Pagi ini Nayla sudah siap dengan seragam sekolahnya, setelah menghabiskan hari minggunya hanya dengan berleha-leha di rumah, hari ini ia harus kembali menjalani rutinitasnya.
Tok tok tok...
"Nay, ada temen kamu tuh di bawah! Cepet turun!" Vano menyembulkan kepalanya di pintu kamar Nayla.
Ia mengernyitkan dahinya bingung, perasaan ia tidak janjian dengan salah satu temannya untuk berangkat bersama. Melihat adiknya yang masih pada posisinya, Vano melangkah masuk dan menyentil kening adiknya.
"Di tungguin kok malah bengong." Nayla meringis saat merasakan sentilan di dahinya.
"Ih abang sakit!" Nayla mengusap keningnya.
Nayla bangun dari duduknya, meraih tas yang berada di atas meja belajar lalu berjalan keluar kamarnya tanpa berpamitan dengan abangnya.
Dari pintu Nayla bisa melihat seorang laki-laki berdiri memunggunginya, meskipun hanya melihat dari belakang ia tau siapa pemilik punggung itu. Devan membalikan badannya saat mendengar derap langkah mendekatinya. Nayla sudah rapi dengan seragam, dan tas sekolah yang tersampir di bahunya.
"Berangkat sekarang?" Devan bertanya saat Nayla sudah berada di dekatnya.
"Tunggu, kok tumben pagi-pagi kesini?" Devan tersenyum simpul.
"Emang nggak boleh kalo gue mau berangkat bareng lo?" Nayla menarik nafas dan mengembuskannya.
"Bukan gitu! Cuma ya tumben aja." Devan mengacak rambut Nayla.
"Bawel, udah yuk berangkat!" Devan menggandeng tangan Nayla ke arah motornya.
Nayla naik ke motor Devan, tanpa mengatakan apa-apa. Setelah dirasa Nayla sudah siap, Devan menyalakan motornya dan menjalankannya keluar dari pelataran rumah Nayla.
"Kok diem aja sih?" Devan merasa hari ini Nayla lebih banyak diam, wajahnya tidak seceria biasanya. Dia merasa bersalah, mungkinkah hal itu terjadi karena dirinya tidak menjawab pertanyaan gadis itu.
Nayla menggeleng dan memaksakan senyumnya .
"Gapapa." setelah mengatakan itu Nayla segera turun dari motor Devan, karena mereka sudah sampai di area parkir sekolah.
"Devan!" mereka berdua menoleh ke arah asal suara, Nayla segera melepas helm yang di pakainya.
Gaby berdiri di hadapan Devan yang masih duduk di atas motornya.
"Gue mau ngomong sama lo, cuma lo!" Gaby menatap Nayla sinis, ia sengaja menekankan kalimatnya.
Nayla yang merasa kehadirannya tidak di inginkan segera melangkahkan kakinya ke arah koridor, tapi sebelumnya ia meletakan helm yang tadi ia pakai di atas motor Devan. Ia berjalan tanpa menoleh lagi ke arah Gaby maupun Devan.
Baru sampai kelas ia sudah di todong berbagai pertanyaan dari ketiga sahabatnya yang sudah berkumpul di kelasnya. Alih-alih menjawab Nayla malah mengalihkan pembicaraan.
"Lo udah ngerjain tugas fisika?" Ia tau caranya terlalu biasa, tapi hanya itu yang terlintas di otak cantiknya.
"Udah." Thalia menjawab pertanyaan Nayla.
"Nay, jawab dulu kenapa lo bisa sama Devan?" Tania kembali bertanya, Nayla menghela nafas menghadapi ke kepoan sahabatnya.
"Dia jemput gue. Udah ya gue mau ke toilet dulu." Nayla sama sekali tidak berniat melanjutkan pembicaraan mereka mengenai dirinya dan Devan, moodnya sedang tidak baik. Devan, Gaby, ia sedang tidak mau ambil pusing tentang mereka saat ini, sudah cukup selama dua hari ia memikirkan tentang semua itu. Hari ini waktunya kembali fokus ke sekolah. Toh, Devan juga tidak berniat menjelaskan apapun kepada Nayla, itu artinya Nayla tidak penting kan? Iya itu yang semalaman Nayla pikirkan.
Nayla tidak benar-benar pergi ke toilet seperti yang ia katakan kepada ketiga sahabatnya. Saat ini kakinya malah melangkah ke arah halaman belakang sekolah, tempat dimana ia di hukum saat hari pertama MOS.
Tapi, sebelum ia sampai di halaman ia mendengar suara dua orang yang sedang berbicara serius, meskipun suara itu tidak keras tapi Nayla bisa mendengarnya. Tadinya ia ingin berbalik untuk kembali ke kelas.
Ia mengurungkan niatnya saat mendengar namanya di sebut-sebut. Karena rasa penasarannya, Nayla sedikit mengintip di balik tembok untuk melihat siapa dua orang itu.
"Nayla cuma jadi pelarian lo kan Van? Gue tau lo! Perasaan lo masih buat gue, kan? Berenti bersikap dingin sama gue. Mau gimanapun juga hati lo tetep buat gue!" dari tempanya berdiri Nayla bisa melihat dengan jelas Gaby yang sudah berurai air mata berada dalam pelukan laki-laki yang sudah mengisi hatinya.
"Stop Gab!" Devan melonggarkan pelukannya, ia menyeka air mata di pipi Gaby.
Nayla merasakan sesak di dadanya, matanya sudah berkaca-kaca seperti apapun ia mencoba mengelak dengan bersikap biasa, tetep saja hatinya tidak bisa berbohong.
"Bilang sama gue kalo lo masih sayang sama gue Van, bilang!" Suara Gaby naik satu oktav, sampai terdengar seperti bentakan.
"Gue sayang lo Gab." Devan memberi jeda pada kalimatnya. Dia menundukan kepalanya matanya bertatapan langsung dengan mata Gaby.
"Aku tau!...-" Sebelum Gaby melanjutkan ucapannya Devan lebih dulu meletakan jari telunjuknya di bibir Gaby.
Devan mendekatkan kepalanya ke arah Gaby, mempersempit jarak di antara mereka.
Nayla tidak sanggup lagi melihat semua itu, ia berbalik meninggalkan tempat itu sambil menyeka air matanya. Nayla tidak sekuat itu.