Ryu. Sebuah keinginan paling naif yang pernah muncul di hidupnya. Theo bisa saja pamer pada Yogi kalau dia punya teman sekelas mafia. Yogi, si tukang gosip itu pasti akan segera menyebarkan berita tersebut pada seluruh pegawai.
Namun sejatinya bukan itu yang Theo inginkan.
"Karena kita sama..." Theo berbisik pelan. Setelahnya lelaki itu mendongak sambil tersenyum. "Tetapi, alasan utamanya karena saya ingin. Saya ingin jadi teman Ryu-sama. Tidak ada alasan lain karena saya ingin berteman. Tidak ada alasan."
Ryu menatap wajah Theo tajam. Jemarinya menggusak kepala Theo, sementara sebelah tangannya mengangkat dagu lelaki kriwil itu. Mata bulat milik lelaki asing itu mengerjap sebentar. Bola matanya begitu bening, mengedip beberapa kali. Bahkan hanya dari mata saja mereka berbeda. Ryu bermata sipit, Theo punya mata bulat besar seperti... kucing.
Itu salah satu alasan kalau mereka tidak bisa berteman.
"Kita berbeda, dan selamanya akan tetap seperti itu." Mata Ryu menatap Theo tajam. Theo menelan ludahnya, namun beberapa saat kemudian sebuah senyuman muncul dari bibirnya. Ryu bungkam.
Bibir itu juga berbeda darinya.
Bibir itu terlihat aneh ketika tertarik ke samping. Apalagi ketika si kriwil tersenyum. Ryu tidak suka melihatnya. Tetapi... gemas dalam waktu bersamaan. Ryu tidak tahu kenapa, namun... dia tidak ingin Theo terluka. Berteman dengannya membawa resiko.
"Taiga-san bisa berteman dengan Anda."
"Dia berbeda. Dia tidak seperti yang kau lihat, Theo."
"Kenapa saya tidak bisa?" Theo mengerjap. Wajahnya masih menatap lurus wajah Ryu. Ryu menelan ludahnya gugup. Hentikan, Theo! Kalau kau menatap Ryu seperti itu, Ryu bisa kalah dengan tatapanmu.
"Tidak bisakah?" Sekali lagi Theo berbisik.
"Aku bisa membencimu kalau kau masih memaksa."
Itu dusta, Ryu! Bahkan sekarang kau bisa saja luluh hanya karena tatapan lelaki kriwil manis ini. Dia lelaki, Ryu! Tetapi... dia bukan orang yang pantas di sampingmu sebagai teman. Bukan karena dia lemah, namun dia bisa jadi kelemahanmu.
"Please..."
"GO AWAY!"
Theo bungkam. Dia tidak akan pernah menyerah. Dia harus mencari cara agar Ryu mau menjadi temannya. Theo percaya Ryu. Satu alasan saja sudah cukup untuk menjadikan Ryu sebagai temannya.
"Ryu-sama..."
"Aku akan mematahkan kakimu kalau kau masih mendekatiku!" Kali ini Ryu berubah. Matanya makin tajam, menguliti wajah Theo di depannya. Jemarinya masih berada di rambut Theo, sementara jemari lainnya menarik dagu Theo. Sekarang jemarinya bukan hanya bertengger di sana, tetapi sudah menjambak rambut kriwil halus lelaki asing ini.
Kepala Theo tertarik dramatis, wajahnya mendongak karena tarikan Ryu. Ryu menegang di tempatnya. Ekspresi itu makin membuatnya takut. Takut kalau dia kalah. Tidak! Dia tidak boleh berteman dengan Theo apapun yang terjadi. Theo terlalu polos, terlalu murni untuk terluka karenanya.
"Ryu-sama..." Theo meringis kesakitan karena jambakan Ryu.
Kali ini hati Ryu sudah campur aduk. Ia masih menatap Theo tajam, lantas berbisik pelan pada lelaki di depannya. Bisikan tajam dengan harapan Theo mendengarkannya.
"Aku hanya menjambakmu sebentar dan kau sudah kesakitan. Kau... tidak pantas jadi temanku."
Theo tidak sakit hati, namun dia punya sedikit tekad sekarang. Dia tidak akan menyerah untuk menjadi teman Ryu. Dia hanya perlu mendengarkan Ryu, namun tidak harus melaksanakan perintah lelaki pemimpin Yakuza itu. Theo ingin menyusun sebuah strategi.
Maka hari itu, lelaki kriwil tersebut tidak bisa merayu Ryu. Besok-besok masih ada kesempatan!
***
Hari-hari klise Theo dimulai. Dia jadi agak melankolis dan juga sok romantis. Padahal Theo tahu kalau Ryu adalah lelaki, tidak akan bisa dibujuk dengan rayuan recehnya. Theo membuatkan kopi jahe, bahkan membuatkan pisang goreng untuk Ryu. Mulut-mulut anak buahnya juga ikut menggila di sana, mengunyah pisang goreng buatan Theo, memuji Theo dan menggoda lelaki kriwil itu.
Theo meradang kesal.
"Theo-chan, kenapa kali ini kau mendekati Ryu-sama? Bukankah kemarin kau menghindar ketakutan?" Managernya masih ingin tahu. Takazumi mengibaskan tangan, mengisyaratkan tanya di kepalanya.
Theo menggaruk tengkuk gugup.
"Saya ingin berteman dengannya."
"Kenapa?"
"No reason."
Theo mengedikkan bahu, lalu melangkah pelan ke arah Ryu. Di tangannya masih ada pisang goreng. Anak buah yang lain bersorak kencang melihat makanan favorit mereka datang lagi.
"No, not for you, guys! This is for your boss." Theo menunjuk Ryu. Masih ada dua wanita seksi yang menemani Ryu di sana. Theo tersenyum penuh makna.
"Ada apa?" Ryu menatap wajah Theo tak suka. Risih. Kesal. Sejak tadi si kriwil selalu mengganggunya. Berkeliaran di depannya, tersenyum penuh makna pada lelaki Yakuza tersebut.
Bahkan Theo sempat mengatakan kalau dia adalah teman baru Ryu pada anak buahnya. Tentunya dengan bahasa Jepang yang menyebalkan karena semaunya. Ditambah dengan bahasa isyarat.
"Tomodachi..." Theo menunjuk dirinya dan Ryu. Memberikan isyarat agar anak buah Ryu mengerti. Sayangnya, Ryu tidak semudah itu.
Lelaki Yakuza itu serius untuk mengusir Theo dari sisinya. Ryu berubah. Dia tidak lagi tersenyum pada Theo. Wajahnya berubah ketus ketika melihat Theo, sementara lelaki kriwil yang jadi sasaran hanya tersenyum lebar tanpa tahu malu. Ryu masih senang mengusir Theo. Juga... mengatakan kata menyakitkan pada lelaki kriwil manis yang naif tersebut.
"Aku sudah mengatakannya! Menjauhlah dariku! Aku membencimu!" Ryu kembali mengeluarkan kalimat pedas pada Theo. Theo mengangguk pelan.
Dia hanya mengangguk, namun tidak melaksanakan perintah Ryu. Meski Ryu selalu mengusir dan berkata jahat padanya, namun Ryu tidak pernah menyakitinya. Itu sudah jadi alasan yang cukup agar Theo bertahan.
"Kau tidak berguna, Theo! Kenapa aku harus menerima kau sebagai temanku?" Ryu masih tetap bicara dengan mulut tajamnya. Theo tidak peduli. Dia pura-pura tuli.
Karena itulah Theo makin yakin untuk menjadikan Ryu sebagai temannya.
Ryu juga mulai terusik. Dia tidak mengerti apa yang ada dalam otak lelaki kriwil tersebut. Dia hanya berpikir tentang bagaimana cara menghindari si kriwil. Ryu tersenyum licik. Satu ide melintas di kepalanya. Dia punya rencana agar Theo tidak mendekat. Kalau bicara jahat tidak menimbulkan efek apapun terhadap lelaki itu, maka cara satu-satunya adalah dengan melakukan sesuatu yang Theo benci.
"Kau minum?" Ryu bertanya santai. Kakinya naik di meja. Wanita di sebelahnya mengelus-elus dada Ryu.
Theo tidak suka itu. Ryu boleh bertingkah menyebalkan, namun tidak dengan bermain wanita. Theo jadi muak ketika melihat wanita baju minim yang menempeli Ryu seperti lintah tersebut.
"Tidak, Ryu-sama..."
"Duduklah!" Ryu menunjuk sofa di seberangnya. Theo ragu. Tiba-tiba dia jadi merasa tidak enak dengan pertanyaan Ryu.
Theo menurut, namun masih memasang wajah ragu. Ryu menuangkan sebotol bir pada sebuah gelas kecil hingga penuh. Theo menelan ludah. Ini bahaya!
"Kau tahu apa ini?" Ryu tersenyum licik. Theo mengangguk pelan. "Bisakah kau meminumnya?"
Theo menggeleng kencang. Daripada dia menggila, lebih baik menolak dari awal. Dulu Theo pernah tidak sengaja meminum bir milik temannya, lalu dia menggila. Atau... gila. Dia bernyanyi, menjerit, lalu tertawa kencang. Bahkan berguling-guling sok imut. Lebih menyebalkannya lagi, Theo tidak pernah ingat dengan apa yang sudah dia lakukan. Kalau temannya tidak merekam kejadian hari itu, mungkin Theo tidak akan pernah tahu bagaimana kelakukannya ketika mabuk.
"Saya tidak bisa, Ryu-sama." Theo menunduk.
"Kau bisa bernyanyi?"
Theo makin menggeleng. Dia bukannya tidak bisa, namun dia tidak suka. Suaranya terdengar mirip seperti desahan ketika bernyanyi. Napasnya pendek-pendek. Bisa-bisa orang merinding ketika mendengarnya.
"Pilihlah, bernyanyi atau minum!"
Theo melongo. Kalau harus memilih, dia dilema. Theo pusing mendadak. Memilih minum sama dengan memilih neraka. Memilih bernyanyi sama dengan mempermalukan dirinya sendiri.
"Kalau kau tidak bisa melakukannya, lupakan saja mimpimu untuk berteman denganku!"
Bagus! Sekarang Theo sudah mengukir mimpinya sebagai teman Ryu. Menjadi teman Ryu saja dia harus menjadikan hal itu sebagai mimpi. Matanya mengerjap beberapa kali. Baik! Kalau memang ini yang Ryu mau, maka Theo akan melakukannya. Ryu harus tahu kalau dirinya serius.
Theo dan bir tidak akan pernah bisa bersatu, tetapi... Theo akan membuktikannya sekarang! Dia bisa melakukan apapun yang Ryu katakan! Terserah apa sebutannya. Ryu ingin membully-nya, ingin mengetesnya, atau apapun itu... Theo tidak peduli. Dia hanya ingin punya satu teman saja. Kenapa harus Ryu? Karena ingin, tidak ada alasan lain.
Theo menebalkan tekad. Dia meraih gelas berisi bir tersebut, lalu meneguknya hingga habis. Ryu terkejut dengan respon Theo. Theo berdiri setelahnya, lalu melangkah ke panggung. Di club tersebut ada panggung kecil. Di sanalah para penyanyi erotis menghibur Ryu.
Theo melangkah cepat ke sana, lalu mulai berdehem pelan. Dia mengembuskan napas. Kepalanya mulai pusing. Reaksi orang kalau mabuk berbeda, namun Theo lebih gila. Lelaki itu berteriak, lalu meminta musik paling populer di cafe tempat kerjanya dulu.
"Yo, aku mau nyanyi lagu paling keren! Dengerin, ya kalian semua! Judulnya Gandolane Ati! Kalian harus dengerin suara merduku!" Theo terbahak kencang, bicara bahasa Indonesia seorang diri.
Dia mulai bernyanyi tanpa musik. Bergoyang gila, berputar di panggung sambil tertawa-tawa. Ryu menegang di tempatnya. Lelaki kriwil yang dia kenal tidak pernah bertingkah seperti ini. Theo yang sekarang bernyanyi dengan bahasa asing itu sangat berbeda. Tawanya juga begitu lepas.
"Yo!! Club malam digoyang! Yo!" Dan lelaki kriwil manis itu makin menggila. Dia kembali berteriak kencang dan dalam beberapa detik setelah itu Theo menghentikan tingkahnya. Dia berhenti.
Ryu menatapnya, menunggu. Ryu dilanda gemas, menanti. Dia tidak boleh terbawa suasana sekarang. Biarkan Theo bergerak dan bertingkah seperti itu. Ryu tidak boleh terlalu peduli. Dia hanya perlu menunggu.
"Kenapa kau diam saja?" Kali ini Theo bicara dengan bahasa Inggris versi mabuknya. Menggumam tak jelas. Senyum sudah hilang dari bibirnya. Tiba-tiba Ryu melotot. Theo melucuti bajunya sendiri dan melemparkan baju itu ke lantai. Ryu bergerak ketika Theo hampir melepas celana.
"Apa yang kau lakukan?" Ryu bertanya tajam.
"Hot..."
Ryu mencekal lengan Theo. Menghentikan lelaki itu sebelum melucuti semua pakaiannya. Ryu melepaskan jaketnya, lalu menyelimuti tubuh Theo dengan jaketnya sendiri. Ryu menarik lengan Theo setelahnya, memanggulnya di punggung dan pergi. Semua orang terkejut dengan respon dan perbuata Ryu. Bagaimana bisa ketua mereka bertingkah seperti itu? Memanggul seorang lelaki yang sedang mabuk, lalu membawanya pergi!
"Aku pinjam dia, Takazumi!"
Sang manager hanya mampu tersenyum miris di balik meja reservasi. Anak buah yang lain lebih tanggap dan segera membukakan pintu mobil. Ryu yang menyetir kali ini, membawa Theo di bangku belakang ke rumahnya.
Untuk apa? Kenapa?
Untuk diadili, juga... karena di club malam berbahaya kalau Theo bertingkah seperti ini!
Mereka sampai di kediaman Ryu. Anak buahnya yang lain juga terkejut melihat pemimpin mereka membawa seseorang. Lebih terkejutnya lagi karena orang yang Ryu bawa dalam keadaan mabuk.
"Hei, Ryu! Ingin kopi?" Theo terkikik. Tubuhnya masih limbung. Ryu membantunya berjalan, mengaitkan jemarinya di pinggang Theo.
"Kau tidak bisa melakukannya dalam keadaan mabuk."
"Aku bisa! Aku bisa!" Theo merengut mirip anak kecil.
"Tidak. Aku tidak ingin mati karena minum kopimu."
"Kalau begitu kau mau apa, Ryu? Mau berteman denganku?" Theo masih mabuk. Jemarinya menoel-noel pipi Ryu, sementara pemilik pipi itu merengut tidak suka.
"Jangan menyentuhku!"
"Kau tidak ingin kusentuh? Tetapi kau menyentuhku!"
"Kau mabuk!" Ryu menunjuk dahi Theo. Theo merengut, lalu menggigit lengan Ryu kencang. Ryu terkejut dengan perbuatan Theo. Ketika matanya menunduk, bibirnya melongo. Ryu menengang di tempatnya.
Theo menitikkan air mata. Mulutnya mencebik, bergetar. Hidungnya kembang kempis. Matanya berair, lalu mengerjap. Sesenggukan muncul setelahnya.
"Kenapa kau tidak ingin berteman denganku?" Theo merajuk kesal. Ryu bungkam. Wajah Theo yang penuh tangis mengusik dan mengganggunya.
Ada rasa sakit yang muncul perlahan, menjalar begitu saja.
"Aku tidak ingin kau terluka."
"Aku bisa jadi temanmu meski terluka."
"Aku tidak menginginkannya." Ryu berkata pelan. Theo menggeleng kencang. Matanya masih mengerjap beberapa kali.
"Apa aku tidak layak untuk jadi temanmu?" Wajah itu terlihat manis dan lucu sekali. Ryu menahan diri untuk tidak berpikiran aneh. Tidak, tidak!
"Aku yang tidak layak jadi temanmu! Kau terlalu berharga untuk bersama dengan orang kotor sepertiku."
"Aku bisa mencucimu kalau kau merasa kotor." Theo menutup mata setelah mengatakan sebuah kalimat. Kalimat yang kejam, seperti sedang menelanjangi Ryu saat itu juga. "Jangan membuat alasan bodoh, Ryu! Karena sebuah pertemanan tidak harus punya alasan."
Setelahnya Theo roboh. Napas halusnya terdengar setelah itu. Theo terjatuh dalam pelukan Ryu. Tertidur.
***
Keesokan paginya Theo membuka matanya, mendapati dirinya berada di tempat asing. Kepalanya pusing, perutnya mual. Dia tidak ingat apapun kenapa bisa sampai di tempat ini. Hal yang dia ingat adalah, dia minum karena Ryu. Sudah, itu saja.
"Sudah bangun?" Sebuah suara menyapa Theo.
Theo mendongak spontan. Ada sosok lelaki itu di sana, duduk santai di dekat jendela. Theo sadar sekarang dimana dia berada sekarang. Rumah gaya tradisional, namun kesan mewahnya masih ada. Ini pasti kediaman Ryu.
"Ryu-sama..."
"Aku lebih senang kalau kau memanggilku seperti semalam."
Memanggil Ryu seperti apa? Theo tidak ingat sama sekali. Sudah jelas, kan kalau Theo itu pemabuk paling menyebalkan? Dia mudah melupakan apa yang terjadi ketika mabuk.
"Apa yang terjadi, Ryu-sama? Apa saya mengatakan hal aneh?" Theo menelan ludah. Ini bahaya! Pasti sesuatu terjadi semalam. Apa dia bicara tidak sopan pada Ryu? Theo menunduk, lalu membungkukkan badan setelah itu. Memberi hormat, atau memohon ampun. Dia menyesal.
"Apapun yang saya katakan pada Anda, itu semua hanyalah kebodohan yang saya lakukan. Saya minta maaf, Ryu-sama! Maafkan saya!" Theo membungkuk sembilan puluh derajad.
Ryu berdiri, melangkah ke arah Theo. Theo masih membungkukkan badan, menunggu Ryu yang melangkah ke arahnya.
"Kau!" Ryu menarik bahu Theo agar menegakkan badan. "Jangan pernah minum bir dengan orang lain!"
Sesuatu yang gila pasti sudah terjadi. Theo tidak bisa mengingat apapun. Kepalanya pusing sekali. Dia hanya ingat kejadian ketika Ryu memerintahkannya minum. Itu saja.
"Juga... jangan pernah bernyanyi di depan orang lain!" ucap Ryu lagi. Theo makin melongo. Dia tidak paham. Tidak mengerti.
"Apa yang terjadi, Ryu-sama?"
"Mandilah! Setelah itu kita sarapan. Aku tahu kondisimu buruk saat ini." Ryu melangkah tanpa menjawab pertanyaan Theo. Dia melangkah pergi, meninggalkan Theo sendiri.
Sayangnya rasa malu Theo sedang berada di puncak tertinggi. Bajunya sudah berganti dengan baju lain. Baju yang ukurannya sangat besar di tubuhnya. Theo menggeleng kencang. Dia hanya ingin pulang sekarang. Maka setelah itu Theo mengendap, melarikan diri dari tempat itu.
Dia lolos dari penjagaan anak buah Ryu. Dia punya cara agar bisa kabur. Bertanya dimana letak kamar mandi. Lalu bertanya dimana letak ruang TV, lalu minta tolong agar diambilkan handuk, dan sejenisnya. Meski Theo sempat merinding ketika melihat tubuh berotot, bertatoo dan besar milik mereka, namun akhirnya lelaki itu berhasil melarikan diri. Anak buah Ryu seram sekali!
Lagi-lagi Theo pergi tanpa pamit!
***
"Semalam apa yang terjadi?" Theo bertanya lemas pada Ken. Ken sebagai salah satu orang yang menjadi saksi malam itu hanya tersenyum miris.
"Ingin tahu apa yang terjadi? Kau bisa cek CCTV, Theo-chan."
Dan Theo bergerak masuk ke ruangan sang manager untuk melihat CCTV saat itu. Theo menutup wajahnya ketika tahu apa yang terjadi malam itu. Ken juga ikut menonton, terkikik juga.
"Kau berbeda semalam, Theo-chan. Meski kau gila, namun aku suka dirimu yang seperti itu. Begitu bebas dan tertawa dengan berani."
Theo sukses dilanda malu.
Dia tidak mengerti bagaimana harus menghadapi situasi seperti ini, apalagi ketika Ryu datang. Theo tidak lagi mendekat pada Ryu karena malunya. Dia juga merasa bersalah karena melarikan diri kemarin.
"Kenapa kau pulang lebih dulu tanpa izin dariku, Theo-chan?" Ryu bertanya tajam. Theo yang sedang mengelap gelas akhirnya menoleh cepat.
Tanpa izin. Bukan tanpa pamit. Itu mengindikasikan bahwa Ryu masih menempati puncak tertinggi di sana. Jika Ryu tidak mengizinkan, maka Theo tidak akan pernah boleh. Berbeda dengan kalau tanpa pamit. Theo tahu kalau Ryu selalu bertindak sebagai tokoh absolut di sana, tetapi...
"Maafkan saya, Ryu-sama! Saya tidak akan pernah minum lagi!" Theo menutup wajahnya. "Dan saya ingin pulang sekarang." Theo menatap managernya dengan pandangan memelas. Dia ingin pulang lebih dulu, menghindari Ryu sementara. Dia malu.
Dia benar-benar malu!
Apalagi ketika dia melucuti pakaiannya, lalu Ryu melepas jaketnya dan memanggul Theo seolah si kriwil itu adalah karung beras. Atau mungkin di Jepang beras tidak dipanggul, ya?
Theo pulang lebih dulu hari ini. Ryu membiarkannya melarikan diri. Seharusnya Ryu bersyukur karena Theo pergi darinya seperti yang sudah dia rencanakan. Tetapi, sekarang ada kecemasan lain yang menyapa sudut hatinya. Bagaimana kalau Theo sampai minum dengan orang lain dan bertingkah bodoh seperti semalam?
Ryu masih tak bergerak, namun dia memerintahkan salah satu anak buahnya untuk mengikuti Theo pulang. Sama seperti sebelum-sebelumnya.
Theo melangkah seorang diri. Dia ingin pulang dan istirahat. Lalu menyesali nasib setelah itu. Langkahnya terhenti ketika tiba-tiba seseorang muncul dan merangkulnya sok akrab. Theo menoleh spontan dan menatapi Taiga tersenyum ke arahnya.
"Hai, Theo-chan!"
"Kenapa Taiga-san ada di sini?"
"Untuk pulang. Aku baru pulang kerja. Kalau kau?" Taiga balas bertanya. Theo merengut, mengangguk lagi.
"Pulang juga..."
"Tumben sekali."
"Saya agak kurang enak badan." Theo beralasan. Taiga bertepuk tangan, lantas menarik lengan Theo semangat.
"Ayo ikut! Aku traktir!" ucap Taiga lagi. Lelaki itu menarik lengan Theo paksa, menuju ke sebuah warung makan sederhana.
"Saya tidak minum, Taiga-san."
"Aku tahu! Karena itulah aku mengajakmu kemari." Taiga memesan minuman hangat untuk Theo. "Bukan berarti kau tidak bisa makan, bukan?"
Theo dan Taiga mengobrol banyak hal. Hal-hal random soal Indonesia, lalu soal tradisi Jepang, lalu soal kopi dan sejenisnya. Taiga mengeluarkan cameranya, lalu mulai merekam. Theo bukan banci kamera, jadi dia tidak biasa tampil di depannya. Dia minder dan malu.
"Tolong hentikan, Taiga-san!"
"Aku ingin merekam aktivitas kita, lalu menguploadnya ke akun youtube-ku."
Itu artinya Theo juga akan muncul di sana. Theo menggeleng kencang, menutupi wajahnya sendiri. Theo masih menggeleng kencang, menolak perbuatan Taiga yang merekam kegiatan mereka berdua.
"Hi there, this is my new brother. Theo-chan." Taiga memperkenalkan Theo, lalu mengarahkan kameranya ke arah Theo yang sedang menutup muka.
"Stop it, Taiga-san!"
Mereka masih saling berdebat dan mengobrol akrab. Theo memang lebih mengenal Ryu, tahu lelaki Yakuza itu lebih dulu. Tetapi... Taiga adalah lelaki yang bisa lebih mudah akrab dengannya. Taiga lebih mudah diajak bicara. Mungkin karena Taiga bukan Yakuza, sama seperti dirinya yang orang biasa.
"Theo-chan, apa kau tidak ingin menyampaikan pesan untuk sahabatmu di Indonesia? Kau bisa mengatakannya dengan bahasa Indonesia," ucap Taiga cepat. Dia masih mengarahkan kameranya, menyoroti mereka berdua.
Kali ini Theo sudah mulai berani menatap kamera, meski terkadang masih malu-malu dan memalingkan wajah.
"Eng... pesan buat temen-temenku yang ada di cafe Teenish, apa kabar? Kalian nggak kangen aku? Buat bos Delta... Bos, makasih banget udah jagain aku selama aku di Indonesia. Tolong jaga Aizan sebaik mungkin! Dia adik kesayangan kita semua. Lalu buat Aizan... Aizaaaan, kalau mau pamer udah bisa masak... mendingan kamu kirim makanannya ke sini, jangan pamer fotonya doang! Lalu buat Revan juga. Dek, jangan sering telat. Alarmnya distel dobel. Lalu buat biang gosip tergokil yang pernah aku temui... Yogi, kamu jangan suka sebarin gosip kagak bener! Sebarin yang koplak aja, yak! Lalu..." Jeda sebentar terdengar. Theo menghela napas. "Aku nggak tahu apa nenekku bisa lihat video ini, cuma aku pengen nyampein sesuatu buat Nenek di sana. Nek, Theo kangen. Nenek baik-baik aja, kan? Jangan sakit, ya! Tetap sehat, ya Nek sampe Theo bisa balik ke Indonesia dan beliin tanah buat ditanami bunga. Sesuai janji Theo dulu. Theo bakalan kerja keras sampe bisa dapatin duit banyak sendiri..."
Theo melambai, tersenyum pada Taiga. Taiga tanggap dengan perubahan ekspresi Theo, lalu kembali mengalihkan kameranya. Mereka kembali mengobrol setelah itu dan tertawa bersama.
"Done!" Taiga tersenyum melihat laptopnya. Theo melongo.
"Apanya?"
"Video kita sudah ada di youtube-ku, Theo. Aku memberinya judul 'My New Brother From Indonesia'. Kau bisa membukanya di akunku."
Theo curiga, lantas segera membuka youtube seperti yang Taiga katakan. Dia melongo ketika melihat wajahnya sendiri sudah muncul di sana. Apalagi ketika jumlah viewer-nya semakin bertambah. Apa Taiga sangat terkenal hingga kemunculan videonya selalu ditunggu?
Sayangnya, Theo tidak tahu kalau di seberang sana ada orang lain yang juga sedang memutar tayangan itu. Lelaki itu hanya bungkam. Menatap layar laptopnya tajam. Emosi menguar tiba-tiba dari sudut hatinya. Lelaki itu merengut setelahnya. Dia ingin protes, lantaran si kriwil lebih terlihat bahagia bersama Taiga.
Ryu meredam murka.
"Bagaimana bisa dia tertawa begitu bebas, sementara denganku dia selalu saja berhati-hati?" Ryu marah-marah tidak jelas. Theo ternyata lumayan banyak bicara ketika bersama Taiga, berbeda dengan ketika bersamanya. Dugaan buruk melintas di otak Ryu.
Ryu menduga kalau Theo hanya iseng mengajaknya berteman waktu itu. Ia kembali mengembuskan napas. Abaikan saja, Ryu! Lelaki kriwil itu memang tidak pantas jadi temanmu. Terlalu berbahaya dan beresiko.
Tetapi...
"Sialan! Lelaki sialan! Kriwil keparat! Kenapa kau dan Taiga bisa sedekat itu?! Sejak kapan kalian akrab di belakangku?!" Dan Ryu sadar kalau dirinya sedang cemburu! Apalagi ketika untuk yang pertama kalinya dia melihat lelaki kriwil tersebut berekspresi seolah sedang menahan tangis. Ryu belum pernah melihat ekspresi Theo yang seperti itu. Dia iri. Marah. Cemburu pada Taiga.
Sesederhana dan secepat itu.
TBC
Aku ingin menikmati nulis ini. Alurnya yang nggak buru-buru kayak biasa, dan aku mencoba menikmatinya pelan-pelan. Karena aku dulu terlalu rajin, sekarang mau sedikit kagak, ah! Kebiasaan kan gitu. Karena aku terlalu rajin update tiap hari, lalu dibaca tunggu tamat, lalu males vote dan komeng. Aku sih nggak haus vomeng, cuma... aku mikir simpel: "Lu kagak follow, kagak vote, kagak komeng, tapi minta lanjut cepet-cepet! Emangnya ane kerja buat Romusha?" Nulis itu hobi, bukan tuntutan. Jadi nggak mau dituntut. Aku bebas dan agak sialan, ya? Emang... :v