Pak Bayu dan Pak Robi kembali menemui kepala sekolah. Kali itu mereka hanya pergi berdua. Meminta kami menunggu di rumah Bu Intan. Meski telah ditolak, mereka masih tetap berniat untuk membantu kami. Sesungguhnya merasa tak enak telah banyak merepotkan Pak Bayu. Namun ia mengaku ikhlas membantu. Mengatakan benar-benar turut prihatin hingga begitu memikirkan solusi untuk masalah yang kami hadapi.
Teringat kejadian sekitar satu tahun lalu. Keperawananku hampir saja terenggut oleh Pak Bayu. Untung saja tidak terjadi. Namun dari kejadian itu, aku terus mengingat pesannya untuk memberikan hanya kepada orang yang kuyakini. Beruntungnya, mungkin aku telah menyerahkan pada orang yang tepat, meski melalui cara yang salah.
***
Pak Bayu kembali. Ia tak sendiri. Tampak beberapa orang berseragam SMA menyertainya. Kami mengamati langkah mereka dari teras rumah Bu Intan. Seseorang berteriak memanggil.
"He, Sandy ... kumaha damang?" ucap salah seorang siswa.
Sandy tersenyum ceria ketika mengetahui yang datang bersama Pak Bayu adalah teman-temannya.
"San, kemarin abdi teh liat Sandy di ruang guru, tapi ga nyapa. Bisi ganggu," ucap Vera yang juga salah seorang teman Sandy.
Temannya bernama Gilang menambahkan. "Sehat kan? Lama ga keliatan khawatir kita euy."
Sandy tampak begitu senang melihat kehadiran teman-temannya yang mengaku mengkawatirkannya.
Seorang siswa bernama Andi berucap, "Kita khawatir. Kemana aja selama ini?"
Siswa siswi yang hadir mengerumuni Sandy, mereka tampak begitu mengkhawatirkan keadaan Sandy. Aku yang kurang mengenal mereka hanya mengamati.
Seorang siswi bernama Sari menoleh ke arahku, kemudian menyapa sambil mengelus perutku. "Gimana Sonia? Kandungannya sehat?"
Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Sandy berkata, "Terima kasih ya, kalian masih pada peduli sama kita."
Sari merespon, "Pasti dong, ini kita bawain makanan buat Sonia. Biar bayinya sehat."
Teman-teman wanita Sandy mulai bergiliran mengelus perutku. Menanyakan bagaimana kondisi kesehatanku serta bayi yang sedang ada dalam kandungan ini. Perhatian tulus terpancar dari sikap dan perbuatan mereka.
Pak Bayu menyaksikan kami berbincang-bincang sambil tersenyum. Aku merasa bahagia sekali saat ini. Mereka yang hanya sekilas kukenal karena hanyalah teman Sandy, tapi begitu peduli pada kami. Aku jadi semakin yakin bahwa Sandy memang orang yang baik di mata orang lain. Meskipun ia telah melakukan kesalahan fatal, tapi teman-temannya masih tampak sangat menghormatinya.
***
Teman-teman Sandy menyampaikan tujuan sebenarnya mereka datang menemui kami. Gilang berkata, "San, kita kan udah denger gosip dari guru-guru. Katanya kamu sama Sonia bakalan dikeluarin dan ga diizinin ikut ujian. Anak-anak club belajar sepakat mau dukung. Meminta kepala sekolah supaya kalian bisa ikut ujian."
Sandy masih bingung. "Gimana maksudnya?"
Gilang pun meneruskan penjelasannya. "Kita mau ngumpulin tanda tangan untuk vote Save Sonia Sandy. Semoga aja suara kita didengar."
Vera menjelaskan. "Kamu teh banyak berjasa San, untuk anak-anak yang bego-bego kayak kita-kita ini. Aku juga yakin banyak siswa siswi lain yang juga berterima kasih atas bantuan Sandy selama ini. Masa cuma gara-gara menghamili, terus ga boleh ikut ujian. Gimana masa depan Sandy nanti. Padahal Sandy siswa yang paling berprestasi di sekolah, tapi kok ga dikasih kelonggaran. Untuk itu kita mau dukung supaya sekolah bisa kasih kesempatan buat Sandy."
Sari menambahkan, "Iya, anak-anak aja respect sama Sandy, masa guru-guru enggak. Kepsek tau apa? Dia cuma bisa bikin peraturan aja."
Andi turut berkata. "Pokoknya kita akan bantu semampu kita."
Mendengar ucapan teman-temannya, Sandy meneteskan airmata. Ia tampak merasa sangat terharu atas dukungan mereka.
"Terima kasih ya, Abdi terharu pisan."
"Kita usahain ya, kalo ga berhasil juga pake tanda tangan, kita demo," ucap Gilang bersemangat.
Mereka tertawa bersama-sama. Aku menyaksikan teman-teman Sandy yang begitu solid. Membuatku tak mampu menahan airmata haru. Merasa senang untuk Sandy yang begitu dianggap penting oleh orang-orang disekitarnya.
***
Esok harinya, teman-teman Sandy dari club belajar mulai mengumpulkan tanda tangan. Awalnya kami pesimis, karena mungkin yang akan mendukung hanya siswa siswi yang mengenal dekat Sandy. Namun sungguh di luar dugaan, 80% siswa siswi dengan sukarela memberikan dukungannya pada kami. Alasannya pun bermacam-macam. Mulai dari alasan Sandy yang terlalu berprestasi tak layak untuk dikeluarkan, banyak sumbangsih Sandy ke sekolah, serta ada pula yang mengagumi kisah cinta kami.
Semakin tersebar luas di sekolah gosip tentang aku dan Sandy yang berjuang keras mempertahankan kandungan serta meminta diizinkan mengikuti ujian kelulusan. Di luar dugaan, mereka tidak menganggap rendah kami. Justru sebaliknya, mereka mengacungi jempol untuk sikap Sandy. Seorang pemuda yang mengakui kesalahannya dan tak lari dari tanggung jawab. Tidak malu menampakkan diri di sekolah untuk mengemis izin agar dapat memperoleh kesempatan menjalani ujian kelulusan.
Hampir tiap hari Sandy datang ke sekolah. Tak masuk, hanya menunggu di luar gerbang. Menyapa teman-temannya serta meminta kepada guru-guru agar mau mendukungnya membujuk kepala sekolah untuk mengizinkannya mengikuti ujian. Beberapa orang guru turut mendukung. Namun ada pula yang masih menyayangkan sikap Sandy. Menurut beberapa diantaranya kesalahan itu terlalu fatal, hingga tak dapat dimaafkan dan tak layak diberi kesempatan.
Menurut beberapa orang guru, keputusan mengeluarkan kami tak hanya ada di tangan kepala sekolah. Namun berbagai pihak di yayasan. Cukup rumit untuk mengatasi masalah ini, karena melibatkan berbagai pihak. Ada yang pro, tapi tidak sedikit yang kontra.
Meskipun belum juga diputuskan apakah kami boleh mengikuti ujian atau tidak. Namun Sandy tetap belajar dengan tekun. Ia terus mempersiapkan dirinya. Bahkan teman-teman dari club belajar datang ke rumah Bu Intan untuk minta diajari berbagai pelajaran sulit. Aku pun jadi ikut termotivasi. Untuk pertama kalinya aku sangat menikmati proses belajar. Turut belajar bersama mereka.
Bu Intan yang saat itu belum memiliki anak pun mengaku sangat senang rumahnya menjadi ramai sering dikunjungi. Ia sangat mendukung kami. Aku merasa dikelilingi oleh orang-orang baik. Merasa sangat bersyukur mengenal Sandy yang telah membawaku kepada berbagai kebaikan ini.
Sempat menghubungi Mawar dan Boy perihal kondisiku saat ini. Mereka mengaku khawatir hingga memintaku untuk tinggal bersama Mawar. Namun aku menolaknya. Mengatakan bahwa saat ini aku berada di tempat yang aman. Dikelilingi orang-orang baik. Meski tak ada ikatan darah.
***
Dua minggu sejak usaha teman-teman dan Pak Bayu sebagai mediator dijalankan. Akhirnya aku dan Sandy dipanggil oleh kepala sekolah. Kami memutuskan datang ke sekolah dengan menggunakan seragam sekolah. Meskipun tampak sangat aneh ketika diriku mengenakannya. Mengingat perut yang semakin membesar.
"San, aneh banget ya?"
Sandy menghibur. "Ga dong! Cantik kok."
"San, kamu ga malu?"
Sandy pun merespon pertanyaan yang telah berulang kali kutanyakan padanya. "Nanyanya itu mulu sih."
Aku merespon sambil cemberut. "Habisnya ...."
Sandy berucap sambil membelai-belai perutku.
"Ga malu kok, karena aku sayang kamu dan calon buah hati kita ini."
Aku pun membelai rambutnya. "Aku sayang kamu, Sandy."
Kami menuju ke sekolah berdua. Berjalan sambil bergandengan tangan. Sandy sama sekali tidak malu berjalan dengan siswi berseragam yang perutnya membuncit. Bahkan ia sangat berhati-hati memperhatikan tiap langkahku. Menjaga dengan sikap dan perilaku yang luar biasa bertanggung jawab. Tiap kali berpapasan dengan orang-orang yang melemparkan tatapan heran, ia malah membanggakan diri.
"Ini calon istri saya, dan ini calon buah hati tercinta," ucap Sandy membalas tatapan-tatapan sinis yang terlempar kearahku.
"Wah, parah ini. Masih sekolah udah melendung. Ga pantas dicontoh," respon beberapa orang yang melihat kami.
Sepanjang jalan, beraneka ragam reaksi orang yang kami temui. Namun Sandy terus berusaha menguatkanku. Menurutnya, tak usah pedulikan pandangan negatif dari orang-orang di sekitar. Fokus saja pada apa yang menjadi tujuan kami, yaitu memperbaiki kesalahan.
Tiba di sekolah, disambut riuh gemuruh suara siswa siswi.
"Sandyyy ... semangattt ... save Sonia Sandy ...."
Betapa terkejut dan terharunya kami melihat spanduk bertuliskan.
'Kesalahan fatal, bukan berarti harus menghancurkan masa depan mereka. Beri Sonia Sandy kesempatan!'
Riuh gemuruh suara siswa siswi yang menyambut kedatangan kami sungguh di luar dugaan. Entah apa yang telah dilakukan oleh anak-anak dari club belajar yang didirikan oleh Sandy. Sandy tersenyum ke arah mereka.
Melihat ke sekeliling, Sandy tersenyum dan meneteskan airmata.
"Terima kasih semuaaa ... terima kasih." Berteriak ke arah mereka.
Menatap dengan lembut, lalu menggandeng tanganku menuju ruang kepala sekolah. Suara teriakan siswa siswi dari berbagai sudut sekolah masih terus terdengar mengiringi langkah kami.
"Sandy ... Sonia ... Sandy ... Sonia ....."
Aku pun tersenyum kepada mereka. Sungguh tak pernah terbayangkan memperoleh dukungan yang begitu besar dari siswa siswi yang bahkan tidak kukenal. Membuatku menjadi sangat bersemangat untuk melanjutkan masa depan. Ini semua karena Sandy, ia yang membuatku jadi orang yang memiliki arah hidup. Setelah selama ini begitu terombang-ambing dalam kesendirian.
Tiba di ruang kepala sekolah. Pak kepala sekolah bertanya kepada Sandy. "Sandy, apa alasan kamu ingin ikut ujian?"
Sandy pun menjawab dengan tegas. "Masa depan Sonia dan Bayi yang sedang dikandungnya ada di tangan saya, Pak."
Pak kepala sekolah kembali bertanya. "Kamu sadar kesalahan kamu ini sangatlah fatal?"
Sandy pun menjawab dengan berani. "Saya sangat sadar Pak, tapi berilah saya kesempatan untuk sekedar lulus SMA. Saya ga akan menyia-nyiakan kehidupan saya setelah ini. Saya ga ngin putus sekolah dan saya ingin tetap melanjutkan cita-cita saya."
Pak kepala sekolah masih terus bertanya. "Setelah lulus, apa yang akan kamu lakukan?"
Sandy masih terus menjawab dengan penuh keyakinan. "Saya akan menikahi Sonia, mencari kerja, mencari beasiswa, apapun itu untuk tetap menjalankan tanggung jawab saya dan tetap mengejar cita-cita."
Pak kepala sekolah berkata, "Kamu siswa berprestasi Sandy. Saya heran, kenapa kamu bisa melakukan kesalahan sefatal ini?"
Aku ingin menyampaikan yang sebenarnya, bahwa sebenarnya akulah yang seharusnya paling bersalah. "Bukan salah Sandy Pak, Saya yang-."
"Kami salah Pak, kami tau kami telah melakukan kesalahan."
Aku tak dapat melanjutkan kata-kataku karena Sandy memotongnya. Ia memohon kepada kepala sekolah agar kami diizinkan untuk mengikuti ujian kelulusan hingga berlutut.
"Apakah seseorang tidak berhak memperoleh kesempatan untuk jadi lebih baik? Saya salah, saya mengakuinya, tapi apakah sistem tidak punya hati. Lihat Pak, di perut ini ada kehidupan. Bila saya harus putus sekolah, bagaimana nasib dia nanti?"
Pak kepala sekolah hanya memperhatikan tiap ucapan Sandy yang tampak begitu serius memohon agar diberi kesempatan.
"Bila Bapak memberi saya kesempatan, saya akan mengingatnya seumur hidup. Saya akan sangat berterima kasih. Izinkan saya mengikuti ujian kelulusan, Pak. Saya mohon."
Aku begitu sedih melihatnya melakukan hal ini, mengemis permohonan. Selama ini ia selalu bercerita padaku tentang cita-citanya yang begitu tinggi. Ingin menjadi seorang dokter dan menyelamatkan nyawa banyak orang. Ingin mendirikan sebuah rumah sakit dan berbagai cita-cita lainnya. Ia benar-benar seorang pemuda yang memikirkan masa depannya. Segala angannya tentang masa depan begitu mulia. Haruskah terhenti begitu saja?
Pak kepala sekolah memintanya untuk berdiri. "Berdirilah, siswa siswi lain sangat mendukungmu. Jangan kecewakan mereka. Raih nilai tertinggi di ujian kelulusan nanti."
Sandy tampak terkejut mendengar ucapan Pak kepala sekolah. "Ja- jadi, saya di izinkan ikut ujian, Pak?"
Pak kepala sekolah pun menjawab, "Ya."
Sandy meneteskan airmata bahagia dan berucap, " Terima kasih, Pak."
Sandy sontak memelukku dan mengecup keningku.
"Kita bisa ujian," ucapnya masih dengan memelukku.
Kepala sekolah mencegah apa yang sedang Sandy lakukan padaku. "Eh ... eh ... ingat! Di sini kalian tetap siswa siswi, ga dibenarkan adegan cinta-cintaan di lingkungan sekolah."
Sambil tersenyum bahagia Sandy pun menjawab, "Iya Pak, maaf ... maaf ...."
"Ya udah, mulai besok masuk sekolah lagi, kejar ketinggalan. Ujian tiga bulan lagi."
Sandy menjawab sambil mencium tangan Pak kepala sekolah. "Iya Pak, terima kasih banyak."
Sandy menggandengku keluar ruang kepala sekolah. Suara sorak sorai dan dukungan menyambut kami. Aku sungguh tak mengira akan terjadi hal baik seperti ini. Padahal bayanganku beberapa bulan lalu ketika mengetahui bahwa diriku hamil di luar nikah, siswa siswi di sekolah akan begitu mencemooh, tapi pada kenyataannya mereka malah bersikap sangat baik.
Bila bukan karena memandang Sandy, seorang siswa yang begitu dihormati siswa siswi lainnya. Hal baik ini tak akan terjadi padaku. Tanpanya aku hanyalah seorang gadis sampah yang menyia-nyiakan masa remaja. Betapa beruntungnya aku mengenal Sandy. Banyak hal yang telah ia contohkan melalui berbagai sikap dan perbuatannya. Aku menjadi semakin termotivasi untuk memperbaiki diri karenanya.
Sandy tampak sangat bahagia. Ia berlari ke tengah lapangan, diiringi riuh suara siswa siswi yang meneriakinya untuk memberi semangat.
"Semangat Sandyyy ... Semangaaattt ...."
Ia mengangkat kedua tangannya sambil berlari keliling lapangan, berucap dengan suara lantang. "Horeee ... aku bisa ujiaaan ... masa depan ga akan habis sampai di sini. Terima kasih semua ... selamanya akan kuingat jasa-jasa kalian. I love you Sonia ... I love you buah hatiku ...."
Bersambung ....