Srutt....
Seseorang sedang menyeruput minuman terdengar sampai ke telingaku. Aku yang masih setengah sadar hanya bisa melihat samar-samar. Dan ternyata, dibalik itu semua, aku tertidur bukan di kamarku, melainkan di ayunan yang berada di bawah pohon rindang. Sambil menghadap lautan luas, Uriel menyantaikan dirinya.
"Oh! Kamu sudah bangun? Bagaimana mimpinya?" ujar Uriel sambil cengingisan.
"Apanya yang mimpi. Aku sama sekali tidak bisa bermimpi kalau bukan di atas tempat tidur," balasku seraya turun dari ayunan itu.
Perjalanan kemarin termasuk perjalanan yang begitu melelahkan. Menempuh ratusan kilometer dalam waktu 10 jam. Punggungku terasa pegal. Jelas saja, tanpa berhenti mobil terus berjalan, otomatis kami juga akan terus duduk sampai kami tiba di Laümūchén. Aku heran dengan Raizen, ia sama sekali tak lelah saat menyetir.
Ngomong-ngomong soal Laümūchén, kita sudah sampai di kota itu dari dua jam yang lalu. Setelah sampai, kami langsung menghampiri salah satu villa yang dekat dengan bangunan tua yang dimaksud Uriel. Ya, bangunan tua dimana aku akan melakukan ritual penyegelan dan pelepasan. Entah kenapa, firasat burukku mulai menjadi-jadi.
"Permisi, nak, kalau boleh tanya," pemilik toko menghampiri kami yang berkumpul di depan villa. "Kalian ingin ke bangunan tua yang disana itu?" tunjuknya.
"Ya benar, ada apa pak?" balas Uriel.
"Lebih baik kalian jangan ke sana," pesan pemilik toko yang memakai baju seadanya itu. "Disana ada arwah penjaga yang melindungi bangunan itu. Siapapun yang berani kesana, akan ditelan oleh arwah itu," lanjutnya.
Bapak itu bicara apa? Aku tak mengerti. Aku pikir itu hanya bangunan tua biasa. Aku pun menyenggol Uriel yang kemudian menanggapi pak tua itu.
"Rasanya aneh kalau menamai bangunan itu dengan 'bangunan tua', lebih tepatnya kastil. Kastil Laümūchén."
"Kastil...Laümūchén1?"
"Dulunya milik Raja Hendrick, namun ia mati dalam perang. Meninggalkan kastil, pelayan, penjaga, dan permaisurinya."
Permaisurinya bernama Lucia. Ia adalah seorang Putri yang sangat dicintai rakyatnya. Saking cintanya dengan sang Raja, ia shock dengan kematiannya. Kemudian ia mengurungkan dirinya dalam penjara tower, dimana tidak ada seorang pun yang pergi kesana. Ia berharap ketika ia mati, ia akan bertemu sang Raja. Itu yang diceritakan Uriel. Pak tua langsung sedikit terengah mendengar cerita yang dilontarkan Uriel.
"Yang kutau dari catatan langit, sampai sekarang Lucia belum bertemu dengan Raja Hendrick." bisik Uriel denganku.
"Padahal ia sudah berharap tinggi kan? Kenapa tidak dipertemukan?" ujarku.
"Entahlah, harusnya yang tau soal ini itu Zehel, karna dia yang mengatur kematian," balas Uriel.
Sampai disitu, aku sedikit terlawan. Karena sejak kejadian, pasti berhubungan dengan Zehel. Aku tau kalau Zehel adalah malaikat kematian, tapi harus kah setiap saat dirinya selalu ada? Pasti ada kejadian dimana Zehel sama sekali tak berperan. Pasti ada saat dimana Zehel melemah dan tidak bekerja. Aku jadi sedikit merasa tersinggung dengan terbebani sekaligus.
"Terima kasih atas pesannya pak, kalau gitu kami pamit dulu," ujar Raizen.
"Oh iya, hati-hati ya nak," jawabnya.
"Baiklah, sebentar lagi malam, sebaiknya kita pergi ke kastil itu sekarang," kata Uriel seraya mengarah ke mobil.
"Loh, kan masih lama, masih ada sekitar 6 jam sebelum tengah malam, kenapa harus terburu-buru?"
Aku yang tak tau harus bagaimana hanya bisa kembali duduk di atas ayunan tadi.
"Itu karena di dalam kastil ada banyak lorong dan juga labirin. Gak mudah buat sampai ke ruang ritual itu Rika, kamu perlu berjalan sejam atau lebih di dalam kastil itu sampai kamu menemukan ruangannya." balas Uriel.
Setelah sekian lama, akhirnya kami sampai di tengah kastil. Sebuah pohon besar nan rindang ada di hadapan. Tapi entah mengapa, setelah melihat pohon ini, aku serasa kesepian.
"Ada apa Rika?" Uriel menatapku dengan wajah khawatir.
"G-gak papa, cuma sedikit kagum aja gitu ngelihat ini pohon besar banget,"
"Hm, pohon ini sepertinya dari bibit emas,"
"Memangnya ada?"
"Ada kalau kamu beli di Kerajaan Langit," sindir Uriel.
Aku menyemberutkan wajahku, membuat Uriel dan Raizen tertawa kecil. Ngomong-ngomong, kastilnya tampak dari luar begitu menyeramkan, tapi ketika masuk isinya mewah dan terlihat awet.
"Kastil ini ada penjaganya?" tanyaku.
"Kalau gak salah sih ada, pak Eric namanya,"
"Eric, seperti nama pangeran," balasku.
"Jangan salah paham, dia itu dulunya tangan kanan Raja Hendrick, ya anggap aja pengawal paling setia," ujar Uriel.
Tunggu dulu, kalau tidak salah, Raja Hendrick mati dalam perang, dan saat itu umurnya kepala tiga. Sedangkan perang sendiri terjadi seabad yang lalu. Tapi kenapa pengawal setia nya masih hidup? Bukannya harus sudah... Ah ya sudahlah, aku mulai tak paham dengan keadaan ini. Kalaupun nanti bertemu, aku hanya bisa memalingkan muka.
Uriel dan Raizen memimpin langkah kami ke ruang selanjutnya. Dan ya, kami bertemu seseorang di balik kegelapan.
"Lama tidak berjumpa, Eric," sapa Uriel.
"Archangel Uriel, salam jumpa, kulihat dirimu telah bereinkarnasi menjadi lelaki muda. Kuingat kau dulu seorang pria dewasa yang gagah dan pemberani," kata pria yang memakai jubah kusut abu-abu, Eric.
"Makasih atas pujaannya, tapi kami tidak ada waktu," ujar Uriel.
"Baiklah, apa nona ini yang akan melaksanakan ritual? Kalau begitu ikuti aku,"
Seraya kami menelusuri lorong-lorong, sampailah kami di penghujungnya, yaitu ruang perpustakaan. Ruangan itu besar sekali dan penuh dengan banyaknya buku. Apa dulu raja atau Ratu menyukai buku? Kemudian kami menghadap salah satu rak buku yang terlihat lebih klasik dari yang lainnya. Yup, seperti di film-film, terdapat ruang rahasia. Tapi kali ini, pria tua itu tidak menarik benda apapun untuk membuka pintu. Ia hanya cukup menaruhkan tangannya di rak itu dan menyebutkan mantra.
"Tígric Elvãnïc,"
Alhasil, lingkaran sihir muncul dan pintu terbuka. Sebuah lorong yang dalam menuju ruang bawah tanah. Api-api obor menyala dengan sendirinya, menyinari anak-anak tangga yang akan kami lalui. Sekian lama kami berjalan, aku tak sadar kalau tangga yang kami lalui melayang alias tidak ada penyangganya. Jadi, hanya polos anak tangga yang terbang. Sadar akan hal itu, aku sedikit takut untuk berjalan tapi akhirnya Uriel menuntunku. Tak lama kemudian, kami pun sampai di dasar tapi entahlah, ada pintu yang sangat besar dengan ukiran yang rumit. Aku seperti pernah melihat pintu ini. Tapi dimana?
Setelah pria itu membacakan mantra lagi, pintu itu mengeluarkan api yang begitu besar di kedua sisinya. Seperti pilar api. Seketika itu juga aku mengingat kapan aku melihat pintu itu.
"Mimpi itu... " gumamku.
"Rika? ada apa?" ujar Uriel yang berada di depanku. Raizen dan bapak tua itu pun ikut menoleh.
"Ah enggak, aku cuma merasa pernah melihat pintu ini, dan itu ada di dalam mimpi,"
Pak Eric kemudian terlihat agak tertegun ketika mendengarku berbicara. Lalu ia bertanya apakah aku bertemu dengan seorang pria dengan kupu-kupu biru. Dan aku menjawab 'ya'.
"Ternyata dia melihatnya," ujar pak Eric itu.
"Malaikat malam?! A-apa dia menunjukkan semua tentang Yang Mulia Zehel?" lanjutnya.
"E-enggak semua, dia hanya menunjukkanku dunia Zehel dan seisi istananya yang megah,"
"Kau juga memasuki ruang singasananya?"
Aku mengangguk. Uriel dan Raizen langsung bertatap-tatapan dengan wajah kesal.
"Sudah kuduga si pria tua itu merencanakan sesuatu," ujar Uriel.
"Aku tahu pria itu gak bisa dipercaya, memang mulut ember, bisanya cuma membocorkan rahasia langit!"
Malaikat malam, berarti si penasehat langit, Nocty. Awalnya aku tak mengenal siapa pria yang kutemui dalam mimpi waktu itu. Jadi, dia kakek Orlan? Terlihat jauh dari yang kubayangkan. Kenapa Pak Eric memanggilnya Malaikat Malam? Sedangkan Uriel sendiri bilang kalau Nocty bukan malaikat malam. Ugh... Aku jadi semakin pusing dengan keadaan ini.
"Rika, lain kali kamu bertemu dengannya, di mimpi ataupun di kenyataan, jangan pernah mengikutinya! Ini demi keselamatanmu juga," tegas Uriel.
Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam. Selesai pembicaraan, pak Eric langsung kembali menghadap pintu dan membukanya. Sebuah ruangan yang begitu megah dan menakjubkan, tapi satu yang membuat kami tercengang. Sebuah pintu -pintu dimensional- yang begitu besar melebihi pintu tadi dengan dipenuhi banyak rantai dan akar berduri.
"Pintu ini sepertinya benar-benar di segel, tuanku," ujar Raizen.
"Ah, tapi karna ini sudah tempat dimana Rika ritual, berarti pintu hanya bisa dibuka oleh satu orang, kau tau siapa," kata Uriel.
"Zehel?" jawabku. "Aku harus bertukar tubuh lagi dengan Zehel? Yang benar saja,"
Aku pun melangkahkan kakiku ke dekat pintu. Aku merasakan hawa yang begitu dingin di sekitar pintu. Aku juga mendengar Uriel dan yang lain membicarakan sesuatu.
"Jadi gadis ini wadah Yang Mulia? Aku selalu bingung mengapa Yang Mulia berpikir untuk tidur di dalam diri seorang gadis yang lemah," ujar pak Eric.
"Aku juga sama, aku sama sekali gak paham sama jalan pemikirannya," ujar Uriel.
"Lagi pula, kalau saja waktu itu aku menghentikan perbuatannya dengan membunuh bajingan itu, hal buruk ini gak akan terjadi," lanjutnya menyesal.
Ketika aku melihat Uriel, terlihat ekspresi yang terluka di wajahnya.
.................................................................
To be continued... 😜