Bima POV
Bima menatap anak perempuan yang duduk disebelahnya. Rambutnya pendek berwarna coklat gelap lurus hingga ke bahu. Pipinya berwarna putih kemerahan dan bertubuh mungil. Ia sibuk menggambar sesuatu di bukunya.
Anak perempuan itu tiba-tiba menoleh sambil memanggil nama Bima.
Bima buru-buru mengalihkan pandangan cemberut.
"Bima, lihat ni.. lihat gambarku." Kata Nana sambil menarik-narik pelan ujung kemeja Bima.
Berusaha memasang wajah sejengkel mungkin Bima melirik.
"Ini donat, doraemon, coklat, kucing."
Bima mendengus. Bagi Bima semua gambar Nana tampak abstrak. Bima hendak mengalihkan perhatiannya lagi, namun Nana keduluan menunjukan gambar terakhir
"Ini Bima."
Bima memasang wajah jijik tapi anak perempuan didepannya sama sekali tidak sadar.
Sambil tersenyum, Nana melanjutkan," ini semuanya favoritku.."
..
Sekarang aku siswa kelas 8A sementara Bima siswa kelas 8D. Teman sebangkuku bernama Sarah. Ia berambut keriting dan berkacamata. Menurutku Sarah pintar, baik dan super jujur. Aku mengenalnya semenjak kelas 7 semester 2 karena kami sama-sama masuk eskul PMR.
Setiap kegiatan praktek PMR, Sarah sering berteriak-teriak mengingatkanku dengan berseru "Jangan gitu! Itu salah! Aku kan udah bilang yang bener begini...!" sampai aku kebal diteriaki olehnya. Menurutku Sarah cocok jadi tentara, uhm minimal polisi lah. Liat saja bagaimana caranya membuat anggota PMR yang lain (yang 90 persen perempuan) fokus mengikuti kegiatan bukannya cekikikan sambil memandangi anak eskul Taekwondo (yang 100 persen laki-laki) latihan bela diri. Jadi wajar kan kalau Sarah yang didapuk menjadi ketua PMR sekaligus sekretaris OSIS.
Aku juga masuk keanggotaan OSIS tapi jabatanku tidak seelit jabatan Sarah. Aku masuk seksi Peminatan dan Pengembangan Diri Siswa padahal aku tidak pernah daftar. Berhubung dari awal aku tidak berminat makanya aku tidak datang dipertemuan pertama. Rupanya itu awal dari bencana. Pada jadwal pertemuan kedua, aku dicegat pembina OSIS, didepan gerbang sekolah. Aku terpaksa ikut pertemuan OSIS, padahal aku tidak tau apa-apa. Mana aku tau kalau hari itu satu anak dari setiap seksi diminta maju untuk mempresentasikan program seksinya. Sialnya, anggota seksiku yang hadir hanya aku dan satu anak perempuan bertubuh mirip Hulk. Tenaga si Hulk kuat sekali sampai ia mampu mendorongku maju bunuh diri didepan podium.
Aku sama sekali tidak punya persiapan tapi terlanjur berdiri di podium. Satu-satunya yang aku ingat waktu itu cuma kambing, karena sebelumnya di kelas Sarah membicarakan tentang sate kambing. Putus asa, aku pidato panjang lebar tidak karu-karuan di depan podium yang terhormat, di depan ketua OSIS yang nggak bisa nahan ketawa mendengar pidatoku dari awal hingga akhir, membicarakan soal penangkaran kambing. Karena aku tau banyak orang menonton, mentalku semakin jatuh, semakin aku panik, semakin isi pidatoku belepotan tidak karuan. Pertemuan kedua OSIS sukses membuatku trauma. Begitu turun panggung, aku hilang ingatan sesaat saking shocknya. Esoknya yang kuingat, kemanapun aku pergi orang-orang memanggilku kambing, cekikikan atau mengeluarkan suara mengembeek tiap kali aku lewat.
Akibatnya, untuk menghindari orang-orang yang suka memperolokku, aku sering mengendap-endap disekolah. Walaupun kalau diolok-olok aku selalu diam, sebetulnya aku tidak suka diolok-olok. Puncaknya, sekelompok anak kelas 8F mencegatku di lorong lantai dua saat aku sedang berjalan berdua dengan Sarah. Padahal mereka bukan anak OSIS dan aku sama sekali tidak mengenal mereka. Aku buru-buru menghindar sebelum mereka memperolokku lebih parah. Masalahnya karena tergesa-gesa aku malah jatuh.
Sarah berseru ketakutan melihat darah mengucur dari hidungku. Bukannya Sarah yang paling suka mengomel tiap kali aku salah mempraktekan gerakan pertolongan pertama? Ternyata ia sendiri malah takut melihat darah. Akhirnya aku jadi bahan tontonan umum, orang-orang mengerubungiku panik tapi tidak melakukan apa-apa. Rasanya betul-betul seperti kambing yang akan disembeleh di hari Idul Adha.
Kemudian Bima datang. Aku tidak lihat bagaimana proses kedatangannya tapi aku melihat Bima berdiri didekatku dengan ekspresi marah.
Kenapa Bima marah? Terakhir kali aku bicara dengan Bima, sekitar seminggu yang lalu, Bima kelihatannya baik-baik saja denganku. Waktu itu, saat aku berpapasan dengannya di lorong Bima tiba-tiba menarik ujung lengan kemejaku. Bima bertanya kenapa aku selalu menyapanya. Kutanya balik saja, apa aku tidak usah menyapa lagi? Bima bergumam jangan kemudian buru-buru berjalan pergi. Sarah yang berdiri disampingku saat itu langsung mendengus menahan tawa. Aku tidak tau bagian mana yang lucu. Sarah langsung bertanya padaku, apa aku dekat dengan Bima? Tentu saja kujawab nggak. Itu kali pertama Bima mengobrol denganku lagi untuk waktu yang cukup lama.
Oh iya, siangnya selesai pidato laknat itu, aku sempat mengobrol lagi dengan Bima. Saat kami terpaksa harus bergandengan tangan untuk permainan penyegaran di tengah pertemuan OSIS (Bima juga masuk keanggotaan OSIS), Bima protes karena tanganku basah berkeringat dingin. Saat itu aku masih terlalu shock dengan pidatoku sendiri sampai tidak menyahut Bima, yang kutau Bima tetap menggandeng tanganku terus hingga permainan berakhir.
Sekarang, aku menoleh sedih pada Bima, gimana kalau mati kehabisan darah? Tau-tau Bima melepaskan hasduk Pramukanya. Kurasa Bima kasihan padaku makanya dia melemparkan hasduk Pramukanya ke pangkuanku kemudian menyenggol bahu Sarah mengingatkannya untuk membawaku keruang UKS. Sarah seperti baru sadar dari bengong begitu diingatkan Bima. Sarah langsung membantuku berdiri dan membawaku ke UKS. Selama perjalanan ke UKS, aku menggunakan hasduk Bima untuk menyumpal hidungku. Butuh berapa menit sampai aku sadar, bukannya ini hasduknya Bima yang jarang mau membalas sapaanku dan suka lari tidak jelas untuk menghindariku itu? Aku ingat ekspresi wajah Bima waktu melempar hasduknya padaku. Bukannya Bima marah? Aku tidak tau kenapa Bima marah. Waktu kutanyakan pada Sarah, Sarah malah mengangkat bahu. Sarah tau Bima karena ia sering menghalau anak-anak PMR yang suka kabur dari latihan untuk cekikikan menonton Bima latihan Taekwondo. Tapi Sarah kan tidak mengenal Bima sepertiku.
Esoknya aku mendengar berita aku dan Bima pacaran gara-gara ada satu anak yang menonton kejadian saat Bima melemparkan hasduknya kepangkuanku lalu membicarakan kejadian itu kesemua orang -mengumumkan lebih tepatnya, yang ia buat seakan-akan Bima menolongku seperti pangeran dari negeri dongeng. Adegan aslinya jelas tidak seromantis itu. Ingat? Bima kan melemparkan hasduknya bukan menyerahkan ke tanganku. Bagian mana yang bisa disebut cerita dongeng? Gimana kalau waktu itu pak kepala sekolah yang menolongku? Apakah beliau akan digosipkan pacaran denganku juga?
Aku belum pernah naksir anak laki-laki apalagi pacaran. Aku bisa dibantai papaku kalau sampai ketahuan pacaran waktu SMP (soalnya aku anak tunggal). Papa saja langsung mengintrogasiku saat tadi malam Bima menelpon rumahku. Padahal seumur hidup Bima hanya pernah menelpon rumahku dua kali. Tapi sialnya Bima, selalu papaku yang mengangkat teleponnya. Sialnya lagi, seumur hidup hanya Bima anak laki-laki yang pernah menelponku. Tentu saja papaku jadi curiga. Papa makin curiga begitu beliau tau hasduk laki-laki yang sedang kurendam dengan pemutih itu miliknya Bima.
Tadi malam, Bima menanyakan kabar hidungku, aku jawab 'baik'. Setelah itu kutanyakan pada Bima kenapa dia marah sewaktu aku jatuh. Apa aku ada salah? Tapi kok aku tidak ingat salahku apa. Jeda hening selama semenit sebelum Bima langsung memutus sambungan telepon. Aku sudah biasa dengan gaya telepon Bima yang mirip tukang tagih kredit tapi aku tau Bima sungguh-sungguh peduli, buktinya waktu SD aku pernah sakit selama seminggu dan Bima menelpon menanyakan kabarku.
Aku tidak berani mengembalikan hasduk Bima selama berhari-hari. Gimana kalau saat aku mengembalikan hasduknya ada seseorang yang melihat lalu bersuit-suit meledek kami? Aku tau Bima sama tidak sukanya dijadikan bahan gosip sepertiku. Waktu SD kami dijodoh-jodohkan anak sekelas, sekarang kami malah digosipkan pacaran oleh satu sekolah. Kurasa reaksi Bima bakal lebih mengerikan dibanding dulu. Selain itu, kira-kira bagaimana reaksi Bima waktu tau warna merah di hasduk Bima luntur karena aku terlalu lama merendamnya di larutan pemutih? Sekarang hasduknya belel mirip kain lap dapur. Maka diam-diam aku mengganti hasduk Bima dengan hasduk baru. Bima tidak akan tau kan?
Kemudian datanglah hari Jumat, aku harus segera mengembalikan hasduk Bima karena hari Sabtu semua anak harus menggunakan seragam Pramuka. Pagi itu saat Bima menaiki bus yang kutumpangi, dengan sengaja aku menyusup disela-sela penumpang bus yang penuh sesak supaya bisa berdiri disamping Bima. Berdiri disamping Bima membuatku sadar, sejak kapan aku harus mendongak saat menatapnya? Tinggi badan Bima tau-tau melesat jauh meninggalkanku.
Bima baru menunduk setelah aku memandangnya cukup lama. Kejadian tidak penting itu saja membuat salah satu anak dibus yang juga siswa sekolah kami tau-tau bersuit-suit jail sambil menatap kami dari kursinya. Bima mendengus, tapi tidak tampak marah. Aku bengong, Bima tidak marah! Hebat sekali! Seingatku, dulu Bima akan langsung marah begitu diperolok.
Awalnya aku nyaris tidak jadi mengembalikan hasduk Bima karena satu anak yang bersuit-suit itu, tapi begitu melihat Bima yang tampak tidak peduli, kurasa aku harus bersikap seperti Bima. Kalau aku kelihatan gugup bukannya orang-orang bakal berpikir lebih aneh lagi? Jadi kuserahkan saja hasduk barunya. Bima memandang hasduknya sedetik kemudian berkata, "Ini kan bukan punyaku."
Darimana Bima tau? Cepat sekali ketahuannya.
Aku menggigit bibir, "Itu punyamu."
"Bukan."
"Itu beneran punyamu." Sahutku gelagapan.
Bima menggeleng,"Mana yang asli?"
Wajahku merah padam. Kukira Bima akan menelan mentah-mentah kata-kataku dan langsung mengambil hasduk barunya tanpa komentar. Apa susahnya mengambil hasduk baru, tanpa bekas darah? Kenapa Bima malah lebih suka hasduk lamanya? Aneh.
Aku malu sekali saat mengeluarkan hasduk lama Bima yang jadi belel dari dalam tas apalagi saat menjelaskan apa yang telah terjadi pada hasduknya. Bima mengambil hasduk lama yang kusodorkan lalu menunjukkan inisial namanya yang tertulis dengan spidol hitam dibagian pinggir belakang hasduk lamanya. Wajahku kini makin merah padam. Kok bisa-bisanya aku tidak sadar tulisan segitu gede. Saking malunya aku buru-buru menutupi wajahku dengan tas. Saat aku melirik wajah Bima, aku melihatnya tertawa.