Jungkook berjalan memasuki kampusnya dengan lesu, terdapat lingkaran hitam di bawah matanya akibat ia tidak bisa tidur semalam. Salahkan pikirannya yang terus melanglang buana ke peristiwa sehari sebelumnya. Hingga sekarang Jungkook masih belum bisa percaya jika apa yang dilihatnya malam itu hanyalah mimpi. Semua itu terlalu nyata.
"Jungkook."
Sedikit terlonjak, Jungkook membalikkan tubuhnya ketika seseorang menepuk bahunya pelan.
"Aish, hyung! Berhentilah mengagetkanku setiap kau muncul!" ucap Jungkook kesal.
Taehyung menunjukkan cengirannya, mengusap hidungnya acuh lalu merangkul Jungkook dengan kurang ajarnya. "Selamat pagi, sayang—OUCH!"
Taehyung meringis memegangi perutnya yang baru saja menjadi korban sikutan Jungkook. Pemuda kelinci itu mendecak, "Makanya jangan menggodaku, hyung."
Si manis memasang wajah kesal, padahal saat ini jantungnya tengah menggila. Sedikit khawatir suara berdentum keras itu akan terdengar hingga ke telinga Taehyung.
"Tega sekali kau, ini sakit." Taehyung masih menunduk, memegangi titik dimana Jungkook menyikutnya dengan kedua tangan. Wajah Taehyung menyiratkan dirinya benar-benar kesakitan.
"H-hyung?" Jungkook mencicit takut, khawatir lebih tepatnya. Taehyung tampak tak bisa bergerak dari tempatnya berdiri sekarang.
Jungkook menggiggit bibirnya panik, ia merendahkan tubuhnya mencari wajah Taehyung yang masih menunduk. "Hyung, apa sakit sekali?"
Taehyung tak kunjung menjawab membuat Jungkook semakin panik dan mengguncang-guncang bahu Taehyung, "A-aa hyung, kurasa sebaiknya k-kita ke klinik sekarang. M-maaf hyung."
Dengan tarikan lembut Jungkook memaksa Taehyung untuk mengikutinya ke klinik, Taehyung masih melengkungkan tubuhnya tanda kesakitan. Namun Taehyung hanya diam dan membiarkan dirinya digiring Jungkook menuju klinik kampus.
.
.
.
.
.
Pemuda kelinci itu memandang bukunya cemas, begitu banyak yang terjadi di dalam kepalanya hari ini hingga bahkan penjelasan dosen di depan kelas tidak sedikitpun menyangkut di otaknya.
Setelah mengantar Taehyung ke klinik, pemuda alien itu memaksa Jungkook untuk meninggalkannya saja. Awalnya Jungkook menolak, dirinya merasa bertanggung jawab karena telah membuat Taehyung kesakitan begitu. Tapi kemudian dirinya terpaksa harus pergi karena dokter yang hari itu sedang berjaga juga mengatakan bahwa Taehyung tidak apa-apa dan lebih baik Jungkook masuk kelas saja, seorang dokter yang terlihat masih muda berkulit sangat pucat.
Jungkook mengusak surai hitamnya frustasi, perihal mimpi kemarin saja sudah cukup membuatnya pusing. Dan Taehyung menambah bebannya lagi sekarang.
"Jungkook, kau dipanggil kepala staff tadi."
Nah, lengkap sudah. Kepala Jungkook mau pecah sekarang.
Berhubung acara yang diketuainya akan terselenggara minggu ini, Jungkook sedikit kalang kabut. Petinggi-petinggi universitasnya mulai sering meminta Jungkook menghadap, baik sekedar bertanya perkembangan tentang acara maupun meminta tolong sesuatu dan memberi usulan.
Usulan dengan tujuan yang baik memang, hanya saja Jungkook pikir waktunya terlalu mepet, dan Jungkook sudah cukup pusing juga dengan sponsor yang bermasalah itu.
Sponsor yang berjanji akan mengurus hari H, event organizer yang cukup terkenal akan kepiawaiannya dalam menyelenggarakan acara. Setidaknya itu yang awalnya Jungkook dengar, dan Jungkook sangat bersyukur mereka mau memberi sponsor dalam jumlah yang cukup besar.
Hingga kabar dari Joy waktu itu meragukan keputusannya untuk menjalin kerjasama dengan sponsor, tapi apa boleh buat. Semuanya sudah terjadi dan Jungkook tidak bisa seenaknya membatalkan kontrak begitu saja.
Kebetulan hari itu Jungkook sudah membuat janji dengan direktur Ssam EO, alias direktur sponsor yang menurut Joy 'tempramen' itu. Jujur, Jungkook sedikit waswas pergi kesana sendirian, tapi ia tak ingin merepotkan siapapun. Semuanya sudah cukup sibuk.
"Baik, Pak. Nanti akan saya koordinasikan ke bagian keamanan untuk tambahan personel." ucap Jungkook.
"Tolong sekali ya, nak Jungkook. Ini karena tahun lalu beberapa berkas penting di ruangan kami menghilang setelah acara tahunan itu berlangsung. CCTV juga entah kenapa tidak berfungsi, jadi kami kesulitan mencari tahu kapan berkas itu menghilang. Kita juga tidak memerhatikan siapa yang keluar masuk ruangan hari itu karena situasi kampus terlalu ramai."
Jungkook mengangguk mengerti, "Iya, Pak. Saya mengerti. Saya akan usahakan mencari tambahan orang untuk mengamankan kampus."
"Terimakasih, nak Jungkook. Maaf merepotkanmu."
"Tidak apa-apa, Pak. Kalau begitu saya permisi." pamit Jungkook kemudian keluar dari ruangan itu setelah membungkuk hormat pada kepala staff kampus.
'Satu tugas tambahan lagi.' batin Jungkook lesu hingga kemudian ia teringat sesuatu.
"AH IYA! TAE-HYUNG!" Jungkook menepuk keningnya keras, bisa-bisanya ia melupakan Taehyung yang sekarang tengah berada di klinik akibat ulahnya.
Tergesa-gesa Jungkook berjalan menuju klinik kampus, nyaris menabrak beberapa orang yang berpapasan dengannya.
TOK TOK TOK
Jungkook mengetuk pintu klinik itu kemudian membuka pintunya pelan, takut mengganggu pasien yang mungkin tengah beristirahat di salah satu bilik.
"Oh, Jeon. Ada perlu apa?"
Jungkook mengusap tengkuknya kikuk, menatap ragu-ragu pada dokter muda yang tadinya sedang duduk bersama seorang mahasiswa entah jurusan apa, tapi Jungkook yakin pernah melihatnya berkeliaran di kampus.
Sepertinya obrolan mereka begitu serius dan ... romantis? Dilihat dari rona merah yang ada di pipi sang dokter muda, dan seringai geli yang tampak di wajah sang mahasiswa. Mungkin mahasiswa itu baru saja menggoda sang dokter.
Jungkook jadi tidak enak sudah mengganggu.
"E-eh, ngg—anu-"
"Kau mencari Taehyung?" tanya sang dokter bernametag Min Yoongi. Jungkook meliriknya sekilas baru saja.
"I-iya, hehe. Apa dia masih disini?"
Yoongi menggeleng, "Tidak, dia sudah pergi sejam yang lalu. Tenang saja, dia tidak apa-apa."
Jungkook menggigit bibirnya cemas, bagaimanapun tidak lengkap rasanya jika ia tidak melihat langsung kondisi Taehyung. "A-ah begitu. Baik, terimakasi banyak dokter. Maaf aku mengganggu. Permisi~"
Buru-buru Jungkook pergi meninggalkan klinik itu, melihat-lihat sekitar untuk menemukan Taehyung.
Namun hingga ia sampai di ruang organisasi Jungkook tak kunjung melihat ujung rambut atasannya di organisasi itu, sedikit banyak membuat Jungkook semakin khawatir.
'Dimana sih alien mesum itu!?'
.
.
.
.
.
"Bagaimana pestanya?"
"Buruk."
Seokjin tertawa keras mendengar gerutuan Jungkook, seperti biasa mereka akan makan siang bersama di kantin kampus. Seokjin kemudian menepuk-nepuk pundak adiknya itu, "Sudah kubilang, lebih baik kau tidak datang saja kan?"
"Iya, hyung. Iya." balas Jungkook malas lalu menyeruput ramennya acuh.
"Memangnya apa yang terjadi disana? Kau terlihat sangat kesal." tanya Seokjin, masih menahan tawanya.
"Sesuatu yang aneh, hyung. Hyung tidak akan percaya jika kuceritakan." tukas Jungkook sembari mengucek matanya yang gatal.
"Aneh bagaimana?" Seokjin memajukan tubuhnya tertarik.
"Ya, aneh hyung."
"Apa? Ceritakan padaku~" rengek Seokjin, kebiasaan lama jika ia terlampau penasaran. Terlebih pada adik sepupunya ini.
"Baiklah hyung, tapi hyung harus janji tidak akan tertawa atau mengejekku." ucap Jungkook, masih mengucek matanya yang entah kenapa masih saja gatal. Malah sekarang rasanya bertambah.
"Kalian mendengar kabar itu? Katanya ayahnya tewas bunuh diri."
Baru saja Jungkook akan membuka mulutnya untuk bercerita, segerombolan gadis duduk di meja sebelahnya sambil bergosip heboh. Jungkook menajamkan pendengarannya, ayah siapa yang tewas?
"Kasihan sekali, padahal baru saja dia menyelenggarakan pesta kemarin."
Jungkook menggentikan ucekan di matanya kemudian tanpa sadar menggebrak meja. Berdiri dengan tiba-tiba, membuat nyaris seluruh pasang mata yang ada di dekatnya menoleh kaget.
"Apa kalian bilang barusan? Ayah siapa yang tewas?" cerca Jungkook pada segerombolan gadis yang kini menatap Jungkook bingung sekaligus kaget.
"E-eh, itu...kabarnya ayah Lee tewas karena bunuh diri, baru saja masuk berita tadi pagi. Katanya kejadiannya saat pesta berlangsung, tapi baru disebarkan tadi pagi." tutur salah satu gadis di meja sebelah.
"Bunuh...diri?"
"Iya, dengan pistol. Tembakan tepat di kening."
Jungkook terduduk lemas di kursinya, matanya membulat tak percaya. Persis seperti yang ada di dalam mimpinya, hanya saja orang lain yang menembakkan pistol itu.
"Jungkook? Kau baik-baik saja?" Seokjin memandang khawatir pada adiknya yang sekarang berwajah pucat.
Segalanya berputar lagi di kepala Jungkook, membuat kepalanya pening. "Hyung, aku rasa aku akan pergi ke klinik sebentar." lirih Jungkook sembari memijit pelipisnya.
"Biar aku antar." Seokjin merapikan barang-barangnya, berniat mengantar Jungkook ke klinik.
"Kau kenapa?"
Jungkook mendongak, menemukan keberadaan pemuda yang sejak tadi ia cari-cari. Jungkook sontak berdiri lalu mematai Taehyung cemas dari atas hingga bawah, "Hyung, kau tidak apa-apa? Masih sakit—YYA!"
Pekikan Jungkook memenuhi seisi kantin, sekali lagi membuat dirinya menjadi pusat perhatian.
"YYA TAE-HYUNG! Apa-apaan—TURUNKAN AKU!"
"Berisik. Seokjin-hyung, tolong bawakan tas Jungkook." perintah Taehyung kemudian berlalu.
Dengan Jungkook berada digendongannya. Ala bridal.
Wajah Jungkook sudah memerah hingga ke telinga, menghilangkan pucat yang awalnya mewarnai wajah manis itu. Ia berontak kuat, namun entah bagaimana Taehyung tidak juga goyah.
"Turunkan aku, hyung! Aku bisa jalan sendiri—aish!" pekik Jungkook sembari menendang-nendang tak karuan.
"Diam, Kook. Nanti kau jatuh." ucap Taehyung santai kemudian memperbaiki posisi Jungkook dalam gendongannya, membuat wajah Jungkook membentur dada bidang Taehyung.
Tunggu...rasanya familiar.
Jungkook menghentikan rontaannya, beralih menatap rahang tegas Taehyung dengan mata bulatnya. Bukan kali pertama ia begini, namun Jungkook pikir ini juga bukan yang kedua.
Ia terlalu terbiasa dengan rengkuhan itu, Jungkook tak mengerti mengapa.
"Berhenti menatapku dengan mata bulatmu itu. Kau membuatku ingin memakanmu sekarang juga, bunny."
'bunny...'
'bunny...'
'bunny...'
Jungkook membelalakkan matanya, nada itu—suara itu—
"K-kau—"
"Yoongi-hyung, tolong periksa anak ini." potong Taehyung lalu meletakkan Jungkook di salah satu bilik klinik. Jungkook melihat sekeliling, tak menyadari bahwa sekarang dirinya telah berada di klinik.
Jungkook masih tergagap, membiarkan Taehyung menyelimutinya tanpa banyak protes karena lidahnya serasa beku. Kelu, Jungkook tak bisa berkata apa-apa karena apa yang ada di pikirannya sekarang terlalu absurd dan tidak bisa dipercaya bahkan oleh dirinya sendiri.
Yoongi menghampiri Jungkook lalu melakukan beberapa pemeriksaan, "Kau hanya kelelahan, tidurlah sebentar dan kau akan merasa lebih baik." titah Yoongi.
"T-tapi—"
"Jangan banyak protes, Jungkook. Tidur saja." potong Taehyung lagi, membuat Jungkook merengut kesal. Seokjin tertawa geli sembari menenteng tas Jungkook di belakang Taehyung.
"Benar, istirahatlah dulu. Kau bisa bercerita setelah bangun nanti, Kookie." kata Seokjin lalu mengusap-usap kepala Jungkook sayang.
Karena terlalu banyaknya hal yang berputar di kepalanya dan Jungkook pusing akan hal itu, ia putuskan untuk mengikuti saran semua orang.
Tidur sebentar mungkin tidak ada salahnya.
.
.
.
.
.
Sebuah usapan di kening membuat Jungkook kembali dari alam bawah sadarnya, melenguh pelan sebelum akhirnya benar-benar membuka matanya dan menangkap sosok di dekatnya dengan jelas.
"Seokjin-hyung?"
"Ayo bangun dulu, Kookie. Aku akan mengantarmu pulang." ujar Seokjin halus, membantu Jungkook untuk duduk.
Jungkook menguap lebar, mengucek-ucek matanya yang masih sayu akibat mengantuk. "Pukul berapa sekarang, hyung?"
"Jam 4 sore."
"Oh, jam—APA? 4 SORE?!"
Terburu-buru Jungkook melompat dari kasur itu, membiarkan surai hitamnya acak-acakan lalu memakai sepatunya asal. Seokjin yang terkejut akibat lompatan Jungkook hanya bisa mengelus dada.
"Aku ada janji temu dengan sponsor, hyung. Akh, bagaimana ini aku terlambat." Jungkook panik sendiri, mencari-cari letak ponselnya yang entah dimana.
Jungkook mendesah lega ketika berhasil menemukan ponselnya di salah satu kantong tasnya, cepat-cepat ia menghubungi sekretaris sponsor itu.
"....ah, benarkah? Sekali lagi saya minta maaf, Cho-ssi. Kondisi badan saya sedang buruk...nee saya akan kesana jam 6 nanti. Terimakasih banyak, Cho-ssi." Jungkook menghembuskan nafasnya lega, ternyata direkturnya sendiri memang sedang tidak ada di tempat dan berkata untuk mengundur jam pertemuan itu menjadi pukul 6.
Jungkook merebahkan dirinya di ranjang, lega karena itu artinya ia tidak terlambat untuk melakukan pertemuan dengan sponsor. Seokjin hanya bisa menggelengkan kepalanya maklum, adik sepupunya ini begitu sibuk.
"Kau tidak mau pulang dulu?"
"Mau, hyung. Ayo."
.
"Kau berhutang satu cerita padaku." celetuk Seokjin saat mereka berdua berada di mobil.
"Hyung tidak akan percaya." dengus Jungkook lalu merengut memerhatikan lalu lintas yang cukup padat mengingat ini jam pulang kerja.
"Ayolaah, kau membuatku penasaran." desak Seokjin.
"Haahh, baiklah hyung. Tapu berjanjilah hyung tidak akan tertawa."
Hembusan nafas panjang Jungkook keluarkan sebelum ia memulai ceritanya. Mulai dari kedatangannya di pesta itu, bagaimana tuan rumah memerlakukannya, hingga adegan yang masih menghantuinya sampai saat ini.
Tentu saja ia melewatkan bagian dimana mungkin seseorang mencuri ciuman pertamanya.
Selain malu, Jungkook juga cukup sadar bahwa ceritanya itu tidak masuk akal.
"...dan kemudian aku bangun di kamarku sendiri, hyung. Ibu bilang aku pulang dalam kondisi mabuk, entahlah aku juga bingung yang mana yang benar. Sepertinya aku mabuk berat hingga berhalusinasi sekeras dan senyata itu." kata Jungkook mengakhiri ceritanya.
"..."
Kening Jungkook mengerut ketika tidak mendapati respon apapun dari Seokjin yang tengah mengemudi di sebelahnya, maka ia putuskan untuk menoleh.
"Pfft—maaf, Kookie. Endingnya sungguh—pfftt, a-aa—baiklah maaf." Seokjin menetralkan raut wajahnya, kesulitan menahan tawa. Dilihatnya Jungkook tengah memincingkan matanya kesal, bibirnya sengaja dimajukan.
"Hyung sudah janji!"
"Iya-iya, maaff—"
"Tapi bukankah ini aneh, hyung?" cetus Jungkook tiba-tiba, raut wajahnya berubah serius membuat mau tak mau Seokjin menghentikan aksi tahan tawanya.
"Maksudmu?"
Jungkook menghela nafas, "Aneh, hyung. Di saat yang sama tuan Lee meninggal bunuh diri dan aku—katakan saja aku memimpikan hal yang sama. Dengan cara kematian yang sama juga tembakan tepat di kening. Apa hyung pikir itu tidak aneh?"
Seokjin terdiam, perkataan Jungkook ada benarnya. Tapi itu tidak mungkin terjadi, terlebih jelas-jelas ibu Jungkook mengatakan bahwa Jungkook mabuk malam itu. Seokjin pikir tidak mungkin ibu Jungkook berbohong, bukan?
"Dan lagi..." Jungkook menggantungkan ucapannya, menimang-nimang apakah ia harus mengatakannya atau tidak.
"Apa?"
'Dan lagi aku seperti mendengar suara Tae-hyung, seperti déjà vu siang tadi dia mengatakan sepotong kata yang sama dengan orang dalam mimpiku.'
"T-tidak apa-apa. Aish, aku merasa seperti orang yang bisa membaca masa depan sekarang hyung. Ini gila!" lirih Jungkook frustasi, mengusak helai hitamnya berantakan.
Seokjin masih diam, mimpi Jungkook terasa terlalu absurd baginya—tapi tidak juga. Seokjin pikir di kalangan keluarganya, perihal bunuh membunuh adalah hal yang sudah tidak terlalu mengagetkan lagi. Mengingat begitu besarnya persaingan dan banyaknya rahasia yang harus dijaga dengan nyawa.
Ada sebuah lubang disini, sebuah lubang yang membuat skenario sebenarnya tidak bisa dicapai oleh akal sehat. Sebuah lubang entah siapa yang membuat, yang jelas jika benar mimpi Jungkook bukanlah sekedar mimpi,
maka si pembuat lubang itu benar-benar memahami posisinya, membuat Jungkook menjadi seperti orang terbodoh di dunia yet so absolutely protect him.
.
.
.
.
.
Pemuda kelinci itu menghela nafas panjang. Entah sudah kali ke berapa ia menghela nafas begitu dalam satu hari, yang jelas Jungkook tak bisa menghitungnya. Begitu banyak hal yang terjadi hari ini dan itu membuat Jungkook penat. Ingin rasanya ia pergi ke pegunungan lalu berteriak sekencang-kencangnya. Mengeluarkan semua penat yang mengumpul di diafragmanya untuk kemudian mendengar gema balik teriakannya.
Terdengar melegakan.
Jungkook merapatkan jaketnya, malam ini cukup dingin. Ia sedang berada di halte bus untuk pulang setelah pertemuannya dengan direktur sponsor itu.
Pertemuan yang cukup lancar, setidaknya direktur itu tidak berani macam-macam dengan Jungkook. Marga 'Jeon' di depan namanya sedikit banyak memberi keuntungan baginya. Jungkook bisa merasakan bahwa direktur itu segan terhadap keluarganya, walau bibit-bibit 'seenaknya' memang tak bisa lepas dari image direktur itu.
Perlakuannya terhadap beberapa staff yang kebetulan berpapasan dengannya saat baru datang contohnya. Begitu angkuh, enggan menyapa barang lirikan saja. Padahal staff itu jelas-jelas membungkuk dalam untuknya. Jungkook yang memerhatikan itu dari ruang tunggu hanya bisa menghela nafas.
Mengapa akhir-akhir ini ia sering bertemu orang yang menyebalkan begini sih?
Jungkook menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri, sesekali tersenyum menyapa orang yang kebetulan lewat atau baru datang dan menunggu di halte bersamanya. Beberapa saat kemudian Jungkook berdiri dan menyilakan seorang ibu yang baru datang untuk duduk di tempatnya.
"Ah, terimakasih nak. Jarang sekali sekarang ada anak muda sopan sepertimu." puji ibu itu.
Jungkook mengangguk sembari tersenyum kikuk, sedikit malu karena pujian yang diberikan ibu setengah baya yang kini duduk di tempatnya.
Cukup lama ia menunggu di halte itu, bus tak kunjung datang. Membuat orang-orang gusar dan juga bingung, termasuk Jungkook. Ini sudah lewat 30 menit dari jadwal seharusnya.
Bibir cherry itu merapat, mungkinkah ada kecelakaan? Jungkook bergidik bila memang itu benar terjadi, maka ia tak akan mau mendekat ke lokasi itu.
Beberapa orang yang dikejar waktu akhirnya memilih untuk memanggil taksi, hingga tinggal segelintir orang saja yang setia menunggu bus datang. Jungkook masih berdiri, sesekali melongokkan kepalanya untuk melihat bus yang mungkin muncul di ujung jalan.
Hampir satu jam, dan Jungkook mulai tak sabar. Akhirnya ia memutuskan untuk memanggil sopir pribadinya saja karena sepertinya tak ada taksi kosong lewat, Jungkook tak bisa menunggu lagi karena suhu yang semakin dingin ini dan ia hanya mengenakan kemeja dan selapis jaket yang tak seberapa membantu.
Baru saja ia mengeluarkan ponselnya, sebuah motor ninja hitam berhenti di hadapannya. Pengendara motor dengan pakaian serba hitam dan helm full-face itu menaikkan kaca helmnya sebelum menoleh ke Jungkook.
"Hei, perlu tumpangan?"
.
.
.
.
.
"Lukamu terbuka. Bagaimana bisa, dasar bodoh."
Dia mematai perban dengan rembesan darah yang baru saja dilepaskan dari abdomennya itu. "Bukan salahku! Kelinci itu yang melakukannya!" gerutu si pemilik luka.
"Bodoh, dia tidak akan melakukan apapun jika kau tidak mengganggunya. Aku tahu pasti ini akibat kau menggangunya." ucap sang dokter kemudian memperbaiki jahitan yang sedikit rusak itu.
Pemuda itu menyeringai,"Menggoda bunny manis itu sangat menyenangkan tahu, hyung. Rasanya hampa jika sehari saja aku tidak mengganggunya."
TBC
________________________________
a/n
Haii wkwkwkk /plak
Aku balik lagi bawa chap baru sekaligus bilang ngga bakal update sampe tgl 27 nanti.
Mau ujian nih tgl 27, ngga ada niat nyemangatin gitu? :( /plak(2)
Chap ini ngebosenin yah, huhu abisnya bingung kalo ngga isi bagian ini ntar malah ngga nyambung ceritanya. Terima dulu aja yah /plak(3)
Oh iya, adakah yg bisa nebak siapa si 'pengendara motor'? :)
Vomment cuyy