Seven Deadly Fools (Jilid 2)

By Al-Fayoum

3.7K 742 254

Banyak cerita yang mengisahkan tentang seorang manusia atau iblis yang memiliki kekuatan hebat dan berakhir m... More

BAB 0 - DICOBA DULU DEH...
BAB I - AYAM MANDUL DARI TIMUR
BAB II - WAFATNYA JHONY
BAB III - PASUKAN MISIONARIS ILEGAL
BAB IV - MAK EROT
BAB V - ASSASSIN DAN 2 ORANG GILA
BAB VI - KAKAK YANG TAK BERGUNA
BAB VII - SADAKO YANG KELUAR DARI BAK SAMPAH
BAB VIII - LAKI-LAKI KEGUGURAN
BAB IX - PUTRI YANG KELUAR DARI KUBANGAN
BAB X - ORASI
BAB XI - TUJUAN MANUSIA HIDUP?
BAB XII - FARAM & NEILA
BAB XIII - KAISAR ADA DI MANA?!
BAB XV - CAIRAN ANTI-SIHIR
BAB XVI - DEMONSTRASI ITU KURANG KERJAAN
BAB XVII - ORANG YANG MENYEMBAH ADIK
BAB XVIII - ALTER EGO
BAB XIX - MANUSIA ADALAH MAKHLUK YANG BERKEMBANG
BAB XX - ITHURIEL
BAB XXI - BUANG DAHAK SEMBARANGAN
BAB XXII - TEKNIK MENYERET LAWAN KE NERAKA
BAB XXIII - PENDEKAR DENGAN SEBATANG SILET
BAB XXIV - RASIONALITAS
BAB XXV - ZEFON
Epilog - Awal dari Akhir
Kata Penutup - Saya Minta Maaf!

BAB XIV - KAKAK PERTAMA YANG GILA

116 25 5
By Al-Fayoum

#Bagian 1_Emilia Rosalia

"Yah... sebenarnya aku sudah tahu masalah ini. Dua anak itu—Yakov dan Hafya—memang tak pernah memberitahuku, tapi kemarin ibu mereka meneleponku. Hmm... aku tidak terlalu ingat detailnya... tapi aku kira dia menyuruhku untuk menghajar suaminya... atau begitulah. Aku datang ke sini untuk bertemu dengan Hafya, tapi entah kenapa aku malah berakhir sibuk makan bandos."

"A-ah..."

"Nah, kalian..."

"Huh?"

"Siapa nama kalian tadi? Emi... Emiron dan Lalatina?"

"Emilia dan Latifa, Kak."

"Ah! Benar-benar! Itu. Emilia, Latifa, apa kalian ingin bandos? Ini enak, lho. Emm... aku tidak tahu resep rahasia apa yang digunakan emang-emang itu sampai membuatku teralihkan dari misi ini. Huh? Ah! Tenang saja! Aku yang traktir!"

Dan kami pun makan bandos bersama seorang wanita yang mengaku sebagai kakak Yakov.

Sungguh orang yang aneh!

Namanya Alya, Alya Elazar. Dia memiliki wajah yang sangat mirip dengan Hafya. Meski begitu, rambutnya yang diikat buntut kuda memberinya kesan tomboi yang berlawanan dengan kesan feminin adik perempuannya. Dia memakai jaket parasut dan sepatu bot. Ditambah dengan ransel besar di punggungnya, Kak Alya benar-benar mirip seorang pendaki yang nyasar ke kota.

Aku selalu penasaran, kenapa Yakov begitu terbiasa ketika berhadapan dengan orang-orang aneh macam Kak Alma atau anak buahnya. Tapi sekarang semua itu terjawab. Rupa-rupanya Yakov memang sudah dilahirkan dari rahim yang dulunya pernah mengandung orang aneh.

"Nah! Emi!" panggil Kak Alya penuh semangat. Dia menepuk pundakku dengan keras sampai-sampai kacamataku hampir terjatuh.

"E-Emi...?" ini pertama kalinya aku dipanggil seperti itu.

"Kau tahu? 'Emilia' itu bukannya nama half-elf yang jadi heroin-nya Subaru di Re;Zero? Entah kenapa rasanya aneh. Jadi aku panggil Emi saja! Tak keberatan, bukan? Kalau tidak, ini dia! Bandos milikmu!"

"A-ah... terima kasih."

"Ini juga! Bagian Latifa."

"Te-terima kasih banyak!"

Mulanya aku sedikit terganggu dengan tingkah Kak Alya ini. Dia adalah kakak dari Yakov dan Hafya, tapi entah kenapa, dia bersikap sangat santai seolah-olah masalah keluarga yang rumit ini bukanlah apa-apa. Akan tetapi, segala kesan itu segera berubah kita dia memasang wajah seriusnya.

Ya, sangat serius.

Tatapannya amat tajam dan ekspresinya luar biasa dingin. Kaget akan hal ini, aku dan Latifa segera terdiam untuk sejenak. Ah... entah kenapa aku jadi teringat Yakov yang sedang berpidato. Mungkinkah semua keluarga Elazar memang memiliki bakat dalam memengaruhi suasana?

"Jadi..." ujar Kak Alya dengan nada datar, "kenapa kalian ada di sini?"

Aku menegakkan punggung dan menatap langsung ke arah lawan bicaraku. "Seperti yang tadi kami ceritakan, kami sedang mencari Yakov. Dia pindah dari sekolahku secara mendadak, dan ada banyak orang yang masih butuh..."

"Tidak. Yang itu aku sudah dengar." Baik ekspresi atau nada bicara Kak Alya benar-benar serius. Hal ini membuat suasana jadi terkesan ngeri dan menakutkan. "Yang aku tanyakan, apa tujuan kalian setelah bertemu dengan Yakov? Membawanya kembali ke sekolahmu? Cuma sekadar bicara? Atau memaksanya menanggung beban yang lebih berat?"

"...!" dari sana, aku tak kuasa untuk berbicara.

"Dia ada dalam masalah besar sekarang, makanya dia bersembunyi dari orang-orang yang bisa menimbulkan masalah lain untuknya."

"Kak..."

"Aku memang orang yang sangat santai dan kurang pedulian. Meski begitu, jika masalahnya menyangkut kehidupan adik-adikku yang lucu, bahkan Tuhan pun takkan kubiarkan mengganggu mereka."

Sungguh, hubungan saudara macam apa ini? Kulihat wajah Latifa memucat setelah mendengar apa yang Kak Alya katakan. Sepertinya wanita ini sedang berusaha melindungi adiknya—Yakov—dari masalah lain yang dapat memperparah situasinya.

Jawabanku akan sangat memengaruhi sikapnya nanti.

Menarik napas dalam-dalam, aku pun mencoba menyusun kata-kata yang cocok di dalam pikiranku. "Kak Alya..."

"Hmm?"

"Aku datang menemui Yakov memang bukan untuk membantunya. Dan bahkan, bisa dibilang aku ingin melempar sebuah tanggung jawab yang lumayan berat ke pundaknya. Aku tahu dia sedang ada dalam masalah. Dan bahkan, itu merupakan masalah keluarga yang tak pantas kami campuri. Meski begitu..."

"...?"

"Meski begitu, aku akan terus ikut campur bahkan walau Kakak menghalangi. Aku akan kembali mencari Yakov meski Kakak tak mau memberi informasi. Aku akan membuatnya kesusahan dengan beban yang akan aku berikan padanya."

"Kenapa?"

"Karena kami membutuhkannya."

"..."

"...?"

Untuk beberapa detik, aku dan Kak Alya saling menatap dalam keheningan. Latifa yang melihat situasi itu menjadi agak panik dan mencoba menenangkan kami. Meski begitu, daripada membalas perkataanku, Kak Alya malah menepuk kepalaku dan menguceknya dengan keras.

"Heee... kau pandai bicara. Mirip Yakov saja."

#Bagian 2_Emilia Rosalia

Beberapa menit kemudian, aku, Latifa, dan Kak Alya mulai angkat kaki. Tujuan kami adalah rumah Yakov. Tapi bukan untuk bertemu dengan Yakov. Kami datang ke sana untuk bertemu dengan Raja Iblis... atau setidaknya... itulah yang Kak Alya bilang.

"Uwah... leganya punya teman. Emi tahu? Tadinya aku pikir aku harus menghadapi Raja Iblis itu sendirian. Padahal lihat sendiri! Aku ini begitu lemah dan tak berdaya."

"Ra-Raja Iblis?! Ki-kita akan berhadapan dengan Raja Iblis?!" Latifa berteriak panik seolah dia menganggap perkataan Kak Alya itu serius. Dan sepertinya, dia memang menganggapnya serius.

"Iya! Benar! Tapi Latifa tenang saja. Karena sekarang kita punya Emi! Emi akan melakukan sesuatu dengan Raja Iblis itu!"

"Eh? Aku?"

Ya ampun. Sedurhaka apakah anak yang memanggil ayahnya sendiri dengan sebutan Raja Iblis? Lagi pula kenapa aku harus berhadapannya dengannya? Memangnya aku ini laki-laki yang sedang melamar seorang gadis?!

Meski begitu, Kak Alya bersikukuh untuk bertemu terlebih dahulu dengan ayahnya. Dia bilang, soal Yakov itu gampang, yang sulit adalah menuntaskan akar masalahnya. Hal yang membuat Yakov selalu terikat dan tak pernah bebas bertindak.

"Yakov itu anak yang dibuang," ujar Kak Alya, mulai menjelaskan titik dari masalah ini. "Hmm... benar, bisa dibilang dia itu Lucifer."

"Lu-Lucifer?"

"Dia adalah anak yang baik. Dia amat pekerja keras dan ingin selalu dibanggakan oleh kedua orang tuanya. Dia tak pernah menyerah. Meski begitu, ayahnya hanya menghargai hasil. Meski Yakov sudah berjuang mati-matian, tapi jika dia tak memenuhi hasil yang diharapkan, dia tetap akan tersisihkan."

Mendengar hal itu, aku jadi teringat pembicaraanku dengan Yakov di gudang beberapa hari yang lalu.

"Oleh karena itu, Yakov berhenti berusaha dan masuk ke sekolah yang penuh berandalan macam SMA Yayasan Livia, ya?" gumamku.

"Emm! Benar. Dia mencoba lari dari kenyataan. Dia sudah cukup berjuang, jadi dia memang pantas mendapatkannya. Aku juga ikut membantunya untuk kabur."

Menoleh pada Kak Alya, aku mengernyitkan keningku. "Tapi kalau begitu, kenapa dia harus pindah?"

"Yah... entah kenapa, percaya atau tidak, di keluarga itu benar-benar tren hubungan antar saudara."

"A-apa?"

"Hafya mengagumi kakaknya, Yakov. Dia sangat mengaguminya meski Yakov bukanlah orang pintar ataupun populer. Saking mengaguminya! Bahkan dia hampir terjerumus dalam kisah cinta terlarang!"

"E-eeeeh..."

"Begitu juga dengan Yakov. Dia sangat menyayangi Hafya. Dia selalu saja memanjakan adiknya itu seolah-olah dia adalah pria menyedihkan yang tak punya kenalan wanita lain dalam hidupnya. Hmm... aku rasa bahkan lebih dari itu." Menoleh padaku, Kak Alya membuka matanya lebar-lebar seolah dia terkejut dengan perkataannya sendiri. "Dia bahkan rela memotong tangan dan kakinya demi Hafya."

"Tu-tunggu!"

"Eh?"

"Sebenarnya aku selalu bingung dengan hal ini. Kenapa Yakov begitu menyayangi adiknya? Bukannya akan lebih logis bila Yakov merasa iri pada Hafya?"

"Hu-uh... hmm... kenapa, ya? Mungkinkah karena cinta?"

"..."

"Entahlah. Ada sesuatu yang selalu disembunyikan Hafya dan Yakov dariku. Mungkin saja semacam Hafya sedang mengandung anak Yakov atau sebenarnya mereka berdua itu bukan saudara kandung."

"A-apa?"

"Mungkin. Hanya kemungkinan."

Entah kenapa orang ini begitu tak bertanggung jawab atas pekataannya. "A-ah... lupakan soal itu. Pokoknya, kita tahu kalau Hafya sangat mengagumi Yakov, dan Yakov juga sangat menyayangi Hafya. Jadi pertanyaan utamanya adalah, kenapa Yakov harus pindah sekolah?"

"Hafya berharap bisa selalu bersama kakaknya. Oleh karena itu, dia ingin bersekolah di SMA yang sama dengan Yakov. Tapi tentu saja ayah kami tak mengizinkannya. Bagi Raja Iblis, SMA Swasta Yayasan Livia Utara itu bagaikan tong sampah... tidak... kloset... tidak... septictank! Ya! Bagaikan septictank yang isinya cuma kotoran dan kuman."

"Se-septictank... tidakkah itu keterlaluan..."

"Tentu saja tidak! Bahkan itu masih kurang hina."

"..."

"Oleh karena itu, Yakov mencoba membuat sekolahnya sendiri menjadi lebih baik."

"Eh?"

"Makanya dia mencalonkan diri jadi ketua OSIS."

Dari sana, aku segera paham.

Jadi itu alasan Yakov menyatukan para berandalan dan berencana membangun sekolah dalam konsep yang nonkonvensional? Aku memang pernah mendengar kalau Yakov melakukan semua ini demi adiknya, tapi aku baru paham sekarang.

"Lalu!" tiba-tiba, pertanyaan lainnya mendatangi pikiranku. "Kenapa Yakov dipindahkan? Bukannya dia sudah berhasil membangun sekolahnya? Konsep yang dia miliki memang tidak normal, tapi itu tetap luar biasa. Bila berhasil, bukannya akan menjadi terobosan bagi sistem pendidikan?"

"Tentu saja bagus! Asal tahu saja, saat dia berpidato, aku juga ada di sana." Kemudian, Kak Alya mengangkat jari telunjuknya seolah mencoba mengingatkanku akan sesuatu. "Tapi Yakov lupa dengan tujuan utamanya."

"...?"

"Dia membangun sistem ini bukan untuk Hafya, melainkan untuk dirinya sendiri. Bukan untuk orang pintar, melainkan untuk orang yang mau berusaha. Bukan untuk orang yang ahli dalam teori, tapi untuk orang yang berani ambil risiko."

Ah... benar.

Sistem yang dibilang Yakov memang sangat cocok untuk para berandalan yang tak menyukai pelajaran dan formalitas. Tapi bagaimana dengan adik Yakov? Bagaimana dengan Hafya? Bukannya gadis itu adalah tipe orang yang lebih pandai dalam menghadapi persoalan dalam kertas daripada persoalan dalam kehidupan?

Kenapa Yakov sampai melupakan itu?

"Oleh karenanya, dia gagal dalam pertaruhan dan sekarang harus menanggung akibatnya sendiri."

"Akibat...?"

"Ayah kami memindahkannya ke sekolah elit. Kalau tidak salah, namanya itu... SMA Negeri Tirta Amarta. Yah... memang tak seelit sekolah internasional, tapi itu puluhan kali... tidak... miliaran kali lebih baik dari SMA Swasta Yayasan Livia Utara yang isinya cuma orang gila."

"A-ah..." aku kira aku tak bisa menyangkalnya.

"Ahahaha! Meski begitu, orang gila memang lebih menarik daripada orang pintar! Mereka tak terlalu serius dalam menanggapi persoalan dan selalu membuat segala situasi menjadi lelucon." Menoleh ke arahku, Kak Alya kemudian menarik sudut bibirnya hingga membentuk sebuah senyum lebar. "Aku kira Yakov lebih bahagia hidup bersama-sama orang seperti itu!"

"Tapi... bagaimana Yakov bisa masuk sekolah seperti itu?"

"Lewat jalur belakang, tentunya. Uang. Ayahku itu super kaya, kaum borjuis! Kapilatism, ho! jadi jangan remehkan dia."

"Apa Yakov tak bisa melawan? Bukannya selama ini dia selalu melawan ayahnya?"

"Hmm... sayangnya memang tak bisa."

"Kenapa?"

"Karena percaya atau tidak... untuk kali ini... memang Yakov lah yang mengajukan diri untuk pindah sekolah."

Mendengar hal itu, aku segera terbelalak. "Kenapa?! Bukannya tadi Kakak bilang kalau Yakov akan lebih bahagia hidup bersama anak-anak dari SMA Livia?"

"Kau tidak dengar, ya? Tadi juga aku bilang, kalau Yakov sangat menyayangi adiknya, Hafya. Dia itu pengidap sister compelx stadium akhir! Pecandu pakaian dalam adik perempuan! Mana mungkin dia akan membiarkan Hafya bersekolah di kubangan kotoran macam SMA-mu itu?"

"A-ah..."

"Walau bagaimana pun, Hafya tak mau menyerah dan tetap ingin bersekolah di SMA yang sama dengan kakaknya. Bisa dibilang, itu harga mati. Oleh karena itu, ayah kami, daripada memaksa Hafya untuk mengubah pikirannya, lebih memilih untuk memindahkan Yakov saja ke sekolah yang lebih baik."

"Tidak mungkin. Kalau begitu, bagaimana dengan Hafya sendiri? Apa dia membiarkan Yakov sengsara hanya karena keinginan egoisnya?"

"Dia juga sudah melancarkan protes, tapi itu malah memperburuk situasi."

"...?"

"Di hari pertama Yakov pindah, Hafya menginap di kosan Yakov dan tak mau pulang. Oleh karena itu, ayah kami menyuruh Yakov untuk kembali tinggal di rumahnya. Dengan begitu, Hafya tak punya pilihan lain selain ikut pulang juga." Menengadah ke langit, Kak Alya menatap awan yang bergerak lambat dengan pandangan sendunya. "Padahal, yah... kau tahu? Yakov sangat membenci rumah itu."

Apa-apaan dengan situasi rumit ini?

Kalau begitu ceritanya, yang jadi akar masalah ini bukanlah ayah Yakov semata. Hal yang membuat Yakov dibuang. Hal yang membuat perjuangan Yakov sia-sia. Hal yang membuat Yakov pindah sekolah. Hal yang membuat Yakov kehilangan tempat tinggalnya. Itu semua bukanlah hanya karena ayah Yakov.

"Emi... bagaimana? Apa kau sudah mengetahui siapa sebenarnya akar masalah dari persoalan ini?"

Menoleh pada Kak Alya, aku membuka mulutku dan menjawabnya tanpa ragu. "Hafya."

#Bagian 3_Yakov Elazar

〘Apa-apaan dengan sekolah yang membosankan ini?!〙

〔Tak ada keributan, tak ada kekonyolan, dan tak ada hiburan.〕

(Semua orang belajar dengan sungguh-sungguh tanpa memikirkan kesenangan.)

《Tak ada kekerasan.》

{Yah, walaupun makanannya di sini enak-enak, sih}

「Sama sekali tak ada orang malas di sini!」

[Benar-benar sekolah yang tak normal.]

Aku tidak tahu kalau standar iblis, tapi terimalah kenyataan. Untuk manusia, inilah yang disebut kehidupan remaja yang normal dan sehat. Justru berandalan SMA Livia lah yang harusnya disebut aneh! Bagi sekolah itu, cuma bertahan sampai saat ini pun sudah bisa disebut keajaiban dunia.

〘Ngomong-ngomong, Yakov...〙

Hmm? Kenapa?

〘Apa kau tak apa-apa bersekolah di sini? Bukannya kau lebih menyukai berkumpul bersama orang-orang gila dan dihina terus menerus oleh guru-gurumu yang biadab itu?〙

Siapa yang bilang begitu?! Kenapa aku harus bahagia ketika dihina orang?!

Sungguh prasangka yang keterlaluan.

"Yakov?"

"Ahn?" menoleh ke samping, aku menemukan seorang gadis berkacamata sedang berdiri sambil melipat tangannya di dada. "Ada yang bisa saya ban..."

"Mohon bantuannya."

"A-ah... emm... ya, tentu saja." Entah bagaimana, sepertinya gadis ini telah ketiban sial. Pasalnya, dalam pelajaran matematika, ada sebuah tugas yang harus dikerjakan secara kelompok. Dan gadis ini satu kelompok denganku. Meskipun tak terlihat, aku bisa merasakan bahwa gadis ini sedang kesal.

Mohon maafkan hamba yang sudah mempersulit hidup Anda!

Kalau boleh tahu, siapakah gerangan nama Anda?

〘Asmodeus.〙

Bukan namamu, tapi gadis yang mirip Emilia ini.

〘Ah... eng... Tifani.〙

Apa-apaan itu? Orang barat? Nama yang aneh.

《Aku sangat yakin kalau 'Yakov' itu jauh lebih aneh lagi.》

Bergeser ke samping, gadis bernama Tifani itu kemudian mempertemukanku dengan gadis lain yang ternyata sedari tadi bersembunyi di belakangnya. Dia adalah seorang gadis mungil. Kesannya itu mirip dengan Hafya, hanya saja memiliki rambut yang agak kemerah-merahan.

Apa-apaan itu? Orang barat? Rambut yang aneh.

〔Kenapa kau harus menghubungkan segala sesuatu yang aneh dengan orang barat?〕

〘Sebagai keterangan, nama gadis yang satunya lagi itu, Kamila. Bukan orang barat.〙

Heh? Mungkinkah kau tahu semua nama-nama murid di kelas ini?!

〘Yah... tidak semuanya juga. Hanya wanita.〙

A-ah... aku rasa aku tak akan heran.

〘Tapi, Yakov! Kau tahu?! Di sekolah ini ternyata memang ada orang barat! 〙

Hah?

〘Dia punya rambut kuning! Kalau tidak salah, dia ada di kelas X-A. Namanya Sintia.〙

Kenapa yang orang barat memakai nama orang timur, sementara yang orang timur memakai nama orang barat? Lagi pula rambut kuning itu tak menjamin seseorang adalah orang barat. Bisa saja dia mengecatnya atau semacamnya. Kau ingat? Pervertman punya rambut berwarna kuning, tapi dia bukan orang barat. Hmm... atau bahkan sudah bukan orang lagi!

(Entah kenapa kalian malah jadi membicarakan orang barat. Oi, Yakov! Jangan mengabaikan gadis yang ada di depanmu! Aku tidak tahu maksudnya, tapi dia sepertinya ingin memberikan surat padamu.)

Surat?!

Saat aku kembali menoleh pada gadis berambut kemerah-merahan, kulihat dia yang sedang menyodorkan sebuah amplop berwarna merah muda dengan wajah yang merah padam. Aku yang terkejut atas perlakuan ini, hanya bisa terpana sambil merasakan pipiku yang memerah.

(Selesai dengan 'orang barat', sekarang berganti ke 'merah'.)

Oke, singkat cerita saja, aku pun menerima amplop itu yang rupa-rupanya adalah sebuah surat cinta. Setelah kedua gadis tadi pergi, aku segera membukanya dan membacanya di tempat. Isinya sungguh membuatku terpana.

Apa-apaan dengan warna yang feminin ini?

Apa-apaan dengan tulisan yang romantis ini?

Apa-apaan dengan kertas yang beraroma parfum ini?!

Benar-benar...

Ya ampun...

Aku harap kalian memperlakukanku dengan jahat saja.

〘Tuh, kan! Sudah aku bilang!〙

Ketika aku dipindahkan ke sekolah ini, aku selalu mengira-ngira kalau aku akan diperlakukan secara dingin dan kejam. Sungguh! Pasalnya, coba pikirkan saja! Aku pindah di waktu yang amat ganjil. Aku masuk sekolah ini lewat jalur belakang. Semua orang sudah tahu kalau aku pindahan dari SMA Livia yang muridnya terkenal pada sinting. Dan yang paling parah, berbeda dengan mereka, aku tak terlalu mahir dalam belajar.

Meski begitu, rupa-rupanya aku terlalu naif.

Anak-anak di sekolah ini sangat sibuk mengejar nilai, jadi mereka tak punya waktu untuk mem-bully-ku. Kau tak akan pernah mengira betapa malunya aku sudah berprasangka buruk pada mereka.

Dan lagi, sekarang aku menerima surat cinta!

Cobaan yang hebat.

Sebaiknya aku mesti segera membuangnya sebelum Ketua... bukan, aku bukan anggota Klub Okultis Ilegal lagi, ya? Kalau begitu ralat.

Sebaiknya aku mesti segera membuangnya sebelum Alma menemukan benda ini dan memperkosaku atas tuduhan perselingkuhan.

Sungguh mengerikan.

Menghela napasku dalam-dalam, aku merebahkan kepalaku di meja. Sungguh perasaan yang membosankan. Biasanya aku selalu bersyukur ketika rasa bosan datang, tapi sekarang tidak lagi. Kenapa, ya?

Setelah beberapa bulan dimanjakan dalam pola hidup malasku, aku kembali dipaksa untuk belajar bersungguh-sungguh agar tak dikeluarkan dari sekolah. Kalau akhirnya jadi begini... lalu untuk apa aku berjuang selama ini? Untuk apa aku susah-susah menyatukan para preman konyol dan berusaha untuk jadi Ketua OSIS? Untuk apa aku berkeras kepala dan tak mau menerima idealisme Emilia?

Meski begitu, entah kenapa aku tak menyesal.

Meski akhirnya jadi begini, entah kenapa aku tak menyesal.

Meski hidup seperti dulu amat sangat merepotkan, entah kenapa aku tak berkeberatan.

Meski orang-orang gila selalu membuat hari-hariku jadi luar biasa aneh, entah kenapa... aku merindukan mereka.

Bahkan kenangan kabur dalam keadaan telanjang dari pasukan Mak Erot pun entah kenapa jadi terasa indah jika dipikirkan saat ini.

Sungguh isme yang berbahaya.

Sebelum pikiran tak waras itu menyerang lebih banyak akal sehatku lagi, aku segera meraih tas selendangku dan bangkit berdiri untuk pulang.

Menyusuri lorong lantai 1, kudapati sekolah yang masih juga dalam keadaan ramai. Meski begitu, ramai di sini bukan karena perkelahian atau semacamnya, melainkan karena kegiatan ekstrakurikuler atau organisasi—yang tentu saja tidak ilegal.

A-ah... hmm?

Dari sana, entah kenapa pikiranku malah melayang ke koridor SMA Livia yang selama ini selalu aku lewati. Pada siswa-siswi yang berkelahi di belakang sekolah. Pada corat-coret grafiti di benteng sekolah. Pada ketua kelasku yang sering memarahiku karena telah berbuat sesuatu yang aneh. Pada ruang Klub Okultis yang sampai saat ini ketidakhancurannya masih menjadi misteri.

Dan ketika aku memikirkan semua itu, kusadari aku sudah berada di persimpangan jalan yang sepi.

Tampak seorang gadis berdiri di seberang sana, tepatnya di bawah pohon rindang. Tubuhnya kecil, tingginya satu kepala di bawahku, memiliki gaya rambut kucir dua, serta memakai gaun one piece berwarna putih dan topi jerami.

Dengan ekspresi dingin yang selalu aku kenal, gadis itu menatapku untuk kemudian memiringkan kepalanya. "Yakov? Sekarang kau agak gendutan, ya?"

Sungguh sapaan yang tidak sopan.

***

Continue Reading

You'll Also Like

6.3K 905 15
Nah, nah, nah... pernahkah kau mendengar cerita tentang '7 Iblis Dosa Besar'? Itu, lho... Satan, Lucifer, Mammon, Bellzebub, Leviathan, Asmodeus, dan...
58K 5.6K 12
seorang nenek memberiku sebuah novel setelah aku membantunya, walau aku tak suka membacanya, aku tetap menerimanya. karena penasaran, akhirnya aku pu...
39.1K 1.4K 6
"Perasaan aku gak enak" "Perasaan aku enak-enak aja" Akibat tak menghiraukan ke khawatiran sahabatnya, Zarine terkubur hidup-hidup bersama spedanya. ...
1.9K 125 8
Serial ke 143. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal d...