Better Than Almost Anything

By nyonyatua

44.1K 4.7K 257

Bagaimana kalau mimpi buruk yang selama ini kamu alami bukan hanya sekadar mimpi? Elliot, pemilik hotel terbe... More

Fortune Cookies
Macaron (1)
Macaron (2)
Dip Stick Chocolate
Pumpkin Muffins
Banana Chocolate (1)
Banana Chocolate (2)
Iced Chocolate (1)
Iced Chocolate (2)
Shortbread Cookies (1)
Shortbread Cookies (2)
GingerBread
Chocolate House
Ptichie Moloko
Death By Chocolate
Snickerdoodles
S'More Bark
Orange Dream (1)
Orange Dream (2)
Streusel
Marble Cheseecake (1)
Marble Cheesecake (2)
Pita Tree
Gummy Bears
Trail Mix
Berry Cute
KARACHI
Rainbow Cake (1)
Rainbow Cake (2)
Black Forest (1)
Black Forest (2)
Black Forest (3)
Chocolate Blitzen
Angel Food
Chocolate Brownie
Chipotle Cheese Steak
Tiramisu Truffles
Twist Potato (2)
Splatter Paint
Meatloaf Cake
Devil Cake (1)
Devil Cake (2)
Bittersweet Hot Chocolate (1)
BitterSweet Hot Chocolate (2)
Better Than Almost Anything (1)
Better Than Almost Anything (2)
Sparkling Strawberry (1)
Sparkling Strawberry (2)
Red Velvet
Better Than Anything
Better Than Almost Anything English Version
Better Than Almost Anything di Amazon

Twist Potato (1)

610 81 25
By nyonyatua


Angel memandangi potret itu tanpa berkedip. Kalau takdir itu memang ada kenapa ini rasanya begitu curang?

Takdir ini bahkan terasa bagaikan scene murahan di film horor di televisi. Dari sekian banyak orang kenapa dia yang mengalami semua ini? Saat Tuhan menjahit miliaran benang takdir, kenapa semua hal mengerikan ini malah merambati sulur takdirnya?

Jika Tuhan menyediakan jutaan jawaban, itu masih belum memupus semua pertanyaan yang bercokol di benak sejak beberapa menit lalu. Satu kemungkinan kecil saja, semoga apa yang dia pikirkan hanya sejenis adegan cobaan untuk peran utama dalam skenario film. Sesaat saja sebelum kesalahpahaman antar tokoh terkuak.

Angel menarik napas pelan. Mencoba mengatur perasaan dan menenangkan detak jantungnya yang mulai berpacu. Dia membuka mulutnya sesaat untuk memelankan deru napasnya. "Ini siapa?"

July beringsut mendekat, bahunya nyaris bersentuhan dengan lengan Angel. "Elliot, kan?"

"Ini Elliot?" Angel menunjuk potret anak kecil bermata biru dengan rambut pirang yang tampak tak asing.

"Iya. Itu Elliot dan orang tuanya"

Matanya masih menatap kalung yang menjuntai di leher wanita yang katanya ibu Elliot. Bulu-bulu halus di tengkuk mulai berdiri kalau dia mengingatnya. Ingatan yang suram dan mengerikan. Mungkin hanya kalung yang sama dan ini hanya kebetulan Bukankah banyak benda seperti itu di pasaran?

"Kalung ini milik Ibu Elliot?"

"Ya." July menyahut.

"Bagaimana kamu yakin, banyak kalung seperti itu beredar di pasaran?"

July menggeleng lalu tersenyum. "Tidak. Kalung itu satu-satunya. Bandul itu dipesan khusus."

"Tapi kan ada banyak benda seperti itu." Angel masih mencoba untuk tidak percaya sepenuhnya.

July tersenyum. "Tidak, kalung ini berbeda. Ada gliter sepasang sayap di permukaan dalamnya, Angel."

"Sepasang sayap?" Angel membeo. Pikirannya kembali pada kalung yang tadi pagi dilemparnya ke pojok meja rias.

"Iya, sepasang sayap. Ukiran ini baru ditambahkan setelah orang tuanya meninggal. Bandulnya dipesan khusus karena itu cincin pernikahan orang tuanya. Entah bagaimana mereka merekatkan kedua cincin kawin hingga jadi seperti ini."

Angel menelan ludah dan pikirannya mendadak kosong. Kalung itu benar milik Elliot sesuai dugaannya sekian detik lalu. Jantungnya mencelus seketika saat dadanya mulai sesak seakan ada benda yang awalnya menancap di dada kini tercerabut paksa.

Angel menggigit bibir saat jantungnya berdegup kencang. Jadi kalung itu milik Elliot, itu artinya Pemerkosa itu Elliot. Itu tidak mungkin. Rasanya ini konyol. Bibirnya mengerucut sementara air mata mulai menusuk ingin keluar.

"Aku mau pulang." Angel tiba-tiba bergerak berdiri.

"Eh, kenapa? Kamu enggak nunggu Elliot selesai mandi?" July menarik tangan Angel, mungkin mencoba menahannya agar tidak segera pergi.

"Enggak, aku mau pulang sekarang," ucap Angel sambil menepis pegangan tangan perempuan itu.

"Ada apa ini?" Suara Elliot mendadak terdengar. Pria yang masih mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk itu kini langsung berjalan mendekat.

Angel menatap Elliot lekat-lekat ketika bibirnya yang mengatup mulai gemetar. Tangannya terkepal, napasnya tersengal. Bagaimana bisa Elliot bersikap sesantai itu? Setelah semua yang dilakukannya padanya malam itu? Setelah dia terpuruk sampai ingin mati dan Elliot juga tahu itu. Bagaimana bisa?

"Aku ingin kita putus." Angel menahan suaranya yang hampir pecah dalam isak tangis. "Sekarang juga."

"Apa maksudmu?" Elliot menatap Angel. Ekspresi kebingungan terpampang jelas di wajahnya. "Angel, ada apa?"

Angel mengepalkan tangannya erat-erat. Jemarinya bergerak menampar pipi Elliot. Pria itu masih bergeming. Dia menatap dengan ekspresi kebingungan.

"Aku benci kamu, Elliot!"

"Aku benar-benar tidak paham apa yang terjadi, ada apa ini?" Elliot mengulang pertanyaannya.

Namun, Angel tidak ingin menjelaskan. Dia buru-buru meraih tas di sofa dan berbalik pergi. Dia tidak ingin bersama dengan pria yang telah menghancurkan hidupnya hingga seperti ini. Pokoknya dia tidak mau ada di sini. Air mata mulai jatuh menuruni pipinya seiring langkah kakinya.

"Angel, tunggu dulu!" Elliot menarik lengan gadis itu. "Jelaskan apa maksudmu?"

"Berhentilah berpura-pura, kamu membuatku muak." Angel berusaha menepiskan cengkeraman pria itu.

"Oke, aku membuatmu muak. Tapi, kenapa? Jelaskan padaku!" Suara itu terdengar memohon.

Angel menoleh dan menatap wajah pria yang kini berdiri di hadapannya. "Jangan hubungi aku lagi dan jangan pernah sebut namaku dengan mulutmu itu!"

"Angel, dengarkan aku dulu. Aku sungguh tidak mengerti." Elliot enggan melepaskan cekalan di lengan Angel.

"Kumohon Mister Elliot, biarkan aku sendiri. Aku sudah capek." Angel memelotot. Menahan kalimat umpatan yang mengancam untuk meluncur keluar sesegera mungkin.

"Baiklah. Kita bisa bicara nanti. Aku ambil kunci mobil dulu, kuantar pulang, ya!"

"Berhentilah bersikap seolah kamu peduli!"

"Aku memang peduli," sahut Elliot lirih.

"Kalau kamu memang peduli, biarkan aku sendiri!"

"Oke, oke, aku paham. Maaf." Elliot melepaskan tangannya. "Hati-hati di jalan, Angel."

Angel tidak menjawab. Dia langsung berbalik dan berjalan cepat menuju pintu. Dia bahkan setengah berlari di koridor. Air mata terus mengalir turun. Dia terus berlari meski udara dingin di luar hotel menyambutnya. Elliot tidak terdengar mengikutinya. Ya, mungkin lebih baik begini. Toh, dia memang ingin sendirian.

Tungkainya terus melangkah cepat dan dia baru berhenti ketika tubuhnya mulai lemas dan napasnya tersengal. Dia tertatih menuju bangku di taman hotel. Jeritan keluar dari bibir.

"Kenapa harus seperti ini? kenapa?"

Air mata terus mengalir turun di sela-sela isak tangisnya. Jemarinya memukul-mukul dada berulang kali. Jantungnya berdenyut nyeri dan napasnya sesak. Bukankah takdir kini mengkhianatinya. Keajaiban katanya, konyol. Dia terus menangis dengan keras sementara tangan kirinya kini memukul-mukul permukaan bangku. Benar-benar tidak peduli kalau orang yang melihatnya sekarang.

Angel menyeka air matanya. Dia tidak tahu berapa lama dia menangis. Matanya terasa bengkak. Udara yang dingin menimbulkan gigil. Harus segera pulang. Angel merapatkan mantel, bayinya akan kedinginan. Bayinya?

Ya, Tuhan. Dia terkekeh. Dosa apa yang diperbuatnya hingga Tuhan begitu tega menampar pipinya sedemikian keras. Mungkin karena kurang beribadah, kurang taat hingga Tuhan menghukumnya sedemikian rupa. Ya, dia memang kurang percaya pada Tuhan selama ini. Lalu, hanya karena itu dirinya dihukum sampai seperti ini. Luar biasa.

Dia melangkahkan kaki menyusuri jalanan yang mulai ramai dipenuhi kendaraan. Melintasi deretan pertokoan, berusaha menegakkan kepala. Karena kesialan ini tidak harus membuat kepalanya terus-menerus tertunduk. Dia hanya korban. Kenapa korban harus selalu menderita seperti ini?

Langkah kakinya terhenti saat menatap layar televisi besar di salah toko elektronik terbesar di kota. Layar itu Sedang menampilkan satu acara perjalanan keluar negeri dan membahas kuliner khas negara itu. Salah satunya pembuatan twist potato di salah satu warung jalanan.

Angel mendesah saat melihat kentang itu dipotong dengan pisau tajam. Kentang yang buruk rupa itu mungkin merasa kalau dirinya akan terselamatkan dan tampak lebih cantik, hingga manusia mungkin urung memakannya. Kenyataannya, kentang itu salah. Dia hanya dibentuk menjadi makanan lain yang lebih menarik. Memuntir cantik tapi tetap berakhir di dalam perut manusia. Sama seperti dirinya yang hanya berakhir pada kenyataan pahit.

Mungkin kepercayaan pada manusia lain itu sama dengan kentang yang digoreng. Kalau sedikit saja maka tidak akan menimbulkan masalah pada tubuh, tetapi jika terlalu banyak maka akan memicu gangguan kesehatan. Cinta pun juga sama dengan kentang. Jika diolah dengan takaran tepat dengan cara yang benar maka lebih sehat untuk tubuh. Namun, kalau cara memberikan cinta dengan cara yang salah maka tubuh manusia kadang tidak bisa menerima.

Lalu, Elliot tidak ubahnya seperti pedagang twist potato yang memberikan harapan palsu pada kentang. Sementara dia sendiri hanya kentang konyol yang berharap terselamatkan dari lumpur. Kentang yang berharap dipelihara dengan penuh cinta. Kentang yang bahkan menerima kala pisau tajam itu membelah harga dirinya. Makhluk menyedihkan yang hanya berakhir di atas bara api. Dirinya tidak lebih dari itu.

Continue Reading

You'll Also Like

6.5M 721K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...
13.2M 1.4M 69
(SUDAH TERBIT, TERSEDIA DI GRAMEDIA) Agatha terpaksa tinggal bersama Raka. murid paling teladan dan juga kebanggaan di sekolah. Manusia sedingin es y...