Lana POV
Arrghh, aku gugup setengah mati setelah melontarkan ide itu pada Mas Firman. Bagaimana caraku mengatakan pada ayah dan ibu bahwa aku akan memperkenalkan Mas Firman pada mereka?
"Bu,." aku memberanikan diri untuk berbicara pada ibu yang sedang mencincang bawang putih di dapur.
"Apa?" katanya ibu tanpa menoleh.
"Ng, itu..."
"Eh, ibu lupa bilang, Bima diterima kerja di Jakarta. Jadi kalau kamu jadi kuliah di Jakarta nanti ada yang bisa jagain."
Aku terdiam sesaat. "Bang Bima diterima kerja di Jakarta?"
"Iya, di perusahaan asing yang bagus. Jadi kalau kamu sudah kuliah dan dapat gelar, bisa minta tolong Bima masukin kamu juga di sana."
Aku menelan ludah. Kalimat yang sudah kususun rapi di otakku mendadak menghilang satu persatu.
"Kamu mau ngomong apa tadi, Lana?"
"Apa ya?" aku menggaruk kepala. "Lana lupa, Bu."
Kuurungkan niatku untuk memberitahunya saat ini. Besok sajalah, mungkin besok aku akan lebih siap. Semoga saja.
*
"Mau nambah?" tanya Mas Firman melihatku yang baru saja menghabiskan sepiring gado-gado.
"Nggak ah, Mas." aku menggeleng cepat. "Nanti Lana gendut."
"Gendut itu lucu juga kok. Lihat aja, kucing kalau gendut kan lucu, bikin gemes."
Aku memukul lengan Mas Firman geram. "Masa Lana disamaain sama kucing sih, Mas."
"Eh, tapi Mas serius loh, mau kamu gemuk atau kurus, Mas nggak masalah, Sayang."
"Bener, Mas?" aku memastikannya masih tak percaya.
Ia mengangguk sambil mengulum senyum jahil. Di saat bersamaan, tanpa sengaja aku melihat sepasang kekasih masuk ke kafe ini.
Nindy yang datang bersama Johan menatapku dan Mas Firman yang sedang menghabiskan makanannya bergantian sejenak lalu memalingkan wajah, seolah-olah kami bukan teman sebelumnya.
Ia duduk bersama Johan dan mulai sibuk memilih menu. Tak sekali pun ia menatap ke arah kami lagi, meski aku terus memerhatikannya.
"Kenapa, Lana?" Mas Firman bertanya lantaran aku diam sejak tadi.
"Nggak apa-apa, Mas. Lana ke toilet sebentar ya?"
Aku bangkit dan segera beranjak ke toilet. Usai keluar dari kamar kecil dan hendak mencuci tangan, kulihat Nindy sudah menunggu di sana.
"Jadi, itu pacar kamu?" tanyanya sambil menghampiriku. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan.
"Dia kelihatan tampan, yah walau sudah om-om sih," katanya lagi.
Aku masih tak berkomentar, kubiarkan ia berkat lagi.
"Tapi, kamu harus hati-hati Lana. Jangan sampai dia mempermainkanmu. Terkadang pria sedewasa itu menganggap gadis seperti kita ini sebagai mainan mereka. Hanya untuk bersenang-senang. Diincar, dipakai, terus dicampakkan. Mereka tidak serius dengan gadis belia."
"Mas Firman tidak seburuk pemikiran kamu, Nindy," ujarku pelan. Sakit hati dengan kata-katanya. "Mas Firman tidak sekadar bermain-main denganku."
"Lalu, kalau memang dia serius padamu, ajak dia menemui orang tuamu. Kalau tidak, itu artinya dia hanya ingin bersenang-senang denganmu."
Aku menyunggingkan senyum sinis padanya lalu berkata, "Kami memang akan menemui orang tuaku minggu ini. Jadi, jangan berpikir buruk lagi soal Mas Firman."
Nindy terlihat sedikit terkejut dan tak percaya. Ia kira, Mas Firman sama dengan lelaki hidung belang di luar sana. Kamu salah, Nindy.
"Karena kamu adalah sahabatku, aku harap kamu mendoakan yang terbaik untuk hubungan kami." Aku bergegas meninggalkannya di toilet dan kembali menemui Mas Firman yang telah usai makan untuk kemudian lekas pergi dari sana.
*
Aku menarik napas sejenak untuk bersiap kembali berbicara pada ibuku.
"Bu, ada yang mau Lana bilang," kataku pada Ibu di hari jumat Sore.
"Apa?"
"Hari minggu, ibu dan ayah ada acara?"
Begitu kulihat ibu menggeleng aku kembali memberanikan diri berkata, "Kalau begitu, hari Minggu Lana mau memperkenalkan seseorang pada ayah dan ibu."
Seperti mengerti apa yang kumaksud ibu s egera mengerutkan dahi. "Siapa?"
"Pacar Lana, Bu"
"Pacar kamu?" Nada suara ibu naik satu oktaf. "Kamu punya pacar?"
Aku mengangguk, "Lana ingin mengenalkannya hari Minggu nanti, Lana harap ibu dan ayah ada waktu untuk makan malam."
Wajah ibu terlihat tidak senang sama sekali. Ia pun berkata, "Ujian PTN kamu semakin dekat dan sekarang kamu malah sibuk pacaran. Kamu harus fokus pada ujianmu. Kamu mau gagal lagi seperti tahun lalu."
Bibirku bungkam, tak mengeluarkan kata-kata apapun. Seandainya ibu tahu, hatiku galau. Di satu sisi, aku ingin bersama Mas Firman dan di sisi lain, aku pun ingin mewujudkan cita-cita itu.
"Ada apa ini?" Ayah yang baru pulang kerja mendengar perbincangan kami barusan.
"Yah, hari minggu, Lana mau ajak seseorang makan malam bareng kita. Bisakan, Yah?"
"Siapa, nak?"
"Pacar katanya, Pak." Potong ibu dengan nada kesal. "Bukannya mikirin kuliah, malah mikirin pacar."
Kulihat ayahku tersenyum kecil. "Ya sudah, undang saja, ayah juga pengin kenal, siapa laki-laki beruntung yang membuat putri ayah jatuh cinta."
Senyuman ayah sangat lembut, membuatku ikut tersenyum. Aku mengangguk senang berharap ayah dan ibu akan menerima Mas Firman kelak.
*
"Hmm..." aku memejamkan mata sambil menikmati kecupan bibir Mas Firman di sekujur tubuhku yang terbaring polos di ranjangnya.
Ciumannya lembut begitu lembut menyentuh ujung kaki dan perlahan naik setiap satu inchi. Tubuh polosnya ikut merangkak naik sejalan dengan kecupannya tersebut.
Satu kecupan di ujung kaki. Dua kecupan di betis. Satu lagi kecupan di lutut dan kemudian kecupannya pun menjalari pahaku, berhenti lama di antara keduanya, membuatku menggeliat geli sembari tersenyum lebar.
"Mas.. Sudah ah.. Geli.." aku tertawa sembari berusaha menahan wajah Mas Firman yang betah bermain-main antara kedua pahaku. Ia memang senang menggodaku, padahal baru saja pergulatan panjang yang penuh peluh selesai dan kini ia malah mau membuatku basah lagi.
"Mas.." pintahku lagi.
Mas Firman akhirnya menurut. Kecupannya kembali naik perlahan meninggalkan kewanitaanku, menelusuri kulit perutku lalu bermain-main sebentar di kedua payudaraku. Mengecup kedua puncaknya bergantian dengan amat lembut.
Kedua telapak tanganku memeluknya. Membelai tubuhnya dari kepala sampai ujung ekornya perlahan sembari menikmati kecupannya yang kembali naik, menjelajahi leherku lalu berlabuh di bibirku, hingga wajah kami saling berhadapan.
Mas Firman memejamkan mata, mengulum dan menarik-narik bibirku bergantian. Tangannya masih membelai tubuhku yang bergerak-gerak menikmati ciumannya.
Saat ciuman itu berakhir, ia menatapku dan berbaring di sampingku. Merangkulku dalam dekapannya. Kedua tubuh kami yang tak berbusana masih saling berangkulan, terlalu malas untuk bangkit dan mengambil pakaian yang masih tercecer di ruang tamu rumah Mas Firman.
Maklum, birahi yang tinggi, membuat Mas Firman tak sabar menunggu untuk sampai ke kamar tadi.
"Mas, Lana sudah bilang ke ayah dan Ibu tentang makan malam besok."
"Baguslah, Lana."
"Mas tidak takut?" tanyaku.
"Takut apa?"
"Takut kalau orang tua Lana tidak menerima hubungan kita," lanjutku.
"Jangan terlalu memikirkan hal itu, Lana. Kita jalani saja dulu. Kita nggak tahu kalau kita nggak mencobanya."
"Jujur saja, hati Lana berdebar Mas," aku meletakkan kepalaku di dadanya, membiarkan Mas Firman membelainya penuh cinta.
"Kita berdoa saja. Semoga takdir yang baik berpihak pada kita." Mas Firman mempererat rangkulannya lalu mengecup rambutku penuh kasih sayang. Aku pun berharap hal serupa.
*
"Jam berapa pacar kamu mau datang, Lana?" tanya ibu dengan nada yang masih tak bersahabat.
Meski begitu, ia tetap menyiapkan makan malam sebaik mungkin. Ia menata semua masakan di meja dengan apik, layaknya menyambut seorang tamu spesial.
Sejak kuberi tahu bahwa aku akan membawa pacarku ke rumah, Ibu jadi uring-uringan sendiri. Berbeda dengan ayahku yang tampak lebih tenang dan menerimanya dengan senang hati.
"Dia sudah di jalan, Bu."
"Rumahnya dimana?"
"Dekat sini. Di Sikas juga"
"Anak Sikas? Anaknya siapa? Ibu kenal?" Ibu menatapku penasaran.
Ak terdiam. Rasa gugupku memenuhi dada dan pikiranku. Aku memang masih merahasiakan tentang siapa pacar yang akan aku kenalkan pada mereka hari ini.
Belum sempat menjawab, ponselku berbunyi. Sms dari Mas Firman.
Mas sedang jalan di gang rumah kamu
Aku buru-buru meninggalkan ayah dan ibu di ruang makan laly menjemput Mas Firman yang tampak berjalan di gang seorang diri. Mobilnya kemungkinan di parkir di pinggir jalan karena tidak bisa masuk ke gang.
"Lana.."
"Mas Firman.." aku menghampirinya. "Ayah dan ibu sudah di ruang makan.."
Mas Firman menatapku yang sedang berusaha menyembunyi kecemasanku. Namun, tatapan Mas Firman seolah mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja.
"Ayo kita masuk bersama-sama." Mas Firman menggenggam tanganku erat sambil membawaku masuk bersamanya.
Kami berjalan ke ruang makan dimana ayah dan ibu telah menunggu.
"Ayah, Ibu..."
Pertama kali kulihat, wajah ayah menyambut kami dengan senyum lebar, sementara ibu hanya tersenyum kaku.
Tapi, beberapa detik kemudian, senyuman tulus dan kaku itu hilang dari wajah mereka saat melihat sosok di sampingku.
Tatapan mereka terlihat tak percaya sekaligus bingung. Namun, melihat genggaman tanganku dan Mas Firman seolah menjawab pertanyaan di benak mereka.
"Ayah.. Ibu.. Ini Mas Firman. Pria yang ingin Lana kenalkan itu." Aku menoleh menatap Mas Firman di sisiku.
"Ayah dan ibu sudah mengenal Mas Firman sebelumnya, tapi malam ini, Lana ingin mengenalkannya sekali lagi, bukan sekadar sebagai teman ayah atau pun bos Lana, tapi sebagai kekasih Lana, yang sangat Lana cintai selama ini."
Kulihat rahang ayah mengeras, tak ada lagi senyuman hangat di sana. Yang kulihat hanya amarah yang tak ia luapkan, yang dipendamnya dan itu sangat buruk karena ayah hampir tak pernah terlihat seperti itu sebelumnya.
"Pak Ramli, Bu Faridah, mungkin kehadiran saya membuat anda terkejut karena ini tidak seperti yang diharapkan. Saya pun tidak memperkirakan hal ini sebelumnya kalau saya akan jatuh hati pada Lana."
Wajah Mas Firman terlihat serius sementara wajah kedua orang tuaku terlihat tak nyaman dengan semua ini.
Dan, ayahku yang mendadak pergi meninggalkan ruang makan dengan masuk ke kamar seolah menjawab ketakutanku, Ayah takkan setuju dengan hal ini.
Tersisa ibuku yang berdiri di sana, menerawang udara dengan menggeleng tak percaya.
"Kekonyolan apa ini, Lana?" Ibu menatapku penuh amarah dan kekecewaan. Aku sudah menduga, mereka takkan setuju dengan keputusanku.
"Kalian? Kalian kira ini lucu?" tanya Ibu lagi sembari menatap aku dan Mas Firman bergantian.
"Dan, anda..." Ibu menatap Mas Firman tajam. "Saya menghormati anda sebelumnya, tapi apa ini? Kenapa anda di sini dan menggenggam tangan anak kami? Anda kira, itu pantas?" desis ibu penuh rasa kecewa.
Mas Firman terdiam. Sementara, air mataku berurai membasahi pipi. Sebegini burukkah keadaan ini?
Ibu kembali terduduk di kursinya. Wajahnya gusar dan enggan menatap kami. "Saya kira, sebaiknya anda pergi dari sini sekarang. Tidak ada yang berselera makan di sini."
"Ibu.." panggilku dengan nada frustasi dan air mata yang tak berhenti mengalir.
Namun, Mas Firman menggenggam tanganku dan menahanku. "Sudah, Lana," katanya pelan.
"Tapi, Mas.."
"Mas sebaiknya pulang saja ya," ujar Mas Firman.
"Mas mau menyerah begitu saja?" aku menatapnya tak percaya. Namun, ia tak menjawab dan kembali menatap ibuku yang masih duduk di depan kami.
"Bu Faridah, saya pamit pulang. Saya harap kita punya kesempatan lain untuk berbicara dengan situasi yang lebih baik. Maaf kehadiran saya telah mengacaukan acara makan malam ini."
Aku menatap Mas Firman yang kini menatapku dengan senduh. Aku pun mengikutinya beranjak dari ruang makan.
"Mas.. Mas mau kemana?"
"Lebih baik Mas pulang sekarang, Lana. Kedua orang tua kamu masih terlihat shock dan tak tenang, berbicara dengan mereka saat ini hanya membuat mereka semakin berang." Mas Firman menggenggam kedua bahuku sambil menatapku lurus.
"Lana takut, Mas."
"Tidak apa-apa, Lana. Semua akan baik-baik saja. Jangan menangis lagi, Sayang."
Akhirnya aku mengangguk. Mas Firman pun tersenyum lalu berpamitan pulang.
Kupandangi punggungnya yang berjalan menjauh hingga menghilang di ujung gang.
Aku harap semua akan baik-baik saja, walau aku sendiri pun ragu tentang itu. Amarah ayah, kekecewaan ibu, bagaimana aku dan Mas Firman bisa melewati hal ini?
================================
Maaf telat update, readers. Banyak pekerjaan. Huhuhu. Jeongmal mianhae.