Lucky bahkan tak sempat melontarkan gurauan. Pintu kelas tiba-tiba saja membuka, menampilkan dua sosok jangkung yang membawa pisau; tapi satunya lagi juga membawa gunting. Ia bergidik ngeri, begitupula Amila yang baru saja memasukkan laptopnya ke dalam tas.
"Ndeh." Lucky ternganga. "Iman. Desy."
Iman tak sampai mengucapkan halo. Desy mengibaskan tangannya, lalu duduk di undakan depan kelas. "Halo."
"Hai," sahut Lucky, duduk kembali di kursinya.
Amila tahu persis ia tinggal menunggu menit sampai pisau atau gunting yang dibawa kedua Werewolf mengakhiri riwayatnya. Sambil menatap Desy yang kini mengobrol santai dengan Lucky, ia mengendap ke arah pintu dari sela-sela kursi. Sesekali ia berhenti untuk berpura-pura menyimak sekaligus menghindari tatapan curiga Iman yang kebagian tugas berjaga di dekat pintu.
"Nah, gimana kalo kalian bebasin kita aja, terus bunuh Bonong. Tadi dia ngaku sendiri kan kalo dia Seer?"
"Lah, minta nego dia." Desy terkekeh. "Man, dia minta diskon."
Iman mengendikkkan bahunya. "Yauda kasi aja."
"Yaelah pinteran dikit kek—Man—Amila mau kabur!" pekik Desy, menunjuk ke arah pintu yang sudah terbuka seperempat.
Iman berputar, cepat-cepat menyambar tangan Amila dan menjauhkannya dari pintu. Perempuan itu meronta, merasa dikhianati udara malam yang baru menyapa wajahnya sepersekian detik. Andai saja Desy tak menyadarinya... Semua penghuni mungkin akan keluar dan mengetahui bahwa Iman dan Desy adalah sang Werewolf...
"Jangan bunuh aku, plis..." Ia merintih, tak mampu menengadah untuk menatap Desy, bahkan memelas pada Lucky sekalipun.
"Yah, terlanjur dateng ke sini, Mil," kata Desy, berjongkok di depannya dengan gunting di depan wajahnya. Amila menangis. "Gimana? Gunting? Apa pisau?"
"Des, korban bukan mainan." Iman memperingatkan. Desy mengangguk.
"Oke." Desy bangkit, mundur selangkah. "Btw, Man, kain dari gudang masih kamu bawa?"
Iman menunjukkan gulungan panjang kain di saku celananya. "Nih." Dia melemparnya ke arah Desy.
"Trims." Desy membuka gulungan itu. "Bentaran—Luk, jangan kabur, Iman tolong jagain." Lucky yang barusan berniat mengikuti jejak Amila mundur kembali.
Desy asyik mengukur dan menggunting kain tadi. Lucky meliriknya dan Iman, berharap suatu keajaiban terjadi di mana Iman lebih tertarik pada kerjaan Desy daripada menjaga pintu. Amila masih terduduk di depan kelas, tak lagi menangis, namun memandang ketakutan tangan Desy yang bergerak menggunting kain putih panjang itu tadi.
"Ini," Desy menyerahkan selembar kain panjang yang telah diikat simpul pada Amila yang masih tersedu, "buat Amila. Yang ini," satu kain lagi ia serahkan pada Lucky, "buat Lucky. Udah sana gantung diri."
Lucky, Amila—bahkan Iman—terbelalak.
"Tapi dia," Desy menunjuk Lucky, "harus ngelakuin samting dulu."
"Desy gendeng."
.
.
Pagi itu jelas tak setenang pagi kemarin. Selepas sholat subuh mereka langsung menuju kelas 9A, kelas tempat Lucky dan Amila yang diketahui tidak datang pada sholat tadi. Banyak yang memilih tidak ikut, mempertimbangkan pemandangan TKP kemarin pagi. Hanya ada Iman, Desy, Yumna, Kean dan Mesayu yang berangkat ke sana.
Ketika pintu berderit terbuka, Yumna seketika menjerit tak karuan. Tubuh Lucky yang tergantung kaku berada tepat di depan pintu—menutupi sebagian kelas dari luar dengan tubuh besarnya. Yumna gemetar. Desy memeganginya.
Kean melontarkan kata-kata kasar. Iman menggeleng, sudah hendak menutup pintu ketika Mesayu mencegahnya. "Bentar po'o..." ucapnya pelan.
Mesayu melewati tubuh Lucky yang bergeming, langsung menuju Amila yang tubuhnya melayang di atas meja pojok, mulutnya terbuka, dan jejak-jejak air mata tampak jelas di pipinya. Mesayu mengambil gunting yang, secara ceroboh, Desy tinggalkan di atas meja, lalu menggunting kain yang menggantung Amila, lalu meletakkan jasadnya di atas meja.
Mereka yang berada di depan pintu melihatinya iba. Yumna sudah berhenti menjerit, namun kini menangis. Kean berinisiatif untuk melakukan hal yang sama pada Lucky, meski ia ragu apakah ia dan Iman cukup kuat untuk menurunkannya.
Baru saja ia akan mengatakan hal tersebut pada Iman, Yumna dan Iman berteriak pada saat yang bersamaan.
"MES—JANGAN, MES—!"
Yumna menepis kaki Lucky yang menghalangi jalannya, berlari setergesa mungkin untuk mencapai tangan Mesayu, yang kini memegang gunting untuk memutus nadi tangannya. Mesayu tersenyum untuk terakhir kalinya, Yumna merasakan tangannya yang kian mendingin, dan desiran kematian yang kian mendekat...
"Sori, Yum."
Sekali lagi Yumna menjerit. Wajahnya diselubungi horor, kedua tangannya menutupi muka sebagai pelindung. Kerudungnya terciprat darah yang menyembur keluar, Mesayu yang awalnya berdiri kian roboh; bersandar pada dinding, terduduk di atas lantai, kemudian terbaring lemas. Yumna terjatuh. Ia pingsan.
"Yumna!" Iman dan Desy menyerbu masuk, Kean di belakang mereka.
Tak sampai satu detik, Kean ikut terjatuh.
Ia mati.
.
.
"Ada jarum kecil di sini." Cikha mengangkat sebuah jarum menggunakan lipatan daun yang diambilnya dari depan kelas. "Beracun, jelasnya. Dan ga main-main, kalo Kean langsung mati habis kena ini."
Mutia mendongak, melihat ke arah pistol jarum mini yang ditanam di sepanjang bingkai pintu dan ventilasi kelas. "Dari sini, ya? Tapi kenapa Kean?"
"Dugaanku," kata Cikha, bangkit berdiri, "semalem Cupid masangin salah satu dari Lucky atau Amila sama dia."
Beberapa meter jauhnya, di UKS, Anggi menangis, dan Pipit sebatas menyangka alasannya adalah karena Kean dan Lucky adalah teman baiknya, ditambah lagi Yumna sekarang masih terbaring di kasur, tak sadarkan diri. Pipit jelas tak tahu menahu apa yang diketikkan Anggi di situs tadi malam, seberapa besar penyesalannya, dan betapa ia tak akan menjalani hari dengan tenang untuk sisa hidupnya.
Tangisnya reda setelah 15 menit berlalu. Pipit yang sejak tadi berdiri gelisah akhirnya duduk di kasur cadangan, menatap Anggi penasaran. "Nggi, kamu—"
"Nggik."
Sebuah suara menyela pertanyaan yang barusan akan dilontarkan Pipit. Sosok Abhista berdiri di sana, melongok dari balik pintu UKS, dan wajahnya menyiratkan sebuah keberhasilan. Pipit hanya melihatinya dan Anggi bergantian. Anggi buru-buru menghapus air matanya dan berdiri, berjalan ke arah Abhista.
"Soal petunjuk kemaren." Abhista hanya berkata singkat. Anggi mengangguk. Pipit ditinggalkan dengan perasaan bingung yang bercampur aduk dengan curiga.
"Kenapa?" tanya Anggi saat mereka mencapai tangga di lantai dua. Abhista baru menjawab saat mereka sampai di kelas.
"Cuma pemikiran, sih," ujarnya, berdiri di depan papan tulis. Anggi duduk di meja paling depan. "Jadi kemarin kita punyanya nama Dudung sama Eli doang."
"Iya," Anggi mengangguk. "Sekelas udah sepakat pelakunya murid, 'kan?"
"Nah di situ," Abhista menjentikkan jarinya, "janggal." Anggi mengernyit. "Kalo dipikir lagi, pelaku ga bakal naruh nama bapaknya sendiri di riddle, kecuali dia emang punya dendam sama bapaknya, tapi ya jangan mikir kejauhan itu rada ga mungkin dan ga ada nyambungnya sama kelas kita. Dan kalo dilogika juga, anak kelas 8 ga bakal ada yang bisa beli semua peralatan ini mau legal apa ngga."
"Bukan Eli berarti?" Anggi menaruh tangannya di dagunya. "Yang jelas bukan Pak Dudung sendiri karena bakal lebih aneh. Siapa, dong?"
"Nah itu yang lagi kita bahas njir."
"Gimana kalo orang tua murid yang lain? Mungkin dia ga suka sama Pak Dudung atau anaknya, si Eli—tapi ngapain ya make anak kelas kita..."
"Iya lebih ga nyambung lagi," sambung Abhista.
"Ng, bentar. Coba kita pikir lagi," ucap Anggi, menggeser tubuhnya untuk menghadap ke arah Abhista yang sekarang duduk di seberangnya. "Jadi, di awal kita kejebak, pintu kekunci. Siapa yang ngunci?"
Abhista berpikir sejenak. "Bukan Mas Yahya pasti. Kalo suntiknya otomatis, kuncinya juga, kali?"
"Kuncinya nggak otomatis. Kalo iya kayak gitu, seharusnya Guardian ga perlu keluar kelas, dong? Semalem aku denger ada orang di luar kelas kita, ada bunyi gemerincingnya juga. Pasti kunci."
"Oke, jadi kuncinya ngga otomatis." Abhista mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. Anggi menyipitkan matanya, tampak berpikir keras. "Nggik, siapa aja yang punya akses ke kunci sekolah kita?"
"Hm," Anggi mengingat-ingat. "Pak-pak sama ibuk yang kebagian bersih-bersih, kayaknya. Siapa lagi yang bisa ngunci kelas kalo bukan mereka?"
Sunyi sesaat. Semuanya berpikir ulang, menelusuri tiap kejadian yang berhubungan dengan kunci dan gembok sejak kelas tujuh...
"Oh."
Keduanya berucap di saat yang bersamaan; "Guru!"
"Guru jelas punya akses ke tiap kunci, 'kan? Tinggal minta Mas Yahya pinjemin kunci, dia udah bisa ngunci kita di kelas!" seru Anggi, menepukkan tangannya. "Eh iya bener!"
"Iya he-eh." Abhista mengangguk sekali. "Sek anjir. Weh iya. Kalo dicocokin juga, si guru mungkin dapet nama Dudung dari daftar murid, ya 'kan? Oke, jadi kemarin lusa kita pulang terakhir. Siapa guru yang ngajar kita pas itu?"
"Bu Faiz?" Anggi terbelalak, menggelengkan kepalanya. "Ga mungkin. Bu Faiz ga mungkin ngerencanain semua ini."
"Kemaren kamu sendiri yang ngomong jangan berpikiran tertutup," komentar Abhista jengkel.
"Iya, sih... Tapi lho kamu tau sendiri Bu Faiz itu orangnya gima—"
"AAAAAAAAAAAHH!!!"
"Fak apa itu?!" Abhista bersegera keluar, Anggi menyusul. Mereka bergegas menuruni setiap anak tangga dari lantai tiga ke lantai satu, tempat asal suara jeritan mengerikan tadi. Keduanya gugup tak karuan, cukuplah tiga mayat yang ditemukan dalam waktu dua jam, tak perlu ada satu lagi...
Ketika sampai, mereka pangling. Suara jeritan itu kini tak terdengar, digantikan suara parau yang mirip tangisan. Merinding, keduanya bertolehan. Pipit dan Yumna yang rupanya sudah sadar pun kini berdiri di depan kamar mandi Kepala Sekolah. Sejak dulu pintu kamar mandi itu tak pernah bisa dibuka dari depan, namun kali ini, entah mengapa dan bagaimana, pintu itu menjeblak terbuka, dan suara itu menggema di dalamnya.
Mereka berempat mengendap masuk, dan pemandangan kamar mandi yang jauh lebih rapi dan bersih daripada kamar mandi murid terpampang. Mereka pasti akan menghabiskan waktu di sini dengan berdecak kagum dan mengiri kalau saja dua orang perempuan di sudut tak menoleh tiba-tiba ke arah mereka.
"Syarifah? Rizky?" Anggi mendekat, dengan harapan bisa menenangkan keduanya. Mata Syarifah tampak penuh kengerian, dan Rizky langsung berlari keluar dari sana. Tangan kanan Syarifah bergetar naik, jari telunjuknya terarah ke balik pintu sambungan yang menghubungkan ruang Kepala Sekolah dan kamar mandi itu.
Abhista cepat-cepat memeriksanya. Ia tercengang.
Bu Faiz terbaring di sana, bersimbah darah. Wajah pucatnya yang biasa kini sudah terlampau jauh untuk dibilang pucat. Tangannya terlentang kaku, dan hak sepatunya tampaknya patah. Abhista menutup kembali pintu itu.
Anggi menatapnya penuh arti. Abhista hanya menggeleng, tak tahu harus berkata apa.
.
.
"Empat mayat dalam satu hari," lirih Yunda, bersandar di kursi perpustakaan. "Sekolah ini ga bisa jadi lebih kece lagi," ucapnya sarkas.
Perpustakaan sepi saat itu. Banyak yang ke UKS untuk menengok Syarifah dan Rizky, serta Yumna yang—sungguh kasihan—belum sempat sadar sepenuhnya sudah dibuat pucat lagi karena peristiwa barusan. Desas-desusnya, Syarifah dan Rizky iseng memasuki kamar mandi itu, sekadar ingin tahu semacam apa, sih, kamar mandi Kepala Sekolah itu. Lagipula sudah dijelaskan di awal bahwa semua kamar mandi termasuk wilayah mereka. Siapa yang menyangka, bukannya kagum, mereka justru dibuat bungkam dengan adanya mayat?
"Gimana soal si Eli itu?" tanya Yunda sambil membolak-balikkan buku psikologi tentang keluarga tanpa alasan.
"Ga tau. Kemaren kan kukasih ke Iman," jawab Tata sekenanya, mencomot roti isi cokelat dari kantin. "Kita ga pernah kenal anak namanya Eli. Dudung siapa juga. Kita punya masalah sama 8F? Nda."
"Buntu, ya."
"Yoi."
Setelah beberapa saat, buku yang tampaknya membosankan tadi berhasil menarik perhatian Yunda. Ia menatapi ilustrasinya selama beberapa saat, dan akhirnya ia berhasil mengerti mengapa seluruh ilustrasinya berupa keluarga kerbau, koala, panda, dan singa. Awalnya Yunda mengira si ilustrator hanya tak bisa menggambar manusia, karena itulah sebagai gantinya ia menggambar hewan. Tapi—dengan segala asumsi dan cocoklogi—Yunda menangkap artinya; bahwasanya manusia tak pantas untuk digambar di buku berjudul Keluarga Harmonis dan Bagaimana Membentuknya itu.
Semuanya terlalu mustahil.
Seingat Yunda, tak pernah barang sekali ia melihat kerbau bertengkar. Kalaupun iya, pasti itu karena perebutan makanan atau wilayah (Yunda sempat berpikir, "Memang ada batasan wilayah untuk kerbau?), mereka hidup berkelompok, dan kelompok itu merupakan wujud kekuatan dan kepedulian mereka... Tapi manusia, mahluk fana terkutuk ini...
Mengadakan permainan omong kosong. Permainan kebodohan yang berujung kematian. Permainan yang menyebabkan seluruh usaha selama sembilan tahun dalam dunia pendidikan kandas. Permainan yang menyebabkan pertemanan runtuh, kecurigaan sana-sini, keegoisan...
"Bisa ga sih kita selamat?"
Yunda terbangun dari lamunannya. Tata kini membaca buku resep masakan tradisional. "... Bisa. Tapi ga pasti."
Yunda baru saja akan membalik halaman, begitu pula Tata, namun suara Mutiha yang keberadaannya sempat terlupakan membuat keduanya bertolehan.
Muthia menangis. Muthia tertidur dan menangis.
"Mut? Muthia?" Tata mengguncang bahunya.
"Weh, Mut! Muthia?" Yunda menepuk-nepuk pipinya, saking kerasnya nyaris bisa dibilang menampar. Muthia terbangun, berlinang air mata.
"Mimpi apa kamu njir."
"Aku—" Suaranya tercekat. "Aku mimpi—Aku meninggal—"
Tata dan Yunda langsung beringsut mendekapnya, menggelengkan kepala sembari mengucapkan "Mimpi doang. Semua baik-baik aja."
.
.
"Masalahnya ini Lucky." Fadhil mendengus jengkel. "Kalo Ww-nya Yumna dia ga bakal bisa. Lagian tau sendiri tadi dia kayak gimana reaksinya waktu liat Lucky. Ngeliat Mesayu juga langsung pingsan."
Daniel menggerutu dalam kekalahan. Hampir semua teorinya sampai sekarang memang sekadar opini belaka, tak pernah didukung oleh bukti konkret yang akan memberatkan nantinya. Sebuah ide tercetus, yang mungkin akan membuatnya tak jadi kalah dalam perdebatan. "Lucky gantung diri. Bisa aja dia cuma nyuruh, 'kan?" Ia menolehkan kepala kepada teman-teman Ewul-nya, mengharapkan dukungan. Yang ada justru mereka mengangkat bahu.
"Gantung diri di depan pintu? Ww pasti ga mau ambil risiko Lucky kabur."
"Lucky ga gampang nurut wah," kata Ezha. "Gimana kalo Ww-nya Kean, terus dia sendiri ga tau kalo ternyata dia dipasangin sama Lucky kalo ga Amila?"
"Bisa, sih," tanggap Pasa datar. "Tapi ya, seharusnya Ww ga ngebunuh temen deketnya di hari-hari awal gini. Apa lagi Kean. Lagian, kalo Ww-nya dia, dia udah mati dari tadi malem waktu ngelewatin pintu, kan."
Yang lain mengangguk.
Sandi memijat keningnya. "Omong-omong, kalo Ww-nya Kean..."
Semuanya menolehkan kepala. Daniel tersentak, menelengkan kepalanya ke kanan-kiri, mencari orang yang kiranya ditatap tajam teman-temannya. "Goblok aku gitu Ww-nya? Gara-gara aku sekelas sama Kean?"
"Gak gak, gak mungkin Daniel." Iman menginterupsi adegan tatap-tatap dramatis itu. "Daniel ga mungkin bunuh Bianca wah. Lagian, anak kayak gini bunuh orang? Pembakaran pertama aja ketiduran."
Daniel meringis.
Mereka mengedarkan pandang ke arah setiap anak yang berada di Taman Randu, semuanya terlihat bingung dan bimbang. Mereka yakin beberapa dari anak-anak itu membatin untuk turut menyerah, bunuh diri, pergi... Ranjau di pagar jelas menyurutkan semangat mereka untuk keluar dari sini. Sejauh batas penglihatan Bonong, ranjau itu dipasang mulai bawah pagar sampai dekat lapangan, maka mau melompat keluar pun rasanya mustahil. Ranjau di pagar kantin menutupi sisa lorong itu, maka tak ada barang satu murid pun yang ingin mengadu nasib.
"Lho," Iman tiba-tiba menyeletuk, "emang bener ya Lucky gantung diri?"
"Lha gimana terus? Ada orang yang nggantung?" tanya Sandi.
"Ayo ngecek, ta?" Iman mengusulkan. Yang lain menatapnya, setengah keberatan. "Kasian juga lho dia belom diturunin."
Akhirnya menurut, keenam laki-laki itu sampai di depan pintu kelas 9A yang tertutup. Menyiapkan nyali, Ezha membuka pintunya. Mayat Lucky masih tergantung, sesekali bergoyang tertiup angin yang masuk lewat ventilasi. Takut-takut, Sandi mengambil gunting di tangan Mesayu yang sekarang tergeletak di depan meja tempat Amila dibaringkan. Ia naik ke atas meja, menggunting kain yang mengikat leher Lucky sementara yang lain menopang tubuhnya dari bawah.
Akhirnya Lucky diturunkan, kini terbaring di lantai, di sebelah Kean. Posisinya aneh, sangat aneh, kalau boleh dibilang, karena ia tak hanya gantung diri, kedua tangannya juga diikat. Sandi menggunting kain yang mengikatnya.
"Mbok ya matanya itu tolong ditutup," Pasa melihat Fadhil, kesal.
"Moh aku," Fadhil mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Iman itu lho paling deket."
Iman akhirnya menutup mata Lucky yang semula terbelalak, tampak syok akan jeratan kain putih, dan Iman bisa melihat bayangan dirinya dari matanya, Lucky tampak ketakutan dan marah melihatnya. Lalu bayangan itu lenyap. Barusan hanya sebatas ingatan ketika Lucky menyumpahinya berkali-kali semalam.
"Ada tulisan," kata Daniel, mengangkat tangan kiri Lucky yang kaku. "Ada huruf B di sini, sama ada garis ga jelas."
"Liat liat." Ezha mengambil alih tangan Lucky, memperhatikan huruf B dan garis berantakan yang ditulis menggunakan spidol. "Jadi kain tadi buat nutupin, berarti ya?"
"Kayaknya iya." Fadhil ikut menengok tulisan itu. "Garisnya itu huruf juga nggak sih?"
Semuanya mendekat, melihat garis yang seperti kata Daniel, tidak jelas itu. Garis itu tertoreh berantakan, mencoreng ke bawah, seakan Lucky menuliskannya dalam detik-detik terakhir kehidupan. Memikirkan hal itu membuat mereka sontak saja melepas tangannya. Namun Daniel mengeluarkan handphone-nya, memotret huruf itu.
"Ww-nya," kata Sandi. "Mungkin ini nama Ww-nya?"
"Bisa jadi." Iman duduk, menopang dagu. "Yang depannya huruf B, berarti? Bianca udah ga ada... Bonong kemarin ngaku sendiri kalo dia Seer..."
"Lha kamu percaya?" tanya Pasa.
"Kenapa nggak?" Iman bertanya balik. "Gaada anak yang protes kalo jabatannya diambil, kan, kemarin?"
"Iya seh..."
"Masih ada satu yang huruf depannya B," ucap Fadhil tiba-tiba. "Bima."
.
.
Belum sampai pukul 7.30 malam, semua sisa murid sudah berkumpul di dalam aula. Malam itu rasanya lebih dingin dan menyeramkan dibandingkan dengan sebelumnya, mengetahui sekarang mereka berada di ruangan yang sama dengan dua mayat, dan di bawah mereka ada mayat satu guru yang mungkin sudah berada di sana sejak sebelum permainan berlangsung, ditambah lagi insiden Hantu Softex (mereka menamainya ini, kurang ajar memang). Iman mempersilakan mereka yang punya petunjuk berbicara terlebih dahulu. Masih ada banyak waktu sebelum tenggat waktu. Ia menyuruh Daniel untuk menyimpan bukti tadi sampai saat terakhir nanti.
"Aku—sama Abhista—nyimpulin kalo pelakunya guru," kata Anggi, membuka penjelasannya. Belum selesai ia menyelesaikannya, Pipit mendahuluinya.
"Jadi sekarang Seer tugasnya nyari pelaku bukan Ww?"
"Aku bukan Seer. Abhista juga bukan. Apa salahnya, sih, kalo kita diskusi soal beginian daripada ngga ada yang berusaha mecahin?" ucap Anggi, merasa agak tersinggung. "Jadi habis kita tinjau ulang, pelakunya bisa jadi guru, karena dia bisa ngunci kita di kelas dan nunjukin kita soal Pak Dudung."
"Si anak 8F itu bisa, 'kan?" sela Febi.
"Dia bisa aja make nama bapaknya sendiri di riddle itu, anak kelasnya sendiri juga bisa, bahkan. Tapi dia ga bisa ngunci kelas kita. Dia ga punya akses ke kunci kelas, dan dia ga mungkin beli semua ini. Oh anu, informasi tambahan, habis Annisa sama Anggra cari lagi tadi, Eli ini anak mitra warga."
Semuanya bergumam, merasa terpukau akan penjelasan Anggi. Kemudian perempuan berkacamata itu melanjutkan.
"Si pelaku bisa dapet nama Dudung dari daftar murid. Terus aku punya dugaan, Bu Faiz mungkin dibunuh karena tau. Mungkin pelaku lagi ngerencanain semua ini atau apa di ruang Kepala Sekolah, Bu Faiz masuk, terus ngeliat kerjaannya si pelaku. Ga mau rencananya gagal, akhirnya beliau dibunuh." Semuanya mengangguk-angguk. "Semoga malem ini ada riddle lagi."
Mendengar hal itu, beberapa dari mereka berpencar mengelilingi aula, mencari riddle di sela-sela kursi, gorden, bahkan dalam wadah Astor. Kegiatan ini menghabiskan waktu kira-kira 15 menit, dan jam menunjukkan pukul 7.45 ketika Keplek menemukan secarik kertas putih di dalam moncong pistol—tempat gila untuk menaruh petunjuk. Ia menyerahkannya pada Iman, lalu Iman membacakannya.
"Bima tengah membereskan meja belajarnya saat itu."
Semua murid sontak saja menatap Bima tiba-tiba, membuatnya agak gugup.
"Seorang wanita bernama Kiara Mumtaz memasuki kamarnya. Bima bertanya; 'Di mana buku Bahasa Indonesia ku?', tapi Mumtaz tidak menjawabnya. Bima membunuhnya."
Hening sesaat. Semua murid tidak sabar menunggu lanjutannya, tapi Iman justru mengangkat alis, menatap mereka semua dalam diam.
"Terus?"
"Udah, cuma segitu." Iman melipat kertas itu, menyerahkannya kembali pada Keplek, yang kemudian memberikannya pada Anggi. "Btw, kita emang ga boleh curiga kecepetan, tapi tadi kita nemu bukti."
Daniel melamun. Ezha mendorongnya sampai nyaris terjatuh. "Eh iya jancu biasa ae." Daniel menyalakan ponselnya, lalu menunjukkan potret huruf B dan garis berantakan tadi kepada para murid. "Ini ada di tangan Lucky."
Lagi-lagi mereka menatap tajam Bima. Ia berdiri di pojok ruangan dengan Abhista, namun rasanya seperti ia berada di tengah ruangan, menjadi pusat gravitasi semua murid yang telunjuknya mengarah ke arahnya... Bukti-bukti tadi terlalu berat. Pelakunya bahkan seolah membantu mereka memberatkannya, membuatnya terbunuh malam ini juga... Huruf B dan namanya dalam riddle sudah cukup dalam kesunyian yang tidak pasti ini...
"Bukan..." Ia berkata pelan. "Bukan aku."
"Kalo dipikir lagi bener juga sih," kata Cikha. "Bianca banyak gerak. Susah pasti nahannya. Apalagi Lucky."
Di sudut, Desy menahan tawa. Dia ga tau Iman, sih.
Dengan ucapan Cikha barusan, Bima semakin terpojok. Ia tak banyak berbicara, dan hal ini jelas tidak membantu di saat-saat seperti ini. Ia iri pada Marcell yang kemarin berkata banyak, bahwa dia adalah Seer, bahwa mereka semua salah dan akan menyesal telah menuduhnya... Tapi Bima bahkan tak punya peran yang bisa dipertahankan. Ia hanya Penduduk Desa biasa, lebih biasa dari biasa. Tak ada yang bisa melindunginya. Bahkan Abhista yang kini menatapnya curiga.
Kematian sudah terlihat jelas...
Iman menghitung, "Satu, dua, tiga!"
Dan seperti yang sudah diduga, seluruh telunjuk mengarah padanya—kecuali Pipit yang menunjuk Anggi.
Iman mengocok wadah Astor lalu mengambil segulung kertas dan membukanya. Ia memilih untuk tak membacakannya. Ada angka lima di sana, dan angka yang sama tertempel di permukaan pemantik api. Iman membatin; Mungkin ini hari tersial buat Bima. Ia mengangkat korek tadi. Yang lain merinding.
.
.
"Jadi emang kamu to Seer-nya."
Saat itu pukul 12 lewat sepuluh malam. Iman berdiri di depan pintu kelas yang tertutup, sedangkan Desy berjalan risau di depan papan tulis. Di meja paling depan ada Bonong yang tangannya sekarang sudah berhenti merakit komponen, menatap Desy dan Iman bergantian dengan canggung. "Ternyata ada yang percaya."
"Berarti Marcell bener juga Seer?" Desy bertanya sekali lagi.
"He-eh."
Kemudian sunyi. Kesannya seperti Desy mau mengulur waktu untuk memperoleh kemenangan totalnya, dan Iman jelas tak suka hal ini. Apa susahnya, sih, buka pintu kelas dan langsung bunuh orangnya? Tangannya sudah gatal ingin menggorok leher Bonong yang kini berkeringat dingin. Desy menaruh pisaunya di atas meja guru. Iman menunggunya dengan tak sabar. Masih ada satu orang lagi yang harus dibunuh malam ini.
"Jadi ini alat-alatnya buat apa?"
Bonong mulai merasa pertemuan kali ini lebih seperti wawancara daripada eksekusi. "Situsnya bilang kita kudu bikin alat buat mata-mata. Goblok kan yo, pelakunya pasti bukan Sipon. Anak SMP mana ada yang bisa bikin penyadap."
Iman mengangkat bahunya, duduk di meja yang paling dekat dengan pintu. "Jadi dari awal kalian belom dapet apa-apa?"
Kini giliran Bonong yang mengangkat bahu. "Mana tau. Kita udah dikasih recorder jadi, pertamanya. Udah kita sebar. Cuma empat, sih," ucapnya, kemudian iseng menempelkan solder ke atas papan instalasi. Desy menatap Iman, lalu kembali fokus pada Bonong.
"Kamu taruh mana?"
Bonong tertawa, kali ini menempelkan solder pada kertas panduan. Kertas itu gosong, nyaris terbakar. "Mana ngerti. Aku cuma naruh satu, sisanya Marcell. Cari sendiri, jangan tanya aku."
"Kok kesel ya." Desy tersenyum, menembakkan pistol yang diambilnya dari aula ke arah dahi Bonong. Laki-laki itu tampak terkejut sesaat karena Desy bahkan tak memberi peringatan bahwa kematiannya tinggal berjarak satu inci, namun ia segera tertunduk, darah mengalir dari dahinya.
Setelah meyakinkan diri Bonong telah mati, Desy menyerahkan pistol itu kepada Iman, berjalan keluar kelas. "Siapa tadi? Muthia, ya?"
Iman mengangguk, agak ragu. Desy menoleh sesaat ke arahnya, kemudian kembali menatap koridor yang remang-remang. "Kenapa Muthia?"
Iman berpikir. Ia bahkan tak tahu kenapa harus Muthia. Ia hanya langsung berkata tanpa tahu alasannya saat Desy bertanya siapa yang harus dibunuh malam ini. Padahal ada Abhista dan Anggi yang bisa dianggap ancaman sekarang—tapi ternyata setelah ia pikir kembali, mereka lebih tertarik mencari pelakunya daripada Werewolf. Lalu Muthia, entah kenapa begitu.
"Oh, aku tau."
Iman kebingungan. Ia yang tadi mengusulkan, kenapa kini malah Desy yang tahu alasannya?
"Kamu milih Muthia karena kamu ga mau Muthia dibakar, 'kan? Kalo ga dibunuh malem ini, Muthia bakal kena hujat besok, terus akhirnya dibakar. Kamu terlalu kasian sama orang. Oke Man, aku akui kamu orangnya terlalu baik."
Sesaat Iman merasa tersanjung, namun juga merasa bersalah ketika Muthia yang tengah mengaji di dalam kelas menoleh, tersenyum sembari berkata;
"Makasih."
.
tbc
.
Masih Mengabaikan Panduan EYD™
chapter ini kok
jelek ya
:(