Sehari sebelum hari ini, dia marah. Omelannya panjang sekali. Aku menyela, mencoba meluruskan pemikirannya yang aku anggap keliru. Apa daya, dia bersikeras dengan pendapatnya.
Tahu sih, ini bukan marah dalam arti sebenarnya. Lebih tepatnya sedang curhat. Dan cara yang paling cocok adalah menjadi pendengar yang baik. Dia tak butuh jawaban atau pun tanggapan. Biasanya dia akan lega setelah kata-katanya habis. Termasuk keluh kesahnya yang hanyut bersama sela isakan.
Aku sangat yakin cintanya padaku tidak lengkang. Lebih luar biasanya adalah, dia mampu membaginya dengan cara yang menakjubkan. Bayangkan, dia harus menyurahkan kasihnya pada lebih dari satu kepala.
Rasanya tidak ada wanita sehebat dirinya. Aku benar-benar mencintainya.
Hari ini dia menyuapiku. Syahdunya itu adalah dengan tangannya langsung. Sudah lama hal ini tidak kurasakan. Sambil menyuapi dia berceloteh tentang kampung yang jauh nun di sana.
Rindu, katanya. Suasananya, orang-orangnya dan juga rumah papan kami.
Bila sudah begini, dia juga akan bercerita tentang seseorang yang raganya tak lagi di sini namun tetap hidup dalam hatinya.
Tadi dia mengenangnya dengan berkata seperti ini, “Bagiku dia adalah lelaki yang baik. Penuh tanggung jawab dan juga pekerja keras. Dia tak pernah patah semangat saat orang lain meragukannya. Bahkan menjadi pelecut niatnya. Di luar sana banyak istri yang tak bangga dengan suaminya sendiri. Malahan menjadikan suaminya kambing hitam saat musibah datang. Ini disebabkan sang suami memang tak pandai memberikan rasa kebanggaan itu. Jadilah lelaki seperti bapakmu itu, Nak. Yang mampu membuat istrinya bangga dan ikhlas merawat saat hari tuamu kelak.”