Malam yang indah, seindah hati Rinjani. Wajah lelaki yang dirindukannya kini berada di hadapannya.
Senyumnya... tawanya...
kata-kata mesranya.... semuanya....
ooooh, benar-benar membuai jiwa.... ROBBY...
Rinjani sungguh-sungguh sedang dimabuk asmara... Berbulan-bulan ia menanti pertemuan kali ini, pertemuan pertamanya dengan sang mantan kekasih setelah pernikahannya dua bulan yang lalu.
Walaupun pertemuan di sore hari mundur hingga malam hari, Rinjani tak peduli.
Malah resah penantiannya terbayarkan sudah ketika sebuah candle light dinner menyambut kehadirannya di cafe tersebut. Kejutan yang tak terbayangkan oleh Rinjani sebelumnya....
"Aku kangen banget ama kamu, My Princess....," ucap Robby sambil menguntaikan senyum terindahnya.
Pelan-pelan diraihnya jemari Rinjani yang masih tampak kikuk.
Refleks Rinjani menarik tangannya. Ia memang merindukan kehadiran Robby, namun entah mengapa ia tak siap menerima perlakuan seromantis itu. Robby tidak marah. Pria itu hanya tertawa pelan.
"Maaf..., mungkin aku terlalu spontan ya? Tapi... swear! Aku... kangen banget kamu, Rin..."
"A... aku yang seharusnya minta maaf, Rob... Aku..."
"Jangan minta maaf, Rin. Kamu gak salah apa-apa. Aku yang lupa... kalau kamu... udah milik orang lain..."
Robby mengucapkan kalimat terakhir dengan terbata. Seakan tak rela untuk mengucapkannya.
"Kamu udah denger single terakhir yang kunyanyiin secara unplugged itu?"
"Elegi Cinta?" ujar Rinjani spontan. Hatinya memang sedang bergelora mengingat betapa romantisnya lirik lagu itu.
Suara Robby yang indah dan permainan gitar akustiknya yang sangat piawai menghasilkan sebuah alunan yang menyentuh jiwa, mengiris-iris kalbu.
Robby mengangguk cepat.
"Lagu itu kuciptakan untukmu, Rin. Waktu aku harus merelakanmu menikah dengan orang lain..."
Sontak mata indah Rinjani terbelalak.
"A... aku?" desis Rinjani hampir tak terdengar.
Ia tak menyangka sama sekali kalau lagu itu merupakan ungkapan isi hati seorang Robby, mantan kekasihnya sekaligus seorang selebriti muda yang sedang digandrungi para grupies dari desa sampai kota, dari bocah-bocah sampai kakek-nenek berkat karya-karyanya bersama Band-nya yang sedang 'naik daun' dan berminggu-minggu merajai tangga-tangga lagu di negeri ini.
"Tanganmu dingin, Rin..."
Tiba-tiba saja lamunan Rinjani dibuyarkan oleh sapaan lembut Robby.
Rinjani baru menyadari bahwa jemarinya kini sudah berada dalam genggaman Robby. Entah bagaimana caranya kehangatan itu mengalir begitu saja seiring aliran darahnya.
Ia benar-benar terpukau. Betapa Robby sanggup membuatnya begitu nyaman. Detik itu juga, ingin rasanya ia menghentikan waktu agar bisa tetap bersama Robby selamanya. Tak ada yang lain dalam otak dan hatinya saat itu, kecuali Robby....
*
Malam yang indah bersama Robby harus segera berakhir. Mobil Robby sudah berhenti di depan gerbang rumah Rinjani.
Sejenak kedua anak manusia yang harus menjalani 'cinta terlarang' itu duduk mematung, tanpa bicara.
Di benak mereka masing-masing terbit sebuah rasa tak rela untuk berpisah. Karena mereka sendiri tak tahu kapan lagi akan dapat bersua.
Robby mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Jelas sekali kegundahan sedang meraja di hatinya.
"Rin, kita... harus berpisah di sini.....," katanya pelan.
Rinjani menelan ludah. Kerongkongannya terasa kering untuk sekedar mengeluarkan sebuah kata.
Semua karena gejolak hatinya yang menangis karena membayangkan hari-hari suramnya lagi tanpa kehadiran Robby.
"Rob... rasanya aku ingin mati saja....," ungkap Rinjani dengan suara parau.
Gadis itu menunduk menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.
"Riiin...." Sedetik kemudian Robby menarik tubuh Rinjani masuk ke dalam pelukannya.
"Please... Jangan ngomong gitu, Princess... Ini memang sulit untuk kita, tapi kamu harus tetap tegar..."
Tangis Rinjani langsung membuncah di dada Robby.
Ia merasa tak sanggup lagi memendam rasa kehilangan yang dalam selama berbulan-bulan.
Terpisahkan oleh sebuah ikatan pernikahan yang tak dikehendakinya. Kehangatan Robby akhirnya mampu meredakan kepedihan hati gadis itu untuk sesaat.
Dengan lembut Robby mengusap air mata Rinjani dan menuntunnya menuju ke depan pintu rumah.
Setelah memencet bel beberapa kali, pintu rumah pun terbuka. Sesosok jangkung muncul di hadapan mereka berdua dengan wajah datar.
DAFFA... Rinjani meringis dalam hati. Ia siap dengan segala konsekuensi yang akan terjadi.
Tapi anehnya Daffa tak menunjukkan reaksi 'sangar dan akan menyerang' sama sekali. Ia menjabat tangan Robby, ketika laki-laki itu memperkenalkan diri.
Dan justru berterimakasih karena telah mengantarkan istrinya dengan selamat sampai di rumah. Rinjani sampai melongo dibuatnya.
Setelah Robby mengundurkan diri, Rinjani masih saja membisu. Ia merasa kembali memasuki sebuah neraka.
Sambil melangkah gontai ia tak mempedulikan sang suami yang sedang memperhatikannya.
Ia sudah lelah...
lelah hati dan lelah pikiran. Ingin segera menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Apa yang terjadi... terjadilah.... desis Rinjani dalam hati.
"Rin..." sapaan lembut Daffa membuat Rinjani menghentikan langkah. Terdengar sayup langkah Daffa mendekatinya dari belakang.
"Ada apa?" ucap Rinjani ketus. Ia masih saja memunggungi suaminya.
"Kamu..."
"Mas mau nanya siapa laki-laki itu kan?" potong Rinjani yang serta merta membalikkan tubuhnya menantang Daffa - yang telah berdiri di hadapannya.
Rinjani mendongak, menatap nanar wajah Daffa yang masih terlihat tenang.
"Apa salahnya kalau aku menanyakan itu?" Daffa tersenyum tulus.
Keegoan Rinjani muncul dengan segala panas di hati.
"Apa gak bisa nanyanya besok aja? Aku lelah, Mas! Aku bukan anak kecil lagi yang harus selalu diinterogasi!!!"
Daffa menghela nafas sejenak. Seperti berusaha meredam apapun yang dirasakannya saat itu.
"Oke, aku minta maaf soal ini. Aku hanya kuatir ama kondisi kamu. Kamu sering gak ngangkat tiap aku menelpon, Rin. Kamu tanggungjawabku sekarang...."
Rinjani meleparkan senyum sinis tak berempati.
"Ingat janji kita, Mas? Kamu gak akan terlalu jauh untuk mencampuri urusan privasiku. Toh, aku juga gak pernah nanyain apapun sama kamu? Impas kan?"
"Ya, aku menepati janjiku selama kamu menjalani aktivitasmu dalam kondisi normal..."
"Kondisi normal gimana?" sahut Rinjani sewot.
"Toh, aku baik-baik aja... gak kurang suatu apapun!"
Daffa terdiam sejenak. Tampak jelas ia sedang berjuang melawan emosinya menghadapi makhluk keras kepala di hadapannya. Berusaha untuk merangkai kata-kata yang terdengar lebih bijak.
"Apakah dalam kondisi normal namanya jika seorang istri pulang larut malam bersama seorang pria yang notabene adalah mantan kekasihnya?"
Plasss!! Wajah Rinjani memerah padam mendengar kalimat yang terlontar dari bibir suaminya barusan. Rinjani terhenyak!
Adrenalinnya terpacu hingga ada yang mendesak diubun-ubunnya. Entah ada setan dari mana, Rinjani langsung menyembur Daffa dengan kata-kata bak sembilu.
"Apa urusanmu mengatur hidupku, Mas? Kau lelah kan menghadapi aku? Dari awal pun kau tahu kalau aku sama sekali tidak mencintaimu!!! Tapi kenapa kau masih saja mau mengikuti kehendak papi-mami untuk menikahi aku? Karena balas budi? Karena harta?"
Tiba-tiba saja Daffa mencengkeram kedua lengan Rinjani dan menyandarkan tubuh gadis itu ke dinding ruangan.
Raut Daffa yang tenang berubah menjadi kaku dan rahang kokohnya tampak gemeretak menahan emosi yang meluap-luap. Matanya memerah, menatap tajam ke manik mata istrinya.
"Dengar, Rinjani... aku gak peduli seandainya kamu berpikir seburuk apapun tentang aku. Tapi jangan sekali-kali kamu menganggap kedua orangtuamu serendah itu! Mereka bukanlah manusia yang ingin menukarkan harga diri orang lain dengan uang! Seandainya pun aku berusaha membalas budi atas asuhan mereka selama ini, apa aku salah? Tapi itu bukanlah alasan utamaku menikahimu, tapi karena........."
"Karena apa, hah?" tantang Rinjani dengan angkuh.
"Karena........" Kata-kata Daffa mendadak terhenti di ujung lidah.
Seperti ada yang tertahan dan tak sanggup diucapkannya. Daffa segera melempar pandangannya ke arah lain.
Sejenak kemudian, tampak tensi perdebatan mereka malam itu perlahan mulai surut kembali. Daffa menghela nafas panjang sambil mengusap wajahnya dengan gusar. Seperti tak tahu harus berbuat apalagi.
Melihat reaksi Daffa yang membeku, kini giliran Rinjani yang kembali melempar senyum sinis.
"Selalu ada alasan di setiap tindakan, Mas! Dan aku akan menunggu kapan saatnya kau mengatakan alasan itu.... mengapa kau mau menikahi aku? Selamat malam...."
Rinjani pun melenggang penuh kemenangan meninggalkan Daffa yang masih berdiri mematung.
Senyum puas menghiasi wajah cantiknya karena merasa mampu membuat Daffa tak bisa berkutik malam itu....
**
.
Plak!!
Sebuah tabloid dihempaskan Diza di atas meja kelas siang itu, tepat di hadapan Rinjani. Rinjani sontak terkejut, tak siap menerima 'serangan' Diza tadi. Untung saja kelas Komunikasi Bisnis sudah selesai, jadi tak ada seorang mahasiswa pun lagi di dalam ruangan itu kecuali mereka berdua.
"Apa sekarang loe bisa ngejelasin semua ini?" Diza menatap sahabatnya itu dengan jengah.
Rinjani mengerut dahi. Ia masih tak mengerti dengan sikap Diza. Tanpa ba-bi-bu diraihnya tabloid itu dengan berjuta penasaran.
Jderrr!!!
Bagai tersambar petir di siang bolong, mendadak tubuh Rinjani melemas seketika.
Matanya terbelalak dan tenggorokannya serasa tercekat.
Tangan halusnya gemetaran memegang tabloid itu. Sebuah headline yang ditulis dengan huruf-huruf besar dan barisan foto-foto eksklusif yang terpampang di lembaran tabloid itu seolah menghantam jiwanya dengan bertubi-tubi.
PACAR RAHASIA ROBBY JAYADI : ISTRI SEORANG DOSEN???
Sedetik kemudian Rinjani merasa dunianya akan runtuh......
***
(Bersambung)