Sarapan pagi bersama di Great Hall dilalui Irene dalam diam. Ia sama sekali tidak bersuara dan hanya mengaduk-aduk isi piring di depannya dengan tatapan kosong. Joy, yang mengajaknya bicara tak urung di acuhkan. Juga ketika Sehun diam-diam memperhatikannya dari meja Salamander, Irene langsung membuang muka. Ia malu untuk sekedar melihat wajah tampan itu barang sedetik saja.
Pun setelah acara sarapan selesai Irene bergegas keluar dari aula itu menuju ke atap kastil~ menyendiri disana dan membolos jam pelajaran pertamanya.
"Hari ini sepertinya akan cerah,"
Irene bergeming, dirinya enggan untuk menoleh ke belakang. Ia tahu betul suara siapa yang datang~ lelaki yang sedang ia hindari yang justru menguntitnya. Ia terus berdiri menatap ke bawah pada kilauan permukaan air danau biru. Sesekali gadis itu mengacungkan tongkat sihirnya, menyebut mantra-mantra recehan yang keluar begitu saja dari mulutnya.
Sehun tertawa, merasa lucu dengan tingkah Irene yang seperti anak kecil setiap kali gadis itu sedang kesal
"Pergilah!" perintahnya ketus.
Alih-alih pergi, Sehun justru berdiri di samping Irene. Satu tangannya menangkap pergelangan tangan Irene yang tengah mengayunkan tongkat sihirnya ke udara.
"Tidak usah malu, tidak akan ada yang berubah, sungguh aku minta maaf atas kejadian semalam."
Irene melirik sengit, mulutnya berdecih dan menepis jeratan tangan Sehun sedikit memaksa.
"Kau sudah melihat semuanya, menyentuhnya, tapi apa? Aku...," Irene menahan dirinya untuk tidak terpancing emosi saat bicara, "...apalagi yang bisa kulakukan untukmu, eoh? Kau bodoh!"
Sehun menelengkan kepala sembari menggigit bibir bawahnya. Segala hal yang sudah ia abaikan dengan susah payah semalam tadi kembali terbesit memenuhi pikirannya. Bukan menyesal dalam artian kecewa karena baginya tak ada yang sia-sia selama ia tak harus menyakiti Irene~ gadis yang paling berharga dalam hidupnya.
"Terima kasih untuk semuanya, itu untuk pertama kalinya aku melakukannya dan kau benar-benar..." Sehun melempar senyuman nakal yang langsung mendapat pukulan keras di lengannya.
"Kubilang lupakan!" gertak Irene keras. "Aku selalu berharap kau benar-benar hilang ingatan dan melupakan semuanya," Irene memberengut seraya memukuli lengan Sehun tanpa ampun.
"Irene...kau tahu tidak, setiap melihatmu menangis, aku merasa seperti ada ujung pisau yang menusuk-nusuk di dalam dadaku dan aku tak mau melihatmu begitu. Jika kau terluka, aku akan merasa lebih sakit dari apa yang kau rasakan, sungguh..."
Irene menghentikan amukannya, matanya mulai kembali memanas dan ia cepat-cepat mengusapnya dengan punggung tangan.
"Aku lebih khawatir dengan masa depanmu, aku takut...dan akan semakin takut melihatmu selalu terluka ketika monster itu mengusaimu."
"Ck...kubilang apa? Kusuruh kau jangan memikirkan itu, jangan mengkhawatirkanku, jangan pula menangisiku, dasar kau cengeng," Sehun mendorong kening Irene dengan jari telunjuknya berulang kali. "Kepalamu ini hanya dipenuhi dengan diriku, aku tahu. Tapi berjanjilah padaku, pikirkanlah hal-hal baik, lalu abaikan saja jika sesuatu yang buruk terjadi. Karna bagiku...," Sehun memberikan senyuman terbaiknya..."kau jauh lebih berharga dari apapun."
Irene mengucek-ucek kedua matanya dengan bodoh. "Ucapanmu itu yang membuatku menangis, berhenti menyalahkan mata ini yang tidak mau mendengar perintahmu."
Bersumpah untuk tidak terharu, tapi entah kenapa Sehun selalu berhasil menjadikan Irene gadis paling cengeng di Faroe.
"Aku ingin melucu, hanya sayangnya aku tidak bisa selucu dirimu, maaf...."
"Berhenti terus mengatakan maaf padaku!" satu kaki Irene menjejak keras pada permukaan lantai, ia tidak mau lagi mendengar kalimat apapun yang terlontar dari bibir Sehun yang sudah membuat perasaannya hancur berkeping-keping.
"Baiklah, baiklah, kemari..." Sehun menarik tubuh Irene ke dalam pelukannya. "Kau memang banyak bertingkah jika sedang merindukanku..."
Irene menyesali perbuatannya semalam, tidak seharusnya ia menunjukkan kesedihannya di hadapan Sehun. Kenapa air mata yang bahkan dengan susah payah ia tahan akhirnya tumpah sudah ketika lelaki itu menjamahnya? Benarkah ia tidak rela?
Irene baru membuka kancing baju keduanya ketika suara Park Chanyeol dari luar terdengar samar. Sehun yang panik bergegas masuk ke dalam kamar mandi sementara Irene hanya mengeluarkan kepalanya di celah daun pintu yang terbuka.
"Kabar baik Irene?" Chanyeol menyapa dan memberi tanda centang pada nama Irene di kertas absensinya. "Malam ini tidurlah yang nyenyak."
Irene mengangguk pelan. Semenjak Sehun memberitahu jika ada maksud lain di balik keramah tamahan Chanyol, entah kenapa rasa simpati Irene berkurang pada lelaki itu.
Mereka tak banyak melakukan obrolan. Lagipula Irene merasa tidak ada urusan penting dengan leadernya jadi ia langsung menutup pintu kamar dan menguncinya.
Sehun keluar dari kamar mandi setelah suara bariton kakak kelasnya itu benar-benar menghilang. Ia langsung disodorkan dengan botol ramuan pemberian Madam Haejin. Sehun tadinya menggeleng menolaknya tapi pernyataan Irene membuatnya terdiam.
"Kau tak harus menghabiskan seluruh hidupmu bersama monster itu. Minumlah sebelum aku berubah pikiran," Irene berbalik setelah yakin bahwa Sehun meneguk ramuan itu sekali habis, ia lalu berdiri menghadap ke arah tempat tidur dan kembali membuka kancing bajunya yang masih tersisa~memunggungi Sehun karena malu.
Ramuan itu sangat manis, lebih manis dari madu hingga mulut Sehun harus berkecap sekali dua kali untuk menghilangkan rasa yang masih tersisa di lidahnya. Sedetik kemudian ia merasa dunia seperti berputar, semua yang ia lihat memutar membentuk lingkaran lalu dadanya menghentak hentak dengan keras. Sehun sedikit terhuyung ke sisi dinding, kepalanya tertunduk mencoba mereda apa yang ia rasakan. Lalu saat ia mendongak dan dua manik matanya menatap punggung Irene, entah kenapa Sehun secara reflek mendekati gadis itu, memberi pelukan dari belakang dan mulai menyesap kulit leher mulus Irene~ menikmati setiap kecupan kecil yang ia ciptakan dengan lembut.
Seluruh kancing baju Irene terlepas, kedua tangannya bergetar manakala Sehun berhasil menyentuhnya. Ia tidak menolak, tapi ia tidak tahu rasa apa yang sedang ia landa hingga membuat dirinya terpaku, kakinya seolah disemen hingga sebatas lutut dan kecupan Sehun di ceruk lehernya pun begitu terasa menggelikan.
"Kau yakin tidak akan menyesal dengan apa yang akan kau berikan padaku?" Sehun berbisik~bertanya meyakinkan. Sementara tangan yang memeluk Irene telah ia gerakan, menurunkan kemeja hingga kedua pundak Irene terlihat jelas.
Menyesal? Irene tersenyum getir. Apa yang akan Eommanya katakan ketika nanti ia pulang~ memberitahu bahwa keperawanannya direnggut oleh seorang penyihir dari kalangan bangsawan yang masih berumur 17 tahun~ wanita itu pasti berteriak-teriak menggila, mengatai anak gadisnya murahan, bodoh, tak tahu malu atau kata-kata kasar semacam itu. Lalu ia bisa apa? Siapa yang menyuruhnya untuk menempuh pendidikan di negeri Faroe ini? Toh jika bukan karena keinginan Eommanya~ Irene sudah pasti sedang menjalani kehidupan sebagai remaja normal di Seoul sekarang ini. Dan mengenai kalung liontin yang ternyata adalah batu filsuf, siapa yang memberikannya?
"Kau mungkin akan lebih menyesal daripada aku Sehun. Kau merendahkan statusmu yang tinggi itu demi gadis berdarah campuran sepertiku," mata Irene menatap pada atasan bajunya yang telah terjatuh ke lantai. Gadis itu menutup mata dalam, ia kembali merasakan jemari Sehun menyentuh tali bra hitam miliknya dan dalam sekejap bra itu pun menggelosor jatuh dari tubuhnya. Irene tersentak kaget saat Sehun memutar balik paksa tubuhnya dan ia menunjukkan separuh wajahnya yang hampir berubah menjadi Luison~ satu warna bola matanya yang coklat telah berubah menyala terang.
Irene yang takut hanya dapat memandangi wajah itu dengan nanar, lalu disentuhnya kulit pucat itu~ merasakan betapa banyak kesedihan yang ada disana andai ia pergi dari Faroe.
"Kau akan terus mengingatku sepanjang hidupmu," suara Irene berbisik. "Dan akan terus mengingatku sampai kapanpun. Itu hukuman yang paling adil untuk lelaki yang telah berbuat lancang padaku, kau tahu?"
Sehun menempelkan dahinya di dahi Irene sejenak setelah sempat mengangguk kecil, ia mensejajarkan tubuhnya dengan gadis itu sebelum akhirnya bibir mereka saling bertautan, memagut dalam kehangatan, menumpahkan segala rasa yang tersembunyi di sudut hati masing-masing.
Irene menyumpah serapah pada dirinya sendiri yang dengan brengseknya menikmati lumatan demi lumatan yang Sehun berikan untuknya. Belum lagi, dua gundukan dadanya yang masih suci telah tersentuh sedetik yang lalu oleh jemari panjang Sehun. Seluruh bulu halus di tubuhnya meremang. Irene tak bisa menahan nafsu yang mendadak menguasai jiwanya. Ia melingkarkan kedua lengannya pada tengkuk leher Sehun, memainkan anakan rambut lelaki itu~ meremasnya kuat saat Sehun semakin memperdalam ciumannya dengan sedikit kasar. Lidah lelaki itu bermain-main di dalam mulut Irene, mengabsen deretan gigi depannya kemudian menjelajah setiap inci yang ada di dalam sana tanpa ingin sedetik pun berhenti andai saja keduanya tak kehabisan pasokan oksigen di paru-paru mereka.
Bola mata keduanya beradu, Sehun menghempas nafas kasar. Berat rasanya membuat Irene berkorban untuknya, ia tidak tega melihat gadis itu berlinang air mata karena dirinya. Namun di sisi lain ia benar-benar menginginkannya, dua rasa yang sama besarnya yang datang secara bersamaan hingga ia tak tahu harus berbuat apa.
Sehun menarik tangannya dari dada Irene, ia mundur selangkah untuk memberi mereka jarak. Berhenti atau lanjutkan, dua kalimat itu yang terus terngiang-ngiang di dalam tempurung kepalanya. Baiklah, tak bisa dipungkiri bahwa setengah tubuh Irene yang telah ia telanjangi memang sangatlah mengiurkan. Kulitnya yang putih susu, bentuk serta ukuran buah dadanya yang pas telah berhasil membuat Sehun hilang akal atau bisa jadi karena efek dari ramuan yang ia minum tengah bekerja di dalam tubuhnya dengan sempurna. Alangkah bahagianya Sehun yang kembali dapat menyentuh seseorang, terlebih orang tersebut adalah gadis yang ia sayangi, ia cintai dan telah mengisi sebagian dari sisi hatinya yang kosong.
"Maafkan aku...kumohon maafkan aku," Sehun mendorong tubuh Irene merapat ke dinding. Ia membuka baju atasannya sendiri, lantas menciumi kulit pundak Irene tanpa ragu~ bergerak lebih dari apa yang sebelumnya ia lakukan.
Irene hanya pasrah, menutup kedua matanya merasakan nyeri setiap kali bibir tipis Sehun menyesap kulitnya cukup kuat, meremas dadanya seolah benda itu adalah spon berair yang harus ia peras. Ia sampai lupa entah sejak kapan celana jeans itu telah terlepas dan hanya menyisakan kain segitiga berenda yang masih melekat di tubuhnya.
Sehun membawa Irene ke atas tempat tidur, menindihnya, mengakses seluruh tubuh gadis itu yang bisa ia jamah di manapun ia suka. Dan mungkin karena hawa nafsunya yang terlalu menggebu, Sehun tanpa sadar telah sedikit membuat Irene mengerang kesakitan, jemarinya mulai bermain kasar.
Awalnya ia tidak peduli, yang Sehun inginkan adalah agar kutukan Luison itu secepatnya pergi dari jiwanya. Namun ketika mereka baru akan melakukan inti dari permainan bercinta itu~ Ia dan Irene yang sudah bertelanjang bulat~ mendadak berhenti. Sehun melihat Irene mulai meneteskan air matanya dan terisak.
"Irene...?" seperti tersadar dari tidur panjang, Sehun mengusap kasar wajahnya, ia menolah ke kanan kiri dengan resah lantas meraih selimut dan bergegas menutup tubuh Irene serta memeluknya dengan erat. "Tidak, kita tidak akan melakukannya, jangan takut dan maaf jika aku menyakitimu."
Irene menangis sesenggukan sembari membenamkan wajahnya di dada Sehun. Selimut itu telah mereka pakai bersama dan keduanya hanya tidur berpelukan, sungguh tidak ada yang terjadi setelah itu. Sehun menyesal...
-
"Lakukan seperti perintahku," Laki-laki itu mendorong bahu seorang gadis hingga ia jatuh terduduk ke lantai berdebu.
Ruangan itu sepertinya gudang kosong, tak ada siapa-siapa disana selain mereka berdua. Deru nafas berat keduanya terdengar saling beradu.
"Anda pikir aku tidak tahu apa yang Anda lakukan, huh?" mata gadis itu memerah dan rahang wajahnya mengeras.
"Berani membantahku?" leher gadis itu tercekik sesaat dan ia berdiri karena si lelaki menyeret tubuhnya dengan kuat. "Kau pikir kau hidup disini secara gratis? Ingatlah siapa yang membawamu dari jalanan kotor hingga sampai kemari, kau tidak akan berkata bahwa kau melupakan kehidupanmu yang dulu bukan? Atau kau ingin kembali kulempar ke jalanan itu, hmm?"
Derap langkah dari luar terdengar jelas, si lelaki langsung berteloportasi menghilang saat pintu ruangan itu terbuka.
"Kupikir tidak ada orang disini," salah seorang anak laki-laki tingkat ketiga masuk dan hanya menaruh setumpuk sapu terbang usang yang sudah tidak terpakai. "Kau Hyemi ssi bukan?Apa kau baik-baik saja?"
Hyemi merapikan rambutnya yang berantakan, ia tak menjawab dan hanya berlalu pergi dari gudang kosong dengan langkah cepat. Baekhyun yang kebetulan melintas sempat menyapa dengan ceria namun mulutnya langsung berdecih lirih merasa sebal saat sapaannya diabaikan.
"Dulu dia gadis yang asyik dan ramah, tapi semenjak bangkit dari kubur, dia benar-benar berubah," Baekhyun mengeluhkan sikap dingin Hyemi kepada Yeri ketika keduanya bertemu kembali di perpustakaan.
Yeri hanya merespon ucapan Baekhyun sembari tersenyum, "Setiap gadis memiliki alasan tersendiri untuk bersikap begitu."
" Ah...," Baekhun mulai mengerti alasan Yeri yang bersikap jual mahal padanya padahal ia yakin gadis itu juga pasti merasakan hal yang sama seperti dirinya~ cinta. Hoek!
"Oh ya mebgenai rumus-rumus yang kemarin itu..."
"Yeri?" seketika Baekhyun merasa ada batu besar yang menghantam di atas kepalanya. "Sudah sehari ini kita belajar di kelas, bisakah kita membahas hal lain selain itu?"
"Apa?" Yeri menutup buku bacaannya dan fokus menatap Baekhyun dengan antusias.
"Tentang perasaanmu padaku, aku ingin tahu."
Yeri berubah celingusan, ia memilin helaian rambut panjangnya yang terurai kemudian berdehem pelan.
"Perasaanmu bukan sebuah soal matematika, fisika atau kimia yang harus kau hitung dengan benar. Kau hanya perlu jujur padaku, setidaknya aku akan merasa lega setelah mendengarnya."
Yeri mengangguk lemah, "kadang hal sederhana justru menjadi hal paling sulit yang tak bisa kujawab dan menciptakan sesuatu yang bagus itu butuh waktu."
Mendengar jawaban Yeri yang berbelit-belit, Baekhyun hanya menghempas nafas panjang. Baiklah, ia tidak akan memaksa jika Yeri belum bersedia menyatakan perasaannya. Orang pintar memang selalu punya cara tersendiri untuk dapat melakukannya~ iyakan saja.
-----
"Hey, " dari balik pilar besar yang ada di kastil, Kai menarik lengan Kle dan membawa gadis itu berhadapan dalam jarak sangat dekat dengan dirinya.
Kle hampir berteriak, terkejut karena entah sejak kapan Kai menunggu kedatangannya disana. Sore ini Kle memang tak memiliki acara apapun selain hanya berjalan-jalan dan berniat menuju dapur sekolah untuk mencari makanan, ia berpikir barangkali si Nyonya Gendut membuat kue yang enak lalu bersedia membaginya.
"Kau selalu saja membuatku hampir jantungan, penguntit!" Kle menyipitkan kedua matanya sengit.
Kai tersenyum miring~ menunjukkan sisi dirinya yang jarang ia perlihatkan kepada orang lain selain pada gadis itu tentunya.
"Menguntitmu, kurasa sudah kulakukan sejak awal kau masuk ke sekolah ini. Sayangnya kau susah sekali kudapatkan, apa aku tak cukup tampan untuk bisa bersamamu?"
Kle menghindari kontak mata dengan Kai karena jujur saja ia malu mengakui bahwa lelaki itu memang memiliki daya tarik tersendiri. Kesan sexy yang pernah Irene bicarakan tentang lelaki itu memang benar adanya. Kai tidaklah setampan Oh Sehun maupun Park Chanyeol, tapi cara ia menatap Kle~ ekspresi itu~ berbeda dari lelaki lainnya. Tidak nakal namun terkesan lebih menggoda~ seolah mata itu berkata "hey kau milikku."
Kle terpaksa menatap pada dua manik coklat Kai, menerima perasaan lelaki itu dengan pasrah dan tak bergerak saat bibir Kai menyentuh bibirnya.
"Berkencanlah denganku,"bisiknya diantara kecupan lembut itu. "Kau akan semakin sulit mengabaikanku, menginginkanku dan merindukanku."
Kle menutup kedua matanya dan ia pun menarik sudut bibirnya ke atas, membalas kecupan Kai tanpa ragu. Ia bertanya dalam hati dengan tidak mengerti kenapa dirinya harus jauh cinta dengan pria sebrengsek Kim Kai.
"Saranghae..."
Jika dunia Kai dan Kle sedang dipenuhi dengan bunga-bunga, berbeda dengan Joy yang merana karena sesiang ini ia tidak melihat sosok Chanyeol setelah pagi tadi di acara sarapan bersama mereka sempat saling menyapa. Leader itu terlihat selalu sibuk kesana kemari.
Aneh saja karena leader-leader lain seperti Suho, Kyungsoo maupun Baekhyun selalu menyempatkan waktu bercengkrama di lorong koridor maupun bermain di halaman belakang Higher Ground. Tapi si jangkung berambut merah itu seperti ditelan bumi, sosoknya tak terlihat dimana-mana.
Nyatanya Chanyeol ada di dalam kamar asramanya dan sedang membaca surat dari Madam Haejin~ pemberian Sir Godric~ dengan gurat wajah penuh kekhawatiran.
Tuan, bukan aku lari dari perbuatanku yang keliru tapi Anda yang memulainya. Anda datang padaku lalu menyuruhku untuk mengatakan hal yang seharusnya tidak aku katakan. Dan sekarang Oh Sehun meminta penjelasan dariku, apa yang bisa aku jelaskan jika itu memang perintahmu?
Dan lagi, bola kristal ramalanku menunjukkan akan ada kekacauan besar di wilayah Higher Ground, sesuatu yang tidak pernah kita semua pikirkan bahwa musuh-musuhmu akan datang dengan rombongan anak buah mereka. Lakukan sesuatu, selamatkan anak-anak, terutama gadis itu~ si pemilik jiwa suci~ dia satu-satunya yang tersisa di negeri ini dengan kekuatannnya. Jangan sampai ia jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Salam hangat,
Haejin
Chanyeol menggulung kembali surat itu dan menaruhnya di atas meja. Ia kemudian merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan menatap langit-langit kamar, melamun. Tentang kekacauan besar itu, ia sedang tidak ingin memikirkannya. Hanya saja mendadak wajah Joy berkelibatan cepat di pelupuk matanya. Bagi Chanyeol, gadis itu cantik, memiliki kaki yang jenjang dan sedikit terlihat malu-malu meski pada awalnya mereka sempat seringkali beradu mulut tanpa alasan yang jelas. Chanyeol ingat bahwa ia pernah iseng menggodanya dan Joy yang marah lalu menendang tulang kering kakinya dengan keras.
Senyum Chanyeol mengembang, ingin rasanya ia melihat wajah gadis itu tapi sayang ia belum yakin dnegan apa yang ia rasakan di hatinya. Entah itu hanya mengagumi atau suka, yang jelas rasa rindu sedang menghantui dirinya.
-
Park Junki dengan senang hati menyambut kedatangan tamunya~ lelaki misterius dengan penutup wajah yang hanya memperlihatkan lubang di kedua matanya.
"Sudah kuatur semuanya. Aku hanya ingin memastikan apakah kau sudah mempersiakan anak buahmu, lalu kapan kau akan mulai bergerak?" suara itu terdengar mengintimidasi.
"Hanya menculik gadis berdarah campuran bukan sesuatu hal yang sulit," jawab Park Junki santai.
"Anak-anak itu tak bisa kau remehkan, sebagian dari mereka memiliki kekuatan ilmu sihir yang tinggi."
"Apa sekarang kau sedang meragukanku?" nada suara Park Junki meninggi, ia merasa direndahkan. "Seberapa besar kekuatan keponakanku yang tampan itu, eoh? Aku saja masih ingat bagaimana ia merengek meminta dibuatkan susu pada Eommanya. Tenang saja, dia tak akan berani melawanku."
Lelaki misterius itu mengangguk-angguk setelah tawa kecilnya terdengar.
"Dia lumayan, tidak buruk, bahkan lebih baik dari dirimu kurasa. Dan dia tidak bodoh."
"Akan kupastikan rencana kita berhasil. Kau lakukan saja tugasmu disana dengan baik dan tetap waspada. Kau juga tak perlu khawatir, aku bukan orang yang suka ingkar janji," Park Junki memanggil salah satu anak buahnya dan si sosok misterius itu menerima sekantung kepingan Faroe di tangannya. "Akan kubayar sisanya jika urusan kita selesai."
"Baiklah, hari ini hanya informasi itu saja yang ingin kuberitahukan padamu," sosok misterius itu berbalik dan dalam sekejap menghilang dengan berteleportasi kembali ke Higher Ground.
Park Junki tertawa tertahan, "bahkan kedudukan tinggi belum tentu menjadikan manusia berbuat baik, dia tetap menginginkan lebih dan lebih. Dia benar-benar manusia serakah!"
-----
Irene menemukan secarik kertas mantra menembus benda padat di dalam laci mejanya. Kertas itu sudah lusuh dan hampir terkoyak namun tulisan disana masih dapat ia baca dengan sempurna.
"ausurum inanes invisibilium"
(tak terlihat, tak nyata dan hampa)
Dengan mata terpejam dan memfokuskan pikirannya, Irene mengucapkan matra itu berulang kali. Kemudian ia membuka mata, merasakan hembusan angin dingin menerpa seluruh tubuhnya. Senyum Irene merekah saat ia bergerak melihat kedua tangannya benar-benar bisa menembus daun pintu kamarnya.
Sesuatu mendadak terlintas di pikirannya, gadis itu berlari keluar dari kamar dan terus berlari menembus apa saja yang ada dihadapannya tanpa khawatir akan membentur sesuatu.
Lay dan Chen sedang berjalan di tengah halaman asrama dan terkejut melihat sekelebat bayangan dengan begitu cepat melewatinya. Langkah keduanya sama-sama terhenti saling menatap dengan mata terbelalak lebar.
"Apa yang tadi itu hantu?" Lay menepuk-nepuk pipinya memastikan ia dalam keadaan sadar.
"Aku juga melihatnya," Chen meyakinkan dirinya sendiri. "Ia mengarah ke asrama Salamander kurasa." jari telunjuk Chen mengarah kemana Irene melesat pergi.
"Mungkin itu Banshee yang sedang merindukan Oh Sehun," tutur Lay dan ia tidak mau lagi mempermasalahkan apa yang barusan ia lihat, toh ia sudah sering melihat hal-hal aneh sebelumnya.
Benar saja, Irene berakhir dengan masuk ke dalam kamar Sehun ketika lelaki itu baru saja selesai mandi dan keluar dari dalam kamar mandi tanpa mengenakan apapun.
"Anyeong...," Irene sudah duduk manis di tepian ranjang sambil melambai, tapi kemudian ia buru-buru menutup wajahnya dengan telapak tangan melihat Sehun tak mengenakan sehelai pakaianpun. "I..itu..."
"Yaaa! Apa yang kau lakukan disini?" Sehun berbalik masuk ke dalam kamar mandi dan detik berikutnya ia kembali keluar dengan lilitan handuk di pinggangnya. Rambutnya yang basah membuat dirinya semakin terlihat menggoda dan Irene bersumpah serapah kenapa dirinya tiba-tiba sangat menginginkan lelaki itu. Ia hanya datang untuk pamer kekuatannya tapi nikmat Tuhan yang satu ini tak dapat ia tolak begitu saja.
"A-aku sudah pernah melihatnya, tidak ada yang istimewa, biasa saja," Irene beralasan, ia memalingkan wajahnya ke arah pintu mendengar suara lemari pakaian Sehun terbuka. Lelaki itu cepat-cepat memakai bajunya dan mendorong kepala Irene dengan kesal.
"Tetap saja kau lancang."
Irene menoleh dengan bibir mengerucut sebal. Ia menjelaskan bahwa ia tak perlu khawatir jika di tingkat kedua nanti ia gagal dalam pelajaran teleportasi. Yang jelas ia bisa melakukan itu dengan cara lain meski terdengar kurang praktis. Ia memang harus berlari kesana kemari dengan cepat agar tak ada yang menyadari kehadirannya.
"Baiklah kuakui untuk yang satu ini kau hebat sayang~," tak mau membuat kekasihnya kecewa, Sehun berkata memuji. "Kau ingin bermain-main denganku?"
Irene mengerlingkan satu matanya, "tidak, aku hanya sedang bosan dan merindukan rumahku di Seoul."
Sehun berpikir sejenak, "Kembalilah temui keluargamu disana barang sebentar, bicara pada Eommamu dan peluk dia."
"Kalau begitu bawa aku berteportasi kesana, apa kau mau?" tatapan Irene penuh harap dan ia tersenyum mendapati Sehun menyanggupi permintaannya.
"Ayo!"
*Higher Ground*
||
ff ini akan berakhir sekitar satu atau dua chapter lagi, mian bagi yang kecewa karena lagi dan lagi NC-nya gagal 😝😝😝
Nantikan bagaimana anak anak Higher Ground melawan Park Junki dan sekutunya, lalu apakah kutukan Sehun akan menghilang?
Nikmati saja jalan ceritanya, biar penulis yang mikir haha...
Thanks juga bagi beberapa fansboy yang bersedia membaca ff ini (biasanya cowo kan sukanya yang seru" dan bukan ff menye" begini)
Oh ya, ngomong-ngomong, berapa si umur kalian? karena sempat kepikiran juga kalau kalian masih di bawah umur dan baca ff yang agak sedikit nakal, wkwkwk... dan lagi, banyak yang baca pas jam-jam pagi buta, you're not a vampire right?😂😂
Ya sudah abaikan saja ocehan penulis ini, yang penting jangan lupa vomment ya🙆 (abaikan typo, akan aku revisi esok hari)