Chocolate Secret Admirer [1/1]

By Esraya18

130 10 26

Cinta tidak harus bersatu, 'kan? Ada jalan tersendiri agar cinta itu menemukan ujungnya. Termasuk caraku meng... More

Cokelat

130 10 26
By Esraya18

"Ini dari siapa sih?" Aku menggerutu tak jelas.

Bagaimana aku tidak menggerutu, ada seseorang yang dengan sengaja memberiku sebatang cokelat setiap hari dengan bungkus yang ... ah, sudahlah.

Setiap pagi aku selalu mendapat cokelat ini di loker mejaku. Sudah dari seminggu yang lalu. Aku tahu ini coklat yang cukup langka dan mahal.Tapi yang jelas, aku tidak pernah ikut memakannya.

"Dapet coklat lagi, Nur?"

Aku menoleh saat ada yang duduk tepat di sebelahku. "Iya, Sa. Sebel banget gue kalau gini," ucapku kesal.

Asa tertawa. "Kok malah sebel sih? Malah seharusnya seneng 'kan kalau punya secret admirer gini. Gue pengen banget malah," ucapnya penuh dramatis.

Aku mendengus kesal, lalu memberikan cokelatku padanya. "Kalau lo ngalamin hal yang sama pasti bakalan tau rasanya. Nih, gue Kasih cokelat buat jomblo seperti lo."

"Enak aja ngatain gue jomblo! Gue ga jomblo, cuman emang pegang prinsip untuk gak pacaran dulu," protesnya.

Aku hanya memutar mata malas saat dia sudah membahas tentang prinsipnya tidak berpacaran. Tapi tetap saja akan senang jika mendapat hadiah seperti diriku saat ini.

"Gini ya, Sa. Lo mungkin saat ini bisa bilang kalau punya secret admirer itu keren, tapi saat lo di posisi dia, lo bakal tau rasanya menyukai diam-diam itu endingnya menyakitkan." Aku menepuk bahu Asa pelan.

Asa hanya mengangkat bahu sekilas sebagai jawaban. Masih sibuk dengan cokelat yang menggunakan bungkus kado bermotif abstrak.

Aku suka motif kertas yang abstrak dari cipratan cat yang beragam seperti ini. Seperti menggambar bagaimana perasaanku lewat bermacam warna. Tapi sayangnya sekarang arti motif ini berbeda setelah ada seseorang yang mengetahuinya selain Asa, sahabatku.

"Udahlah Nur, toh coklat ini ga dibuang percuma, 'kan? Bermanfaat untuk gue juga," ucap Asa santai.

Gue mengibaskan tangan di depan wajah Asa pelan. "Serah deh serah, gue iyain aja deh biar seneng."

Iya, bermanfaat memang. Bermanfaat untuk perutnya yang tidak pernah kenyang dan haus akan traktiran dariku. Menyebalkan. Tapi dia juga sahabat paling setia selama ini.

"Nura, lo di panggil Ardi sekarang tuh," ucap Asa sambil menunjuk dengan dagu ke arah pintu.

Aku menoleh kearah pintu. Ada seseorang yang dikatakan Asa barusan. Aku bangkit dari kursi dan menghampirinya. Tumben sekali dia mendatangi kelasku seperti ini.

"Kenapa, Ar?"

"Lo ikut gue bentar ya, Bu Resti manggil semua pengurus Kirana," ucapnya.

For your information, Kirana adalah nama eskul teater yang ada di sekolahku. Jangan kaget jika aku mengikuti eskul teater seperti ini. Hidupku sedari dulu sudah penuh dengan drama.

"Lah, terus? 'Kan bentar lagi juga masuk," protesku.

Ardi menghela nafas sebentar. "Udah ah, gue nanti yang ngurus ijin lo ke guru piket," lanjutnya.

Tanpa persetujuanku dulu, Ardi langsung meraih tanganku. Menggandengku tanpa cepat melewati koridor. Dia membawaku melewati manusia-manusia yang berjalan dengan tergesa. Menembus kerumunan murid yang beurkumpul di depan setiap kelas. Untung saja ada Ardi yang membawaku. Jika aku nekat pergi sendiri, pasti aku akan terhimpit di sini.

Tinggiku saja hanya sepundak Ardi. Tak lebih dari 157 cm. Menggelikan sekali rasanya. Aku seperti di bawa oleh kakak di taman bermain, melewati kerumunan orang agar tidak hilang.

"Nur, lo masuk sendiri dulu aja ya. Gue mau nyusul yang lain lagi," ucap Ardi saat kami tiba di depan ruang teater.

Aku mengernyitkan dahi. "Lo gak ikut masuk? Kok gak langsung aja tadi ke kelas lain sih?" ucapku sedikit kesal.

Ardi hanya tersenyum. "Udah lah gapapa. Dari pada lo hilang di tengah jalan 'kan gue yang susah juga," ucapnya santai.

Aku melotot mendengar hal itu. "Enak aja lo kalau ngomong," ucapku. "Lo kira gue anak ayam yang suka nyasar apa?!"

Ardi tertawa. "Tuh nyadar. Udah ah, bye." Dia melesat meninggalkanku sendiri yang sedang kesal.

Oke, suatu hari aku akan bales kamu Ardi!

﹏﹏﹏﹏

Aku kesal. Banget. Kok malah aku yang harus nyebar selebaran ke tiap kelas tentang pentas seni ini, sih? Kan yang lain juga bisa. Mentang-mentang aku sekertaris yang jarang dapat kerjaan.

"Lo mending diem kalau ga tau apa-apa .... "

Aku melihat ada sebuah kerumunan di tengah koridor kelas sebelas. Sepertinya ada yang sedang bertengkar di sini. Aku berjalan mendekati kerumunan itu. Ada beberapa laki-laki yang tengah bersitatap dengan dua orang kakak kelasku. Kalau tidak salah, dua kakak kelasku itu pernah bermasalah dengan salah satu kelompok.

"Gue diem kalau lo gak main bacod mulu!"

"Ngelawan ae, gue gak ada urusan sama lo, tapi dia!" ucap salah satu orang itu sambil menunjuk.

"Gak usah nunjuk-nunjuk bisa kali, santai aja gak usah ngotot," balas kakak kelasku yang tengah jadi pusat perhatian. "Lagian lo gak ada masalah apa-apa main labrak aja. Coba sekarang lo bilang ke semua anak yang ada di sini apa masalah lo sama dia," tantangnya.

Laki-laki itu diam membisu. Rahangnya mengatup keras dan aku melihat tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia diam, tak lagi bicara.

"Ngapain lo diem, ha?! Coba bilang sini! Oh, atau lo sebenernya cuman ngimpi, ya?" sinis kakak kelasku. "So, sebenernya masalah ini karena lo gak pernah ikhlas melihat orang lain lebih dari lo. Lo harus inget kalau apa yang di kejar melalui rasa dendam selalu menjatuhkan dari dalam."

Laki-laki itu semakin menguatkan kepalannya dan hampir membuat keributan jika saja tidak ada guru piket yang lewat. Kerumunan itu membubarkan diri, termasuk laki-laki dan kelompoknya yang tadi sedang marah-marah.

"Nur, lo kok masih di sini?"

Aku menoleh melihat siapa yang memanggil namaku. "Eh, iya, tadi di sana habis ada rame-rame. Mau lewat juga susah, jadi gue nunggu di sini dulu deh, Ran," ucapku padanya.

Rani mengangguk sebagai jawaban. Dia adalah bendahara dari eskulku sekarang. Jelas saja ia tahu aku harus pergi kemana.

"Ayo Nura, lo kalau di sini terus gak bakal selesai nyebarin selebarannya. Gue bantuin lo deh," ucapnya lalu menarik tanganku menjauh.

Aku diam saat ternyata Rani membantuku membagikan selebaran ini. Rasanya pekerjaanku semakin ringan saja. Lalu saat semua sudah di bagikan, aku dan dia pergi ke kantin. Duduk di salah satu bangku seraya melepas lelah.

"Nura, lo sering dapet cokelat ya?" tanya Rani. Aku melotot mendengar hal ini. Bagaimana dia bisa tahu? Selain Asa, aku sama sekali tidak memberitahu tentang coklat-coklat itu pada orang lain.

Aku mengembalikan ekspresi menjadi biasa kembali. "Engga kok, lo sok tau banget," ucapku. Kalau Rani adalah seorang gadis yang peka, ia akan sadar perubahan ekspresiku tadi.

Rani tertawa. "Ekpresi pertama lo udah ngegambarin itu, Nura. Lo gak bisa bohong ke gue." ucapnya.

Ini yang tidak aku suka. Pasti sebentar lagi dia akan mulai meledek tentang hal ini. Aku ingin menenggelamkan diri di dalam air jika begini jadinya.

"Lo gak usah takut gue ledekin tentang ini. Lagian gue juga yang bantuin dia milih kertas pembungkusnya," ucap Rani santai. "Lo suka gak? Kalau engga, entar gue suruh ganti motifnya. Tapi kan waktu itu lo bilang ke Asa kalau suka yang berbau lukisan abstrak, 'kan, ya?"

Aku menelungkupkan wajah di atas meja. Membenamkan diri pada kenyataan bahwa ternyata sebenarnya Rani membantu cowok itu memberiku cokelat. Sebenarnya aku lega mengetahui ternyata Rani lah yang mengetahui hal ini. Bukan cowok itu atau siapapun. Tapi tetap saja ini membuatku sesak bercampur malu. Aku seperti di sindir jika tidak peka sama sekali pada perasaan orang.

"Nura, lo gak sakit kan?" tangan rani menyentuh pipiku.

Aku menggeleng sebentar lalu kembali duduk tegak. "Lo jangan ngebahas tuh cowok gak jelas lagi," ucapku. "Sudah pusing banget gue selama ini rasanya kaya bukan makhluk hidup yang peka terhadap rangsang."

Rani tertawa. "Heh, seharusnya lo seneng dong. Tuh cowok baik juga, makanya gue mau ngebantuin dia tentang hal ini. Lo-nya malah gak suka."

Aku hanya mendengus sebagai jawaban. Dia sama saja dengan Asa ternyata. "Gue gak suka karena akhirnya gue serasa bukan makhluk hidup yang peka," ucapku to the point.

Rani tertawa kembali. "Lo gak perlu peka, nanti juga tau sendiri siapa yang ngasih tuh cokelat buat lo," ucapnya.

Aku hanya me-iyakan saja perkataannya. "Serah deh serah."

Saat kami sedang mengobrolkan hal lain, Ardi datang dan duduk tepat di sebelahku. Mengambil sebungkus roti yang ada di atas meja dan tanpa ba bi bu langsung memakannya.

Aku memukul bahu Ardi keras. "Eh bego, lo asal ngambil aja. Punya gue itu."

Ardi hanya mengedikkan bahu sambil menahan tawa. "Elah, pelit amat lo," ucapnya dengan mulut penuh roti.

Aku hanya memutar bola mata malas. "Lagian lo asal ngambil roti gue. Beli sendiri juga masih bisa, 'kan. Pake minta segala," ucapku kesal.

Ardi hanya mengangguk saja mendengar omelanku. Dia merogoh sakunya. "Nih, gue gantiin roti lo sama yang lebih mahal," ucapnya sambil memberiku sebatang cokelat.

Tunggu, cokelat ....

"Lebih mahal tuh dari roti lo yang cuman dua ribu doang," lanjutnya.

Aku hanya diam. Tak berucap sambil terus memandang cokelat yang ada di tanganku sedih. Rasanya seperti ada godam yang menghantam dadaku.

"Eh, dimakan bareng gue bisa kali, Nura," Rani menatap penuh minat ke arah cokelat di tanganku.

Aku mengangguk diam. Memberikan cokelat yang ada di tanganku pada Rani. Dia dengan tersenyum lebar membuka bungkusan cokelat itu. Sedangkan aku? Ah, entahlah.

"Eh eh eh, kok malah elo sih yang makan. Gue ngasihnya ke Nura malah lo yang makan," protes Ardi. Dia mencoba merebut coklat yang sedang Rani makan saat ini.

"Bodo, orang Nura mau ngebagi cokelatnya kok," ucap Rani acuh. "Nura baik, gak kaya lo pelit. Masa cokelat mahal gini gak pernah di bagi ke gue," lanjutnya.

"Manisnya cokelat gak seindah hidup kalau kita aja gak pernah dianggap ada, Ran," ucap Ardi.

Aku terhenyak. Ada makna tersendiri dalam perkataannya.

Rani tergelak. "Hahaha ... Kadang semua yang kita inginkan gak harus dimiliki, ada jalan sendiri yang diciptakan untuk kita. Dan itu pasti yang terbaik," Rani menanggapi Ardi.

Ya, semua memang ada jalannya tersendiri. Termasuk caraku mebgetahui siapa secret admirer yang setiap hari memberiku cokelat dalam lokerku. Ardi, perbedaan tidak harus di satukan 'kan?

Continue Reading

You'll Also Like

288K 301 26
Sekumpulan cerita yang menggairahkan. Gak suka skip aja, gak usah di banned.
5M 922K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
2.1M 333K 67
Angel's Secret S2⚠️ [cepat, masih lengkap bro] "Masalahnya tidak selesai begitu saja, bahkan kembali dengan kasus yang jauh lebih berat" -Setelah Ang...
14.2M 1.1M 81
♠ 𝘼 𝙈𝘼𝙁𝙄𝘼 𝙍𝙊𝙈𝘼𝙉𝘾𝙀 ♠ "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...