Viola dan Amarta masih berada di rumah Irene sampai malam. Saat Susan dan Amarta bersama memasak makan malam, yang lain sibuk duduk melingkar di atas karpet ruang tengah bermain kartu. Yang kalah akan dilumuri bedak oleh pemain lain. Dan kali ini, Luki lagi-lagi kena sial. Wajah laki-laki itu penuh bedak bayi—yang bahkan membuat bulu mata dan alisnya berubah putih.
Mereka berganti beralih ke meja makan saat makanan sudah siap, dan tercengang begitu mendapati banyak sekali piring-piring makanan tertata. Nasi, ayam teriyaki, ayam tepung, udang panggang, cumi saus asam manis, sup jamur dan asparagus, salad sayur—semuanya terhidang dengan uap yang masih mengepul. Dan yang terpenting, makanan-makanan itu terlihat amat cantik berkat dihiasi telaten.
"Kak Susan serius masak segini banyak?" tanya Abe tak percaya.
"Oh, anu.. ini tadi.." Susan kebingungan harus menjawab apa. Menu mereka malam ini hampir tidak melibatkan dirinya dan Irene. Susan hanya sempat beberapa kali memotong sayur untuk salad, lalu membuat jus semangka. Sisanya, Amarta yang punya kontrol penuh.
Tubuh gadis itu mungil—namun energinya tercurah penuh saat memasak. Dia terus-terusan bergerak riang sambil bersenandung. Senyumnya tidak pernah absen pada wajah cantiknya. Ketika semua makanan yang dia buat telah matang, Amarta menyeka peluh di dahi lalu melepas celemek. Saat itulah Susan tertegun betapa dia mengenal satu karakter yang "ajaib".
Amarta juga telah akrab dengan Loli dan Oreo sehingga sempat membuatkan keduanya biskuit dari sekepalan tangan daging yang tersisa.
"Silakan! Silakan!" ucap gadis itu ramah. Dia lalu mengambil duduk di sebelah Tiara, sementara Viola duduk di samping kiri.
Logan mengambil salah satu paha ayam goreng tepung dan langsung memakannya. Ketika gigi Logan beradu dengan renyahnya kulit tepung ayam, yang lain bersamaan menoleh. Bunyinya menggiurkan sekali sehingga Abe, Bagas dan Yanet sontak mengambilnya juga.
"Ini enak loh," kata Damar sembari menyendokkan ayam teriyaki ke piring Luki.
Susan melihat sewaktu Irene menyeruput kuah sup. Wanita itu langsung menyunggingkan senyum puas.
"Kamu makin pintar masak, Nak," puji Irene pada Amarta.
"Masak buat banyak orang rasanya beda sekali waktu di rumah," kata Amarta. Gadis itu mengambil udang yang ukurannya paling besar ke piring Tiara. "Kau suka seafood kan? Maaf, aku tidak bisa masak semur karena bahannya tidak ada..."
Tiara tertegun sesaat.
Hangat.. Dia bisa merasakannya, bahkan dari sendok yang tengah dirinya pegang. Amarta tampak sangat bersemangat memberi perhatian pada yang lain. Gadis itu selalu terlihat manis kapan pun. Di sisi lain, Viola bisa langsung membaur—bahkan dengan Luki. Tiara juga mendengarnya bercerita soal jadwal resital kecilnya bulan depan.
Mereka masih bercahaya, sementara Tiara kehilangan semuanya.
Obrolan seru makan malam itu tetap berlanjut, meski Tiara membisu sampai kebersamaan mereka berakhir.
***
Sepasang kembar itu berpamitan setelah jarum jam menunjukkan pukul sembilan lewat. Irene sempat mengusulkan mereka menginap saja, namun Viola menolaknya halus. Sementara yang lain mengantarnya hanya sampai di ambang pintu utama, Tiara tetap mengikuti mereka sampai ke mobil.
Amarta terlihat lelah dan kedapatan beberapa kali mengucek mata.
"Aku harus mengebut nanti," ujar Viola setelah memasukkan barang ke bagasi. Sebelum masuk ke dalam mobil, dia menghela napas saat melangkah mendekati Tiara. Tangan Viola terangkat, merapikan poni adiknya. "Kau tidak menceritakan apa pun padaku sejak tadi, ingat?"
"Aku tidak punya apa pun untuk diceritakan," balas Tiara berbohong. "Sampai rumah nanti, kabari aku."
Viola tersenyum hambar. Dia lantas berbalik, masuk ke dalam mobil. Di sisi lain, Amarta mengucek mata lagi—entah untuk yang ke berapa kali. Menyadari kalau dia harus masuk ke dalam mobil juga, gadis itu agaknya mulai celingukan bingung. Namun saat memandang Tiara lagi, senyumnya mengulas manis.
"Kami tetap menunggumu pulang ke rumah," katanya. Hanya dibalas dengan senyum samar, Amarta mulai beranjak. Akan tetapi sebelum dia membuka pintu mobil, gadis itu tiba-tiba teringat sesuatu. Dia mendadak mendekap erat Tiara, lalu berbisik, "'Don't lose your light, she said."
Tiara mengerjap. Pelukan Amarta terlepas sebelum Tiara mampu mencerna kata-katanya. Sayangnya, Tiara tidak sempat menanyakan apa pun lagi karena Viola telah melajukan mobilnya pergi.
Dia tahu? Tiara membatin sembari tersenyum menyedihkan.
Jendela ruangan tanpa penerangan di lantai tiga akhir-akhir ini selalu membuat Tiara gelisah. Entah laki-laki itu mengingatnya atau tidak, yang pasti Tiara tidak bisa berhenti memikirkan. Dia harus bicara lagi pada Ranan. Sebab Rananlah yang pada akhirnya berhasil meyakinkan Tiara supaya berpura-pura Bertha memang bunuh diri.
***
"Ini sudah mau seminggu Tiara nggak mau masuk sekolah..," ujar Susan. Gadis itu tengah memasukkan nasi ke mangkuk kecil. "Dia memang nggak takut kena sanksi?"
Irene menghela napas panjang sehabis memoles lipstik pada bibir bawahnya.
"Kembarannya saja nggak bisa, apalagi tante," katanya ringan. Dia berlagak tersentak sewaktu melihat jam di ponsel. "Oh, tante musti berangkat sekarang. Jangan lupa antar makan siangnya Ranan ya! Dah!"
"Ini juga mau diantar..," gumam Susan tidak mengharap wanita satu itu akan mendengar—karena dia sudah lebih dulu beranjak pergi mengikuti acara senam ibu hamil. Gadis itu menggumamkan sesuatu lagi saat menaruh ikan fillet ke piring kecil, bergabung dengan nasi dan sup di atas nampan.
Saat itulah Tiara menghampirinya.
"Oh, Tiara. Lapar? Mau makan sekarang?" tanya Susan.
Tiara tersenyum menggeleng. "Ini untuk siapa?"
"Buat Ranan. Aku mau antar ke kamarnya."
"Biar aku saja."
Susan mengerjap lalu memandang Tiara heran. Gadis itu sempat berpikir dirinya salah dengar. Namun nada yang tersirat di wajah Tiara membuat Susan tertegun.
"Kamar Ranan di lantai tiga loh. Bukannya tangan kamu masih sakit?"
"Sekalian olahraga," balas Tiara. Bahkan sebelum Susan mengiyakan, dia rupanya lebih dulu membuka kulkas lalu mengeluarkan segelas sherry trifle. Baru setelah itu dia menyahut nampan dan berlalu.
Lantai tiga seperti biasa sunyi. Biarpun terang, suasananya tidak jauh berbeda seperti sewaktu malam hari—saat pertama kalinya Tiara datang ke sana. Lampu bermodel lampion menempel di permukaan vertikal dinding. Lampu itu mungkin tidak pernah dimatikan, buktinya di siang bolong begini pun masih menyala.
Susan pernah bercerita kalau Ranan sangat membenci suara berisik—biarpun hanya secuil. Satu gerakan sepele yang didengarnya mungkin bisa langsung membangunkan laki-laki itu. Kalau sampai terjadi, Ranan akan semakin menakutkan—tambah pemarah juga kasar. Mungkin oleh sebab itulah, seluruh lantai tiga tertutup penuh dengan karpet—supaya langkah kaki orang yang mendekat dapat sedikit teredam.
Tiara menelan ludah saat dia akhirnya sampai di depan pintu kamar Ranan. Tangan kirinya membawa nampan, sehingga dengan tangan kanan gadis itu mengetuk. Tiara memberanikan diri membukanya tanpa sahutan dari Ranan.
Ruangan itu kosong. Pandangan Tiara memutar setelah dia meletakkan hati-hati nampan tadi ke atas meja. Sepasang matanya menyipit saat melihat sosok belakang berkemeja hitam itu sedang berdiam di balkon. Pelan, meski ragu, Tiara mendekatinya—memastikan laki-laki itu sedang tidur atau tidak.
"Sedang apa?"
Tiara sontak tersentak. Padahal belum ada satu meter jarak yang tersisa darinya dan Ranan, namun rupanya laki-laki itu bisa tahu. Ditambah lagi, bukannya Tiara tidak menimbulkan bunyi sewaktu membuka pintu tadi?
"Mengantar makan siangmu," jawab Tiara takut-takut.
Ranan memutar kemudi kursi roda sehingga bisa berbalik menghadap gadis yang seenaknya masuk ke kamarnya. Mata tajam laki-laki itu tidak berubah. Dia mengernyit tidak suka kala menatap Tiara. Roda kursinya lantas bergerak masuk, kemudian berhenti saat berada di depan komputer.
Ranan tidak mengatakan apa-apa dan lebih memilih memberi perhatian pada komputer.
Kaku, Tiara duduk di pinggir ranjang Ranan. Tiara pernah berbaring di sana sebelumnya, jadi gadis itu menyimpulkan kalau benda itu tidaklah terlarang digunakan orang lain. Setidaknya Ranan tidak langsung berbalik menghadapnya, lalu memasang wajah menakutkan dan memerintahkan keluar.
"Bantu aku," kata Tiara kemudian. "Kalau tawaranmu masih berlaku.. aku bisa lakukan apa pun."
Ranan menoleh dengan tubuhnya yang masih menghadap komputer.
"Wise." Dia berkata. Tidak acuh, kalimat Ranan selanjutnya diucapkan tanpa menatap Tiara lagi. "Kapan kau akan kembali sekolah?"
"Darimana kau tahu aku tidak masuk sekolah akhir-akhir ini?"
"Kalau ada orang keluar masuk rumah ini, aku akan langsung tahu," jawab Ranan.
"Ah.." Tiara mengangguk-angguk percaya. "Aku berniat ke sekolah lagi hari Senin.."
Hening. Ranan membiarkan keheningan panjang menyelimuti mereka. Bahkan dia mungkin lupa kalau tidak sedang sendirian.
"Jadi.." Tiara berucap lagi karena merasa urusannya belum selesai. "Apa yang harus aku lakukan?"
"Aku harus mengulang lagi semuanya, atau kau hanya ingin diingatkan?"
Gawat. Sepertinya pertanyaan Tiara justru membuat kekesalan Ranan bangkit. Laki-laki itu memang telah memaparkan keseluruhan sarannya pada Tiara beberapa waktu yang lalu. Di saat yang sama saat batin Tiara belum membaik, juga saat pertama kalinya Tiara melihat Ranan menjelma menjadi seseorang yang begitu menakutkan dan jahat. Hal yang terpenting—kata Ranan waktu itu penuh penekanan, Tiara akan mengikuti semua arahannya tanpa banyak bertanya.
"Ma—maksudku.. selain kata-katamu dulu..," tanggap Tiara tergagap. Selain berpura-pura meyakini kalau Bertha bunuh diri. "Kau tidak bilang secara spesifik apa yang harus aku lakukan."
Ranan diam cukup lama hingga membuat Tiara merasa tidak enak hati. Jawaban Ranan terlontar tepat saat dia memutuskan akan pergi.
"Tidak ada," kata Ranan pelan.
"Apa?"
"Jangan lakukan apa pun. Jalani aktivitasmu seperti biasa." Karena dia akan mendatangimu sendiri nantinya, batin Ranan.
"Aku mengerti." Gadis itu mengangguk.
"Dan satu hal..." Kalimat Ranan kali ini menggantung di awal. "Hati-hatilah pada orang yang sangat dekat denganmu, atau mencoba mendekatimu."
"Siapa yang kau maksud?"
"Pergilah. Mereka akan curiga kalau kau terlalu lama ada di sini."
Ranan menghalau begitu saja rasa penasaran Tiara, sekaligus menyuruhnya pergi. Gadis itu lalu berdiri kaku dan melangkah keluar. Namun sebelum melakukannya, dia menyampaikan satu lagi hal pada Ranan—sama sekali tidak berhubungan dengan topik yang mereka bicarakan barusan.
"Jika kau tidak keberatan.. makanlah sekarang," saran Tiara gugup. "Adikku membuat sherry trifle. Lebih baik dimakan selagi dingin."
Sesuai dugaan Tiara, Ranan tidak menggubris. Laki-laki itu cukup tahu bunyi pintu dibuka dan ditutup kembali. Tidak disangka dia akhirnya memutar kursi rodanya, melihat ke arah nampan makan siang. Matanya menyipit sembari membatin.
Tidak ada zat beracun dalam makanan itu bukan?
***
Sofi baru saja selesai mengembalikan buku-buku yang dia pinjam dari perpustakaan ketika Diah dan Selin menghadangnya di belakang laboratorium fisika. Gadis itu tersentak, menggigit bibir, juga meremas kain rok. Sementara itu baik Diah dan Selin melemparkan senyum mengejek.
"Pantesan dicari di teater nggak ada. Tahunya mampir ke perpus," ujar Diah. "Mana uangnya? Dulu lo bilang bakal bawa Senin kan?"
"Maaf, aku nggak bisa kasih kali ini."
"Lagi?!" Suara Selin meninggi. Dia mendorong kasar bahu Sofi. "Ini sudah lewat berapa hari? Lo pikir gue pabrik uang apa? Gue juga butuh!"
Tidak bisa lagi.., batin Sofi lirih meski dalam hati. Dia tidak akan sanggup lagi mencuri uang hasil tabungan ibunya untuk diberikan pada anak-anak itu. Sampai kapan mereka akan terus memerasnya? Kapan mereka akan berhenti mengganggunya?
Gadis itu memekik seketika saat tangan Diah menjambak rambutnya.
"Lo nggak lupa kan kalau lo sampai bikin gue hilang kesabaran?" tanya Diah penuh ancaman. "Kalau lo udah nggak peduli, nggak apa-apa. Gue cuma rugi uang doang. Oh, ditambah buat cetak foto buat dipasang di mading nanti ya."
"Udah, pasang aja," tambah Selin memanasi. "Biar sekalian dia dikeluarin."
Jambakan Diah semakin erat sampai bulir air mata Sofi menitik akibat menahan sakit. Namun sebelum tangisannya tidak terbendung, tiba-tiba seember air diguyur langsung ke kepala Diah hingga gadis itu menjerit. Sekujur tubuhnya basah kuyup—termasuk kaus kaki dalam sepatunya yang baru. Sontak, mereka menelengkan kepala pada si Pelaku yang justru tengah menatap polos.
"Kurang ajar banget lo!"
Saat tangan Diah terulur hendak menjambak rambutnya juga, perut gadis itu lebih dulu ditendang hingga tubuhnya terjungkal—nyaris terperosok ke parit.
"Be careful, girls..," ujar Tiara tanpa minat. "I can use my foot so well.."