Perfect Family

By badgalzia

8.9K 306 52

Temui Zia Mcfoy. Gadis 16 tahun, pencinta punk-idola gadis-gadis lesbian dan bi di sekolahnya. Tapi hey, dia... More

Chapter 1 | Call Me Zia
Chapter 3 | The Boys
Chapter 4 | Tree House
Chapter 5 | Flour Fight
Chapter 6 | The Rumour
Chapter 7 | UFO Freak
Chapter 8 | Just Dreaming
Chapter 9 | Meet Cece
Chapter 10 | Lunch With Calvin
Chapter 11 | Meet Rory
Chapter 12 | Rock It Out!
Chapter 13 | Ignore
Chapter 14 | Be Mine?
Chapter 15 | Under The Moonlight
Chapter 16 | Mad Rick's Cafe
Chapter 17 | Drowning
Chapter 18 | Nightmare
Chapter 19 | Fool Fight
Chapter 20 | Apologizes
Chapter 21 | Local Dish Resto
Chapter 22 | Confirmations
Chapter 23 | Cory's Top Secret
Chapter 24 | Carolina Place
Chapter 25 | Meet Avery
Chapter 26 | Singing Zach
Chapter 27 | A Dream Comes True

Chapter 2 | Meet Luke

1K 22 2
By badgalzia

“What kind of similarity we have?”

Beruntunglah, hari kedua belajar di tahun terakhir ini aku sudah disuguhi dengan mata pelajaran favoritku. Kimia di jam pertama dan Fisika di jam kedua. Awalnya, guru maupun semua murid di kelas menghujaniku dengan tatapan mencemooh—maklum saja, mereka baru bertemu denganku di tahun ini—tapi setelah pelajaran berakhir, aku dapat melihat jika sebagian dari mereka mulai menghargaiku. Meskipun ada sebagian juga yang tetap memandang rendah. Masa bodoh dengan mereka, aku menganggap mereka hanya iri padaku. Dan pria yang tersenyum di kelas Kimia itu, masa bodoh siapa namanya. Saat berada di sekolah aku terlalu acuh pada sekelilingku. Padahal kurasa, kami sering bertatap muka secara tak sengaja.

Aku melempar-lemparkan buah apelku ke udara, saking bosannya. Saladku sudah tandas tak bersisa, tapi belum ada tanda-tanda dari kedatangan teman-temanku. Astaga, kemana perginya pria-pria sialan itu? Aku mulai gusar. Meskipun terlihat santai, malah terkesan apatis, jantungku berdegup kencang saat seorang pria duduk di hadapanku tanpa permisi. Aku memperhatikannya dari sudut mataku. Tanpa mengubah posisi dudukku—bersender dengan lengan terjulur ke sandaran dan kaki kanan terangkat ke paha kiri—aku mengamatinya dengan wajah datar seraya mengunyah apelku kemudian menelannya. Menggigit, mengunyah, lalu menelannya lagi. Hanya suara apel yang bersentuhan dengan geligiku yang terdengar disini selama beberapa detik. Aku mengangkat kedua alis, mempertanyakan keberadaannya dengan bahasa tubuh. Aku tak terbiasa berbicara saat makan, menurutku itu tidak sopan. Tapi di luar dan di rumah tentu saja berbeda, jika di rumah, mau sopan atau tidak Toby tidak akan protes. Setidaknya aku jadi tidak perlu repot-repot untuk menjaga kesopanan. Senyuman yang tadinya tidak lepas dari bibir pria itu kini menghilang entah kemana. Terlihat sekali jika ia sedang berusaha menutupi kecanggungannya.

“Hai, Zia.” Ia menampakkan senyumnya lagi. “Apa aku mengganggu?”

Aku menelan kunyahan apel dalam mulutku, “Tidak juga.” Kataku datar lalu kembali menggigit apelku.

“Ehm, aku Luke. Lucas Bentley. Pasti kau sudah tahu, tapi tak apalah.” Katanya percaya diri, seraya tersenyum semanis permen kapas.

Kedua alisku bertaut. Bibirku yang tengah asik menikmati apel, satu sisinya terangkat. Lucu sekali dia. Memangnya dia pikir dia siapa? Apa dia seterkenal itu di sekolah ini?

“Ya, aku sudah tahu.” kataku sekenanya. “Beberapa detik yang lalu.”

Ia terkekeh-kekeh malu seraya mengusap tengkuknya. “Kalau begitu tak ada salahnya jika kita berkenalan secara formal.” Tidak lama kemudian ia menjulurkan tangan. “Lucas Matthew Bentley.”

Aku melirik tangannya sekilas, lalu meletakkan apelku yang sudah hampir habis ke atas baki dihadapanku—sepertinya aku takkan memakannya lagi. Aku menjabat tangannya yang besar, sehingga tanganku tenggelam didalam genggamannya. “Aku rasa kau sudah tahu namaku.”

“Aku rasa juga begitu.” ia melepas tangannya seraya tersenyum manis. Gosh, senyuman itu seakan menghipnotis. Namun aku berusaha untuk tetap tenang, dan terlihat normal. Hanya menanggapi ucapannya dengan anggukan pelan.

“Sendirian saja?”

The fuck? Basa-basi macam apa itu.

“Kelihatannya bagaimana?” aku menyeruput jus jeruk yang tinggal seperempat gelas hingga habis.

Luke terlihat kembali canggung melihat responku yang sedari tadi dingin-dingin saja. Sejujurnya aku merasa kasihan, sikap ramahnya aku tanggapi sedemikian menyebalkan. Blah, peduli apa aku padanya. Meskipun baru tahu namanya hari ini, aku pernah melihatnya berkumpul bersama jajaran anak-anak populer. Untuk apa pria seperti Luke mendekatiku jika tidak ada maksud tertentu, bukankah itu sangat aneh? Aku mencium bau tidak wajar dari kedekatannya padaku. Entahlah, ia seperti menginginkan sesuatu dariku, namun aku belum tahu apa. Sepertinya aku harus waspada. Sangat jelas terlihat jika pria cassanova ini memiliki daya tarik yang kuat. Seperti medan magnet yang bisa menyeret para gadis untuk mendekat dengan begitu mudahnya. Aku sendiri tak tahu apa aku bisa menarik diriku menjauh, atau malah terjebak oleh pesonanya. Yang jelas aku sama sekali tidak boleh lengah.

Ia terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku sekelas denganmu di kelas Kimia, ingat? Bisakah kau bersikap sedikit ramah?”

“Kalau tidak bisa bagaimana?”

Well, aku akan tetap mendekatimu. Aku ingin mengenalmu lebih dekat. Boleh-boleh saja kan, jika aku ingin berteman denganmu?”

“Berteman? Kukira kau tidak bergaul dengan kutu buku sepertiku.” Kataku dengan senyum miring.

“Menurutku kau sama sekali tidak terlihat seperti kutu buku.”

Apa-apaan dia itu? tatapan matanya seperti sedang menggodaku.

“Aku anggap itu sebuah pujian.” kataku seraya menaikkan sebelah alisku. Menatapnya dengan tatapan yang cukup intens. “Jujur saja, Luke.” Aku mengubah posisi duduk menjadi lebih santai. Mencondongkan tubuhku ke depan, dan menaruh kedua tanganku di atas meja. Menatap wajah tampannya agar lebih jelas. Bagaimanapun aku tak bisa menyia-nyiakan pemandangan segar di depanku begitu saja. “Apa sekarang aku terlihat begitu populer, hingga kau berani mendekatiku?” tanyaku terdengar sarkastis. “Karena selama bersekolah disini belum pernah ada anak populer yang mendekatiku, selain dirimu.”

“Benarkah? Aku punya hak untuk berteman dengan siapa saja, bukan begitu?” Luke melakukan hal yang sama sepertiku, berusaha untuk santai. Mencondongkan tubuhnya ke depan dan melipat tangannya di atas meja. “Lagipula, seharusnya aku yang menanyakan itu padamu. Apa menurutmu aku terlihat begitu populer, hingga sepertinya kau enggan berdekatan denganku, babe?

Babe?

The fuck?

What the fuck is that?

Mataku memicing tajam. “Don’t babe me.”

“Sorry.” Desahnya terlihat menyesal.

“Sejujurnya.” Ia berdehem seraya menyandarkan tubuhnya ke belakang. “Aku tidak begitu suka disebut-sebut sebagai anak populer. Ya, beginilah jadinya. Selalu di curigai. Selalu kesulitan jika ingin berteman lebih dekat dengan orang yang aku suka.” Jelas sekali jika ia sedang berusaha menggodaku. Dari caranya menatapku dengan intens seperti itu. Terlihat seperti harimau yang siap menerkam mangsa. Tapi sayangnya ia tak kunjung menyadari, jika aku bukanlah mangsa yang tepat untuknya. Hanya seekor kelinci yang numpang lewat saja.

“Jadi, kau hanya berteman dengan orang yang kau suka? Begitu rupanya.” Aku tertawa sarkastis. Munafik. Tidak suka di sebut sebagai anak populer katanya? Yang benar saja. Justru secara tidak sadar, ia telah menunjukkan bahwa virus ‘anak populer’ positif menjangkitnya. Ya, virus anak populer, kau tahu? Semacam penyakit endemik yang ciri-cirinya adalah jika dirimu merasa lebih tampan, lebih cantik, lebih kaya, lebih hebat dan memiliki kekuasaan penuh di sekolah, yang berarti kau bisa berteman dengan orang yang kau suka, dan menindas siapa saja yang tidak kau suka. Melihat dengan tatapan berkacalah dulu sebelum kau menghampiriku saat seseorang yang tidak selevel denganmu ingin berteman, bahkan hanya sekedar menyapamu. Itu virus yang sangat ganas. Karena siapapun yang terjangkit virus itu akan kehilangan jati dirinya sendiri, yang ia ketahui hanyalah dirinya lebih baik dari orang-orang disekitarnya. Menyeramkan, bukan? Dan aku rasa virus itu telah melekat, bahkan mendarah daging di dalam tubuh Luke. Terlihat juga dari level kelihaiannya dalam menggoda gadis-gadis. Dia sangat ahli. Level kelihaian seorang biasa—yang bukan anak populer—dalam menggoda gadis-gadis tidak akan setinggi itu. Sepertinya aku melantur.

“Ya. Tentu saja. Kita semua berteman dengan orang yang kita suka, bukan?”

“Untuk ukuran seorang anak populer, kurasa, ‘berteman dengan orang yang kita suka’ memiliki arti yang berbeda.”

“Kau gadis yang sangat menarik.” Ia tersenyum hingga menampakkan barisan giginya yang putih. Jujur saja ia memiliki senyuman yang sangat mempesona. Tapi aku kurang suka dengan profil wajahnya. Terlihat seperti playboy kelas kakap.

“Terus terang saja, Bentley. Kurasa pria sepertimu tidak cocok berteman denganku.”

“Kenapa?” tanyanya heran.

“Aku bukan gadis yang haus perhatian publik,” Aku berhenti sejenak, lalu memperlihatkan seringaiku. “Sepertimu.”

“Aku suka gadis yang jujur. Namun kau terlalu jujur.” Ia tertawa seakan-akan aku baru saja melontarkan candaan.

“Aku tahu.” ujarku. Aku kembali menyandarkan tubuhku ke belakang. Melipat tanganku di depan dada, seraya menaikkan kaki kananku ke paha kiri.

Well, Zia.” Ia terkekeh-kekeh seraya menggelengkan kepalanya. “Jika kau bilang hanya anak-anak populer yang berteman dengan yang mereka suka, aku rasa kau salah. Setiap orang pasti memilih teman, bukan? Setiap orang pasti berteman dengan orang yang ia suka. Karena berteman dengan orang yang tidak kita sukai hanya akan menimbulkan masalah. Maksudku, tidak semua orang bisa nyaman berteman dengan kita. Setiap orang memiliki kesukaan yang berbeda-beda. Dan biasanya, pertemanan akan terjalin jika kita memiliki banyak kesamaan—atau setidaknya memiliki satu kesamaan dengan seseorang.”

Aku menguap, lalu menutup mulutku dengan telapak tangan, tiba-tiba terserang kantuk akibat mendengar ucapannya yang setara dengan Mr. Stevenson saat sedang menjelaskan rumus-rumus Kimia di depan kelas. Oh Lucas Tampan Bentley, dari persepsimu yang aneh sepertinya kau tidak sadar jika virus anak populer telah menggerogotimu. Aku merasa geregetan, ingin sekali melempar kepalanya dengan batu untuk menyadarkannya. Saat ia berkata ‘berteman dengan orang yang kita sukai hanya akan menimbulkan masalah’ bagiku terdengar seperti ‘You looks like shit. I hate you.’ Atau ‘Don’t you dare to get closer to me because you can’t even handle my awesomeness’ atau ‘Go to hell, nerd.’ Untuk singkatnya. Masa bodoh lah. Aku tidak memiliki cukup kepedulian untuk membenarkan persepsi konyolnya.  

“Dan aku rasa, kita memiliki satu kesamaan, Zia.” Ia seakan menghujam jantungku dengan tatapannya yang seakan membuatku tak bisa berkutik. Aku hanya sedang berusaha bernafas secara wajar saat ini. Breath, Zia. Breath. Geez, tenyata ia memiliki iris mata dan alis yang indah.

“Apa itu?”

Pertanyaanku terinterupsi saat lima pria datang mengelilingi meja kami, dua orang beringsut duduk di sampingku. Sepertinya kedatangan mereka membuat Luke sedikit terkejut. Ya, mereka pria-pria bodoh yang sempat membuatku lumutan beberapa saat yang lalu—sebelum Bentley menemaniku.

“Permisi, bro. Jika tak keberatan, aku biasa duduk disitu.” Luke menoleh ke atas saat bahunya di tepuk oleh pria berambut pirang. Merasa terusir, Luke sontak berdiri lalu membagi pandangannya dengan si pirang dan aku. “Nanti juga kau akan tahu jawabannya.” Tukasnya padaku lalu mengerling nakal. Dasar pria penggoda.

“Silakan, bro.” Luke menepuk bahu pria pirang tadi yang kemudian duduk di hadapanku. Luke melenggang pergi. Mataku mengamati punggung lebarnya yang kian menjauh dengan satu tanda tanya besar dalam kepalaku.

Michie, si pria berambut pirang mengunyah kentang gorengnya dengan lahap. “Sejak kapan kau dekat dengan Bentley?”

“Sejak tadi. Entahlah dia mau apa denganku.” aku mendesah, lalu menyeruput cola milik pria yang duduk disamping kananku. Zach, pria berambut hitam dan beralis tebal itu terlihat tak keberatan dengan yang kulakukan.

“Kau harus berhati-hati, Zia. Jelas sekali ia ada maunya padamu.” ujar Max, pria berambut ikal berwarna cokelat muda yang duduk disamping Zach, sebelum melahap burger besar ditangannya.

“Santailah, aku tidak akan meladeninya.” Aku mencomot satu batang kentang goreng Michie, mencoleknya dengan saus tomat lalu memasukannya ke dalam mulutku tanpa rasa berdosa. Mengabaikan ekspresi tak terima dari pria bermata biru itu, yang kemudian sedikit menggeserkan baki alumunium berisi makanannya, menjauhkannya dari jangkauanku.

“Lalu yang tadi itu apa?” Will, si pria berkepala botak yang duduk didekat Michie menanggapi ucapanku dengan senyuman miring. Ia tertawa sarkastis sambil menggelengkan kepalanya. “Kami sempat memperhatikan kalian berdua dari kejauhan sebelum melangkah kemari. Kalaupun kau tidak meladeninya, sepertinya ia akan tetap mendekatimu. Ia sangat menginginkanmu. Itu terlihat dari caranya menatap, dan tersenyum padamu. Kau benar-benar harus waspada, Zee.”

Aku terkekeh. “Menginginkanku? Untuk apa?”

“Mungkin saja ia ingin menjadikanmu korban selanjutnya. Atau koleksi dari sekian gadis yang ia miliki saat ini.” Ujar Cory, pria berambut ikal yang jika dilihat sekilas mirip dengan Max. Hanya saja rambut Cory lebih pendek dan warnanya lebih terang.

Keempat pria lainnya mengangguk-anggukan kepala, menyetujui Cory.

“Apa ia sebrengsek itu? Jangan berasumsi yang aneh-aneh. Belum tentu kebenarannya begitu adanya. Kita tidak tahu apa-apa tentang Bentley, bukan?” Ujarku santai.

“Sementara ini yang perlu kau lakukan hanya berwaspada.” Zach, yang sedari tadi diam, kini terdengar suaranya. Aku memandangi bulu matanya yang sangat lentik jika dilihat dari samping seperti ini. “Jangan terlalu dekat dengannya.” Lanjutnya. Zach yang sebelumnya menghadap ke depan menoleh, kini wajahnya tepat di depan mataku. Aku menilik bola matanya yang berwarna cokelat terang. Lalu turun ke hidung mancungnya, bibir tipisnya yang berwarna merah jambu. Bahkan bulu halus di wajahnya terlihat sangat jelas dari jarak sedekat ini. Sungguh ia makhluk Tuhan paling indah yang pernah kutemui seumur hidupku. Ia sudah kuanggap sebagai kakakku setelah Toby. Semua pria disini sudah kuanggap sebagai keluarga. Itulah sebabnya mengapa aku tidak bisa jatuh cinta kepada salah satu dari mereka, meski mereka semua tampan.

“Ya, kalian tidak perlu khawatir.” Aku mengalihkan pandanganku dari Zach. Merutuk diriku sendiri yang tak bisa berhenti mengagumi paras pria Inggris separuh Pakistan berumur tujuh belas tahun itu. Gosh.

***

Seperti kebanyakan remaja lainnya, aku suka menikmati hidup. Caraku dan lima temanku untuk menikmati hidup adalah dengan musik. Band kami terbentuk secara tidak sengaja, saat mengikuti kelas musik yang menurut kami sangat membosankan. Semua berlatih dengan alat musik yang mereka bisa, lagu yang di mainkan ditentukan oleh guru pembimbing, Mr. George Sullivan. Ia sangat kolot, lagu yang dipakai untuk berlatih entah dari zaman apa. Aku sama sekali tidak mengerti dengan selera musiknya. Kami berenam dikeluarkan dari kelasnya saat mengacaukan lagu yang ia pilih. Padahal, aku merasa sedikit improvisasi tidak ada salahnya. Memang dasar si tua bangka itu tidak mengerti seni. Sejak pengusiran yang tidak terhormat itu, kami tidak pernah menampakkan diri lagi di kelas Mr. Sullivan—atau biasanya kami menyebutnya Mr. Silly.

Kami berenam yang saat itu tidak saling mengenal satu sama lain, mulai berkenalan dan sering makan bersama saat jam makan siang. Bertukar pikiran tentang musik. Dan kebetulan sekali, kami memiliki selera musik yang sama. My Chemical Romance, Greenday, Blink 182, Guns'n'Roses, Metallica, Muse, Red Hot Chilli Peppers, Sex Pistols, Sun 41, Radiohead dan Rancid adalah sebagian kecil dari band yang kami suka. Jenis musik yang di usung untuk band kami berasal dari sana.

“Pukul itu lebih cepat, Michie!” rutukku pada si kepala pirang yang duduk belakang drum. Ia memang menyebalkan! Sudah kubilang untuk menaikkan tempo lebih cepat lagi, tapi ia sama sekali tidak mendengarkanku. Mendengar omelanku, empat pria lainnya menghentikan permainan mereka. “Maaf.” desahnya. “Aku lelah, bisa kita istirahat sebentar?” ia bangkit dari kursi seraya mengelap wajah dengan ujung kaos hitam tanpa lengan yang ia pakai. Astaga, jorok sekali!

“Baik, istirahat dulu. Lima menit, guys. ” ujarku mengambil botol minuman yang terlihat berembun, yang ada di atas meja. “Jangan yang itu.” cegah Zach, mengambil—atau tepatnya merebut botol dari tanganku. “Air dingin tidak baik untuk pita suaramu.” ia memberi minuman itu pada Cory, lalu memberiku botol yang lain. Sial. Aku ingin yang dingin!

“Sudah, minum itu.” Zach menanggapi tatapan tak terima dariku dengan tawa mengejek. Aku mendengus sebal seraya menduduki sofa kulit panjang berwarna hitam di belakangku.

“Maaf, tadi aku kurang maksimal.” Michie duduk disampingku seraya mengusap tengkuknya.

“Bukan masalah, aku tahu kau lelah.” Aku menepuk bahunya. Ew, tanganku basah terkena keringatnya. Ah, aku lupa jika ia sedang berkeringat. Aku meringis seraya mengelap tanganku sembarang pada sofa. Michie menatapku dengan tatapan aneh. Seperti sedang merencanakan sesuatu.

“Sial! Lepaskan aku bodoh!” Michie dengan wajah tanpa dosanya merangkulku dan mendekatkan tubuhku padanya. Ia bau! Astaga. Aku terbatuk menahan bau ketiaknya yang sungguh... Oh! Ia malah menundukkan kepalaku ke dalam ketiaknya. Aku menjerit sejadi-jadinya, mendorong tubuhnya tapi tangannya malah menahan kepalaku lebih kencang. Empat pria lainnya bukannya membantuku, malah tertawa terbahak-bahak. Dasar pirang bodoh! Akan ku balas kau nanti.

“Lepaskan, Mich. Ia bisa pingsan.” Ujar Will. Setelah omelan kecil dari Will, Michie langsung melepaskanku. Aku berhutang nyawa padamu, Willy. Sungguh. Tanganku bertumpu di dada Michie sekarang, berusaha menarik udara segar untuk masuk ke dalam paru-paruku. Michigan Sialan Jones! Aku bisa mati muda akibat perbuatan tololmu!

Aku mendaratkan pukulan ke perut Michie, membuatnya mengerang kesakitan. “Jangan lakukan itu lagi, sangat tidak lucu!” jari telunjukku terarah padanya, wajahku terlihat tak main-main. Aku memang benar-benar marah sekarang. Terkadang candaan Michie memang berlebihan. Sesekali ia harus diberi pelajaran.

“Aku pulang!” aku mengambil jaket denim yang tergeletak di sofa singel tak jauh dariku, menyampirkannya ke belakang bahu dalam satu kali gerakan. Tanganku yang lain mengambil kunci motor di atas meja.

“Ayolah, Zee. Aku hanya bercanda!” suara Michie terdengar setelah tubuhku sudah berada dibalik pintu studio. Aku melenggang cepat seraya memakai jaketku, tanpa mempedulikan suara-suara yang menyerukan namaku.

“Zia!” panggil Michie di susul pria-pria lainnya, saat Ducati hitamku—secara hukum motor besar ini milik Toby—mengebut, meninggalkan asap knalpot di pekarangan rumah Michie.

A/N : Pic of Zia's bestfriends in the right side :)

This chapter is dedicated to an amazing writer and amazing friend of me, Loveyta Chen :)

Please comment and vote! Thankyou xo

Continue Reading

You'll Also Like

196K 10.5K 25
Kisah seorang Andrea si bodyguard tampan tapi Manis yang selalu menarik perhatian tuannya . "Tidak ada yang aneh, hanya saja kamu terlihat menarik di...
666K 757 40
warning! Cerita khusus 21+ bocil dilarang mendekat!! Akun kedua dari vpussyy Sekumpulan tentang one shoot yang langsung tamat! Gak suka skip! Jangan...
2.2M 130K 64
Namanya Camelia Anjani. Seorang mahasiswi fakultas psikologi yang sedang giat-giatnya menyelesaikan tugas akhir dalam masa perkuliahan. Siapa sangka...
1.4M 42.6K 70
‼️⚠️ DILARANG PLAGIAT ⚠️‼️ INGAT ALLAH MAHA MELIHAT ‼️ seorang Gus yang menikahi santrinya sendiri, Sudah banyak cerita seperti itu dan konfliknya sa...