Sang Awatara II : Anak-Anak A...

By JagatnataAdhipramana

44.7K 2.8K 229

Mahesa Werdaya, atlet panahan muda dari kota Surakarta, harus memenuhi panggilan kompetisi KONI untuk mengiku... More

Prolog : Malam Berbadai Yang Penuh Duka
BAB I : YANG HIDUP DAN YANG KECEWA
BAB II : PULANG
BAB III : PUTRA BIDADARI
BAB IV: LASKAR PRALAYA
BAB V : PANGGILAN
BAB VI : GESEKAN
BAB VII : PERSIAPAN
BAB IX : PESAN
BAB X : KABUR
BAB XI : ANAK REMBULAN
BAB XII : SAAT TENANG SEBELUM BADAI
BAB XIII : CAKIL
BAB XIV : PENERAWANG
BAB XV : DUA SAUDARA
BAB XVI : KESETIAAN
BAB XVII : BADAI
BAB XVIII : CANDAVATA
BAB XIX : PULANG
BAB XX : DAKARA
BAB XXI : TUALEN
BAB XXII : PATAH ARANG
BAB XXIII : BEGJA (KEBERUNTUNGAN) DAN CILAKA (KEJATUHAN)

BAB VIII : KEBERANGKATAN

1.6K 117 4
By JagatnataAdhipramana

Kasih Ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa

– Syair Lagu ‘Kasih Ibu’ –

 

Dugaan Putra ternyata tepat. Sejumlah prajurit TNI meminta waktu tiga hari ke depan untuk melatih para calon kontingen olimpiade menembak. Alasannya : untuk mempertahankan diri jikalau Laskar Pralaya menembus lapis pertahanan prajurit TNI. Mempersenjatai para atlet akan membuat peluang mereka meloloskan diri dari Laskar Pralaya menjadi semakin besar.

Para atlet mulai ciut nyalinya begitu disuruh memegang senjata api tersebut. Beberapa dari mereka begitu ketakutannya sampai akhirnya mengumumkan akan mengundurkan diri dari Pelatnas. Kemenpora dan Komite Olahraga tak bisa berbuat banyak. Nyaris separuh atlet memilih untuk mengundurkan diri dan pulang. Bujukan yang dilontarkan oleh para petinggi Kemenpora tak mampu membendung keinginan mereka.

“Kami tidak ingin mati!” begitu seorang dari mereka berujar, “Jika TNI sampai meminta kami membawa senjata api itu artinya TNI tidak percaya diri dengan kemampuannnya. Itu artinya mereka tidak sanggup melindungi kami semua. Itu artinya Laskar Pralaya punya ancaman serius yang ditujukan pada kami? Ya kan?”

Para atlet itu mulai histeris. Beberapa langsung menghubungi orangtua mereka dan minta dijemput. Menyaksikan kondisinya semakin kacau, pihak panitia membubarkan pertemuan itu dan meminta para atlet menenangkan diri.

“Ini semua gila!” gerutu Putra ketika mereka bertiga sudah kembali ke kamar mereka, “Membawa tazer gun – pistol kejut – mungkin masih masuk akal, tapi senjata api?”

“Aku setuju,” Bayu menimpali, “itu sinting tapi ... sesinting apapun ini, apa kita masih bisa kembali? Kita sudah sejauh ini lho, teman-teman.”

Mahesa merenung sejenak, kembali memikirkan ibunya. Pemuda itu kini mengerti apa yang sebenarnya dikhawatirkan oleh ibunya. Ya, ibunya mengkhawatirkan datangnya saat-saat seperti ini. Saat-saat di mana Laskar Pralaya semakin mengganas dan membuat institusi sekelas TNI pun gentar. Jika TNI sudah gentar, tak ada lagi jaminan keselamatan bagi dirinya dan kawan-kawannya. Tapi kata-kata Bayu ada benarnya juga. Ia sudah sampai sejauh ini. Masakan ia harus menyerah dan pulang begitu saja?

Ketiga pemuda itu termenung sesaaat memikirkan pilihan yang akan mereka ambil. Namun ketermenungan itu segera berakhir ketika arloji komunikasi Bayu berbunyi nyaring. “Halo?” Bayu menerima panggilan itu.

“Bayu Sutawijaya, anda mendapatkan kunjungan. Perwakilan dari keluarga anda. Harap menuju lounge room sekarang juga.”

“Kunjungan?” Bayu melirik kedua teman sekamarnya dengan nada penuh selidik, “Orangtua dan keluarga kita tidak tahu lokasi ini kan? Kecuali ayahnya Putra?”

“Nah,” Mahesa angkat bahu, “aku tidak tahu sih. Kamu juga nggak pernah cerita siapa orangtuamu kan?”

“Putra, kamu bisa temani aku kan? Ke bawah?” pinta Bayu. Mahesa cukup terkejut juga melihat Bayu sampai minta tolong seperti ini.

“Wah maaf Yu, aku harus menelepon ayahku. Mahesa saja yang temani kamu.”

Bayu tampak ragu sesaat tapi Mahesa langsung bangkit berdiri dan mengajak Bayu turun, “Yuk turun!”

*****

Ketika Mahesa dan Bayu tiba di lounge room, tampak sesosok wanita muda berusia tiga puluh tahunan, berwajah tegas, dengan rambut dipotong sebahu tampak sudah menuggu Bayu.

“Itu ibumu?” tanya Mahesa.

“Bukan, dia sekretaris pribadi ibuku,” jawab Bayu gemetaran, tangannya meremas lengan Mahesa kuat sekali sehingga Mahesa nyaris menjerit. Tapi ia berusaha tidak melakukannya. Bayu tampak sekali sangat ketakutan, seolah wanita itu adalah manifestasi iblis jahat yang siap menerkamnya. Melihat kondisi Bayu yang seperti itu, Mahesa langsung berinisiatif menggantikan Bayu untuk mengetuk pintu ruangan itu.

“Permisi,” ujar Mahesa dan wanita itu menoleh sejenak ke arah Mahesa sambil melempar senyum tipis. Bayu masih diam terpaku di tempatnya sehingga Mahesa terpaksa menariknya dengan agak kasar supaya pemuda itu mau masuk. Mahesa jadi semakin penasaran pada sosok wanita ini.

“Nah Mas Bayu, lama tak jumpa,” sapa wanita itu.

“Mbak Kartika,” Bayu menelan ludah berkali-kali, “Kenapa Mbak bisa tahu tempat ini?”

“Keterlaluan sekali kalau kau menganggap ibumu tidak tahu tempat ini, Mas Bayu. Ibu anda dulu wartawan dan punya banyak narasumber. Dengan beberapa kali panggilan saja kami sudah tahu bahwa Mas Bayuada di sini,” ujar wanita itu dengan nada ramah namun entah kenapa memberi kesan mencekam. Mahesa pun turut merasakan aura ‘mencekam’ itu.

“Bagaimana kabar Ibu?”

“Ibunda Mas Bayu? Beliau baik-baik saja meski sempat kesal dengan tindakan Mas Bayu yang ...,” wanita itu menarik keluar empat layar holografik dari arlojinya, “memalsukan tanda tangan beliau agar Mas Bayu bisa ikut event ini. Mas Bayu tahu betapa seriusnya masalah ini kan?”

“Ibu mau menarik saya pulang?”

“Sebenarnya saya ingin seperti itu tapi Ibunda Mas Bayu adalah wanita yang cukup bijak. Beliau memberi Mas Bayu dua pilihan : tetap ikut ke Vancouver dengan beberapa konsekuensi, atau ... ikut pulang dengan saya sekarang juga dan Ibunda anda akan melupakan segala kesalahan anda.”

“Konsekuensi apa yang bakal saya terima?”

“Hmm ... Mas Bayu akan saya kirimi tiga folder ke arloji Mas Bayu. Folder pertama bisa Mas Bayu buka kapan saja, folder kedua baru bisa Mas Bayu buka ketika Mas Bayu tiba di Vancouver, sementara folder ketiga baru bisa Mas Bayu buka ketika waktunya tepat.”

“Dan kapan waktu yang tepat itu?”

“Semua ada waktunya,” Kartika tersenyum penuh arti, “Ingat-ingat saja bahwa password untuk folder ketiga adalah Ladrangmungkung.”

“Jadi ...,” Bayu menunggu apakah Kartika akan menyampaikan segala amukan yang mungkin dilontarkan ibunya ketika ia pergi dari rumah tanpa izin beberapa waktu yang lalu.

“Jadi sekarang adalah saatnya saya pergi,” Kartika beranjak bangkit dari tempat duduknya.

Bayu tampak terkejut dengan tindakan Kartika itu, “Mbak Kartika tidak akan mencabut saya secara paksa?”

Kartika menggeleng, “Tidak, sebab Ibunda Mas Bayu sudah berpesan bahwa jika Mas Bayu menolak pulang saya tidak berhak memaksa. Permisi dan oh ... terima kasih sudah mengantarkan Mas Bayu kemari Mas Mahesa.”

Kali ini bukan hanya Bayu yang terperangah, Mahesa pun turut terperangah. “Mbak kenal saya?” tanya Mahesa.

“Kita pernah bertemu satu kali kok Mas Mahesa. Tapi mungkin Mas Mahesa sudah lupa. Permisi,” Kartika akhirnya berlalu meninggalkan mereka berdua.

Mahesa kini memandangi Bayu yang sama-sama tampak bingung. Langsung saja Mahesa bertanya pada Bayu, “Apa isi folder itu?”

“Tak tahu, nanti saja aku buka.”

“Apa ibumu kenal dengan ibuku atau semacamnya?”

Bayu angkat bahu, “Entahlah. Ayo kita kembali ke kamar.”

Mahesa melirik arlojinya, “Jam bebas kita masih lama. Ke kafetaria saja yuk.”

“Buat apa buang duit ke kafetaria?”

Kali ini Mahesa tertawa, “Kopi dan tehnya gratis kok.”

“Kata siapa?”

“Hamzah. Gimana mau ke sana? Putra juga pasti masih bicara sama ayahnya.”

Bayu tampak berpikir sejenak sebelum mengiyakan tawaran Mahesa. Mereka berdua akhirnya menuju kafetaria yang masih berada di lantai yang sama dengan lounge room itu. Mahesa mengambil secangkir teh untuk Bayu dan secangkir lagi untuk dirinya sementara Bayu tampak duduk di sebuah kursi sembari memandangi layar holografik berisi tiga folder yang baru saja ia terima.

“Isinya apa sih?” tanya Mahesa.

“Kamu mau lihat?” tanya Bayu.

“Kalau boleh sih.”

“Dua folder ini terkunci. Hanya satu yang bisa aku buka. Kamu mau baca?”

“Boleh?”

“Silakan,” Bayu membalikkan layar holografik di hadapannya ke arah Mahesa dan Mahesa melihat dua bait puisi tertulis di dalamnya.

Aku menyembunyikan 20 di dalam 18.

Aku mengurangi dua dari waktu yang anakku miliki.

Aku menyembunyikannya dari medan perang

Aku menyembunyikannya dari takdir kejam yang menanti dirinya

 

Tapi sekali lagi aku gagal

Medan perang terus memanggilnya

Nafsu berperang sudah mengalir dalam darahnya

Warisan dari ayahnnya dan dari keberadaan mulanya.

 

Aku hanya bisa memohon pada Indra

Sang perkasa, penguasa langit, raja para dewata

Untuk terus melindungi dia

Dan mengembalikan dia ke pangkuanku kembali

Sebab aku sudah cukup meratap dalam kehidupanku yang lalu.

“Apaan sih ini?” dahi Mahesa mengernyit bingung, “Ibumu pujangga ya?”

“Aku tidak tahu,” Bayu juga tampak kebingungan, “aku juga tak pernah tahu dia bisa menulis sajak.”

“Apa sajak ini punya petunjuk?”

“Entahlah ... aaahhh,” Bayu mengacak-acak rambutnya, “dasar ibu mantan wartawan kriminal dan politik.”

“Hei, ayahku juga wartawan kriminal dan politik, tapi tidak pernah buat teka-teki aneh.”

“Aku punya firasat teka-teki ini dibuat untuk menghukumku.”

“Err ... soal kamu memalsukan tanda tangan ibumu. Apa itu benar?”

Bayu mengangguk, “Beliau tidak setuju aku ikut Olimpiade karena ancaman Laskar Pralaya.”

“Ibuku juga tapi akhirnya ia luluh juga oleh bujukan seorang anggota KONI.”

“Kau tahu apa yang ibuku lakukan pada anggota KONI yang menghubunginya? Mencecarnya dengan rentetan argumen yang membuat anggota KONI itu sampai pucat bagai mayat ketika menghubungiku kembali.”

“Lalu kau nekat memalsukan tanda tangan?”

“Mau gimana lagi? Aku ini juara 1 panahan sasaran bergerak PON. Masakan aku harus rela kalah begitu saja dari kalian berdua?”

“Gimana kalau suatu saat kita bakal lampaui kamu?”

“Nggak akan kubiarkan.”

“Oh ya?”

“Nantang nih?”

Dua pemuda itu bertatap serius untuk beberapa saat sebelum akhirnya tawa mereka pecah. “Oke, begini saja, kita bersaing. Siapa yang dapat skor lebih rendah di Olimpiade nanti wajib traktir makan. Gimana?” Bayu menantang Mahesa.

“Siapa takut? Ayo!” Mahesa menerima tantangan Bayu.

*****

Bandara Halim Perdanakusumah, tiga minggu kemudian

Segenap atlet yang tersisa tampak berkumpul di ruang tunggu Bandara Halim Perdanakusumah. Jumlah mereka kini tak lebih dari 20 orang saja. Sebanyak 27 orang atlet mengundurkan diri sesaat setelah ada rencana mempersenjatai para atlet. Desas-desus soal itu sudah berlangsung cukup lama di media dan stigma bahwa mempersenjatai atlet berarti TNI tidak berani menjamin 100% keselamatan para atlet  sudah santer tersebar di masyarakat tak terkecuali para atlet yang mengundurkan diri itu. Hanya yang masih ‘nekat’ saja yang bertahan mengikuti Pelatnas dan trio Mahesa-Bayu-Putra termasuk di antaranya.

Sang Wapres – ayah Putra – tampak hadir di kesempatan kali ini. Dengan mantap ia melangkah menaiki podium bersimbolkan burung garuda yang disediakan khusus untuknya lalu ia mulai berbicara, “Negeri kita ... pernah berkali-kali dihantam krisis ekonomi. Mulai dari masa Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, dan Era Abad 22, semuanya tak lepas dari masalah yang namanya krisis ekonomi. Pada masa-masa seperti ini negeri kita menghadapi yang namanya apatisme para pemuda. Suatu kondisi di mana para pemuda Indonesia tak lagi bangga menjadi warga Indonesia – sesuatu yang seorang pujangga pernah menyebutnya ‘masa di mana yang turun di negeri ini hanyalah harga diri’.

“Tapi menyaksikan saudara-saudari yang ada di sini saya sangat gembira, karena masih ada segelintir anak muda Indonesia yang mau menaikkan harga diri bangsa kita yang sedang terpuruk ini melalui cabang olahraga. Saya mendoakan keselamatan dan kesuksesan bagi anda semua. Tuhan Memberkati.”

Sang Wapres mengakhiri pidatonya dengan diiringi suara tepuk tangan – yang tidak meriah – dari semua yang hadir di sana. Sesudah Sang Wapres selesai dengan pidatonya, ia tetap berdiri di sebuah sudut ruang tunggu itu sembari melambaikan tangannya ke arah putranya yang mulai beranjak memasuki gerbang keberangkatan.

“Pak,” seorang pengawalnya menepuk bahunya, “Anda harus segera kembali ke Istana Negara untuk memimpin rapat kabinet.”

“Baiklah,” Sang Wapres segera membalikkan tubuhnya dan berjalan keluar dari tempat itu, tak sempat menyaksikan keberangkatan pesawat yang mengangkut putranya ke negeri seberang.

*****

Di dalam pesawat jet tersebut, Mahesa, Bayu, dan Putra duduk bersebelahan di satu deret bangku yang terdiri dari tiga kursi. Perjalanan ke Vancouver kira-kira memerlukan waktu sekitar delapan jam sehingga ketiga pemuda itu bersepakat untuk memejamkan mata sejenak sesaat setelah perjalanan dimulai.

Baru tiga jam mengudara, pesawat mereka tiba-tiba terguncang keras, membuat para atlet yang sebagian besar tengah memejamkan mata itu tersentak terbangun oleh guncangan itu.

“Apa itu? Turbulensi?” tanya seorang atlet lari wanita berambut keriting

“Bukan,” Hamzah tampak menunjuk ke arah layar televisi holografik yang tiba-tiba saja terpampang di hadapan mereka masing-masing, “Ada yang menyabotase pesawat.”

Suara sang kapten pesawat terdengar, “Penumpang yang terhormat, kami mohon anda semua tenang. Seseorang tengah mencoba meretas sistem kendali pesawat, namun kami semua sedang berusaha mengamankan semua sistem. Mungkin akan terasa sedikit tidak nyaman, tapi kami mohon kerjasama anda semua dengan membiarkan diri anda tidak panik.”

Layar televisi holografik di hadapan masing-masing penumpang tiba-tiba saja menampakkan simbol organisasi Laskar Pralaya –logo lingkaran putih dengan simbol sileuet berbagai senjata mulai dari kujang, pedang jenawi, parang, golok, mandau, badik, keris dan sebagainya yang membentuk sebuah bentuk segi-delapan dalam lingkaran putih tersebut. Kembali sosok pria yang wajahnya tak nampak karena dilingkupi suasana ruang studio yang gelap muncul.

Semua penumpang pesawat itu langsung menahan nafas mereka. Beberapa bahkan berceletuk, “Matilah kita!”

Pria di layar itu mulai berbicara, “Wahai kalian anak-anak malang dari bangsa yang dipimpin segerombolan tikus selokan yang bebal. Tidakkah kalian dengar peringatan kami yang sudah tiga kali kami hantarkan pada kalian? Apa telinga kalian sudah tuli atau kalian sengaja menulikan diri? Atau mungkin ... ah ... sekumpulan orang dungu pro status quo telah menghalangi kata-kata kami untuk sampai pada kalian? Barangkali kemungkinan terakhir itulah yang terjadi. Apa boleh buat. Baiklah, kami akan mengulangi lagi pesan kami untuk kalian semua.”

Mahesa menahan nafas, khawatir kalau-kalau Laskar Pralaya sudah menanamkan sebuah bom waktu di tempat ini tanpa diketahui oleh para Paskhas[1] TNI AU yang mengawal mereka.

“Sadarkah kalian bahwa negara ini sebenarnya tengah di ambang kebangkrutan? Negara ini bak seorang penghutang yang masih ingin berfoya-foya. Pemerintah kalian telah menghabiskan dana 30 juta dollar AS untuk Timnas Sepakbola yang payah dan tak bisa memenangi kejuaraan apapun selama 5 tahun terakhir ini, pemerintah juga memberikan penghargaan-penghargaan yang tidak perlu kepada sejumlah olahragawan yang sebenarnya perjuangan dan jasanya tidak seberapa dibandingkan sejumlah besar rakyat yang masih berjuang untuk mempertahankan hidup mereka di bawah tekanan ekonomi yang berat ini. Dan di masa-masa seperti ini masih juga kalian tega untuk berangkat ke Olimpiade – ajang yang belum tentu kalian menangi? Sadarkah kalian bahwa kalian telah mendukung sebuah pemborosan anggaran negara? Sadarkah kalian bahwa dana yang kalian pakai itu bisa digunakan untuk memberi makan jutaan orang selama setidaknya tiga bulan ke depan? Kenapa kalian begitu egois memikirkan sebuah pengakuan di saat saudara-saudara sebangsa kalian mati kelaparan? Kami memberi kalian kesempatan untuk kembali ke tanah air sesegera mungkin. Jika tidak –.”

Transmisi itu segera terputus dan pesawat pun kembali terbang dengan mulus. Pelatih Robert Adipapa langsung maju ke hadapan semua peserta yang sudah tampak pucat ketakutan itu lalu dengan suara lantangnya mulai bicara, “Dengar! Kalian jangan takut! Keberangkatan kalian tidak salah! Kalian ada di Olimpiade untuk mewakili bangsa Indonesia bukan untuk mempermalukan bangsa seperti Laskar Pralaya ini! Lupakan semua perkataan Laskar Pralaya sialan itu! Dan lebih lagi, jangan pernah takut akan ancaman mereka. Kita dikawal oleh dua pesawat jet tempur TNI di belakang sana guna memastikan kita tiba dengan selamat di British Columbia (negara bagian tempat Vancouver berada), dan setibanya di sana kita akan terus dikawal oleh tiga peleton Paskhas TNI AU serta sejumlah tentara Kanada. Jadi kalian jangan takut!”

Entah karena mereka lebih takut pada suara Robert Adipapa yang menggelegar atau memang pelatih itu punya kemampuan meyakinkan orang, para atlet yang menaiki pesawat itupun kini tampak lebih tenang. Beberapa kembali memejamkan mata mereka untuk istirahat, beberapa mencoba menenangkan diri dengan menyetel musik, beberapa yang lain – termasuk Mahesa – memutuskan untuk mencari ketenangan dengan menonton siaran televisi saja.

*****

Vancouver, British Columbia, Kanada.

Pesawat yang ditumpangi Mahesa dan teman-temannya akhirnya mendarat juga di Bandara Vancouver. Satu peleton Paskhas TNI AU segera turun dari pesawat mendahului para atlet dan pendamping mereka lalu menyisir seputaran pesawat.

“Aman!” seorang demi seorang dari mereka memberi tanda aman pada komandan mereka dan komandan mereka pun memberi isyarat bagi para atlet itu untuk turun.

Suasana menjadi agak tegang, satu demi satu para atlet dan pendamping diangkut menggunakan sebuah bus berwarna biru laut menuju kota Vancouver yang jaraknya sekitar 12 kilometer dari bandara. Di dalam bus Robert Adipapa mendekati Mahesa dan kedua rekannya. “Kalian ... jangan lepas dari pengawasan saya. Kalau ada apa-apa,” pria Papua itu menarik keluar sebuah layar holografik dari arloji yang melingkar di tangan kanannya lalu memasukkannya ke dalam arloji Mahesa, Bayu, dan Putra, “kalian hubungi saya.”

“Apa Laskar Pralaya benar-benar mengirimkan ancaman serius?” tanya Putra kepada pelatihnya itu.

Robert menghela nafas panjang lalu berujar, “Laskar Pralaya memang sudah tiga kali mengirimkan ancaman kepada KONI. Mereka menuntut KONI membatalkan keberangkatan semua kontingen atlet selama beberapa tahun sampai kondisi ekonomi kita membaik. Nonsense, ekonomi kita memburuk bukan karena kita mengirimkan kontingen ke event olahraga internasional seperti ini.”

Bayu yang sedari tadi diam saja akhirnya turut menimpali, “Apa ancaman mereka sebenarnya Pak? Tolong beritahu kami.”

“Kalian ingin tahu?” ujar Robert setengah berbisik, “Kemari!” ia menyuruh ketiga anak itu mendekatkan kepala mereka kepadanya.

“Mereka mengancam akan membunuh kita semua. Kalau perlu di negeri ini juga,” bisik Robert.

Kini Mahesa mulai khawatir. Dalam hatinya ia menyesal karena tidak mengindahkan kekhawatiran ibunya. “Tapi itu mustahil kan? Menyerang kita di negara ini sama saja memacu insiden diplomatik kan?”

“Ya, karena itulah kami sebenarnya juga ragu mereka akan senekat itu. Lagipula kalian masing ingat Insiden Penyerangan di Surabaya? Saat itu Laskar Pralaya sebenarnya tengah menduduki kota Mataram di Lombok. Tapi ketika TNI menyerbu ke sana, ternyata mereka juga menghantam Surabaya. Sementara pasukan yang ada di Mataram ternyata hanya pasukan kecil. Mereka tampaknya gemar sekali bermain taktik ‘teror dan menipu’.”

Seorang pelatih wanita yang rambutnya dikepang ekor kuda menepuk bahu Robert, “Pak. Kita sudah hampir sampai.”

“Oh ya, terima kasih Non,” Robert segera bangkit dan mengenakan topi pet merah putihnya lalu berjalan ke bagian depan bus, mengumumkan beberapa hal berkaitan dengan jadwal acara yang akan mereka jalani nanti.


[1]Komando Pasukan Khas, divisi prajurit infanteri milik TNI AU

Continue Reading

You'll Also Like

192K 24.8K 31
[some chapter privated] "Deket sih deket, tapi cuma jadi babu" - Rosé Warning! Kadang garing kadang OOC kadang ngawur tidak EYD dan tidak baku [26112...
1.8K 137 14
Levi Ackerman seorang petugas kebersihan di SMA Shingeki menikahi seorang guru Kimia bernama Hange Zoe yang juga mengajar di SMA itu! eits tapi ini b...
12.5K 1.1K 51
Yang Lin melakukan perjalanan melalui dunia paralel dan menjadi Tuan Yin-Yang yang kurang dikenal Ketika saya sedang menonton video, saya menemukan m...
4.1K 507 10
Lika-liku Kim Mingyu seorang idol yang menyukai managernya sendiri. Yuk baca! Jangan lupa vomment ya gomapta^^~ Cast : √ Joshua √ Mingyu √ Joy √ Seve...